Anda di halaman 1dari 29

Ras, Budaya, dan Pendidikan

James A. Banks

Bagian 5

Pendidikan Multikultural dan Konstruksi Ilmu

Bab 12

Pendidikan Multikultural: Pengembangan, Dimensi, dan Tantangan

Debat kanon mengenai literatur dan sejarah yang terjadi dalam terbitan-terbitan populer dan
buku-buku penting telah menjadi penghalang untuk melihat progres yang terjadi dalam
pendidikan multikultural selama dua dekade terakhir. Debat yang terjadi juga menyebabkan
miskonsepsi yang berbahaya mengenai teori dan praktik dalam pendidikan multikultural.
Konsekuensinya, ketegangan antar ras dan etnik meningkat dan mengecilkan pencapaian-
pencapaian yang terjadi dalam pengembangan teori, penelitian, dan kurikulum. Fakta
mengenai pengembangan dan terbentuknya pendidikan multikultural harus disampaikan agar
ada keseimbangan, integritas keilmuan, dan akurasi. Tapi sebelum fakta itu disampaikan,
mitos dan minkonsepsi harus diluruskan terlebih dahulu.

Salah satu miskonsepsi mengenai pendidikan multikultural adalah bahwa ia hanya dibuat dan
ditujukan bagi etnis afrika amerika, hispanik, kaum miskin, perempuan, dan golongan
terpinggirkan lainnya. Para ilmuwan dan peneliti kini bersepakat bahwa pendidikan
multikultural dirancang untuk merestrukturisasi institusi pendidikan agar setiap siswa
termasuk kulit putih kelas menengah memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
tepat untuk berfungsi dengan baik dalam dunia yang beragam budaya dan etnisnya.
Pendidikan multikultural bukanlah suatu pergerakan dari golongan tertentu melainkan
pergerakan yang memungkinkan setiap orang untuk memiliki wawasan, peduli, dan bersikap
aktif dalam kehidupan dunia yang semakin bermasalah dan terpolarisasi secara etnis.

Klaim bahwa pendidikan multikultural hanyalah untuk golongan kulit berwarna dan
terpinggirkan adalah miskonsepsi yang merusak dan berbahaya. Klaim ini menyebabkan
masalah besar yang terus membayangi pendidikan multikultural. Citra bahwa pendidikan
multikultural adalah program yang ditujukan khusus untuk golongan-golongan tertentu sudah
terlanjur melekat di mata publik, begitu pula terjadi pada guru dan pengelola sekolah. Guru-
guru di sekolah yang sebagian besar siswanya berkulit putih mengatakan bahwa mereka tidak
menyelenggarakan program pendidikan multikultural karena mereka hanya memiliki sedikit
siswa afrika amerika, hispanik, atau asia amerika.
Ketika pendidik memandang pendidikan multikultural sebagai ilmu tentang “orang lain”,
pendidikan multikultural kemudian menjadi terpinggirkan dan terpisah dari reformasi
pendidikan. Beberapa penentang pendidikan multikultural seperti Arthur Schlesinger, John
Leo, dan Paul Gray, mengemukakan pandangan bahwa pendidikan multikultural adalah ilmu
tentang “orang lain” dengan mendefinisikannya sebagai persamaan dari pendidikan
afrosentris. Sejarah pendidikan antar-kelompok mengajarkan kita bahwa ketika reformasi
pendidikan yang terkait dengan keragaman dipandang sebagai hal yang penting maka
peluangnya semakin besar untuk menjadi bagian dari kurikulum nasional. Pergerakan
pendidikan antar-kelompok yang terjadi pada tahun 1940an dan 1950an mengalami
kegagalan karena pendidik antar kelompok tidak mampu membujuk kalangan arus utama
untuk percaya bahwa pendidikan antar-kelompok dibutuhkan dan dirancang untuk semua
siswa. Pada akhirnya, kenyataan pahit yang terjadi adalah kalangan pendidik arus utama
memandang pendidikan antar-kelompok sebagai sesuatu bagi sekolah dengan masalah rasial
dan dibuat untuk “mereka” dan bukan untuk “kita”.

Miskonsepsi lain yang berbahaya dan karena begitu sering diulang sehingga mulai dianggap
sebagai fakta adalah bahwa pendidikan multikultural bertentangan dengan Dunia Barat dan
tatanan masyarakatnya. Pendidikan multikultural tidak anti barat, karena kebanyakan penulis
kulit berwarna seperti Rudolfo Anaya, Paula Gunn Allen, Maxine Hong Kingston, Maya
Angelou, dan Toni Morrison adalah penulis Barat. Pendidikan multikultural sendiri adalah
sepenuhnya pergerakan Barat. Ia lahir dari pergerakan hak sipil yang berdasar atas idealisme
demokrasi Barat yang adalah kemerdekaan, keadilan, dan kesetaraan. Pendidikan
multikultural bertujuan untuk menyebarluaskan idealisme tersebut ke setiap orang.

Pendidikan multikultural tidak bertentangan dengan Barat. Namun, advokasi terus dilakukan
agar kebenaran mengenai Barat bisa diungkap, bahwa ada pertanggungjawaban terhadap
golongan kulit berwarna dan perempuan yang harus diakui dan masuk dalam kurikulum,
bahwa ada kesenjangan antara idealisme kemerdekaan dan kesetaraan dengan realitas adanya
rasisme dan seksisme juga harus diajarkan. Aksi reflektif dari masyarakat adalah bagian
integral dari teori multikultural. Pendidikan multikultural memandang perilaku masyarakat
untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat sebagai bagian integral dari pendidikan dalam
demokrasi, ada kaitan antara pengetahuan, nilai, dan aksi. Pendidikan multikultural bisa
dikatakan posmodern dalam asumsinya mengenai pengetahuan dan konstruksi ilmu, ia
menantang asumsi penganut positivisme mengenai hubungan antara manusia, nilai,
pengetahuan, dan perilaku.

Penganut postivisme, yang merupakan pewaris intelektual dari masa pencerahan, percaya
bahwa sangat memungkinkan untuk menyusun pengetahuan yang obyektif dan melampaui
pengaruh dari nilai dan ketertarikan manusia. Ilmuwan multikultural memandang
pengetahuan sebagai sesuatu yang posisional, ia terkait dengan nilai dan pengalaman
individu, dan bahwa pengetahuan mendorong perilaku. Konsekuensinya, konsep, teori, dan
cara pandang berbeda mendorong perilaku yang berbeda pula. Multikultutralis percaya
bahwa untuk memiliki pengetahuan yang valid, informasi mengenai kondisi sosial dan
pengalaman dari individu sangatlah penting.
Beberapa penentang pendidikan multikultural seperti John Leo dan Dinesh D’Souza,
mengklaim bahwa pendidikan multikultural telah mengurangi atau menggantikan posisi
pendidkan masyarakat Barat di sekolah dan kampus nasional. Bagaimanapun, seperti
dikemukakan Gerald Graff dalam bukunya Beyond the Culture Wars, klaim ini tidak benar.
Graff mengutip penelitiannya sendiri pada level kampus dan penelitian Arthur Applebee pada
level sekolah menengah atas untuk mendukung kesimpulannya bahwa penulis pria asal Eropa
dan Amerika seperti Shakespeare, Dante, Chaucer, Twain, dan Hemingway masih
mendominasi daftar bacaan wajib di SMA dan kampus nasional. Graff menemukan bahwa,
pada kasus yang diteliti, kebanyakan dari buku-buku oleh penulis kulit berwarna adalah buku
yang bersifat pilihan dan bukan wajib. Applebee menemukan bahwa dari 10 buku bacaan
wajib di SMA, hanya ada satu judul oleh penulis perempuan (To Kill a Mockingbird oleh
Harper Lee), dan tidak satupun buku oleh penulis berkulit berwarna. Tulisan-tulisan oleh
shakespeare, Steinbeck, dan Dickens merajai daftar ini.

Miskonsepsi lain adalah klaim bahwa pendidikan multikultural akan memecah belah bangsa
dan menghancurkan persatuan. Schlesinger menegaskan pandangan ini dalam judul bukunya,
The Disuniting of America: Reflections on a Multicultural Society. Miskonsepsi ini berdasar
sebagian pada asumsi labil mengenai hakikat dari masyarakat AS dan sebagian lagi atas
pemahaman yang salah mengenai pendidikan multikultural. Klaim bahwa pendidikan
multikultural akan memecah belah bangsa mengasumsikan bahwa AS sendiri sebagai bangsa
sudah bersatu, padahal sementara secara geografis bersatu, secara sosiologis masyarakat AS
terbagi secara ras, gender, dan kelas. Debat terkini mengenai penerimaan individu
homoseksual dalam militer semakin mempertegas hal ini.

Pendidikan multikultural dirancang untuk mempersatukan bangsa yang terpecah belah.


Pendidikan multikultural mendukung prinsip e pluribus unum-dari banyak menjadi satu.
Multikulturalis dan tradisionalis Barat, bagaimanapun, sering berbeda dalam memaknai
bagaimana unum bisa terwujud. Secara tradisional, kebanyakan masyarakat AS dan sekolah
mencoba menciptakan persatuan dengan mengasimilasi siswa dari berbagai ras dan
kemlompok etnis berbeda ke dalam mitos budaya anglo-amerika yang membuat mereka
harus mengalami proses alienasi identitas diri. Bagaimanapun, bahkan ketika siswa berkulit
berwarna sudah melewati asimilasi budaya, mereka seringkali terpinggirkan dari arus utama.

Multikulturalis memandang e pluribus unum sebagai tujuan bangsa yang patut, tapi mereka
percaya bahwa unum harus dinegosiasikan, didiskusikan, dan direstrukturisasi agar
mencerminkan keragaman etnis dan budaya bangsa. Reformulasi arti sebenarnya dari
persatuan harus menjadi sebuah proses yang melibatkan partisipasi berbagai kelompok dalam
negara, kalangan kulit berwarna, semua orientasi seksual, yang kuat dan lemah, yang tua dan
yang muda. Reformulasi juga harus melibatkan pembagian kekuasaan dan pelibatan orang-
orang dari budaya berbeda yang harus diraih untuk menciptakan budaya hidup bersama yang
mencerminkan kepentingan dan kesejahteraan semua orang. Budaya hidup bersama ini akan
melampaui batas-batas antar kelompok dan menyatukan semuanya dalam suatu kesatuan
hidup bersama.
Dalam Borderlands, Gloria Anzaldua membedakan batasan budaya dan daerah perbatasan,
selanjutnya mengajak untuk melemahkan batasan budaya untuk menciptakan suatu daerah
perbatasan di mana setiap orang dari beragam budaya berbeda bisa berinteraksi,
berhubungan, dan terlibat dalam aksi dan komunikasi masyarakat. Anzaldua menyatakan
bahwa “perbatasan dibuat untuk menentukan tempat yang aman dan tidak aman, untuk
membedakan ‘kita’ dan ‘mereka’. Batas adalah sebuah garis pembagi, garis tipis sepanjang
tepian. Daerah perbatasan adalah tempat yang tidak ditentukan yang terus berada dalam
kondisi transisi yang konstan”.

Progres dalam Pendidikan Multikultural

Sementara pendidikan multikultural belum menjadi pusat kurikulum di kebanyakan sekolah


dan kampus, konten multikultural telah membuat kemajuan yang signifikan dalam kurikulum
sekolah dan kampus dalam dua dekade terakhir. Kebenarannya terletak di antara klaim bahwa
tidak ada kemajuan dalam memasukkan konten multikultural ke dalamn kurikulm sekolah
dan kampus dan klaim bahwa konten-konten tersebut telah menggantikan konten klasik dari
Eropa dan Amerika.

Pada sekolah dasar dan menengah atas, semakin banyak konten etnik yang muncul di buku
ilmu sosial dan seni bahasa hari ini dibanding 20 tahun lalu. Sebagai tambahan, mulai ada
guru yang memberi tugas literatur dengan bahan dari penulis kulit berwarna bersamaan
dengan karya-karya klasik standar. Dalam penelitiannya, Applebee menemukan kenyataan
yang sangat mengejutkan bahwa bacaan di era sekarang masih sama dengan masa lalu.
Bagaimanapun, mulai ada kemajuan dengan semakin banyaknya guru yang menggunakan
literatur dari penulis perempuan dan kulit berwarna.

Ada lebih banyak guru di masa kini yang mempelajari konsep multikultur dibanding masa
sebelumnya. Jumlah guru yang mempelajari konsep pendidikan multikultural di universitas
juga sifginifikan persentasenya. Standar pendidikan multikultural yang diadopsi oleh
National Council for Accreditation of Teacher Education (Badan Akreditasi Nasional untuk
Pendidikan Keguruan) pada 1977, yang efektik digunakan pada 1979, adalah faktor utama
yang merangsang perkembangan pendidikan multikultural dalam pendidikan keguruan.
Satndar tersebut menyatakan, “Lembaga ini memberi bukti adanya program pendidikan
multikultural dalam kurikulum guru, termasuk komponen umum dan profesional.”

