Anda di halaman 1dari 36

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi
dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar
timbul dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel
(apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di
zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan
pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih.
BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang
tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT).
Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun.
Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat
dan Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun
istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-
laki dengan BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT
mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH
histopatologi menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang
air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk
buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas).
Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine
retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk
operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung
kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria

1
dengan BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk
operasi korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami
kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate
(TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang
disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan
terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek
samping. (Detters, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi kelenjar prostat?
2. Apa yang dimaksud dengan BPH?
3. Bagaimana etiologi BPH?
4. Bagaimana Patofisiologi BPH?
5. Apa saja tanda dan gejala pada pasien BPH?
6. Bagaimana pemeriksaan dan pengobatan BPH?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan riwayat BPH?
C. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui konsep penyakit dan mengetahui
bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan : Benigh Prostatic Hypetropi (BPH).

2
BAB II
Tinjauan Teori
A. Kelenjar Prostat
a. Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-
buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20
gram (Purnomo, 2012).
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh
jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian
superior dari prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan
bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral
prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam
spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti
(Moore & Agur, 2002). Anatomi kelenjar prostat disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Prostat (Sumber: Kumar dkk., 2010).


Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang
mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat
tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan

3
kandung kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat
terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada
diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera.
Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat dkk.,
2012).
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung
cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini
ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh
suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah kelenjar limfe
hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat dkk.,
2012).
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis
inferior dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-
vena bergabung membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi
dan alas prostat. Plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula
fibrosa dan sarung prostat, ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus
venosus prostaticus juga berhubungan dengan plexus venosus vesicalis dan
plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi
lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidei externi (Moore & Agur,
2002). Persarafan otonom pada testis, duktus deferens, prostat dan vesikula
seminalis disajikan pada gambar 2.

4
Gambar 2. Persarafan otonom pada testis, duktus deferens,
prostat dan vesikula seminalis (Sumber: Moore & Agur, 2002)

b. Histologi
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis
sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel
sekretori kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma
fibromuskular. Hormon androgen testis berfungsi untuk mengontrol
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel prostat (Kumar dkk., 2007).
Prostat merupakan suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar
yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika,
yang menembus prostat. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona,
antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan zona periurethra. Zona perifer adalah zona
yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona
sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional hanya
terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terdapat

5
pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer (Junqueira & Carneiro, 2007).
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat
silindris atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar.
Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari
simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang
tidak berbatas tegas pada orang dewasa. Seperti halnya vesikula seminalis,
struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar testosteron (Junqueira &
Carneiro, 2007). Histologi kelenjar prostat disajikan pada gambar 3.

Gambar 3. Histologi kelenjar prostat (Sumber: Junqueira &


Carneiro, 2007).

c. Fisiologi
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang
mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu
yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk
keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam

6
akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai
akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret vagina
bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH
sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat yang
sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas
sperma (Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011).
B. Konsep Dasar Penyakit BPH (Benigh Prostatic Hypertropi)
1. Definisi

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara


umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 :
671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi
prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan
hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari
kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius
(Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).

7
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar
dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
2. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada
beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses
yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal
dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini
jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk
kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya
anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon
androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa
jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara
retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian
tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara
pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.

8
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh
karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon
atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat,
sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang
menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya
produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen.
(Sjamsuhidayat, 2005).
3. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya

9
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan
dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA
di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat
sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum,
leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada
leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi
(buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi
otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi

10
prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum
puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka
ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin
dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal.
Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.

11
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering
miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flowin kontinen).
Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh,
nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang,
volume urine yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine
tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine
akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah
ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
1). Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
2). Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
3). Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

12
4). Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
5). Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,
disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
1). Normal : Tidak ada sisa
2). Grade I : sisa 0-50 cc
3). Grade II : sisa 50-150 cc
4). Grade III : sisa > 150 cc
5). Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan
adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
c. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
d. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
e. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

13
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1). Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang
penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang
uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam
rektum.