Pasar buku pelajaran pendidikan guru terkait pendidikan multikultural juga berperan
substansial. Sebagian besar penerbit besar kini memilikisetidaknya satu buku terkait bidang
ini. Buku pelajaran lain misalnya psikologi pendidikan atau dasar-dasar pendidikan, biasanya
memiliki bagian-bagian tertentu yang ditujukan untuk menelaah konsep dan perkembangan
pendidikan multikultural.

Beberapa kampus terkemuka misalnya University of California at Berkeley, University of


Minnesota, dan Standford University setidaknya telah merevisi kurikulum umum mereka
untuk memasukkan konten etnik atau memasukkan telaah etnik sebagai mata kuliah
prasyarat. Jumlah kampus yang mengikuti jejak ini terus bertambah setiap tahun.
Bagaimanapun, transformasi ini merupakan proses yang berat. Perubahan kurikulum berjalan
lambat dan menemui banyak kesulitan.

Perubahan juga turut terjadi di buku pelajaran sekolah dasar, seperti dikemukakan Jesus
Garcia, dorongan demografis adalah faktor utama yang mendorong perubahan di buku
pelajaran sekolah. Perubahan warna kulit pada dewan siswa nasional terjadi sangat pesat. Di
2020 nanti, hampir setengah (45.5%) siswa usia sekolah adalah anak kulit berwarna. Orang
tua anak kulit hitam dan coklat mendorong agar pemimpin, gambaran, luka, dan cita-cita
mereka tercermin dalam buku pelajaran yang dipelajari anak mereka di sekolah.

Buku pelajaran telah lama mencerminkan mitos, harapan, dan mimpi orang-orang dengan
uang dan kekuasaan. Seiring dengan semakin berpengaruhnya orang Afrika Amerika,
Hispanik, Asia, dan perempuan, hal-hal tersebut di atas juga harus bisa mencerminkan mimpi
mereka. Buku pelajaran segera harus bertahan dalam pasar yang semakin berwarna. Buku
pelajaran masih menjadi alat kurikulum sehingga harus menjadi fokus pelaku reformasi
pendidikan multikultural.

Dimensi-Dimensi Pendidikan Multikultural

Salah satu masalah yang terus merusak pergerakan pendidikan multikultural baik dari dalam
maupun luar adalah kecenderungan guru, pengelola, pembuat kebijakan, dan khalayak umum
yang terlalu menyederhanakan konsep ini. Pendidikan multikultural adalah konsep yang
kompleks dan multidimensional, namun komentator di media dan pengamat pendidikan
seringkali hanya berfokus pada salah satu dari banyak dimensi. Beberapa guru hanya
memandangnya sebagai penyertaan konten tentang kelompok etnis ke dalam kurikulum, yang
lain memandangnya sebagai upaya untuk mengurangi prasangka, atau sekadar perayaan hari
raya etnis. Dalam salah satu presentasi yang saya lakukan di sebuah sekolah, seorang guru
matematika berkata pada saya bahwa apa yang saya sampaikan mungkin berkaitan dengan
ilmu bahasa atau sosial, namun tidak berkaitan dengannnya. Menurutnya, matematika adalah
matematika, apapun warna kulit siswa.

Respon dari guru ini membuat saya merenungkan kembali citra dari pendidikan multikultural
yang telah dibangun oleh para pegiat bidang ini. Saya merasa turut bertanggungjawab atasa
adanya pandangan sempit yang memandang pendidikan multikultural sebagai hanya
pengikutsertaan konten dalam kurikulum. Sebagai respon terhadap hal ini, saya merumuskan
lima dimensi untuk menjelaskan lima komponen utama dan untuk memperjelas
perkembangan-perkembangan penting selama dua dekade terakhir: (1) integrasi konten, (2)
proses konstruksi ilmu, (3) pengurangan prasangka, (4) pedagogi kesetaraan, dan (5) kultur
sekolah dan kultur sosial yang memberdayakan.

Integrasi Konten

Integrasi konten berkaitan dengan sejauh mana guru menggunakan contoh, data, dan
informasi dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep utama, prinsip-
prinsip, generalisasi, dan teori-teori dalam area disiplin ilmu mereka. Di banyak sekolah,
pendidikan multikultural dipandang semata-mata sebagai integrasi konten. Konsepsi sempit
inilah yang menyebabkan guru-guru mata pelajaran seperti biologi, fisika, dan matematika
menolak pendidikan multikultural karena dianggap tidak relevan untuk mereka dan siswa
mereka.

Faktanya, dimensi pendidikan multikultural ini memiliki lebih banyak relevansi bagi guru
ilmu sosial dan bahasa dibanding guru fisika dan matematika. Guru fisika dan matematika
bisa saja memasukkan konten multikultural seperti menggunakan biografi ilmuwan yang
berasal dari kelompok etnis yang beragam. Namun aktivitas ini tidak terlalu signifikan dalam
mengerjakan pendidikan multikultural.

Konstruksi Ilmu

Proses konstruksi ilmu memberikan arah bagi ilmuwan sosial, perilaku, dan alam untuk
membangun ilmu sesuai disiplin masing-masing. Fokus multikultural dalam konstruksi ilmu
salah satunya adalah diskusi tentang bagaimana asumsi kultural implisit, kerangka rujukan,
perspektif, dan bias dalam suatu disiplin turut memengaruhi proses konstruksi ilmu. Kajian
terhadap proses konstruksi ilmu adalah bagian penting dari pengajaran multikultural. Guru
membantu siswa untuk memahami bagaimana pengetahuan dibangun dan bagaimana hal itu
juga dipengaruhi oleh faktor seperti ras, etnis, gender, dan kelas sosial.

Sepanjang dekade terakhir, karya-karya terbaik terkait konstruksi ilmu telah dibuat oleh
ilmuwan sosial feminis dan epistemologis, begitu pula oleh para sarjana dalam ilmu etnis.
Bekerja dalam bidang filsafat dan sosiologi, Sandra Harding, Lorraine Code, dan Patricia Hill
Collins telah membuat karya-karya penting terkait konstruksi ilmu. Karya-karya yang penuh
terobosan ini, walaupun terbukti berpengaruh pada ilmuwan dan pengembang kurikulum
masih saja dihalau oleh panasnya perdebatan yang terjadi. Para penulis dan peneliti telah
berhasil menantang klaim dari penganut aliran positivis bahwa ilmu itu bebas nilai, dan telah
menjelaskan bahwa klaim pengetahuan dipengaruhi oleh gender dan karakteristik etnis dari
pembelajar. Para ilmuwan ini berpendapat bahwa ketertarikan humanistik dan asumsi nilai
daru mereka yang membangun ilmu harus diidentifikasi, didiskusikan, dan dikaji.

Code menyatakan bahwa jenis kelamin pembelajar berperan signifikan secara epistemologi
karena pengetahuan bersifat subyektif dan obyektif. Dia berpendapat kedua aspek tersebut
harus dikenali dan didiskusikan. Collins, seorang sosiolog Afrika Amerika, memperluas dan
memperkaya peneliti seperti Code dan Harding dengan menjelaskan bagaimana ras dan
gender berinteraksi untuk memengaruhi konstruksi ilmu. Collins menyebut sudut pandang
perempuan Afrika Amerika sebagai sudut pandang “orang luar di dalam”, dia berkata,
“sebagai orang luar di dalam, perempuan kulit hitam memiliki pandangan yang tajam
mengenai kontradiksi antara ideologi kelompok dominan dengan perilakunya.”

Para teoris dan pengembang kurikulum pendidikan multikultural dalam proses belajar di
kelas telah menggunakan karya oleh para feminis dan epistemologis ilmu sosial. Dalam
Transforming Knowledge, Elizabeth Minnich, seorang profesor filsafat dan ilmu perempuan,
telah menganalisa sifat pengetahuan dan menjelaskan bagaimana tradisi dominan, melalui
bagaimana error penalaran seperti generalisasi yang salah terus terjadi dan menyebabkan
marjinalisasi terhadap perempuan.
Saya telah mengidentifikasi lima tipe pengetahuan dan menjelaskan implikasinya terhadap
pengajaran multikultural. Para guru harus menyadari ragam tipe pengetahuan sehingga
mereka bisa merakit kurikulum yang membantu siswa memahami setiap tipe. Guru juga
harus menggunakan pengetahuan kultural mereka dan para siswa sendiri untuk memperkaya
proses belajar mengajar. Tipe pengetahuan tersebut adalah (1) personal/kultural, (2) populer,
(3) akademis arus utama, (4) transformatif, dan (5) sekolah.

Pengetahuan personal/kultural terdiri dari konsep, penjelasan, dan interpretasi yang didapat
siswa dari pengalaman pribadinya di rumah, keluarga, dan komunitas. Konflik kultural bisa
terjadi dalam kelas karena ada banyak pengetahuan personal/kultural yang tidak sejalan
dengan pengetahuan di sekolah atau pengetahuan personal/kultural dari guru. Sebagai contoh,
penelitian mengindikasikan bahwa banyak siswa Afrika Amerika dan Meksiko Amerika yang
lebih mungkin berhasil di sekolah bila bekerja dalam lingkungan yang kooperatif dibanding
kompetitif. Namun, kultur sekolah biasanya sangat kompetitif, dan siswa kulit berwarna
cenderung mengalami kegagalan bila mereka tidak menyadari kultur implisit ini.

Pengetahuan populer yang dibangun oleh media massa dan dorongan lain yang kemudian
membentuk kultur populer memiliki pengaruh yang kuat terhadap nilai, persepsi, dan periaku
anak dan orang muda. Pesan dan citra yang dibawa media, seperti yang disebut Carlos Cortes
sebagai kurikulum masyarakat, seringkali mendorong stereotip dan miskonsepsi mengenai
kelompok rasial dan etnis yang kemudian terbentuk dalam masyarakat.

Beberapa film dan bentuk media populer turut memberi kontribusi positif bagi pemahaman
rasial. Dances with Wolves, Glory, dan Malcolm X adalah contohnya. Bagaimanapun, ada
banyak sudut pandang terhadap film dan contoh positif maupun negatif dari budaya populer
yang harus dijadikan bagian dari diskusi dan analisis di dalam kelas. Sebagai hasil karya
manusia lainnya, film-film bagus tersebut tidak sempurna. Para guru yang peka dan sudah
dibekali pengetahuan multikultural harus membantu siswa untuk memandang film-film
tersebut, begitu juga produksi media lainnya, dari perspektif kultur, etnis, dan gender yang
beragam.

Konsep, teori, dan penjelasan yang membangun pengetahuan tradisional yang berpusatkan
Barat dalam ilmu sejarah, sosial, dan perilaku turut membentuk pengetahuan akademik arus
utama. Interpretasi tradisional dari sejarah AS, terpatri dalam tajuk seperti “Penemuan Eropa
atas Amerika” dan “Pergerakan Menuju Barat” menjadi konsep sentral dalam pengetahuan
akademik arus utama. Pengetahuan akademik arus utama ini juga telah mapan dalam asosiasi
profesi misalnya American Historical Association dan American Psychological Association.
Interpretasi semua hal tersebut adalah apa yang diajarkan di sekolah dan kampus di AS.

Shaksespeare, Dante, Chaucer, dan Aristoteles termasuk dalam warisan sastra dari
pengetahuan akademik arus utama. Penentang pendidikan multikultural seperti Schlesinger,
D’souza, dan Leo, percaya bahwa pengetahuan akademik arus utama dalam kurikulum mulai
digantikan oleh pengetahuan dan interpretasi baru yang dibuat oleh ilmuwan dalam bidang
ilmu perempuan dan etnis. Bagaimanapun, pengetahuan akademik arus utama tidak hanya
terancam dari luar, tapi juga dari dalam. Para sarjana posmodern dalam organisasi seperti
American Historical Association, American Sociological Association, dan American Political
Science Association, mulai menantang interpretasi dan paradigma positivis yang dominan
dalam masing-masing disiplin mereka dan menciptakan penjelasan dan perspektif alternatif.

Pengetahuan akademik transformatif menguji fakta, konsep, paradigma, tema, dan penjelasan
yang sudah terbiasa diterima dalam pengetahuan akademik arus utama. Mereka yang
berkiblat pada pengetahuan akademik transformatif berupaya untuk memperluas dan secara
substansial merevisi kanon, teori, penjelasan, dan metode penelitian yang sudah mapan. Teori
dan metode penelitian transformatif yang telah dikembangkan dalam ilmu perempuan dan
etnis sejak 1970an memiliki, menurut saya, perkembangan paling penting dalam teori dan
penelitian ilmu sosial dalam 20 tahun terakhir.

Sangat penting bagi guru dan siswa untuk menyadari, bahwa, pengetahuan akademik
transformatif memiliki sejarah panjang di AS dan pergerakan ilmu etnis saat ini berkaitan
langsung dengan pergerkan yang dimulai pada akhir 1800an. George Washington Williams
menerbitkan jilid pertama sejarah Afrika Amerika pada 1882 dan jilid kedua pada 1883.
Karya penting lainnya yang diterbitkan oleh ilmuwan transformatif Afrika Amerika antara
lain adalah oleh W. F. B. Du Bois, Carter G. Woodson, Horace Man Bond, dan Charles
Wesley.

Karya para sarjana terdahulu dalam kajian Afrika Amerika, yang membentuk akar akademik
dari pergerakan pendidikan multikultural saat ini ketika mulai muncul di tahun 1960an dan
1970an, terkait dengan beberapa karakteristik penting. Karya mereka transformatif karena
mereka menghasilkan data, interpretasi, dan perspektif yang menantang apa yang sudah
dimapankan oleh ilmuwan arus utama berkulit putih. Karya para ilmuwan transformatif ini
menghadirkan citra positif dari orang Afrika Amerika dan menghalau stereotip yang meluas
pada saat itu.

Dalam perjuangannya akan obyektifitas dalam karyanya serta penerimaan sebagai peneliti
ilmiah, para ilmuwan transformatif memandang aksi nyata juga sama pentingnya dengan
pengetahuan, dan juga turut berperan dalam aksi sosial dan administrasi. Du Bois aktif dalam
protes sosial dan bertahun-tahun menjadi editor Crisis, sebuah penerbitan resmi milik
National Association for the Advancement of Colored People. Woodson turut mendirikan
Association for the Study of Negro (sekarang Afrika Amerika) Life and History, mendirikan
dan mengedit Journal of Negro History, mengedit Negro History Bulletin untuk guru kelas,
menyusun buku pelajaran sekolah dan kampus mengenai sejarah Afrika Amerika, dan
mencanangkan Bulan sejarah Afrika Amerika.

Pengetahuan akademik transformatif telah mengalami kelahiran baru sejak tahun 1970an.
Hanya ada beberapa karya yang bisa ditulis di sini karena keterbatasan ruang. Martin Bernal,
dalam karya dua jilidnya yang penting, Black Athena, telah menciptakan interpretasi baru
mengenai hutang Yunani terhadap Mesir dan Fenisia. Sebelum Bernal, Ivan Van Sertima dan
Cheikh Anta Diop juga membuat interpretasi novel mengenai hutang Eropa terhadap Afrika.
Dalam dua buku, Indian Givers dan Native Roots, Jack Weatherford menjelaskan kontribusi
orang Amerika asli terhadap kekayaan dunia.
Ronald Takaki, dalam beberapa buku yang sangat berpengaruh, seperti Iron Cages: Race and
Culture in 19th-Century America dan Strangers from a Different Shore: A History of Asian
Americans, telah memberi cara baru dalam berpikir mengenai pengalaman etnis di Amerika.
Kontribusi literatur terhadap keilmuan transformatif juga sangat kaya, seperti terlihat dalam
The Signifying Monkey: A Theory of African-American Literary Critism, oleh Henry Louis
Gates, Jr; Long Black Songs; Essays in Black American Literature and Culture, oleh Houston
Baker, Jr; dan Breaking Ice: An Anthology of Contemporary African-American Fiction, diedit
oleh Terry McMillan.

Beberapa karya penting dalam tradisi transformatif yang berpautan dengan ras dan gender
juga telah diterbitkan sejak 1970an. Karya penting dalam genre ini antara lain Unequal
Sisters: A Multicultural Reader in US Women’s History, diedit oleh Carol Ellen Dubois dan
Vicki Ruiz; Race, Gender, and Work: A Multicultural Economic History of Women in the
United States, Oleh teresa Amott dan Julia Matthaei; Labor of Love, Labor of Sorrow: Black
Women, Work, and the Family from Slavery to the Present, oleh Jaqualine jones; dan the
Forbidden Stitch: An Asian American Women’s Anthology, diedit oleh Shirley Geok-lin Lim,
Mayumi Tsutakawa, dan Margarita Donnelly.

Dimensi-Dimensi Lainnya

Dimensi “pengurangan prasangka” dari pendidikan multikultural berfokus pada karakteristik


sikap rasial anak dan strategi yang bisa digunakan untuk membantu siswa mengembangkan
sikap rasial dan etnis yang lebih positif. Sejak tahun 1960an, ilmuwan sosial telah
mempelajari banyak hal mengenai bagaimana sikap rasial pada anak berkembang dan tentang
ccara-cara bagaimana pendidik bisa merancang intervensi untuk membantu anak memiliki
lebih banyak perasaan positif terhada kelompok ras lain.

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sejak umur 4 tahun, anak Afrika Amerika,
kulit putih, dan Meksiko Amerika telah menyadari perbedaan ras dan menunjukkan
preferensi ras yang lebih mengunggulkan kulit putih. Siswa dapat dibantu untuk
mengembangkan sikap positif jika citra realistis kelompok ras dan etnis yang ditunjukkan
dalam materi ajar bisa disajikan secara konsisten, alami, dan terintegrasi. Melibatkan siswa
dalam pengalaman nyata dan aktivitas belajar bersama dengan siswa dari kelompok ras lain
juga akan sangat membantu dalam mengembangkan sikap dan perilaku rasial yang lebih
positif.

Pedagogi kesetaraan terwujud ketika pengajar menggunakan teknik dan metode mengajar
yang memfasilitasi pencapaian akademik siswa dari berbagai ras dan etnis dan seluruh kelas
sosial. Menggunakan teknik mengajar yang memungkinkan pengalaman belajar dan gaya
budaya yang berbeda dari tiap kelompok dan menggunakan teknik belajar kooperatif adalah
beberapa cara yang terbukti efektif ketika mengajar siswa dari kelompok ras, etnis, dan
bahasa yang berbeda.

Budaya sekolah dan sosial yang memberdayakan membutuhkan adanya restrukturisasi


budaya dan organisasi sekolah sehingga siswa dari berbagai kelompok ras, etnis, dan kelas
sosial dapat mengalami kesetaraan pendidikan dan rasa diberdayakan. Dimensi pendidikan
multikultural yang satu ini melibatkan konseptualisasi sekolah sebagai satu unit perubahan
dan perubahan struktur dalam lingkungan sekolah. Penggunaan alat tes yang adil untuk setiap
kelompok, dan penciptaan lingkungan yang membuat setiap staf sekolah percaya bahwa
setiap sekolah dapat belajar dengan baik merupakan tujuan yang harus dipenuhi bagi sekolah-
sekolah yang mengharapkan adanya budaya sekolah dan struktur sosial yang memberdayakan
dan mampu memajukan kehidupan keseluruhan siswa yang beragam.

Pendidikan Multikultural dan Masa Depan

Pencapaian pendidikan multikultural sejak akhir 1960an dan awal 1970an sangatlah patut
dicatat dan diakui. Mereka yang telah membentuk pergerakan selama dekade terakhir telah
mampu mencapai kesepakatan yang lebih luas tentang tujuan dan pendekatan pendidikan
multikultural. Sebagian besar multikulturalis sepakat bahwa tujuan utama pendidikan
multikultural adalah untuk merestrukturisasi sekolah sehingga setiap siswa dapat memiliki
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi dengan baik
dalam negara dan dunia yang terdiri dari beragam ras dan etnis. Seperti halnya ilmu
multidisiplin lainnya, debat mengenai bidang ini terus berlanjut. Debat ini terjadi konsisten
dengan falsafah bidang ini sendiri yang menghargai demokrasi dan perbedaan, sehingga
debat-debat yang terjadi bisa dikatakan sebagai sumber energi.

Pendidikan multikultural dilaksanakan pada sekolah, kampus, dan universitas di seluruh


negeri. Bukti keberhasilan dan seberapa penting pendidikan multikultural sekarang tercermin
dari banyaknya jumlah konferensi nasional, lokakarya tingkat sekolah, dan kursus guru di
bidang pendidikan multikultural. Walaupun proses integrasi konten berlangsung lambat dan
disertai banyak perdebatan, konten multikultural semakin menjadi bagian dari program inti di
sekolah dan kampus. Penerbit buku juga mulai memasukkan konten etnis dan budaya ke
dalam buku-buku mereka, semakin hari semakin banyak.

Terlepas dari keberhasilan yang mengesankan, pendidikan multikultural menghadapi


tantangan serius seiring perjalanan memasuki abad baru. Salah satu tantangan paling serius
adalah serangan yang terorganisasi dan didanai oleh baik oleh pihak tradisionalis barat yang
takut pendidikan multikultural akan mengubah Amerika dan membuat mereka kehilangan
kekuasaan. Ironisnya, keberhasilan yang dialami pendidikan multikultural selama dekade
terakhir jugalah yang memprovokasi serangan-serangan tersebut.

Debat seputar kanon dan serangan terorganisir terhadap pendidikan multikultural


merefleksikan krisis identitas dalam masyarakat Amerika. Identitas Amerika sedang dibentuk
kembali, seiring dengan kelompok yang terpinggirkan mulai ikut berpartisipasi di arus utama
dan mulai menuntut agar visi mereka turut direfleksikan dalam Amerika yang baru. Di masa
depan, pembagian kekuasaan dan transformasi identitas yang dibutuhkan agar tercapai
kedamaian rasial akan lebih diharapkan dibanding rasa takut. Hanya dengan cara ini bangsa
dan negara bisa diselamatkan.
Bab 13

Pendekatan dalam Reformasi Kurikulum Multikultural

Saya telah mengidentifikasi empat pendekatan dalam integrasi konten etnik dan multikultural
ke dalam kurikulum yang telah berkembang sejak 1960an. Pendekatan kontribusi (level 1)
adalah salah satu yang paling sering digunakan dan secara luas digunakan pada fase pertama
dari pergerakan etnis. Pendekatan ini juga digunakan ketika suatu sekolah atau distrik mulai
melakukan integrasi konten etnis dan multikultural ke dalam kurikulum utama.

Pendekatan kontribusi dikarakteristikkan dengan penyertaan tokoh pahlawan etnis dan


artefak budaya ke dalam kurikulum, dipilih menggunakan kriteria yang mirip dengan
pemilihan tokoh pahlawan dan artefak budaya arus utama. Sehingga, individu seperti Crispus,
Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez
ditambahkan ke dalam kurikulum. Mereka didiskusikan ketika pahlawan arus utama Amerika
seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas Jefferson, Betsey Ross, dan Eleanor
Roosevelt dipelajari di kurikulum inti. Elemen budaya lain seperti makanan, tarian, musik,
dan artefak dari kelompok etnis telah dipelajari, tapi masih sedikit perhatian diarahkan
kepada makna sebenarnya dan arti penting hal-hal tersebut bagi komunitas etnis.

Pendekatan tokoh pahlawan dan hari raya adalah ragam dari pendekatan kontribusi. Dalam
pendekatan ini, konetn etnis dibatasi pada hari, minggu, dan bulan istimewa terkait dengan
perayaan etnis. Hari raya Cinco de Mayo, hari ulang tahun Martin Luther King, dan minggu
sejarah Afrika Amerika adalah contoh hari raya etnis dan minggu yang dirayakan di sekolah.
Selama perayaan ini, guru melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan acara-acara
yang terkait dengan hari raya etnis yang diperingati. Pendekatan kontribusi seringkali
berujung pada pengerdilan makna budaya etnis, pemahaman terhadap karakteristik yang aneh
dan eksotis, dan mendorong terjadinya stereotip dan miskonsepsi.

Pendekatan Aditif

Pendekatan yang penting dalam integrasi konten etnis ke dalam kurikulum adalah
penambahan konten, konsep, tema, dan perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah
struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif seringkali tercapai dengan
penambahan buku, unit belajar, atau program ke dalam kurikulum tanpa mengubahnya secara
substansial. Contoh pendekatan ini misalnya adalah penambahan seperti The Color Purple ke
dalam bagian dari kelas bahasa Inggris abad 20; penggunaan film Miss Jane Pittman dalam
pelajaran tahun 1960an; dan penambahan pelajaran mengenai personil magang keturunan
Jepang Amerika dalam pelajaran mengenai Perang Dunia II dalam kelas sejarah AS.