6. Penatalaksanaan Medis
a. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS
yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan
(IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau
observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan

14
pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang
tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat
memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang
diberikan antara lain :
1). Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
2). Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
3). Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi
frekuensi miksi).
4). Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
b. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi
jaringan adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana
invasif:
1). Sisa kencing yang banyak
2). Infeksi saluran kemih berulang
3). Batu vesika
4). Hematuria makroskopil
5). Retensi urin berulang
6). Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien
memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara
lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah.
Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi
retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan
apabila volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik /
prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume
prostat tidak begitu besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan
operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena
morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis
ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa

15
dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus
diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
7. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan
a. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
1). Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga
terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika,
sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan
cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau
Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena
penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing,
capek, hidung tersumbat, dan lemah.
2). Penghambat enzim 5 α reduktase
Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga
testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam
prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan
gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara
lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.
3). Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis
Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita
pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale.
Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun
PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor
terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen,
anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat
proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-
inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat,
2004)
C. Teori Asuhan Keperawatan Benigh Prostatic Hypertropi (BPH)
1. Pengkajian

16
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul,
E,1995 : 18 ).
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai,
pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien
adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP
adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat
atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang
dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu
serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan
Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi,
pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa
setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999
: 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-
hal yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa
munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus,
Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan
gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit

17
pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya
riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun
seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
f. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya
serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
g. Pola – pola fungsi kesehatan
1). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah
baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena
spasme buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik
sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan
dan minum sebelum flatus .
3). Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP.
Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas
(Sunaryo, H, 1999: 35).
4). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang
lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha
yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi
masih diperlukan.
5). Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6). Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.

18
7). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP.
8). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit
maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam
keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9). Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan
ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10). Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan
tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres
pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11). Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam
menjalankan ibadahnya
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1). Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran
baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada
fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan
dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat
diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997 : 20 ).
2). Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami
kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi
mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3). Sistem sirkulasi

19
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP.
Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan
observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui
masukan dan haluaran.
4). Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi
otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari ,
1989 : 40).
5). Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan
muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa
pada abdomen .
6). Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami
hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan
darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat
menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa
ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat
diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan
selama 6 – 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7). Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha
yang direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
i. Pemeriksaan penunjang
1). Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar
hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin tetap
merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan
darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu
diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera
diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda

20
septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah ( Tim
Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
2). Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan
setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr.
Soetomo, 1994 : 114).
3). Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa
kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah
keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien
BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi
infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan,
kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi
seksual .
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek
spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan
dari traksi.
b. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan
darah berlebihan .
c. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi
cairan irigasi (TURP).
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli –
buli.
e. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan
anastesi .( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )
3. Rencana Keperawatan
a. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
anastesi.
Tujuan : Pola napas tetap efektif
Kriteria hasil : Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan
irama napas dalam batas normal, melakukan batuk dan napas dalam
tanpa kesulitan.
Rencana tindakan dan rasional

21
1). Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.
Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.
2). Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam
tiap 2 jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3). Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas
pada tim medis.
4). Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.
5). Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.
Rasional : deteksi dini ketidakefektifan pola napas.
6). Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk
mengurangi nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien
melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif.
b. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan
kehilangan darah berlebihan.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan
dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1). Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan
perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan pembenaman
kateter pada distensi buli-buli.
2). Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan
penggantian.
3). Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau
berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama
tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau
berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi
medik.