Pendekatan aditif memungkinkan guru untuk menyertakan konten etnis ke dalam kurikulum
tanpa melakukan restrukturisasi, sebuah proses yang akan menyita banyak waktu berharga,
upaya, pelatihan, dan kajian kembali mengenai kurikulum dan tujuan, hakikat, dan tujuannya.
Pendekatan aditif dapat menjadi langkah pertama dalam upaya reformasi kurikulum
transformatif yang dirancang untuk merestrukturisasi keseluruhan kurikulum dan
mengintegrasikannya dengan konten, perspektif, dan kerangka rujukan etnis.
Bagaimanapun, pendekatan ini memiliki kekurangan yang sama dengan pendekatan
kontribusi. Kekurangan utamanya adalah bahwa seringkali pendekatan ini memberi hasil
yang sekadar berdasar perspektif sejarahwan, penulis, seniman, dan ilmuwan arus utama
karena tidak melibatkan restrukturisasi kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang
dipilih untuk dikaji dipilih berdasarkan pandangan yang mengikuti kriteria dan perspektif
yang berpusat pada arus utama dan Eropa.

Pendekatan Transformatif

Pendekatan transformatif berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif.
Dalam dua pendekatan tersebut, konten etnis ditambahkan ke dalam kurikulum inti tanpa
mengubah asumsi, natur, dan struktur dasar. Tujuan, struktur, dan perspektif dasar dari
kurikulum diubah dalam pendekatan transformatif.

Pendekatan transformatif mengubah asumsi dasar dari kurikulum dan memungkinkan siswa
untuk melihat konsep, isu, tema, dan masalah dari perspektif dan sudut pandang etnis
berbagai etnis. Perspektif arus utama hanyalah satu dari banyak perspektif untuk menelaah
isu, masalah, dan konsep. Tidak bijak juga untuk mencoba memandang isu, konsep, peristiwa
dan masalah dari setiap sudut pandang seluruh kelompok etnis di AS. Sebaliknya, tujuannya
adalah memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu dengan lebih dari satu sudut
pandang, terutama dari sudut pandang etnis yang relevan dengan peristiwa, isu, atau konsep
yang dipelajari.

Isu penting menyangkut kurikulum dalam reformasi kurikulum multikultural bukanlah


penambahan daftar panjang kelompok etnis, tokoh pahlawan, dan kontribusinya, namun
bagaimana memasukkan berbagai perspektif, kerangka rujukan, dan konten dari berbagai
kelompok yang bisa memperluas pemahaman siswa mengenai hakikat, perkembangan, dan
kompleksitas masyarakat AS. Saat siswa mempelajari revolusi dalam koloni Inggris,
perspektif dari revolusionis Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, orang asli Amerika, dan
orang Inggris sangatlah penting untuk mencapai pemahaman menyeluruh mengenai peristiwa
penting dalam sejarah AS ini. Siswa harus mempelajari berbagai makna revolusi ini bagi
setiap kelompok untuk dapat memahami secara utuh.

Ketika mempelajari sejarah AS, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika, penekanan
seharusnya tidak diberikan pada cara-cara setiap kelompok etnis dan budaya berkontribusi
pada masyarakat dan budaya AS. Penekanan harus diberikan pada bagaimana budaya
bersama di AS lahir dari sintesis dan interaksi yang rumit dari berbagai elemen budaya yang
dihasilkan dari beragama kelompok budaya, ras, etnis, dan relijius yang berpadu menjadi
masyarakat AS. Saya menyebut proses ini akulturasi berganda dan berpendapat bahwa
meskipun kalangan Anglo-Saxon protestan adalah kelompok dominan di AS -secara kultural,
politik, dan ekonomi- sangatlah menyesatkan dan tidak akurat untuk menjelaskan budaya dan
masyarakat AS sebagai budaya Anglo-Saxon protestan. Kelompok etnis dan budaya AS lain
telah secara mendalam memengaruhi, membentuk, dan berpartisipasi dalam pengembangan
dan pembentukan masyarakat dan budaya AS. Kalangan Afrika Amerika misalnya, dengan
kuat memengaruhi perkembangan budaya di bagian selatan AS. Salah satu ironi dari
penaklukan adalah bahwa mereka yang menaklukkan seringkali menjadi sangat terpengaruh
oleh budaya yang ditaklukkan.

Konsep akulturasi berganda pada masyarakat dan budaya AS membawa kita pada perspektif
yang memandang peristiwa, literatur, musik, dan seni etnis sebagai bagian integral dari
budaya bersama di AS. Budaya Anglo-Saxon protestan dipandang sebagai salah satu bagian
dari keseluruhan budaya besar. Sehingga, untuk mengajarkan sastra Amerika tanpa
mengikutsertakan karya dari penulis kulit berwarna hanya akan memberikan pandangan
sebagian yang tidak lengkap akan literatur, budaya, dan masyarakat AS.

Pendekatan Aksi Sosial

Pendekatan aksi sosial memiliki semua elemen pendekatan transformatif dengan tambahan
komponen yang menyaratkan siswa untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan
terkait dengan konsep, isu, dan permasalahan yang dipelajari. Tujuan utama dari instruksi
dalam pendekatan ini adalah untuk mendidik siswa dalam kritisisme sosial dan perubahan
sosial dan untuk mengajarkan mereka kemampuan mengambil keputusan. Untuk
memberdayakan siswa dan membantu mereka mencapai kemampuan politik, sekolah harus
membantu siswa untuk menjadi kritisi sosial yang reflektif dan memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari bersekolah adalah untuk
mensosialisasikan siswa sehingga mereka tidak mempertanyakan ideologi, institusi, dan
tindakan-tindakan yang ada dalam masyarakat dan hidup bernegara.

Pendidikan politik di AS secara tradisional telah menyuburkan kepasifan politik dibanding


bersikap aktif. Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial adalah untuk membantu siswa
memiliki pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam
perubahan sosial sehingga etnis dan kelompok ras yang menjadi korban dan dikucilkan bisa
menjadi partisipan penuh dalam masyarakat AS sehingga bangsa ini bisa semakin dekat
dalam mencapai keadaan demokrasi yang dicita-citakan. Untuk bisa berpartisipasi efektif
dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajarkan kritisisme sosial dan dibantu
untuk memahami inkonsistensi antara keadaan yang dicita-citakan dan apa yang terjadi
sebenarnya, apa saja yang harus dilakukan untuk mempersatukan celah ini, dan bagaimana
siswa baik secara individu maupun kelompok dapat memengaruhi sistem sosial dan politik di
masyarakat AS. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah agen perubahan sosial yang
mempromosikan nilai demokrasi dan pemberdayaan siswa.

Pendekatan Kombinasi

Empat pendekatan dalam integrasi konten multikultural ke dalam kurikulum seringkali


dikombinasikan dalam situasi belajar mengajar yang nyata. Satu pendekatan, misalnya
pendekatan kontribusi, bisa digunakan sebagai kendaraan untuk memperkenalkan pendekatan
lain yang lebih menantang seperti pendekatan transformatif dan aksi sosial. Tidaklah realistis
untuk mengharap guru bisa langsung berubah dari kurikulum yang berpusat pada arus utama
ke kurikulum yang berfokus pada pengambilan keputusan dan aksi sosial. Sebaliknya,
pergerakan dari tahap satu sampai berikutnya dalam pengintegrasian konten multikultural
adalah proses yang bertahap dan kumulatif.
Bab 14

Debat Kanon, Konstruksi Ilmu, dan Pendidikan Multikultural

Debat nasional yang memanas dan membagi dua kubu sedang terjadi mengenai pengetahuan
terkait keragaman etnis dan budaya seperti apa yang harus diajar di kurikulum sekolah dan
kampus. Debat ini telah meningkatkan tekanan antar etnis dan membingungkan banyak
pendidik mengenai makna pendidikan multikultural. Setidaknya ada tiga kelompok ilmuwan
berbeda yang berpartisipasi dalam debat kanon ini: tradisionalis Barat, multikulturalis, dan
Afrosentris. Walaupun ada banyak perspektif dan pandangan dalam masing-masing
kelompok, setiap kelompok berbagi beberapa asumsi dan keyakinan penting mengenai
hakikat dari keragaman di AS dan mengenai peran dari institusi pendidikan dalam
masyarakat majemuk

Tradisionalis Barat telah memulai gerakan nasional untuk mempertahankan dominasi


masyarakat Barat dalam kurikulum sekolah dan kampus. Para sarjana ini percaya bahwa
tatanan masyarakat Barat sedang terancam oleh dorongan dari feminis, ilmuwan dari etnis
minoritas, dan multikulturalis lainnya untuk adanya reformasi dan transformasi kurikulum.
Tradisionalis Barat telah membentuk organisasi bernama National Association of Scholar
untuk mempertahankan dominasi tatanan masyarakat Barat dalam kurikulum.

Multikulturalis berkeyakinan bahwa kurikulum sekolah dan kampus memarjinalisasi


pengalaman hidup orang kulit berwarna dan perempuan. Mereka menantang adanya
reformasi kurikulum sehingga sejarah dan budaya kelompok etnis dan perempuan bisa
direfleksikan dengan lebih akurat. Dua organisasi telah dibentuk untuk mengangkat isu
terkait keragaman etnis dan budaya. Teachers for a Democratic Culture mendorong studi
etnis dan perempuan di tingkat universitas. The National Association for Multicultural
Education berfokus pada pendidikan guru dan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.

Kalangan Afrosentris berpegang pada keyakinan bahwa budaya dan sejarah Afrika harus
menjadi pusat kurikulum dalam rangka mendorong siswa Afrika Amerika belajar dan
memahami peran Afrika dalam perkembangan tatanan masyarakat Barat. Banyak dari
kalangan multikulturalis yang bersikap ambivalen terhadap Afrosentrisme, walaupun ada
juga beberapa yang secara terbuka menyatakan menentang. Ini harus dibahas karena
tradisionalis Barat sulit membedakan Afrosentris dan multikulturalis, dan menjelaskan
keduanya sebagai satu kelompok. Di lain pihak, beberapa multikulturalis juga memandang
paham Afrosentris memiliki kesesuaian dengan pendidikan multikultural.

Pengaruh multikulturalis di sekolah dan universitas dalam 20 tahun terakhir terbukti


substansial. Banyak distrik sekolah, departemen pendidikan, distrik sekolah lokal, dan
pengelola pendidikan swasta telah mengembangkan dan menerapkan program pengembangan
pegawai, konferensi, kebijakan, dan kurikulum multikultural. Mata kuliah prasyarat,
program, dan kebijakan multikultural juga telah diterapkan di banyak universitas penelitian
terkemuka seperti University of Califoria, Berkeley, Standford University, The Pennsylvania
State University, dan University of Wisconsin. Keberhasilan multikulturalis dalam
menerapkan gagasan-gagasan mereka ke sekolah dan universitas mungkin menjadi alasan
utama tradisionalis Barat merasa terancam dan menghambat proses reformasi kurikulum.

Debat antara tradisionalis Barat dan multikulturalis adalah hal yang lumrah dalam masyarakat
demokratis. Hanya saja sampai saat ini perdebatan ini hanya menghasilkan interaksi yang
kurang produktif. Kedua kelompok hanya berbicara kepada audiens masing-masing yang
dianggap relevan dengan pandangan mereka. Karena interaksi dan dialog yang kurang
produktif ini, debat ini menjadi sangat terpolarisasi dan para ilmuwan sering tidak menaati
cara yang seharusnya. Pola dari perdebatan ini dikaji dan ditemukan bahwa kedua kubu
hanya menyampaikan pernyataan masing-masing dan memberikan bukti untuk memperkuat
pernyataan tersebut. Debat ini tak jarang terjadi di terbitan-terbitan populer dibanding dalam
khazanah akademik dan ilmiah.

Valuasi dan Konstruksi Ilmu

Dalam bagian ini saya berharap bisa memberi kontribusi positif bagi debat kanon dengan
memberi bukti terhadap klaim bahwa posisi dari baik tradisionalis Barat maupun
multikulturalis mencerminkan nilai, ideologi, posisi politik, dan humanismenya. Setiap posisi
juga menyiratkan pengetahuan seperti apa yang harus diajarkan di kurikulum sekolah dan
universitas. Saya akan memberikan tipologi dari ilmu pengetahuan yang ada dalam
masyarakat dan institusi pendidikan. Tipologi ini dirancang untuk membantu pendidik dan
peneliti mengidentifikasi jenis-jenis pengetahuan yang mencerminkan nilai, asumsi,
perspektif, dan posisi ideologis.

Guru harus membantu siswa untuk memahami setiap jenis pengetahuan. Siswa harus terlibat
dalam debat tentang konstruksi ilmu dan interpretasi yang kontroversial, misalnya apakah
Mesir atau Fenisia yang memengaruhi kebudayaan Yunani. Siswa harus diajarkan untuk
memiliki interpretasi merreka sendiri mengenai masa lalu dan masa sekarang, juga
bagaimana mengidentifikasi posisi, kepentingan, ideologi, dan asumsi mereka. Guru harus
membantu siswa menjadi pemikir kritis yang memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan, dan
komitmen yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam tindakan-tindakan demokratis untuk
membantu bangsa dalam mewujudkan ideologi menjadi kenyataan. Pendidikan multikultural
adalah pendidikan untuk berfungsi secara efektik dalam masyarakat demokratis majemuk.
Membantu siswa mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan
untuk berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kemasyarakatan adalah salah satu tujuan
utamanya.

Saya berpendapat bahwa siswa harus mempelajari kelima jenis pendidikan. Bagaimanapun,
hasil kerja dan falsafah saya sejalan dengan tradisi transformatif dalam kajian etnis dan
pendidikan multikultural. Tradisi ini mengaitkan pengetahuan, komitmen sosial, dan
tindakan. Kurikulum transformatif yang berorientasi pada tindakan, dalam pandangan saya
bisa diterapkan dengan baik ketika siswa mampu mengkaji setiap jenis pengetahuan dalam
ruang belajar yang demokratis di mana mereka bisa menganalisa perspektif dan komitmen
moral mereka secara merdeka.
Karakteristik Pengetahuan

Pengetahuan dalam bagian ini saya artikan sebagai cara seseorang untuk menjelaskan atau
memaknai realitas. American Heritage Dictionary menjelaskan pengetahuan sebagai
“pengenalan, kesadaran, atau pemahaman yang dicapai melalui pengalaman dan
pembelajaran. Keseluruhan dari apa yang telah diterima, ditemukan, dan disimpulkan”. Saya
memiliki konseptualisasi pengetahuan yang luas dan digunakan dengan cara seperti yang
biasa digunakan dalam literatur sosiologi pengetahuan dalam memasukkan ide, nilai, dan
interpretasi. Seperti yang diungkapkan teoris posmodern, pengetahuan dibangun oleh
masyarakat dan memncerminkan kepentingan, nilai, dan tindakan manusia. Walaupun ada
banyak faktor kompleks yang memengaruhi pengetahuan yang dibuat oleh individu atau
kelompok, misalnya keaktualan peristiwa, pengetahuan yang dibuat manusia sangat
dipengaruhi oleh pemaknaan mereka terhadap pengalaman dan posisi mereka sebagai bagian
dari sistem dan struktur sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat.

Dalam tradisi empiris Barat, gagasan yang ada dalam setiap disiplin ilmu adalah formulasi
pengetahuan yang bebas dari pengaruh karakteristik personal atau budaya ilmuwannya.
Bagaimanapun, seperti yang dikemukakan teoris kritis dan posmodern, faktor personal,
kultural, dan sosial memengaruhi formulasi pengetahuan bahkan ketika obyektifitas
pengetahuan adalah haluan ilmunya. Seringkali para ilmuwan sendiri tidak menyadari
bagaimana pengalaman dan posisi pribadi mereka dalam masyarakat memengaruhi ilmu
pengetahuan yang mereka hasilkan. Kebanyakan sejarahwan arus utama tidak menyadari
bagaimana bias kedaerahan dan budaya mereka memengaruhi interpretasi mereka atas
periode Rekonstruksi sampai W. E. B. Dubois menerbitkan hasil penelitian yang menantang
interpretasi yang sudah diterima secara mapan mengenai periode sejarah tersebut.

Posisionalitas dan Konstruksi Ilmu

Posisionalitas adalah konsep penting yang lahir dari ilmuwan feminis. Tetreault (1993)
menulis, “Posisionalitas berarti aspek penting dari identitas kita, misalnya gender, ras, kelas,
umur... adalah penanda dari posisi relasional dibanding kualitas esensial. Dampak dan
implikasinya berubah sesuai konteks. Belakangan, pemikir feminis menerima pengetahuan
sebagai sahih apabila itu diakui oleh seseorang dalam posisinya di berbagai konteks, posisi
yang ditentukan oleh gender, ras, kelas, dan variabel lainnya”.

Posisionalitas mengungkap pentingnya mengidentifikasi posisi dan kerangka rujukan penulis


atau peneliti dalam menyajikan data, interpretasi, analisis, dan konstruksi. Kebutuhan agar
peneliti dan ilmuwan untuk mengidentifikasi posisi ideologis dan asumsi normatif dalam
karya mereka – sesuatu yang sudah dilakukan oleh ilmuwan feminis dan studi etnis –
berlawanan dengan paradigma empiris yang telah mendominasi ilmu pengetahuan penelitian
di AS.

Asumsi dalam paradigma empiris Barat adalah bahwa pengetahuan diproduksi dalam
keadaan netral dan obyektif dan bahwa prinsipnya bersifat universal. Dampak dari nilai,
kerangka rujukan, dan posisi normatif peneliti dan ilmuwan jarang didiskusikan di dalam
paradigma empiris tradisional yang mendominasi keilmuwan dan pengajaran di kampus-
kampus AS dalam satu abad ini. Bagaimanapun, ilmuwan seperti Myrdal (1944) dan Clark
(1965), terkait dengan pergerakan kajian feminis dan etnis, menuliskan tentang pentingnya
untuk ilmuwan mengenali dan memperjelas posisi normatif dan valuasi dan menjadi
“pengamat yang terlibat”. Myrdal menyatakan bahwa valuasi bukan hanya sesuatu yang
ditempelkan pada penelitian tapi menjadi bagian yang utuh darinya. Dia menulis, “tidak ada
alat untuk meniadakan bias dalam ilmu sosial, sebaliknya kita bisa menghadapi valuasi yang
ada dan menjelaskannya sebagai sesuatu yang dinyatakan secara eksplisit, spesifik, dan
tegas”.

Teoris posmodern dan kritis seperti Habermas (1971) dan Giroux (1983), teoris feminis
posmodern seperti Farganis (1986), Code (1991), dan S. Harding (1991), telah
mengembangkan kritik penting terhadap pengetahuan empiris. Mereka berpendapat bahwa
tidak seperti klaim yang ada, ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai tapi mengandung
kepentingan manusia dan asumsi normatif yang harus dikenali, didiskusikan, dan dikaji. Code
(1991), seorang epistemolgis feminis, menyatakan bahwa pengetahuan akademik bersikap
subyektif dan obyektif secara bersamaan dan kedau aspek harus dikenali dan didiskusikan.
Code mengemukakan bahwa kita harus menanyakan pernyataan seperti ini, “Dari
subyektifitas manakah obyektifitas yang ada sekarang berkembang? Pendirian siapa, nilai
siapa yang direpresentasikan?”. Dia menulis, “inti dari pernyataan ini adalah untuk
mengetahui bagaimana kondisi subyektif dan obyektif secara bersamaan menghasilkan
pengetahuan, nilai, dan epistemologi. Tidak ada maksud untuk menolak obyektifitas atau
menjunjung subyektifitas. Pengetahuan tidak lah bebas nilai ataupun netral, proses
penghasilan pengetahuan itu sendiri sangat sarat nilai dan nilai-nilai ini terbuka untuk
dievaluasi.”

Dalam bukunya, What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge,
Code (1991) mengangkat satu pertanyaan, “Apakah jenis kelamin dari pemilik pengetahuan
adalah sesuatu yang siginifikan secara epistemologi?”. Dia menjawab pertanyaan ini secara
afirmatif sesuai dengan bagaimana setiap gender memengaruhi bagaimana pengetahuan
dibantuk, dimaknai, dan diresmikan dalam masyarakat AS. Pengalaman etnis dan kultural
pemilik pengetahuan juga signifikan secara epistemologi karena faktor-faktor ini mengaruhi
konstruksi, penggunaan, dan pemaknaan pengetahuan di AS.

Ilmuwan empiris telah dibatasi oleh asumsi dan bias yang tersirat di dalam aliran tersebut.
Bagaimanapun, asumsi dan bias ini jarang dikenali oleh ilmuwan dan peneliti itu sendiri dan
para pengguna karya mereka seperti ilmuwan lain, profesor, guru, dan khalayak umum.
Kurangnya pengenalan dan identifikasi dari bias, asumsi, perspektif, dan sudut pandang ini
telah mengorbankan masyarakat kulit berwarna seperti Afrika Amerika dan India Amerika
karena stereotip dan miskonsepsi yang terus berlangsung dalam literatur sejarah dan ilmu
sosial.

Gordon, Miller, dan Rollock (1990) menyebut bias yang menghasilkan gambaran negatif
terhadap kelompok minoritas oleh ilmuwan sosial arus utama sebagai “bias komunisentris”.
Mereka menunjukkan bahwa ilmuwa sosial arus utama seringkali memandang keragaman
sebagai gangguan dan perbedaan sebagai kerugian. Salah satu hasil penting dari interpretasi
revisionis dan transformatif yang telah dihasilkan oleh ilmuwan yang mengerjakan kajian
etnis dan perempuan adalah bahwa banyak miskonsepsi dan kebenaran parsial mengenai
perempuan dan kelompok etnis telah digunakan dalam sudut pandang yang berbeda dan lebih
utuh.

Sudut pandang yang lebih utuh ini kemudian menghasilkan perkiraan yang meleset dari apa
yang sebenarnya terjadi. Dalam esainya yang penting dan berpengaruh, Merton (1972)
menulis bahwa kedua perspektif baik “orang dalam” maupun “orang luar” dibutuhkan untuk
memungkinkan ilmu sosial mendapatkan pandangan yang utuh mengenai realitas sosial.
Anna Julia Cooper, tokoh pendidikan Afrika Amerika, memberi pandangan yang mirip
dengan Merton ketika Ia menulis tentang bagaimana perspektif perempuan memperluas
pandangan kita, “Dunia berjalan dengan terhuyung-huyng karena terjerat oleh keraguan
manusia dengan satu mata, sekarang penutup satu mata itu telah terbuka dan seluruh tubuh
dipenuhi dengan cahaya. Kini dia melihat lingkaran penuh yang tadinya dikira hanya satu
potongan”.

Tipologi Pengetahuan

Penjabaran jenis-jenis pengetahuan akan menolong guru dan ahli kurikulum untuk
mengidentifikasi perspektif dan konten yang dibutuhkan untuk membuat kurikulum yang
multikultural. Setiap jenis pengetahuan yang dijelaskan mencerminkan arah, perspektif,
pengalaman, tujuan, dan kepenting manusia yang terkait. Mengajarkan siswa bermacam-
macam pengetahuan akan membantu mereka untuk memiliki pemahaman yang lebih baik
mengenai perspektif akan perbedaan kelompok rasial, etnis, dan budaya sebagaimana
mengembangkan versi dan interpretasi masing-masing mereka terhadap isu dan peristiwa.

Saya mengidentifikasi dan menjelaskan lima jenis pengetahuan (1) pengetahuan


personal/kultural, (2) pengetahuan populer, (3) pengetahuan akademik arus utama, (4)
pengetahuan akademik transformatif, dan (5) pengetahuan sekolah. Ini adalah tipologi ideal
menurut pendekatan Weberian. Kelima kategori memperkirakan tapi tidak menjelaskan
realitas dalam kompleksitas keseluruhannya. Kategori yang ada menjadi alat konseptual yang
berguna dalam mengkaji mengenai pengetahuan dan merancang pengajaran multikultural.
Sebagai contoh, walaupun kategori-kategori yang ada bisa dibedakan secara konseptual, pada
kenyataannya mereka saling tumpang tindih dan berkaitan secara dinamis.

Sejak tahun 1960an, temuan-temuan dan pencerahan dari pengetahuan akademik tranformatif
telah dimasukkan menjadi bagian pengetahuan dan keilmuwan akademik arus utama. Secara
turun temurun, siswa telah diajarkan di sekolah dan universitas bahwa daratan yang kelak
menjadi Amerika Utara adalah alam liar yang dihuni sedikit orang ketika pendatang Eropa
tiba di abad ke enam belas dan bahwa orang asli Amerika hanya memberi kontribusi kecil
bagi tatanan masyarakat Amerika (pengetahuan akademik arus utama). Beberapa temuan dan
pengetahuan akademik transformatif yang menantang konsepsi ini telah memengaruhi
pengetahuan akademik arus utama dan telah dimasukkan ke dalam buku pelajaran kampus
dan sekolah. Pada akhirnya, hubungan antara kelima kategori pengetahuan ini bersifat
dinamis dan interaktif.
Jenis-Jenis Pengetahuan

Pengetahuan Personal dan Kultural

Konsep, penjelasan, dan interpretasi yang didapat siswa dari pengalaman di rumah, keluarga,
dan komunitas membentuk pengetahuan personal dan kultural. Asumsi, perspektif, dan
pencerahan-pencerahan yang didapat siswa dari pengalaman di rumah dan komunitas
digunakan sebagai saringan dalam memandang dan memaknai pengetahuan dan pengalaman
yang mereka hadapi di sekolah dan institusi lain dalam masyarakat yang lebih luas.