22
4). Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan
bekuan darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan
memerlukan terapi cepat.
5). Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya
berkurang sendiri.
6). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
7). Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.
Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.
8). Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan
debris. Awasi dengan ketat karena dapat mengakibatkan
intoksikasi cairan.
9). Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal /
enema.
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap
dasar prostat dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko
perdarahan.
10). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan
darah/kebutuhan penggantian. Pemeriksaan koagulasi, jumlah
trombosit.
c. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan
dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
Tujuan : Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar
secara total, sadar penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada
abnormalitas fungsi motorik.
Rencana tindakan dan rasional

23
1). Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2). Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan
penggantian.
3). Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan
laporkan tim medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4). Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika
diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi
d. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.
Tujuan : Retensi urin teratasi.
Kriteria hasil : Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan
perilaku peningkatan kontrol buli-buli.
Rencana tindakan dan rasional
1). Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.
2). Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama
24 jam pertama.
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris
untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urin.
3). Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi
ginjal untuk aliran urin.
4). Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di
buli-buli.
Tujuan : Infeksi dicegah.
Kriteria hasil : Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami
tanda infeksi.

24
Rencana tindakan dan rasional
1). Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter
reguler dengan sabun dan air, berikan salep antibiotik disekitar
sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis
lanjut.
2). Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan
bakteri ke dalam buli – buli.
3). Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.
Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.
4). Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik
berhubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi.
4. Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna
Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
a. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
b. Cairan terpenuhi secara adekuat
c. Cairan tubuh tidak berlebihan
d. Tidak terjadi retensi urine
e. Risiko infeksi dihindari.

25
BAB III
Pembahasan
Kasus 3
Seorang laki-laki usia 67 tahun mengeluh nyeri perut bagian bawah, klien
mengatakan selalu ada perasaan ingin berkemih tetapi, tidak bisa buang air kecil.
Hasil pemeriksaan menunjukan urine yang keluar sedikit-sedikit, TD 150 mmHg,
frekuensi pernapasan 24 kali/meit, nadi 90 kali/menit, suhu 37,5 derajat Celcius,
saat ditekan vesika urinaria teraba balotement dan terasa sakit. Hasil USG terdapat
pembesaran prostat. Rencana akan dilakukan operasi TUR (Trans Uretra
Reseksion)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn....... DENGAN GANGGUAN


SISTEM PERKEMIHAN : BENIGH PROSTATIC HYPERTROPI (BPH)
A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Identitas Pasien
Nama : Tn....
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Suku Bangsa :-
Status :-
No. CM :-
Tanggal Masuk :-
Tanggal pengkajian : -
Alamat :-
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama :-
Umur :-
Jenis Kelamin :-
Hubungan Dengan Pasien :-
Alamat :-
c. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri perut bagian bawah
d. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengatakan nyeri perut bagian bawahklien mengatak
selalu ada perasaan ingin berkemih namun tidak bisa buang air
kecil.

26
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
-
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
-
e. Pola Aktivitas Sehari-hari

No ADL Saat Sehat Saat Sakit


1. Nutrisi
a. Makan
 Jenis - -
 Frekwensi/Jumlah
 Pantangan
 Keluhan

b. Minum
 Jenis - -
 Frekwensi/Jumlah

 Pantangan
 Keluhan

2. Istirahat dan Tidur - -


a. Malam
 Lama - -
 Kualitas
 Keluhan
b. Siang
 Lama - -
 Kualitas
 Keluhan
3. Eliminasi
a. BAK
 Frekwensi - -
 Warna
 Bau
 Kesulitan
b. BAB
 Frekwensi - -

 Konsistensi
 Warna
 Bau
 Kesulitan
4. Personal Hygiene
a. Mandi
 Frekwensi - -
 Penggunaan sabun

27
 Gosok gigi
 Gangguan
b. Berpakaian
 Frekwensi - -

f. Pemeriksaan Fisik
1) Penampilan Umum
 Kesadaran : -
 GCS :
E :-
M :-
V :-
 TTV :
T : 150 mmHg
N : 90 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 37,5°C
2) Sistem pernapasan
-
3) Sistem kardiovaskular
-
4) Sistem pencernaan
-
5) Sistem persarafan
a) Fungsi serebral
 Kesadaran : -
 Orientasi : -
 Orang : -
 Tempat : -
 Waktu : -
 Memori : -
 Gaya Bicara : -
b) Fungsi nervus cranial
 Nervus I (Olfaktorius)
-
 Nervus II (Optikus)
-
 Nervus III (Okulomotorikus)
-
 Nervus IV (Trochrealis)
-
 Nervus V (Trigeminus)
-
 Nervus VI (Abdusen)
-
 Nervus VII (fasialis)
-
 Nervus VIII (Vestibulo-kokhlealis)