Penelitian dan teori oleh Fordham dan Ogbu (1986) mengindikasikan bahwa siswa Afrika
Amerika ekonomi rendah seringkali mengalami kesulitan akademis di sekolah karena ada
konflik antara pengetahuan budaya yang berasal dari komunitas dengan pengetahuan, norma,
dan ekspekstasi di sekolah. Fordham dan Ogbu juga menyatakan bahwa budaya siswa Afrika
Amerika ekonomi rendah berlawanan dengan budaya sekolah. Para siswa ini percaya bahwa
jika mereka pintar di sekolah maka akan merusak norma yang mereka miliki dan rawan untuk
bertingkah seperti kulit putih. Fordham (1988, 1991) mengemukakan bahwa siswa Afrika
Amerika yang berprestasi biasanya menyelesaikan konflik ini dengan cara menjadi raceless
atau tidak menjalankan budaya.

Delpit (1988) menyatakan bahwa siswa Afrika Amerika tidak begitu baik dalam mengenal
budaya sekolah, terutama mengenai hubungan kekuasaan. Mereka seringkali mengalami
masalah akademis dan perilaku karena gagal dalam mengikuti norma, aturan, dan ekspektasi
yang ada. Dia merekomendasikan agar guru membantu siswa Afrika Amerika mempelajari
aturan sekolah dengan cara mengajarkannnya secara eksplisit kepada siswa. Pengetahuan
kultural yang dibawa siswa Afrika Amerika, Latin, dan India Amerika ke sekolah berlawanan
dengan norma dan nilai di sekolah, dengan pengetahuan di sekolah, dan dengan cara-cara
guru memaknai dan mengajar. Pengetahuan budaya siswa dan pengetahuan sekolah
seringkali berlawanan dalam variabel-variabel yang terkait dengan cara-cara individu
berhubungan dengan kelompoknya, gaya komunikasi normatif dan interaksi, dan perspektif
terhadap hakikat dari sejarah AS.

Pengetahuan personal dan kultural menjadi problematis ketika ia tidak sejalan dengan cara-
cara ilmiah dalam memvalidasi pengetahuan, berlawanan dengan budaya sekolah, atau tidak
sepaham dengan asumsi dan pandangan utama dari pengetahuan akademik arus utama.
Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain dipelajari siswa di rumah atau komunitasnya
yang berisi miskonsepsi, stereotip, dan kebenaran yang tidak utuh. Kebanyakan siswa di AS
bersosialisasi dalam komunitas yang tersegregasi menurut ras, etnis, dan kelas sosial.
Hasilnya, kebanyakan anak muda Amerika memiliki sedikit sekali kesempatan untuk
mempelajari langsung budaya dari orang-orang yang berbeda ras, etnis, kultur, agama, dan
kelas sosial.

Tantangan yang dihadapi guru adalah bagaimana membuat instruksi yang efektif dengan
memanfaatkan pengetahuan personal dan kultural siswa sambil dalam waktu bersamaan
membantu mereka keluar dari batasan-batasan budaya mereka sendiri. Walaupun sekolah
harus mengenali, memvalidasi, dan memanfaatkan pengetahuan personal dan kultural siswa
dalam instruksi yang ada, tujuan penting dari pendidikan adalah untuk membebaskan siswa
dari belenggu etnis dan budaya mereka dan kemudian mampu melintasi batas-batas tersebut
dengan merdeka.

Di masa lalu, sekolah memberi sedikit sekali perhatian terhadap pengetahuan personal dan
kultural siswa dan hanya berkonsentrasi dalam mengajarkan pengetahuan sekolah. Praktik ini
memberi hasil yang berbeda-beda bagi masing kelompok siswa kelas menengah kulit putih,
siswa miskin, dan kebanyakan siswa Afrika Amerika dan Latin. Karena pengetahuan sekolah
lebih sejalan dengan pengalaman kultural kebanyakan siswa kelas menengah kulit putih
dibanding kelompok siswa yang lain, siswa kulit putih dibanding kelompok siswa yang lain
kemudian menganggap sekolah secara umum sebagai lingkungan yang nyaman. Banyak
penulis telah menjabarkan bagaimana bagi siswa Afrika Amerika, India Amerika, dan Latin
memandang sekolah sebagai lingkungan yang asing dan tidak sejalan dengan pengalaman
kultural, harapan, cita-cita, dan pergumulan mereka.

Sangat penting bagi guru untuk sadar terhadap pengetahuan personal dan kultural siswa
ketika merancang kurikulum di sekolah yang semakin multikultural di masa kini. Guru bisa
memanfaatkan pengetahuan personal kultural siswa sebagai alat untuk memotivasi siswa dan
dasar dalam mengajar pengetahuan sekolah. Ketika mengajarkan tentang Pergerakan ke Barat
kepada siswa dari suku Sioux misalnya, guru bisa meminta mereka untuk menulis pandangan
mereka tentang Pergerakan ke Barat, mengaitkan cerita keluarga tentang kedatangan orang
kulit putih ke tanah air orang Sioux, dan mewawancarai generasi kakek nenek mengenai
persepsi mereka ketika orang kulit putih menduduki tanah orang Amerika asli. Ketika guru
memulai bagian pelajaran mengenai Pergerakan ke Barat dengan pengetahuan personal
kultural siswa, mereka bisa meningkatkan motivasi siswa sekaligus memperdalam
pemahaman mengenai apa yang ditulis di buku pelajaran.

Pengetahuan Populer

Pengetahuan populer terdiri dari fakta, interpretasi, dan keyakinan yang dibangun melalui
televisi, film, video, rekaman, dan bentuk media massa lain. Banyak prinsip dari pengetahuan
populer disajikan secara halus dibanding terang-terangan. Beberapa contoh pernyataan yang
membentuk tema-tema penting dalam pengetahuan populer antara lain adalah: (1) AS adalah
negara adikuasa dengan kesempatan tidak terbatas bagi setiap individu yang ingin mencari
peluang, (2) Untuk berhasil di AS, seseorang hanya perlu bekerja keras. Mimpi bisa
diwujudkan di AS dengan kerja keras dan melampaui batas, (3) Sebagai tanah penuh peluang
untuk semua orang, AS adalah negara yang berkesatuan, dan ideologi kemerdekaan dan
kesetaraan dimiliki oleh semua orang.

Kebanyakan gagasan-gagasan di budaya populer AS diketahui secara luas dan ditanamkan


dalam masyarakat AS. Bagaimanapun, mereka jarang diartikulasikan dengan baik.
Sebaliknya, mereka disajikan dalam media dan bentuk-bentuk lain seperti cerita, anekdot,
berita, dan interpretasi dari peristiwa terkini.

Film hiburan komersial mencerminkan dan menyebarluaskan pengetahuan populer. Dalam


mempersiapkan bagian ini, saya menonton sebuah film penting dan berpengaruh yang
disutradarai oleh John Ford dan diterbitkan oleh MGM di 1962, How the West Was Won.
Saya memilih film ini untuk diulas karena pendudukan di Barat adalah tema utama dalam
budaya dan masyarakat AS di mana ada banyak citra, keyakinan, mitos dan miskonsepsi yang
populer. Dalam menonton film ini, saya secara khusus tertarik pada citra yang ditampilkan
tentang pendudukan di Barat, tentang orang-orang yang sudah lebih dulu ada di sana, dan
tentang mereka yang ke Barat untuk mencari peluang baru.

Ford menggunakan keluarga Prescott, keluarga kulit putih yang bergerak dari Missouri ke
California, untuk menceritakan kisahnya. Film ini menceritakan kisah tiga generasi keluarga
ini. Ia berfokus pada perjuangan keluarga ini untuk menetap di Barat. Orang asli Amerika,
Afrika Amerika, dan Meksiko hampir tidak terlihat dalam film ini. Orang Amerika asli
muncul dalam cerita kita mereka menyerang keluarga Presscot dalam perjalanan mereka.
Orang Meksiko muncul sebagai bandit yang merampok kereta dan kemudian dibunuh.
Beberapa orang Afrika Amerika muncul di latar belakang ketika sedang mendayung kapal.
Dalam beberapa bagian film ini orang asli Amerika digambarkan sebagai orang liar dan
pengacau.

How the West Was Won adalah mahakarya dalam kebudayaan populer AS. Ia tidak hanya
menggambarkan beberapa tema utama dalam budaya Amerika dalam penaklukan barat; ia
juga mendorong dan menyebarluaskan sikap dominasi masyarakat terhadap kelompok etnis
dan memberi kesan sejarah bahwa daerah barat ditaklukkan oleh orang-orang pekerja keras
pecinta kemerdekaan yang ingin menciptakan kemerdekaan bagi setiap orang. Narator film
ini menyatakan di akhir film bahwa, “[Pergerakan ke Barat] membuat orang-orang merdeka
untuk bermimpi, berperilaku, dan membentuk takdir mereka sendiri”.

Pengetahuan Akademik Arus Utama

Pengetahuan akademik arus utama terdiri atas konsep, paradigma, teori, dan penjelasan yang
membentuk pengetahuan tradisional dan mapan dalam ilmu sosial dan perilaku. Salah satu
prinsip penting dalam paradigma akademik arus utama adalah bahwa ada seperangkat
kebenaran obyektif yang dapat dicapai melalui prosedur penelitian yang giat dan obyektif dan
tidak dipengaruhi oleh kepentingan, nilai, dan perspektif manusia. Pengetahuan empiris ini,
yang tidak dipengaruhi oleh nilai dan kepentingan manusia, membentuk suatu kebenaran
obyektif yang kemudian membentuk inti dari kurikulum sekolah dan universitas. Banyak dari
pengetahuan obyektif ini dihasilkan di Barat, tapi dianggap universal dalam hakikat dan
penerapannya.

Pengetahuan akademik arus utama adalah pengetahuan yang diklaim para kritikus
multikultural terancam oleh penambahan konten mengenai perempuan dan etnis minoritas ke
dalam kurikulum sekolah dan universitas. Pengetahuan ini mencerminkan kanon berorientasi
Barat yang mapan dan sepanjang sejarah telah mendominasi penelitian dan pengajaran di
universitas seluruh AS. Pengetahuan akademik arus utama terdiri atas teori dan interpretasi
yang telah terinternalisasi dan diterima oleh sebagain besar peneliti di universitas, masyarakat
akademis, dan organisasi seperti American Historical Association, American Sociological
Association, American Psychological Association, dan National Academy of Sciences.
Sangatlah penting untuk memberi pemahaman bahwa semakin banyak ilmuwan di universitas
yang merupakan teoris-teoris kritis dan posmodernis yang mempertanyakan paradigma
empiris yang mendominasi ilmu pengetahuan Barat. Banyak dari individu-individu ini yang
merupakan anggota organisasi akademis nasional seperti American Historical Association
dan American Sociological Association. Dalam kebanyakan organisasi profesional ini,
ilmuwan posmodern –terdiri dari banyak ilmuwan kulit berwarna dan feminis- telah
membentuk kaukus dan kelompok kepentingan di dalam organisasi-organisasi profesional
arus utama tersebut.

Tidak ada klaim di sini bahwa semua ilmuwan akademik arus utama memiliki keyakinan
yang seragam, melainkan ada kanon, paradigma, dan teori dominan yang diterima oleh
komunitas ilmuwan dan peneliti akademik arus utama. Kanon dan paradigma yang sudah
mapan ini seringkali diuji dalam komunitas akademik arus utama itu sendiri. Bagaimanapun,
tantangan paling serius seringkali muncul dari luar organisasi, misalnya ilmuwan dari
komunitas akademik transformatif.

Pengetahuan akademik arus utama, seperti halnya bentuk pengetahuan lain yang didiskusikan
dalam bagian ini tidaklah statis, namun dinamis, kompleks, dan terus berubah. Tantangan
terhadap kanon dan paradigma dominan dalam pengetahuan akademik arus utama datang dari
dalam dan luar. Tantangan-tantangan ini menarah pada perubahan, reinterpretasi, debat,
perbedaan pendapat, dan lebih jauh lagi perubahan paradigma, teori-teori dan interpretasi
baru. Kuhn (1970) menyatakan bahwa revolusi ilmiah terjadi ketika paradigma baru lahir dan
menggantikan yang lama. Biasanya yang terjadi dalam ilmu sosial dan pendidikan adalah
paradigma-paradigma tersebut ada secara bersamaan, walaupun ada yang lebih berpengaruh
dari yang lain dalam suatu waktu tertentu.

Kita bisa mengkaji perlakuan terhadap perbudakan dalam komunitas akademik arus utama
atau perlakuan terhadap orang asli Amerika, untuk mengidentifikasi bagaimana pengetahuan
akademik arus utama telah berubah dalam kurun waktu akhir abad sembilan belas dan awal
abad dua puluh. Buku berpengaruh yang ditulis Ulrich B. Phillips, American Negro Slavery
yang diterbitkan tahun 1918 mendominasi bagaimana interpretasi terhadap perbudakan atas
kaum kulit hitam sampai kemudian karya tersebut ditantang oleh peneliti dari tahun 1950an.
Phillips adalah tokoh yang dihormati di Selatan dan dalam bidang perbudakan. Bukunya,
yang menjadi karya klasik, pada dasarnya adalah sebuah permintaan maaf bagi pemilik budak
di Selatan. Paradigma baru mengenai perbudakan dikembangkan di tahun 1970 yang
didasarkan oleh sudut pandang para budak mengenai pengalaman mereka.

Dalam kurun akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh, orang asli Amerika
digambarkan dalam pengetahuan akademik arus utama hanya dalam dua cara, jika tidak
bangsawan maka orang liar. Beberapa anggapan yang kemudian mendarah daging dalam
pengetahuan akademik arus utama adalah bahwa Columbus menemukan benua Amerika dan
bahwa Amerika hanyalah daratan yang dihuni sedikit orang ketika orang Eropa tiba di sana.
Frederick Jackson Turner (1984/1989) berpendapat bahwa daratan dunia baru, yang dia
anggap sebagai hutan belantara, adalah sumber utama dari demokrasi Amerika. Walaupun
tesis Turner sekarang dikritik keras oleh sejarahwan revisionis, uraiannya tersebut
membentuk konsepsi Barat yang kini sangat berpengaruh dalam keilmuwan arus utama di
Amerika, dalam budaya populer, dan di buku pelajaran. Konsepsi Barat yang Ia gambarkan
masih berpengaruh sampai sekarang dalam kurikulum sekolah dan buku pelajaran.

Gagasan-gagasan keliru yang kini juga semakin kuat dalam pengetahuan akademik arus
utama: para budak hidup bahagia dan puas; kebanyakan gagasan yang menjadi bagian dari
masyarakat Amerika datang dari Barat Eropa; dan bahwa sejarah AS terus berkembang dan
semakin demokratis. Budak-budak Afrika adalah harga yang harus dibayar untuk mengubah
Amerika dari hutan belantara menjadi masyarakat demokratis industrial. Orang asli Amerika
harus dikristenisasikan dan dipindahkan ke pemukiman reservasi agar kemajuan negara bisa
terwujud.

Pengetahuan Akademik Transformatif

Pengetahuan akademik transformatif terdiri dari konsep, paradigma, tema, dan penjelasan
yang menantang pengetahuan akademik arus utama dan memperluas kanon sejarah dan
literatur yang ada. Pengetahuan akademik transformatif menantang beberapa asumsi kunci
yang dibuat ilmuwan arus utama mengenai hakikat dari pengetahuan. Pengetahuan akademik
transformatif dan arus utama berdasar pada asumsi epistemologi yang berbeda mengenai
hakikat pendidikan, mengenai pengaruh kepentingan manusia dan nilai-nilainya dalam
konstruksi ilmu, dan mengenai tujuan dari pengetahuan.

Salah satu prinsip pensing dalam pengetahuan akademik arus utama adalah bahwa ia bersifat
netral, obyektif, dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan dan nilai manusia. Pengetahuan
akademik transformatif mencerminkan asumsi dan tujuan posmodern mengenai hakikat dan
tujuan dari pengetahuan. Ilmuwan akademik transformatif berasumsi bahwa pengetahuan
tidak netral tapi dipengaruhi oleh kepentingan manusia, dan bahwa pengetahuan
mencerminkan hubungan kekuasaan dan sosial dalam masyarakat, dan bahwa tujuan penting
dari konstruksi pengetahuan adalah untuk memajukan masyarakat. King dan Mitchell
menulis, “Seperti pendekatan kritis berorientasi praksis lain, metode afrosentris berupaya
memungkinkan manusia untuk memahami realitas sosial untuk bisa mengubahnya. Tapi ada
juga amanat tambahannya yaitu untuk mentransformasi etos dasar masyarakat”.

Pernyataan-pernyataan berikut mencerminkan beberapa gagasan dan konsep utama dalam


pengetahuan akademik transformatif: Columbus tidak menemukan Amerika. Orang asli
Amerika (biasanya disebut Indian) telah hidup di daratan ini selama 40.000 tahun sampai saat
orang Eropa tiba. Konsep seperti “Penemuan Bangsa Eropa atas Amerika” dan “Pergerakan
ke Barat” harus di rekonseptualisasi dan dilihat dari perspektif kelompok budaya dan etnis
yang berbeda. Tanah air bangsa Lakota Sioux bagi mereka sendiri bukanlah sekadar “Barat”,
itu adalah pusat dunia mereka. Itu bukanlah barat bagi orang Alaska, melainkan selatan. Itu
barat bagi orang Jepang, dan utara bagi orang yang tingga di Meksiko. Sejarah Amerika
Serikat belum menjadi kemajuan yang berkelanjutan menuju gagasan idealnya. Melainkan,
sejarah bangsa telah dicirikan oleh perjalanan berputar-putar untuk mencapai demokrasi, dan
oleh konflik, perjuangan, kekerasan, dan pengucilan. Tantangan terbesar yang dihadapi
bangsa ini adalah bagaimana untuk mewujudukan gagasan demokrasi yang dicita-citakan.
Pengetahuan akademik transformatif memiliki sejarah panjang di AS. Di tahun 1882 dan
1883, George Washington Williams menerbitkan dalam dua volume, sejarah komprehensif
pertama mengenai Afrika Amerika di AS, A History of the Negro Race in America From
1619 to 1880. Williams, seperti halnya ilmuwan Afrika Amerika setelahnya, memutuskan
untuk meneliti dan menulis mengenai pengalaman kaum kulit hitam karena sikap tak acuh
sejarahwan arus utama dan ilmuwan sosial dan karena adanya stereotip dan miskonsepsi
mengenai Afrika Amerika yang ditampilkan dalam keilmuwan arus utama.

W. E. B. Dubois (1868-1963) mungkin adalah ilmuwan Afrika Amerika terbaik dalam


sejarah AS. Karya yang diterbitkannya terdiri dari 38 volume. Dubois mendedikasikan
karirnya yang panjang dan cemerlang untuk memformulasikan data, konsep, dan paradigma
baru yang bisa digunakan untuk reinterpretasi pengalaman kaum kulit hitam dan
menungkapkan peran kaum Afrika Amerika dalam pengembangan masyarakat AS. Karya
pentingnya antara lain The Suppression of the African Slave Trade to the United States of
America, 1638-1870, volume pertama dari Kajian Sejarah Harvard (Dubois, 1896/1969).
Bukunya yang paling sering didiskusikan barangkali adalah Black Reconstruction in
America: An Essay Toward a History of the Part Which Black Folk Played in Attempt to
Reconstruct Democracy in America, 1860-1880, diterbitkan tahun 1935. Dalam buku ini,
Dubois (1035-1962) menantang interpretasi yang sudah mapan dan diterima mengenai
Rekonstruksi dan menekankan pencapaian dari pemerintah dan regulator Rekonstruksi,
terutama pendirian sekolah negeri.

Carter G. Woodson (1875-1950), sejarahwan dan pendidik yang mendirikan Association for
the Study of Negro Life and History dan Journal of Negro History, juga menantang
paradigma mapan mengenai perlakuan terhadap Afrika Amerika dalam karya tulis penting
seperti The Mis-education of the Negro, diterbitkan tahun 1933. Woodson dan Wesley (1922)
menerbitkan buku pelajaran kampus yang sangat sukses yang menjelaskan kontribusi yang
diberikan kaum Afrika Amerika bagi kehidupan orang Amerika, The Negro in Our Histrory.
Buku ini diterbitkan dalam 10 edisi.

Pengetahuan Transformatif Sejak 1970an

Banyak ilmuwan yang telah menghasilkan penelitian dan teori penting sejak 1970an yang
menantang dan memodifikasi stereotip dan miskonsepsi yang sudah mendarah daging
mengenai etnis minoritas, memformulasikan konsep dan paradigma baru, dan memaksa
ilmuwan arus utama untuk menelaah kembali interpretasi yang sudah ada. Kebanyakan
pengetahuan akademik transformatif yang dihasilkan sejak 1970an telah diresmikan ke dalam
pelajaran arus utama dan dalam kurikulum sekolah dan kampus. Pada waktunya, ilmuwan-
ilmuwan in akan menjadi bagian dari arus utama, mencerminkan keterhubungan yang sangat
tinggi dari hakikat berbagai pengetahuan yang akan dijelaskan dalam bagian ini.

Hanya akan ada beberapa contoh dari karya keilmuwan transformatif yang akan dijelaskan
karena keterbatasan cakupan. A People History of the United States (1980) oleh Howard
Zinn; Red, White, and Black: The Peoples of Early America oleh Gary B. Nash (1982); The
Signifying Monkey: A Theory of African-American LiteracyCriticism oleh Henry, Louis
Gates, Jr (1988); Occupied America: A History of Chicanos oleh Rodolfo Acuna (1988); Iron
Cages: Race and Culture in 19-Century America oleh Ronald T. Tataki (1979); dan The
Sacred Hoop: Recovering the Feminine in American Indian Traditions oleh Paul Gunn Alenn
(1988) adalah beberapa contoh yang telah memberikan perspektif baru yang signifikan
mengenai pengalaman kelompok etnis di AS dan telah membantu kita mentransformasi
konsepsi mengenai pengalaman kelompok etnis di Amerika. Pembaca yang mengenal karya-
karya ini akan menyadari bahwa keilmuwan transformatif dihasilkan dari ilmuwan baik dari
kaum Eropa Amerika maupun etnis minoritas.

Saya akan mendiskusikan dua contoh tentang bagaimana keilmuwan baru dalam kajian etnis
telah mendobrak interpretasi tradisional dan merangsang pencarian akan penjelasan-
penjelasan dan paradigma baru sejak 1950an. Sejak karya yang meletakkan arah baru milik
E. Franklin Frazier (1939), ilmuwan sosial telah menerima kenyataan bahwa pengalaman
perbudakan telah menghancurkan kehidupan keluarga kulit hitam dan kehancuran ini terus
berlangsung setelah periode perang dunia kedua dalam migrasi orang kulit hitam ke bagian
utara.. Moynihan (1965) dalam bukunya yang kontroversial, The Negro Family in America:
The Case for National Action, menggunakan penjelasan dari keluarga kulit hitam yang
menderita dalam analisisnya. Gutman (1976), dalam sebuah kajian penting mengenai
keluarga Afrika Amerika dari tahun 1750 sampai 1925, menyimpulkan bahwa “terlepas dari
adanya tingkat perceraian yang tinggi, banyak pula budak yang hidup dalam pernikahan yang
panjang, dan kebanyakan budak hidup dalam rumah tangga dengan dua kepala keluarga”.

Kelompok ilmuwan Afrika dan Afrika Amerika terkemuka telah menantang interpretasi yang
sudah mapan mengenai masyarakat Yunani kuno dan sejauh mana kebudayaan Yunani kuno
dipengaruhi oleh budaya Afrika. Ilmuwan ini termasuk Diop (1974), Williams (1987), dan
Van Sertima (1988,1989). Cheikh Anta Diop adalah salah satu ilmuwan Afrika Amerika
paling berpengaruh yang telah menantang interpretasi mapan mengenai asal usul kebudayaan
Yunani Kuno. Dalam Black Nations and Culture, diterbitkan tahun 1955 (diringkas oleh Van
Sertima, 1989), dia mengemukakan tesis penting yang menyatakan bahwa Afrika adalah akar
dari kebudayaan Barat. Diop berpendapat bahwa, “[Mesir] adalah pusat dari jejaring yang
mengaitkan alur-alur budaya bahasa; bahwa cahaya yang terkristalisasi di pusat awal dunia
bersumber dari budaya yang menggelora di Afrika”.