28
-
 Nervus IX (Glosssofaringeus)
-
 Nervus X (Vagus)
-
 Nervus XI (Assesorius)
-
 Nervus XII (Hipogiossus)
-
6) Sistem Endokrin
-
7) Sistem Genitourinaria
Klien megatakan selalu ada perasaan ingin berkemih tapi tidak
bisa buang air kecil, hasil pemeriksaan menunjukan urine
keluar sedikit-sedikit. Saat ditekan vesika urinaria teraba
balotement dan terasa sakit.
8) Sistem muskuloskeletal
-

Kekuatan otot :

9) Sistem Integumen dan Imun


-
10) Sistem Wicara dan THT
-
g. Data Psikologis
 Status emosi :-
 Kecemasan : -
 Pola koping : -
 Konsep diri : -
 Body image : -
 Harga diri : -
 Ideal diri : -
 Peran diri : -
 Identitas diri : -
h. Data Sosial

-
i. Data Spiritual

-
j. Data Penunjang
1) Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal :

29
No Jenis Hasil Nilai Interpretasi
Pemeriksaan Rujukan
1. USG Pembesaran
prostat
2.

2) Pemeriksaan lainnya

N Jenis
Hasil
o Pemeriksaan
1. - -
2.
k. Program dan Rencana Pengobatan
Rencana akan dilakukan operasi TUR (Trans Uretra Reseksion)

b. Analisa Data
Data Fokus Etiologi Problem
DS: Estrogen dan testosteron Nyeri
- Klien mengeluh tidak seimbang
nyeri perut bagian
bawah
Hiperplasia jaringan
prostat
DO:
- Saat ditekan
teraba balotement Penekanan jaringan
dan terasa sakit prostat terhadap ureter
- Hasil USG
terdapat
Obsrtuksi ureter
pembesaran
prostat
- TD: 150 mmHg Berkurangnya aliran urin
Nadi: 90x/mnt

Vesika urinaria penuh

Distensi kandung kemih

Nyeri

30
DS: Penekanan jaringan Gangguan perubahan
- Klien mengatakan prostat terhadap ureter pola eliminasi
selalu ada
perasaan
Obstruksi ureter
berkemih tetapi
tidak bisa buang
air Urin menumpuk di
vesika urinaria
DO:
- Hasil
Berkurangnya aliran urin
pemeriksaan
untuk dikeluarkan
menunjukan urine
keluar sedikit-
sedikit Retensi urin

Gangguan perubahan
pola eliminasi

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d distensi vesika urunaria
2. Gangguan pola eliminasi b.d retensi urin

d. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Perencanaan
Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri b.d distensi Setelah 1. Kaji nyeri, 1. Memberikan
vesika urunaria dilakukan perhatikan informasi untuk
tindakan lokasi, intensitas membantu dalam
DS: keperawatan (skala 0-10) menentukan
- Klien mengeluh selama 2x24 lamanya. pilihan/
nyeri perut bagian jam nyeri keefektifan
bawah berkurang intervensi
dengan 2. Tirah baring
DO: kriteria hasil mungkin
- Saat ditekan teraba - Klien 2. Pertahankan tirah diperlukan pada
balotement dan mengatakan baring bila awal selama fase
terasa sakit tidak nyeri diindikasikan retensi akut.
- Hasil USG terdapat perut Namun, ambulasi
pembesaran prostat bagian dini dapat
- TD: 150 mmHg bawah memperbaiki pola

31
Nadi: 90x/mnt - Tidak berkemih normal
teraba dan
balotement menghilangkan
- USG tidak nyeri kolik
terdapat 3. Meningkatkan
pembesaran relaksasi,
prostat memfokuskan
3. Berikan tindakan kembali perhatian,
kenyamanan, dan dapat
contoh pijatan meningkatkan
punggung; kemampuan
membantu pasien koping
melakukan posisi 4. Meningkatkan
yang nyaman; relaksasi otot

4. Mendorong
penggunaan
relaksasi/ latihan
nafas dalam; 5. NarkotikUntuk
aktifitas menghilangkan
terapeutik. nyeri berat,
5. Kolaborasi memberikan
dalam pemberian relaksasi mental
obat sesuai dan fisik.
indikasi Antibakterial:
(narkotik, Menurunkan
antibakterial, adanya bakteri
antispasmodik dalam traktus
dan sedatif urinarius juga
kandung kemih) yang dimasukkan
melalui sistem
drainase.
Antispasmodik
dan Sedatif
kandung kemih :
menghilangkan
kepekaan kandung
kemih.
2. Gangguan pola Setelah 1. Dorong pasien 1. Meminimalkan
eliminasi b.d retensi dilakukan untuk berkemih retensi urine
urin tindakan tiap 2-4 jam dan distensi berlebihan

32
DS: keperawatan bila tiba-tiba pada kandung
- Klien mengatakan selama 2x24 dirasakan. kemih
selalu ada perasaan jam 2. Tanyakan pasien 2. Tekanan ureteral
berkemih tetapi gangguan tentang tinggi
tidak bisa buang air pola inkontinensia menghambat
eliminasi stress. pengosongan
DO: teratasi kandung kemih
- Hasil pemeriksaan dengan atau dapat
menunjukan urine kriteria hasil: menghambat
keluar sedikit- - Klien berkemih sampai
sedikit tidak tekanan abdominal
kesulitan meningkat cukup
saat BAK untuk
- Urin mengeluarkan
keluar urine secara tidak
tidak sadar.
sedikit- 3. Observasi aliran 3. Berguna untuk
sedikit urine, mengevaluasi
perhatikan obstruksi dan
ukuran dan pilihan intervensi.
kekuatan.
4. Retensi urine
4. Awasi dan catat meningkatkan
waktu dan tekanan dalam
jumlah tiap saluran
berkemih. perkemihan atas,
Perhatikan yang dapat
penurunan mempengaruhi
haluaran urine fungsi ginjal.
dan perubahan Adanya defisit
berat jenis aliran darah ke
ginjal
mengganggu
kemampuannya
untuk memfilter
dan
mengkonsentrasi
substansi.

5. Distensi kandung
5. Perkusi/ palpasi kemih dapat
area suprapubik. dirasakan di area
suprapubik.

33
6. Kehilangan fungsi
ginjal
6. Awasi TTV mengakibatkan
dengan ketat. penurunan
Observasi eliminasi cairan
hipertensi, dan akumulasi sisa
edema perifer/ toksik; dapat
dependen, berlanjut ke
perubahan penurunan ginjal
mental. total
Timbang tiap
hari.
Pertahankan
pemasukan dan
pengeluaran 7. Menghilangkan
akurat. spasme kandung
7. Kolaborasi kemih
dalam sehubungan
pemberian obat dengan iritasi
antispasmodik oleh kateter.
sesuai indikasi

e. Implementasi
Setelah rencana tindakan keperawatan disusun secara sistemik.
Selanjutnya rencana tindakan tersebut diterapkan dalam bentuk kegiatan yang
nyata dan terpadu guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang
diharapkan.
f. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan
terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Disamping
itu perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan
ditetapkan belum berhasil/ teratasi.

34
BAB IV
Penutup
A. Kesimpulan

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli,
di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah
kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram
(Purnomo, 2012).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
B. Saran

Ketika melakukan pengkajian atau asuhan keperawatan kepada pasien


BPH harus dilakukan dengan teliti dan lakukan intervensi sesuai dengan
kebutuhan klien.

35
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. Maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta : EGC

Sjamsuhidayat. R dan Wim Dw Jong.2002.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta : EGC

Purnomo,B.B. (2011). Dasar-dasar urologi. Jakarta : Penerbit Sagung Seto

Hardjowijoto, S. (2000). Benigh Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press :


Surabaya

Doengoes, M.E., Marry, F.M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien : Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

36

Anda mungkin juga menyukai