Sejak karya dari Diop, Williams, dan Van Sertima, interpretasi tradisional mengenai
pembentukan kebudayaan Yunani telah ditantang oleh Bernal (1987-1991), seorang profesor
ilmu pemerintahan di Cornell University. Tantangan awal untuk memapankan interprestasi
dari ilmuwan Afrika dan Afrika Amerika mendapatkan sedikit sekali perhatian, kecuali dalam
komunitas Afrika Amerika. Bagaimanapun, karya Bernal menerima perhatian yang luas oleh
terbitan populer dan di antara pegiat karya klasik.

Bernal (1987-1991) berpendapat bahwa aspek penting dari kebudayaan Yunani kuno berasal
dari Mesir dan Fenisia dan bahwa kebudayaan Yunani kuno pada dasarnya adalah
kebudayaan Afrika. Bernal percaya bahwa kontribusi Mesir dan Fenisia bagi kebudayaan
Yunani kuno telah secara sengaja tidak dipedulikan oleh ilmuwan terdahulu karena sikap bias
mereka terhadap orang non kulit putih dan semit. Bernal telah menerbitkan dua dari empat
jilid yang direncanakan dari karyanya, Black Athena. Pada jilid kedua dia menggunakan bukti
linguistik, arkeologi, dan dokumen kuno untuk memperkuat klaimnya bahwa “dalam rentang
tahun 2100 dan 1100 sebelum masehi, ketika kebudayaan Yunani kuno lahir, orang Aegea
meminjam, mengadaptasi atau mulai menggunakan entitas-entitas agung dan bahasa,
teknologi dan arsitektur, kesadaran akan aturan hukum dan pemerintahan” dari Mesir dan
fenisia. Karena pengetahuan akademik transformatif, seperti yang dibangun oleh Diop,
Williams, Van Sertima, dan Bernal, menantang paradigma mapan yang ada dan juga karena
adanya kesenjangan yang lebar mengenai pengetahuan akademik dan pengetahuan sekolah,
seringkali pengaruhnya terhadap pengetahuan sekolah menjadi sangat kecil.

Pengetahuan Sekolah

Pengetahuan sekolah terdiri atas fakta, konsep, dan generalisasi yang diberikan dalam buku
pelajaran, pedoman guru, dan media lain yang dirancang untuk digunakan di sekolah.
Pengetahuan sekolah juga terdiri dari mediasi dan interpretasi guru atas pengetahuan tersebut.
Buku pelajaran adalah sumber utama pengetahuan sekolah di AS. Kajian terhadap buku
pelajaran menunjukkan ada beberapa tema besar dalam pengetahuan sekolah: (1) Pendiri
negara Amerika, seperti Washington dan Jefferson, adalah orang-orang bermoral tinggi dan
mencintai kemerdekaan yang menjunjung kesetaraan dan keadilan bagi semua orang
Amerika; (2) Amerika Serikat adalah bangsa yang berkeadilan, merdeka, dan bebas bagi
semua orang; (3) pembagian kelas sosial bukanlah masalah besar dalam masyarakat AS; (4)
tidak ada masalah perbedaan gender, kelas, atau ras yang signifikan di AS; dan (5) kelompok
etnis kulit berwarna dan kulit putih berinteraksi secara harmonis di AS.

Kajian terhadap buku-buku pelajaran yang dilakukan oleh peneliti seperti Anyon (1979,
1981) dan Sleeter & Grant (1991b) menunjukkan bahwa buku pelajaran menampilkan realitas
sosial dalam pandangan yang sangat selektif, menanamkan ide pada siswa bahwa
pengetahuan bersifat statis dan tidak dinamis, dan mendorong siswa untuk menguasai fakta-
fakta yang terisolasi dibandingkan mengembangkan pemahaman yang kompleks akan realitas
sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa buku pelajaran memperkuat budaya dominansi
dalam tatanan sosial, ekonomi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Siswa didorong untuk
menerima dibandingkan mengkritisi tatanan yang ada.

Dalam kajian mengenai perlakuan terhadap ras, kelas, gender, dan disabilitas di buku-buku
pelajaran, Sleeter dan Grant (1991b) menyimpulkan bahwa walaupun buku pelajaran telah
menghilangkan bahasa-bahasa yang seksis dan telah merangkul citra minoritas etnis ke dalam
isinya, buku-buku tersebut gagal dalam menolong siswa mengembangkan pemahaman yang
lebih baik tentang budaya kompleks dari kelompok etnis, pemahaman terhadap rasisme,
seksisme, dan kelasisme dalam masyarakat Amerika, dan menggambarkan AS sebagai negara
telah berhasil menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Sleeter dan Grant menulis, “Visi
akan hubungan sosial dari buku-buku yang kami kaji kebanyakan mengarah pada keselarasan
dan kesempatan yang setara –semua orang bisa berbuat atau menjadi apapun yang mereka
inginkan; masalah yang dialami orang-orang pada hakikatnya bersifat individual dan pada
akhirnya akan bisa terselesaikan”.
Beberapa faktor utama memengaruhi pengembangan dan produksi buku pelajaran sekolah.
Salah satunya adalah persepsi penerbit terhadap pernyataan dan gambaran yang mungkin
kontroversial. Ketika buku pelajaran menjadi kontroversial, distrik sekolah seringkali
menolak untuk menggunakan dan membeli. Dalam pengembangan buku pelajaran, penerbit
dan penyusun buku harus mempertimbangkan tingkat perkembangan dan kemampuan
membaca siswa, pedoman negara dan distrik menyangkut subyek yang harus ada dalam buku
pelajaran, dan tren serta perkembangan terkini dalam area tertentu yang para guru dan
pengelola harapkan akan tercermin dan disertakan dalam buku pelajaran. Karena banyaknya
tekanan dan pengaruh dalam pengembangan buku pelajaran, pengetahuan sekolah seringkali
tidak menyertakan diskusi mendalam dan analisis atas beberapa masalah utama dalam
masyarakat Amerika, misalnya rasisme, seksisme, pembagian kelas sosial, dan kemiskinan.
Pada akhirnya, pengetahuan sekolah sangat dipengaruhi oleh pengetahuan akademik arus
utama dan pengetahuan populer. Pengetahuan akademik transformatif biasanya memiliki
hanya sedikit pengaruh langsung terhadap pengetahuan sekolah. Pengaruh yang lebih
signifikan biasanya terjadi ketika suatu hal menjadi bagian dari pengetahuan arus utama dan
pengetahuan populer. Guru harus melakukan upaya lebih untuk memperkenalkan
pengetahuan dan perspektif transformatif terhadap siswa sekolah dasar dan menengah.

Implikasi Pengajaran

Pendidikan multikultural melibatkan perubahan dalam keseluruhan lingkungan sekolah dalam


rangka menciptakan peluang pendidikan yang setara bagi setiap siswa. Bagaimanapun, dalam
bagian ini saya hanya berfokus pada hanya salah satu aspek penting dari pendidikan
multikultural, yaitu jenis pengetahuan yang harus diajarkan dalam kurikulum multikultural.
Kelima jenis pengetahuan yang dijelaskan sebelumnya memiliki implikasi penting dalam
perencanaan dan pengajaran kurikulum multikultural. Salah satu tujuan penting dari
pengajaran multikultural adalah untuk menolong siswa memahami bagaimana pengetahuan
dikonstruksikan. Siswa harus diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan menentukan
bagaimana asumsi kultural, kerangka rujukan, perspektif, dan bias yang terjadi dalam suatu
disiplin ilmu memengaruhi bagaimana pengetahuan dikonstruksi. Siswa juga harus selalu
diberi kesempatan untuk menciptakan pengetahuan bagi diri mereka sendiri dan
mengidentifikasi cara-cara bagaimana pengetahuan yang mereka konstruksi itu dipengaruhi
dan dibatasi oleh asumsi, posisi, dan pengalaman pribadi mereka.

Saya akan menggunakan salah satu bagian dari pelajaran Pergerakan ke Barat untuk
menggambarkan bagaimana guru bisa menggunakan kategori pengetahuan yang dijelaskan
sebelumnya untuk mengajar dari perspektif multikultural. Ketika memulai pelajaran, guru
bisa menggunakan pengetahuan personal dan kultural siswa mengenai Pergerakan ke Barat.
Mereka bisa menanyakan siswa untuk menuliskan apa saja yang mereka pikirkan ketika
memikirkan “Barat”. Untuk membantu siswa menentukan bagaimana budaya populer
menggambarkan Barat, guru bisa meminta siswa untuk menonton dan menganalisa film How
the West Was Won. Guru juga bisa meminta siswa untuk melihat video yang lebih baru
mengenai Barat dan membuat daftar mengenai tema utama dan gambarannya. Guru bisa
meringkas teori dunia baru dari Turner untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana
sejarahwan arus utama di abad sembilan belas menjelaskan dan memaknai Barat dan
bagaimana teori ini memengaruhi generasi sejarahwan berikutnya.

Guru bisa menyajikan perspektif transformatif akan Barat dengan menunjukkan kepada siswa
film How the West Was Won and Honor Lost, yang dinarasikan oleh Marlon Brando. Film ini
menjelaskan bagaimana orang Eropa Amerika yang bergerak ke Barat, dengan menggunakan
janji palsu dan tipuan, menduduki tanah milik orang asli dan mengambil alih posisi mereka.
Guru juga bisa meminta siswa untuk menonton bagian-bagian dari film populer Dances With
Wolves dan mendiskusikan bagaimana gambaran orang asli Amerika dalam film ini
merefleksikan baik perspektif arus utama maupun transformatif akan orang asli Amerika
dalam sejarah dan budaya AS. Guru kemudian bisa menunjukkan materi dalam buku
pelajaran pada akhir bagian ini.

Tujuan utama dari mengajarkan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda adalah untuk
menolong siswa memahami bagaimana pengetahuan dikonstruksikan dan bagaimana ia
merefleksikan konteks sosial di mana ia dibuat dan untuk memungkinkan siswa
mengembangkan pemahaman dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mejadi penghasil
pengetahuan itu sendiri. Salah satu tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah untuk
mentransformasi kurikulum sekolah sehingga siswa tidak hanya mempelajari pengetahuan
yang dibuat oleh orang lain, tapi juga belajar menganalisa dengan kritis pengetahuan yang
mereka miliki dan bagaimana membentuk interpretasi mereka sendiri akan masa lalu, masa
kini, dan masa depan.

Beberapa faktor penting yang terkait dengan pengajaran jenis-jenis pengetahuan tidak
dibahas dalam bagian ini namun perlu dikaji. Salah satunya adalah pengetahuan
personal/kultural guru. Guru, seperti halnya siswa, membawa pemahaman, konsep,
penjelasan, dan interpretasi yang berasal dari pengalaman budaya mereka di rumah, keluarga,
dan komunitas ke dalam kelas. Kebanyakan guru di AS adalah orang Eropa Amerika (87
persen) dan perempuan (72 persen). Bagaimanapun ada keragaman yang luar biasa di antara
golongan Eropa Amerika tersebut yang menyangkut keragaman agama, kelas sosial, daerah,
dan asal usul etnis. Keragaman dalam golongan Eropa Amerika ini jarang sekali dibahas
dalam literatur ilmu sosial atau di kelas. Bagaimanapun, keragaman yang kaya dalam budaya
guru adalah faktor penting yang harus dibahas. 13 persen guru di As yang merupakan etnis
minoritas juga bisa memperkaya pengalaman di kelas dengan berbagi pengetahuan personal
dan kultural mereka dengan siswa dan dengan menolong mereka memahami bagaimana
pengetahuan tersebut memengaruhi cara mengajar mereka. Kelas multikultural adalah forum
dengan berbagai suara dan perspektif. Suara guru, buku pelajaran, penulis transformatif dan
arus utama, dan para siswa, adalah komponen penting dalam diskursus di kelas.

Guru bisa membagi pengalaman dan pemaknaan budaya mereka akan suatu peristiwa sebagai
cara untuk memotivasi siswa membagikan pengalaman dan pemaknaan mereka juga.
Bagaimanapun, mereka harus mengkaji sikap rasial dan etnis mereka terhadap kelompok
berbeda sebelum terlibat dalam sesi berbagi tersebut. Atmosfer kelas yang demokratis harus
diciptakan. Siswa harus bisa memandang kelas sebagai forum yang menghargai pandangan
yang berbeda. Kelas yang terbuka dan demokratis akan menolong siswa memiliki
keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengkaji klaim dan perspektif
pengetahuan yang tidak sejalan. Siswa harus menjadi konsumen pengetahuan yang kritis
sebagaimana menjadi penghasil pengetahuan jika mereka ingin memiliki pemahaman dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi dengan baik dalam dunia yang kompleks dan
beragam di masa depan. Hanya pendidikan multikultural yang luas dan membebaskan yang
bisa menyiapkan mereka untuk menghadapi dunia seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai