Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

DM merupakan penyakit metabolik utama pada anak yang sifatnya kronik dan
potensial mengganggu tumbuh kembang anak. Pada anak dikenal 2 jenis diabetes,
yaitu DM tipe-1 dengan jumlah kadar insulin rendah akibat kerusakan sel beta
pankreas, dan DM tipe-2 yang disebabkan oleh resistensi insulin, walaupun kadar
insulin dalam darah normal. Faktor penyebab utama DM-tipe 1 adalah faktor genetik,
sedangkan pada DM-tipe 2 biasanya disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat dan
kegemukan.1

Manifestasi klinis Diabetes Mellitus Tipe 2 heterogen di usia muda, dari gejala-
nya minimal sampai dengan ketoasidosis diabetik. Peningkatan Diabetes Mellitus
Tipe 2 pada anak dan remaja, telah sebanding dengan meningkatnya obesitas, yang
merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi sensitivitas insulin. Faktor risiko
tambahan termasuk ras, riwayat keluarga diabetes mellitus, ibu diabetes selama
kehamilan, kelompok usia pubertas dan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan
resistensi insulin. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2 telah dipelajari dan diterima
secara luas bahwa resistensi insulin, penting untuk pengembangan klinis diabetes
melitus di masa dewasa.2
Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak dan remaja terus mengalami
peningkatan di seluruh dunia. Selama 3 dekade terakhir, Diabetes Mellitus Tipe 2
merupakan penyakit yang sebelumnya terbatas pada pasien dewasa, telah meningkat
tajam prevalensinya di kalangan anak dan remaja. Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 3
kasus baru diabetes melitus yang didiagnosis pada pasien dengan usia kurang dari 18
tahun adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Masalah ini tidak terbatas di Amerika Serikat,
tetapi juga terjadi secara internasional.3 Menurut data dari Pan-Birmingham Diabetes
Advisory Group, kasus pertama Diabetes Mellitus Tipe 2 anak di Eropa didiagnosis
pada tahun 1993, dan sampai dengan tahun 2001, 17 pasien lain dilaporkan dengan 15
di antaranya berasal dari Asia Selatan. Dalam sebuah penelitian di Italia berdasarkan

1
710 anak dan remaja dengan obesitas asal Eropa, prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2
adalah 0,1% dan gangguan toleransi glukosa (IGT) adalah 4,5%. Dalam studi lain di
timur laut Hungaria, IGT ditemukan pada 18% dan Diabetes Mellitus Tipe 2 di 1,1%
dari anak-anak obesitas.4
Meningkatnya Diabetes Mellitus Tipe 2 anak dan remaja menimbulkan
tantangan kepada dokter untuk mengobati penyakit ini. Kebanyakan edukasi yang
dirancang pada anak penderita Diabetes Mellitus Tipe 1 yang menekankan
pengobatan insulin dan pemantauan glukosa, tidak selalu sesuai untuk anak-anak
dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Kebanyakan obat yang digunakan untuk Diabetes
Mellitus Tipe 2 telah diuji untuk keamanan dan keampuhan hanya pada individu
dengan usia lebih dari 18 tahun, dan ada sedikit bukti ilmiah untuk optimalnya
pengelolaan anak-anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.3
Beberapa negara di Asia tidak memiliki data lengkap penderita diabetes. Di
Indonesia, data yang tersedia menunjukkan bahwa prevalensi diabetes di daerah
perkotaan Jakarta meningkat dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun
1995.5 Sampai saat ini, obat anti diabetik oral yang sudah disetujui penggunaannya
pada anak oleh Food and Drug Administration (FDA) hanya metformin. Sedangkan
obat anti diabetik oral golongan lain masih dalam perdebatan. Secara umum,
mekanisme kerja obat-obat tersebut dalam mengontrol kadar gula darah yaitu dengan
meningkatkan sekresi insulin seperti obat golongan sulfonylurea, menurunkan
resistensi insulin seperti obat golongan biguanid dan menurunkan absorpsi glukosa
postprandial seperti obat golongan inhibitor alfa-glucosidase. Keberhasilan terapi
dinilai berdasarkan kadar glukosa darah, kadar HbA1c, dan sindrom metabolik yang
menyertainya seperti obesitas, hipertensi dan hiperlipidemia. Selain mengontrol kadar
gula darah, tata laksana Diabetes Mellitus Tipe 2 juga meliputi modifikasi gaya hidup
dan mengatasi gejala sindrom metabolik yang menyertainya. Tujuan terapi Diabetes
Mellitus Tipe 2 secara keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang
normal, penurunan berat badan pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor

2
comorbid seperti hipertensi, dislipidemia, nefropati, dan steatosis hepatik (fatty
liver).6

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan kelainan metabolik yang kompleks,
ditandai dengan defek pada sekresi insulin dan kerja insulin yang akan
menyebabkan hiperglikemia.(7) Pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 menunjuk-
kan resistensi terhadap insulin pada tingkat otot skelet, peningkatan produksi
glukosa oleh hepar, dan penurunan sekresi insulin.(8) Obesitas pada anak dan
remaja telah menyebabkan peningkatan insidens Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam 2
tahun terakhir ini.(9) Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia,
bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemik
global, sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus
segera ditangani (10)

II.2 Faktor Risiko


Faktor risiko untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 termasuk riwayat keluarga
(kondisi medis yang resisten insulin), obesitas, aktifitas fisik yang kurang, ras
dan etnik.(11)
a. Riwayat Keluarga
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan Diabetes Mellitus Tipe 2,
sehingga riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang penting. Risiko
untuk pasien dengan riwayat keluarga yang mempunyai Diabetes Mellitus
Tipe 2 adalah lima sampai sepuluh kali lebih tinggi dari pasien tanpa riwayat
keluarga diabetes. Dalam suatu studi, 39% peserta dengan Diabetes Mellitus
Tipe 2 memiliki setidaknya satu orangtua yang mempunyai penyakit yang
sama. (11)

b. Kondisi Resistensi Insulin

4
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) dan acanthosis nigricans berhubun-
gan dengan resistensi insulin. Sindrom ovarium polikistik ini ditandai dengan
hiperandrogenisme dan amenore yang berhubungan dengan anovulasi kronik.
Wanita dan perempuan muda dengan PCOS mempunyai risiko yang tinggi
untuk intoleransi glukosa dan Diabetes Mellitus Tipe 2. Acanthosis nigricans
adalah gangguan kulit yang mempengaruhi intertriginosa area tubuh (misalnya,
pangkal leher, ketiak, daerah antecubital), dan menyebabkan peningkatan
kekasaran dan ketebalan kulit serta hiperpigmentasi. Kondisi ini disebabkan
oleh kelebihan insulin akibat resistensi insulin dan terdapat pada 90% dari
anak-anak yang memiliki Diabetes Mellitus Tipe 2. (11)
c. Obesitas dan Aktifitas Fisik yang Kurang
85% dari pasien yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 juga
obesitas. Individu dengan berat badan yang berlebihan disertai dengan
toleransi glukosa yang terganggu mengalami resistensi insulin perifer dan
deposisi lemak yang lebih tinggi pada organ visceral dan intramuscular. (11)
d. Ras dan Etnis
Di Amerika Serikat, Diabetes Mellitus Tipe 2 ditemukan 2-6 kali lebih
sering pada populasi Hispanik berbanding orang kulit putih non-hispanik.
Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa obesitas, resistensi insulin, dan
Diabetes Mellitus Tipe 2 telah meningkat di lokasi dimana gaya hidup
mengarah westernisasi. Dalam penelitian ini, istilah westernisasi bermaksud
diet tinggi kalori dan aktifitas fisik yang kurang. (11)

II.3 Epidemiologi
Diabetes Mellitus Tipe 2 banyak dilaporkan di seluruh dunia, di Jepang
80% dari semua kasus baru diabetes pada anak-anak dan remaja adalah Diabetes
Mellitus Tipe 2, di Taiwan 54,2% kasus baru didiagnosis dengan diabetes tipe 2,
dengan kejadian 6,5 per 100.000 kasus, di Inggris didapatkan insiden diabetes
tipe 2 pada anak-anak (<17 tahun) yaitu 0,53 dari 100,000 pertahun. Di Austria,

5
kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja (<15 tahun) adalah
0.25/100,000 anak. Banyak studi di Eropa menunjukkan bahwa Diabetes
Mellitus Tipe 2 tidak biasa seperti di Amerika Serikat pada populasi ini, terhitung
hanya 1-2% dari semua kasus Diabetes Mellitus.11
Diabetes Mellitus Tipe 2 yang telah diamati pada kelompok non-
Kaukasia (Afrika Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik) sangat tinggi,
Diabetes Mellitus Tipe 2 dapat terjadi pada semua ras. Angka kejadian Diabetes
Mellitus Tipe 2 (per 100.000 orang-tahun) pada anak-anak dan remaja sangat
bervariasi antara etnis, dengan angka tertinggi yang dilaporkan adalah pada
remaja usia antara 15-19 tahun. Tingkat kejadian yang dilaporkan adalah 49,4%
untuk penduduk asli Amerika, 22,7% untuk Asia/Kepulauan Pasifik, 19,4%
untuk Afrika Amerika, 17% untuk Hispanik, dan 5,6% untuk kulit putih non-
Hispanik.11

Tabel II.3.1 : Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di kalangan anak dan


remaja12
Race/Ethnicity Inciden Rate (%)
African American 19.4
American Indian 49.4
Asian/Pacific Islander 22.7
Hispanic 17.0
Non-Hispanic White 5.6

Beberapa studi mendukung bahwa Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki


prevalensi yang lebih besar dalam kelompok etnis berisiko tinggi, Diabetes
Mellitus Tipe 2 terhitung 14,9% dari semua kasus diabetes di kalangan remaja
kulit putih non-Hispanik. Meskipun prevalensi terendah dari Diabetes Mellitus
Tipe 2, diamati di Eropa, dapat dikaitkan dengan perbedaan tingkat obesitas antara
remaja AS dan Eropa, penjelasan untuk perbedaan ini masih belum jelas .11

6
Sebuah penelitian unit kerja koordinasi endokrinologi anak di seluruh
wilayah Indonesia pada awal Maret 2012 menunjukkan jumlah penderita diabetes
usia anak-anak juga usia remaja dibawah 20 tahun terdata sebanyak 731 anak.
PDN (Pusat Diabetes dan Nutrisi) rumah sakit umum Dr. Soetomo Surabaya
pernah mengklaim pada tahun 2009 ada sebanyak 650.000 anak Indonesia
menderita Diabetes Mellitus dan sebagian besar Diabetes Mellitus Tipe 2. Jumlah
ini didapat dari hasil perhitungan 5% dari total 13 juta penderita diabetes melitus
dari seluruh kelompok umur tahun 2009.
Ilmu Kesehatan Anak FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)
menjelaskan, jumlah anak yang terkena diabetes cenderung naik dalam beberapa
tahun terakhir ini. Tahun 2011 tervatat 65 anak menderita diabetes, naik 400%
dibandingkan tahun 2009. 32 anak diantaranya terkena Diabetes Mellitus Tipe 2.

II.4 Patogenesis
Homeostasis glukosa bergantung pada keseimbangan antara sekresi insulin
oleh sel pankreas dan kerja dari insulin. Untuk menyebabkan hiperglikemia,
resistensi insulin saja tidak cukup, perlu adanya sekresi insulin yang inadekuat
juga dalam proses patologisnya. Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin
berkontribusi bersama-sama dalam patofisiologi penyakit Diabetes Mellitus Tipe
2.13
Secara fisiologis, glukosa darah dipertahankan dalam rentang yang sangat
sempit oleh respon sekretori sekresi insulin pankreas ke fluksus macronutrients
yang dihasilkan oleh makanan sehari-hari. Dalam menanggapi resistensi insulin,
peningkatan kecil dalam gula darah puasa (bahkan dalam rentang glukosa normal)
menjadi salah satu sinyal untuk peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin.
Selama resistensi insulin dan hiperglikemia ringan yang dihasilkan bertahan,
pankreas dipaksa untuk terus-menerus mensekresi insulin, keadaan ini disebut
'beban allostatic'. Analisis prospektif menunjukkan bahwa toleransi glukosa
normal individu dengan beban allostatic pankreas tinggi memiliki peningkatan

7
risiko terhadap Diabetes Mellitus Tipe 2 dibandingkan dengan individu dengan
allostatic load pankreas yang rendah. Dengan demikian, obesitas yang disebabkan
resistensi insulin dapat menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan
meningkatkan beban allostatic pankreas. Salah satu cara yang mungkin bahwa
peningkatan beban allostatic dapat menyebabkan kegagalan dari pankreas
endokrin adalah melalui pengaruh merugikan hiperglikemia pada sel beta, yang
sering disebut sebagai glukotoksisitas. Mekanisme tersebut termasuk penurunan
ekspresi gen yang relevan, diferensiasi beta sel dan meningkatkan apoptosis.
Selain itu, telah dikemukakan bahwa hiperglikemia kronik dapat memperburuk
resistensi insulin.14
Gangguan sekresi insulin adalah penurunan respon pada glukosa, yang
diamati sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus, toleransi glukosa terganggu
(TGT) yang disebabkan oleh penurunan respons glukosa sekresi insulin fase awal,
dan penurunan tambahan sekresi insulin setelah makan menyebabkan
hiperglikemia postprandial. Sebuah tes toleransi glukosa oral (TTGO) dalam kasus
TGT umumnya menunjukkan respon berlebihan pada individu Barat dan Hispanik,
yang memiliki resistensi insulin yang tinggi. Bahkan ketika respon tersebut terlihat
pada orang dengan obesitas atau faktor lain, mereka menunjukkan penurunan
respon sekretori fase awal. Penurunan sekresi fase awal itu merupakan bagian
penting dari penyakit ini, karena perubahan patofisiologi dasar selama timbulnya
penyakit.14,15
Gangguan sekresi insulin umumnya progresif, dan perkembangannya
melibatkan glukosa toksisitas dan lipotoksisitas. Progresi dari penurunan fungsi sel
pankreas sangat mempengaruhi kontrol jangka panjang glukosa darah. Sementara
pasien dalam tahap awal setelah onset penyakit terutama menunjukkan
peningkatan glukosa darah postprandial sebagai hasil dari peningkatan resistensi
insulin dan penurunan sekresi fase awal, perkembangan kerusakan fungsi sel
pankreas kemudian menyebabkan elevasi permanen glukosa darah. 14,15

8
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak
sebanding dengan konsentrasi darah. Penurunan nilai insulin pada organ target
utama seperti hati dan otot adalah patofisiologi umum dari Diabetes Mellitus Tipe
2. Penyelidikan mekanisme molekuler untuk kerja insulin telah menjelaskan
bagaimana resistensi insulin ini terkait dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik, termasuk tidak hanya reseptor insulin dan substrat
reseptor insulin (IRS) yang secara langsung mempengaruhi sinyal insulin tetapi
juga 3 gen reseptor adrenergik dan gen protein uncoupling (UCP), yang
berhubungan dengan obesitas viseral dan menyebabkan resistensi insulin.
Glucolipotoxicity dan inflamasi mediator juga penting sebagai mekanisme untuk
gangguan sekresi insulin dan gangguan sinyal insulin Perhatian ini difokuskan
pada keterlibatan zat bioaktif adiposit yang diturunkan (adipokin) dalam resistensi
insulin. Sementara TNF, leptin, resistin, dan asam lemak bebas bertindak untuk
meningkatkan resistensi, adiponektin. 14,15
Teori mengenai resistensi insulin yang diinduksi oleh asam lemak
menyebutkan bahwa akumulasi asam lemak dan metabolitnya di dalam sel akan
menyebabkan aktivasi jalur serin / threonine kinase, aktivasi jalur ini
menyebabkan fosforilasi gugus tironin seperti pada mekanisme kerja insulin yang
normal akan terhambat. Hambatan pada fosforilasi pada gugus serin dari kompleks
IRS (Insulin Receptor Substrate) menyebabkan fosforilasi dari gugus tironin
seperti pada mekanisme kerja insulin normal akan terhambat. Hambatan pada
fosforilasi gugus tironin kompleks IRS ini menyebabkan tidak teraktivasinya jalur
PI3 kinase dan menyebabkan glukosa tetap berada di ekstra sel. Resistensi insulin
menyebabkan penggunaan glukosa yang dimediasi oleh insulin di jaringan perifer
menjadi berkurang. Kekurangan insulin atau resistensi insulin akan menyebabkan
kegagalan fosforilasi kompleks IRS, penurunan translokasi GLUT4 dan penurunan
oksidasi glukosa sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akan terjadi
kondisi hiperglikemia.14,15

9
Gambar II.5.2 Mekanisme Resistensi Insulin yang Diinduksi oleh Asam
Lemak15

Sel beta pankreas pada awalnya akan mengkompensasi untuk merespon


keadaan hiperglikemia dengan memproduksi insulin dalam jumlah banyak dan
kondisi ini menyebabkan keadaan hiperglikemia. Kegagalan sel beta dalam
merespon kadar glukosa darah yang tinggi, akan menyebabkan abnormalitas jalur
transduksi sinyal insulin pada sel beta dan terjadi resistensi insulin. Resistensi
insulin pada sel beta pankreas menyebabkan aktivasi jalur Caspease dan
peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel beta fase ini akan
diikuti oleh berkurangnya massa sel beta pankreas. Pengurangan massa sel beta
pankreas ini akan menyebabkan sintesis insulin berkurang dan menyebabkan
Diabetes Mellitus Tipe 2.15,16

10
Gambar II.5.1 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Sel Beta Pankreas16

II.6 DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Pada anak yang memiliki kecenderungan genetik dan risiko terpapar
lingkungan (misalnya, pola makan yang buruk dan kurang olahraga), resistensi
insulin mungkin menyebabkan hiperinsulinemia dan intoleransi glukosa. Pasien
seperti ini biasanya berkunjung ke dokter dengan keluhan glikosuria tanpa
ketonuria, poliuria, polidipsia, dan polifagi.. Namun, hingga 33% dari anak-anak
ini ditemukan ketonuria saat diagnosis, dan 5% sampai 25% pasien kemudian
diklasifikasikan sebagai pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 yang memiliki
ketoasidosis pada presentasi awal.15

Pemeriksaan Laboratorium
Diabetes didiagnosis apabila12:
 Gula darah puasa (FPG) adalah ≥ 7.0 mmol / l (126 mg / dl)atau
 Gula darah post TTGO > 11,1mmol / l (200 mg/dl) atau
 Gejala diabetes dengan gula darah sewaktu ≥ 200 mg / dl (11,1mmol / L).
Tes gula darah puasa dan/atau tes toleransi glukosa oral (TTGO) umumnya
digunakan untuk mendiagnosa Diabetes Mellitus. Pada tahun 1997, ADA

11
menetapkan bahwa TTGO tidak boleh digunakan untuk diagnosis rutin, yang
menyebabkan banyak perdebatan. Pada tahun 2003, ADA menyimpulkan bahwa
tidak ada bukti yang memadai untuk menentukan tes yang lebih unggul untuk
tujuan diagnostik. TTGO lebih sensitif, hasil dari tes gula darah puasa lebih dapat
diandalkan, nyaman, dan murah. 11,13
Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada riwayat keluarga, pengukuran
glukosa darah dan ada tidaknya gejala diabetes (2). Gejala klasik Diabetes Mellitus
adalah poliuri, polidipsi dan polifagi Jika tidak ditemukan tanda hiperglikemia
yang jelas, harus dikonfirmasi pada hari berikutnya, dengan salah satu dari tiga
metode tersebut.19
Diabetes pada anak-anak biasanya mempunyai gejala karakteristik seperti
poliuria, polidipsia, penglihatan kabur, dan penurunan berat badan. Diagnosis
biasanya dikonfirmasi dengan cepat dengan cara pengukuran kadar glukosa
darah.20
Tabel 1 : Pemeriksaan untuk DM tipe 2 pada anak dan remaja ( American
Diabetes Association, 2009 )
KRITERIA

 Obesitas ( BMI > persentil 85 untuk umur dan jenis kelamin, berat
badan menurut tinggi > persentil 85, atau berat badan > persentil 120
BMI > dari ideal85tinggi
persentil badan
dan/atau ) pinggang > persentil 90 untuk umur DAN
lingkar

 TAMBAH
Tanda resistensi insulin dan/atau sindroma metabolic

o Acanthosis nigrikans
 Dua dari faktor risiko tersebut :
o PCOS
o Riwayat keluarga dengan DM tipe 2 dalam kelauarga tingkat
Hipertensi
o pertama atau kedua
HDL < 40mg/dl
oo Ras/etnik (Amerikan Indian, Afrika Amerika, hispanik,
o Asia/Kepulauan Pasifik)
Trigliserida > 150mg/dl

ATAU duaodariTanda resistensi insulin (acanthosis Nigricans, PCOS,


diibawah:
hipertensi, dislipidemia)
 Riwayat keluarga DM tipe 2 tingkat keluarga pertama atau kedua

 Latin, Afrikan, Indian Amerikan, Asia, Kepulauan pasifik


12
 Anak yang lhir dari ibu dengan ibu DM gestasional

 Anak yang lahir kecil atau besar dari umur gestasi


 Lakukan TTGO

 Lakukan pemeriksaan HbA1c

GDP < 100mg/dl GDP 100-125 mg/dl GDP > 126mg/dl


dan/atau A1c > 6.5%
Dan A1c <5.6% Dan/atau A1c 5.7-6.4%

Tes GDP atau A1c


tiap tahun

13
Pasien ada Prediabetes

 Pertimbangan melakukan TTGO atau konsul


endokrinologi anak Pasien ada DM Tipe 2

 Pertahankan berat badan di tahun tahun  Tes kali kedua untuk


pertumbuhan memastikan diagnosis
pada hari seterusnya
 Berikan konseling untuk mengubah gaya hidup
 Mulai terapi nutrisi
 Perubahan akivitas medis atau perubahan
gaya hidup
 Mengikut program komuniti secara aktif, jika ada
 Metformin + insulin

 Konsul dengan
endokrinologi anak

TARGET GAYA HIDUP TERCAPAI? YA


 Beri feedback positif

TIDAK  Tes ulang GDP dan


Pertimbangkan mulai pemberian metformin. HbA1c tiap 4 bulan

Gambar II.6.2 Algoritma untuk Pre Diabetes dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Indentifikasi dan Intervensi untuk Remaja ( University of Minnesota, Pediatric
Endocrinology 2009)21

Pedoman Skrining

14
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa anak-
anak menerima skrining untuk Diabetes Mellitus apabila mereka memiliki BMI di
persentil ke-85 atau lebih tinggi serta setiap dua faktor risiko tambahanya seperti
riwayat keluarga Diabetes Mellitus Tipe 2, ras atau etnis minoritas (yaitu, Afrika
Amerika, Indian Amerika, Asia atau Kepulauan Pasifik, dan Hispanik), tanda-tanda
resistensi insulin atau kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin (misalnya,
akantosis nigrikans, dislipidemia, hipertensi, atau PCOS) 12
Skrining lanjut harus dilakukan setiap 2 tahun mulai dari usia 10 tahun atau
pada awal pubertas jika terjadi pada usia muda.12

Gambar II.6.3: Akantosis Nigrikans pada leher (A) dan ketiak (B) pada remaja
Afrika mempunyai DM tipe 2.

15
Gambar II.6.4 : Retinopati diabetik dengan gambaran edema makula, eksudat,
perdarahan preretina dan cotton wool spots (CWS)13

II.6 TERAPI
Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien dan
keluarga, modifikasi gaya hidup, dan terapi medikamentosa.Tujuan terapi DMT2
secara keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang normal,
penurunan berat badan pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor
komorbid seperti hipertensi,dislipidemia, nefropati, dan steatosis hepatik.6
1. Edukasi
Edukasi pada pasien dan keluarga dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 sama
pentingnya pada Diabetes Mellitus Tipe 1. Pada Diabetes Mellitus Tipe 2,
edukasi berperan lebih besar pada perubahan gaya hidup, diet dan perubahan
aktivitas fisik dari yang biasanya. Edukasi biasanya diberikan oleh kelompok
dengan pengetahuan dan keahlian khusus tentang diet, latihan fisik, dan
psikologis yang dibutuhkan oleh penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Seluruh
keluarga akan membutuhkan edukasi untuk memahami prinsip-prinsip

16
pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 dan memahami pentingnya perubahan gaya
hidup untuk mengelola Diabetes Mellitus Tipe 2.11
2. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup adalah prinsip penting dalam pengobatan
Diabetes Mellitus Tipe 2. Keluarga dan anak harus memahami implikasi
medis pada obesitas dan Diabetes Mellitus Tipe 2 kemudian dokter harus
memiliki pemahaman tentang perilaku kesehatan dari keluarga / masyarakat
untuk membuat rencana perilaku yang efektif. Perubahan harus dibuat secara
bertahap dan dengan pengertian bahwa perubahan harus permanen. Pasien dan
keluarga harus dilatih untuk memonitor kuantitas dan kualitas makanan,
perilaku makan, dan aktivitas fisik.5
Diet
Rekomendasi diet disesuaikan dengan budaya pasien, sumber daya
keluarga, dan keluarga harus didorong untuk membuat perubahan pola makan
dengan rekomendasi makan yang sehat, termasuk konseling individual untuk
penurunan berat badan, mengurangi asupan total lemak jenuh, meningkatkan
asupan serat, dan meningkatkan aktivitas fisik.5
Manajemen diet fokus awalnya yaitu mengurangi konsumsi soft drink
dan jus yang mengandung gula dalam jumlah besar, modifikasi gaya hidup
(diet dan aktivitas) sesuai usia, meliputi diet sehat dan kebiasaan aktivitas.
Menekankan pola pemeliharaan yang sehat berhubungan dengan diet dan
aktivitas dengan mengajarkan pada orang tua contoh kebiasaan yang sehat,
menghindari diet yang terlalu ketat, dan menghindari menggunakan makanan
untuk hadiah.4
Direkomendasikan makanan harus dimakan sesuai jadwal, di satu
tempat, tanpa aktivitas lainnya (menonton televisi, belajar, membaca,
bermain), kontrol porsi makanan utama dan makanan ringan, membatasi
ketersediaan makanan dan minuman tinggi lemak dan tinggi kalori di rumah,
membaca label makanan dan mengontrol pembeliannya. Memberi dorongan

17
positif dari prestasi yang kecil dan menghindari menyalahkan kegagalan pada
anak.4
3. Terapi Farmakologi
Tujuan dari terapi farmakologi adalah untuk menurunkan resistensi
insulin, meningkatkan sekresi insulin, atau untuk memperlambat penyerapan
glukosa postprandial. Diet dan latihan fisik saja pada anak yang didiagnosis
dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, mempunyai tingkat keberhasilan yang
rendah. Pilihan pertama pada anak dan remaja adalah metformin. Kegagalan
monoterapi dengan metformin lebih dari 3 bulan menunjukkan perlunya terapi
tambahan insulin. Hanya metformin dan insulin yang disetujui untuk
digunakan pada anak – anak dan remaja.3
a. Metformin
Metformin bekerja pada reseptor insulin pada hati, otot, dan
jaringan lemak, dengan lebih dominan pada hati. Produksi glukosa
hepatik dikurangi dengan penurunan glukoneogenesis. Insulin
meningkatkan penyerapan glukosa pada otot dan lemak. Penggunaan
jangka panjang dikaitkan dengan penurunan 1-2% HbA1c. Metformin
harus dimulai bersama dengan edukasi perubahan gaya hidup, kecuali
pada kasus yang membutuhkan insulin untuk memperbaiki toksisitas
glukosa dalam ketoasidosis. Direkomendasi pemberian obat yang
dimulai pada dosis rendah 500 mg setiap hari, meningkat 500 mg
setiap 1 sampai 2 minggu, sampai ideal dan maksimum dosis 2000 mg
sehari dibagi dalam 4 dosis. Umumnya, dosis yang lebih tinggi dari
2000 mg per hari tidak memberikan efek terapi yang maksimal.
Metformin umumnya mempunyai toleransi yang lebih baik bersama
dengan makanan.3
Efek samping utama dari metformin adalah di traktus
gastrointestinal yang sering terjadi pada inisiasi metformin yang
bersifat sementara dan sering hilang jika obat tidak digunakan lagi..

18
Efek samping pada saluran pencernaan (sakit perut, diare, mual) dapat
terjadi. Ini dapat dihilangkan pada kebanyakan pasien dengan lambat
titrasi dosis lebih dari 3-4 minggu. Metformin tidak boleh diberikan
kepada pasien dengan gangguan ginjal, penyakit hati, jantung atau
insufisiensi pernapasan, atau yang menerima bahan kontras radiografi.
Metformin untuk sementara dihentikan selama ada gangguan pada
saluran pencernaan. 1,2
Insulin
Meskipun terjadi hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dosis
kecil dari suplemen insulin sering kurang efektif. Jika ada kontrol
glikemia yang tidak adekuat pada terapi oral, sebuah analog long-
acting insulin dapat memberikan terapi yang memuaskan, tanpa terapi
makanan. Metformin harus dilanjutkan untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. 2
Jika hiperglikemia post-prandial terjadi, meglitinide yang
diberikan sebelum makan adalah pilihan awal yang terbaik. Jika
hiperglikemia post-prandial berlanjut, dapat digantikan dengan insulin
rapid atau short acting. Efek samping dari insulin adalah terjadinya
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. 2

19
Gambar II.6.1 Algoritma tatalaksana DMT2 pada anak dan remaja.

II.7 Komplikasi
Insiden dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 meningkat pada masa
anak-anak, namun hanya sedikit yang diketahui mengenai komplikasi yang
terjadi. Beberapa komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan
remaja yaitu6 :

20
a) Komplikasi Mikrovaskuler

Dalam penelitian yang dilakukan di India Selatan terhadap 368 anak-anak dan
remaja dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, didapatkan sebanyak 26,7% dengan
retinopati, 14,7% dengan mikroalbuminuria, 14,2% dengan neuropati, dan
8,4% dengan nefropati. Salah satu alasan terjadinya peningkatan komplikasi
mikrovaskuler di kalangan remaja yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2
adalah karena peningkatan hiperkoagulabilitas (karena untuk peningkatan D-
dimer dan kadar kolesterol total serum). 13

a. Komplikasi Retinopati

Kelainan retina terjadi sangat awal dalam perjalanan penyakit


Diabetes Mellitus Tipe 2. Pengontrolan terhadap kadar glukosa selama
masa anak-anak dan remaja dapat membantu menunda atau mencegah
pengembangan terjadinya diabetes retinopati. 13

b. Komplikasi pada Sistem Renal

Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal fase akhir atau End-
Stage Renal Disease (ESRD) dapat terjadi sejak masa anak-anak,
terutama pada anak dengan obesitas dan menderita Diabetes Mellitus
Tipe 2.. Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki resiko yang
lebih tinggi terkena penyakit ginjal primer, seperti Nefropati IgA,
Glomerulonefritis Membrano Proliferative serta 4 kali resiko untuk
terjadi gagal ginjal

Hiperglisemia yang terjadi selama bertahun-tahun dapat


meningkatkan terjadinya komplikasi jangka panjang. Oleh karena itu,
anak-anak yang didiagnosis dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 perlu
dilakukan pemeriksaan skrining terhadap Laju Filtrasi Glomerular
(GFR), peningkatan tekanan darah dan Laju Ekskresi Albumin Urin

21
(U-AER). Deteksi terhadap mikroalbuminuria merupakan penanda
paling awal terhadap penyakit ginjal serta prediktor yang independen
untuk morbiditas dan mortalitas di masa yang akan datang. Namun,
diagnosis penyakit ginjal tidak dapat di tegakkan hanya berdasarkan
dari pemeriksaan klinis dan pemeriksaan labor. Biopsy ginjal
diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti. 13

c. Komplikasi Neuropati

Perubahan mikrovaskuler yang terjadi pada Diabetes Mellitus


Tipe 2 juga berdampak terhadap perkembangan otak, hal ini dapat
terjadi sebelum ditemukannya gangguan makrovaskuler. Dewasa
dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 diketahui mengalami penurunan yang
signifikan volume hipokampus dan prefontal seiring dengan
peningkatan derajat atrofi serebral secara global. Kemungkinan
penyebabnya meliputi penurunan vasodilatasi pembuluh darah pada
Diabetes Mellitus Tipe 2 dan penurunan reaktifitas serebrovaskuler
terhadap kadar CO2. 12

b) Komplikasi Makrovaskuler

a. Perlemakan Hati Non Alkaholik / Non alcoholic fatty liver disease


(NAFLD)

Penyakit perlemakan hati non alkaholik /Non alcoholic fatty


liver disease (NAFLD) ditandai dengan peningkatan enzim hati dalam
serum yang terjadi akibat infiltrasi dan akumulasi trigliserida pada sel
hepatosit. Sebagai konsekuensi terhadap peningkatan trigliserida,
NAVLD sering dihubungkan dengan hipertrigliseridemia, peningkatan
kadar alanin transverase ALT dan defisiensi vitamin D.

22
NAFLD merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit hati
pada anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2, dislipidemia, serta
obesitas abdominal. Sekitar 40-70% anak dengan obesitas menderita
NAFLD. Penyakit fatty liver non alkaholik dan penurunan sensitivitas
insulin dapat bersifat reversible apabila dilakukan pengaturan diet
dalam waktu singkat dan program olahraga yang bertujuan untuk
menurunkan berat badan. Namun apabila hal tersebut belum bisa
teratasi, NAFLD dapat menjadi progresif dan berlanjut menjadi sirosis
hati di kemudian hari baik pada masa anak-anak maupun dewasa.
Komplikasi lain dari NAFLD dapat mengakibatkan hepatokarsinoma,
kematian terkait kelainan hepar pada usia dewasa dan perkembangan
penyakit kardiovaskuler. 10

Peningkatan kadar enzim hepar tidak selalu bisa dijadikan dasar


diagnosis terjadinya NAFLD. Apabila kadar ALT meningkat 3 kali
diatas normal selama lebih dari 6 bulan, maka pemeriksaan USG
abdomen perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya
hepatitis akibat virus. Biopsy hepar diperlukan untuk menegakkan
diagnosis pasti dan menentukan derajat NAFLD. 10

b. Komplikasi pada Sistem Pancreas

Kadar insulin fase awal dan C Peptide menurun pada remaja


obesitas yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Fungsi sel beta
menurun seiring dengan tingkat sensitivitas insulin. Hal ini terjadi
akibat penurunan fungsi sel beta secara cepat dan bahkan tanpa adanya
perubahan terhadap sensitivitas insulin di hepar. Pemeriksaan Hba1c
merupakan suatu skrining atau deteksi dini terhadap progresivitas
penyakit dan resiko kekambuhan Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
remaja. 10

23
c. Komplikasi pada sistem Pulmo

Pengambilan oksigen puncak yang ditentukan oleh masa


lemak sangat dipengaruhi oleh Diabetes Mellitus Tipe 2 pada masa
dewasa. Saat dewasa (13-18 tahun) diminta untuk melakukan Test
Ergometri sampai terjadi kelelahan menggunakan kalorimetri indirek,
dimana mereka yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 memiliki
intake oksigen maksimal 11 % lebih rendah dari orang normal dengan
berat badan yang sama tetapi tidak menderita Diabetes Mellitus Tipe 2.

Diabetes Mellitus Tipe 2 juga memiliki efek terhadap proses


pernapasan selama tidur. Sensitivitas insulin memiliki hubungan yang
negatif dengan fragmentasi tidur dan hipoksemia intermiten pada laki-
laki dewasa. Hal ini tidak dipengaruhi oleh umur dan tumpukan
jaringan lemak. Selain itu, hal ini dapat menjadi prekursur
perkembangann Diabetes Mellitus Tipe 2 pada dewasa yang
mengalami obesitas dikarenakan oleh penurunan metabolisme. 10

d. Hipertensi

Hipertensi lebih sering ditemukan pada anak dengan Diabetes


Mellitus Tipe 2 dari pada Diabetes Mellitus Tipe 1, dimana ditemukan
sebanyak 12 - 36 % pada anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Pada
saat didiagnosis dengan hipertensi, sukar untuk ditentukan apakah
anak tersebut menderita Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Diabetes
Mellitus Tipe 2. Ditambah lagi karena terdapatnya gejala yang
bercampur antara Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Diabetes Mellitus Tipe
2. Perlu penanganan secara proaktif dan terapeutik pada anak yang
telah menderita komplikasi hipertensi dalam perubahan gaya hidup
agar dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit kardiovaskuler
dimasa yang akan datang, 10

24
Perkembangan penyakit hipertensi bervariasi tergantung kepada
etnis. Anak yang menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Etnis Melayu
(Filipina) memiliki resiko paling tinggi mengalami hipertensi
dibandingkan dengan kelompok etnis di Asia lainnya. Hipertensi
merupakan komplikasi yang paling sering diantara anak-anak,
terutama pada suku Melayu. 14

e. Komplikasi Kardiovaskuler

Anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 biasanya telah me-


ngalami penurunan terhadap fungsi kardiovaskuler. Aktivitas fisik
regular dapat meningkatkan kesehatan sistem kardiovaskuler dan
menurunkan komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 jangka panjang.
Salah satu komplikasi jangka panjang yaitu penyakit jantung koroner.
Hal ini terjadi karena ukuran lipoprotein densitas tinggi (HDL) pada
anak dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 berubah menjadi partikel-
partikel kecil. Penyebab utama perubahan ini adalah resistensi insulin.
Resistensi insulin yang terjadi selama usia muda dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas seseorang sepanjang hidupnya.
Salah satu intervensi farmakologis untuk mengatasi komplikasi
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak adalah dengan pemberian obat
metformin.14

II.8 PROGNOSIS
Pencegahan komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah fokus utama
untuk memastikan prognosis yang baik. Manajemen yang intensif dan
peningkatan kontrol glikemik telah terbukti secara signifikan mengurangi
perkembangan terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada
orang dengan Diabetes Mellitus Tipe 2.27 Pengetahuan mengenai diagnosis,

25
perkembangan, rekomendasi skrining, dan rekomendasi pengobatan pada
Diabetes Mellitus Tipe 2 anak-anak dan remaja sangat kurang tidak seperti
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada pasien dewasa. Sejumlah laporan telah
mendokumentasikan kejadian komorbiditas pada remaja dengan Diabetes
Mellitus Tipe 2, tapi belum ada penelitian yang mengamati perkembangan
komorbiditas dan pengobatannya pada anak-anak dan remaja.27 Sampai saat ini,
sejumlah komplikasi telah diidentifikasi mengenai Diabetes Mellitus Tipe 2
pada anak-anak dan remaja termasuk komplikasi mikrovaskuler kronis, seperti
retinopati, nefropati (mikroalbuminuria) dan neuropati perifer, dan komplikasi
makrovaskuler kronis seperti atheroskelerosis adalah yang paling lazim, dan ini
mengurangi harapan hidup dan kualitas hidup penderita. Atherosklerosis
koroner dan kejadian kardiovaskular sangat terkait dengan kontrol glikemik
29,30
yang buruk. Oleh karena itu, pendekatan multifaktorial untuk manajemen
diperlukan yang mencakup upaya untuk mengendalikan hipertensi, dislipidemia
dan obesitas serta hiperglikemia.3

Pengukuran kontrol glikemik langsung paling baik ditentukan oleh


monitoring glukosa darah karena ini dapat memberikan dokumentasi langsung
dari hiperglikemia dan hipoglikemia, yang memungkinkan penerapan strategi
untuk pengobatan optimal, serta untuk memastikan kadar glukosa selalu dalam
batas normal. Hemoglobin A1c (HbA1c) adalah satu-satunya ukuran kontrol
glikemik yang akurat yang tersedia. Peningkatan HbA1c dapat memprediksi
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler jangka panjang. Dari penelitian
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), 96% dari komplikasi pada
penderita berkorelasi dengan perubahan dalam HbA1c. DCCT, dan studi –studi
yang serupa memberikan bukti yang jelas bahwa jumlah komplikasi lebih
sedikit dan onset komplikasi lebih lambat pada remaja yang mempunyai kontrol
metabolik yang baik, yang mempunyai tingkat HbA1c yang lebih rendah.
Penelitian lanjut dari data DCCT menunjukkan bahwa kontrol glikemik 5-7

26
tahun yang buruk selama remaja dan dewasa muda, menghasilkan peningkatan
risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler komplikasi dalam 6-10 thn
berikutnya.7

Penting untuk mempertahankan kadar HbA1 C yang normal bagi memastikan


prognosis yang baik. Saat ini, target kadar HbA1c yang dipakai untuk control
glikemik adalah <7%, namun target ketat glikemik sebesar 6,5% telah
diusulkan untuk penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Idealnya, ini memerlukan
pencapaian target pemantauan glukosa sendiri <6mmol / L (puasa) dan <8mmol
/ L (2 jam post-prandial). Pemeriksaan HbA1c sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan.7

27
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan kelainan metabolik yang kompleks,


ditandai dengan defek pada sekresi insulin dan kerja insulin yang akan menyebabkan
hiperglikemia. Pasien dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 menunjukkan resistensi
terhadap insulin pada tingkat otot skelet, peningkatan produksi glukosa oleh hepar,
dan penurunan sekresi insulin. Obesitas pada anak dan remaja telah menyebabkan
peningkatan insidens Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam 2 tahun terakhir ini. Faktor
risiko untuk Diabetes Mellitus Tipe 2 termasuk riwayat keluarga (kondisi medis yang
resisten insulin), obesitas, aktifitas fisik yang kurang, ras dan etnik.
Diabetes Mellitus Tipe 2 banyak dilaporkan di seluruh dunia, di Jepang 80%
dari semua kasus baru diabetes pada anak-anak dan remaja adalah Diabetes Mellitus
Tipe 2, di Taiwan 54,2% kasus baru didiagnosis dengan diabetes tipe 2, dengan
kejadian 6,5 per 100.000 kasus, di Inggris didapatkan insiden diabetes tipe 2 pada
anak-anak (<17 tahun) yaitu 0,53 dari 100,000 pertahun. Ilmu Kesehatan Anak FKUI
(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) menjelaskan, jumlah anak yang terkena
diabetes cenderung naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2011 tervatat 65
anak menderita diabetes, naik 400% dibandingkan tahun 2009. 32 anak diantaranya
terkena Diabetes Mellitus Tipe 2.
Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin berkontribusi bersama-sama
dalam patofisiologi penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2. Gangguan sekresi insulin
umumnya progresif, dan perkembangannya melibatkan glukosa toksisitas dan
lipotoksisitas. Progresi dari penurunan fungsi sel pankreas sangat mempengaruhi
kontrol jangka panjang glukosa darah. Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana
insulin dalam tubuh tidak sebanding dengan konsentrasi darah. Penyelidikan
mekanisme molekuler untuk kerja insulin telah menjelaskan bagaimana resistensi
insulin ini terkait dengan faktor genetik dan faktor lingkungan. Obesitas yang
disebabkan resistensi insulin dapat menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan

28
meningkatkan beban allostatic pankreas. Selain itu, telah dikemukakan bahwa
hiperglikemia kronik dapat memperburuk resistensi insulin.
Pada anak yang memiliki kecenderungan genetik dan risiko terpapar
lingkungan, resistensi insulin mungkin menyebabkan hiperinsulinemia dan intoleransi
glukosa. Pasien seperti ini biasanya berkunjung ke dokter dengan keluhan glikosuria
tanpa ketonuria, poliuria, polidipsia, dan polifagi.
Diabetes didiagnosis apabila:
 Gula darah puasa (FPG) adalah ≥ 7.0 mmol / l (126 mg / dl) atau
 Gula darah post TTGO > 11,1mmol / l (200 mg/dl)
 Dilakukan seperti yang dijelaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
menggunakan glukosa setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam
air atau
 Gejala diabetes dengan gula darah sewaktu ≥ 200 mg / dl (11,1mmol / L).

Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada riwayat keluarga,


pengukuran glukosa darah dan ada tidaknya gejala diabetes. Gejala klasik Diabetes
Mellitus adalah poliuri, polidipsi dan polifagi Jika tidak ditemukan tanda
hiperglikemia yang jelas, harus dikonfirmasi pada hari berikutnya, dengan salah satu
dari tiga metode tersebut.
Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien dan keluarga,
modifikasi gaya hidup, dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi Diabetes Mellitus
Tipe 2 secara keseluruhan adalah tercapainya kadar glukosa darah yang normal,
penurunan berat badan pada pasien obesitas, pengendalian faktor-faktor komorbid
seperti hipertensi,dislipidemia, nefropati, dan steatosis hepatik. Diet dan latihan fisik
saja pada anak yang didiagnosis dengan Diabetes Mellitus Tipe 2, mempunyai
tingkat keberhasilan yang rendah. Pilihan pertama pada anak dan remaja adalah
metformin. Metformin harus dimulai bersama dengan edukasi perubahan gaya hidup,
kecuali pada kasus yang membutuhkan insulin untuk memperbaiki toksisitas glukosa
dalam ketoasidosis.

29
Insiden dan prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 meningkat pada masa anak-
anak, namun hanya sedikit yang diketahui mengenai komplikasi yang terjadi.
Beberapa komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 pada anak-anak dan remaja yaitu
komplikasi mikrovaskuler, seperti retinopati, sistem renal, dan neuropati. Komplikasi
makrovaskuler seperti penyakit perlemakan hati non alkaholik, sistem pancreas,
sistem pernapasan, hipertensi dan komplikasi kardiovaskuler lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Zeitler P, Hirst K, Pyle L, Linder B, Bethesda, Copeland K, et al. A Clinical Trial
to Maintain Glycemic Control in Youth with Type 2 Diabetes. N Engl J Med.
2012; 366:2247-56
2. Tfayli H, Arslanian S. Pathophysiology of Type 2 Diabetes Mellitus in Youth: The
Evolving Chameleon. Arq Bras Endocrinol Metab. 2009; 53:165-72
3. Springer SC, Silverstein J, Copeland K, Moore KR, Prazar GE, Raymer T, et al;
American Academy of Pediatrics. Management of Type 2 Diabetes Mellitus in
Children and Adolescents. Pediatrics. 2013; 648-62
4. Erhardt E, Molnar D. Is Type 2 Diabetes Mellitus A Significant Problem in
European Adolescents?. Scandinavian Journal of Nutrition 2004; 48:155-60
5. Batubara RL. Audit of childhood diabetes control in Indonesia. Paediatr Indones
2002; 42:280-6
6. Diani A, Pulungan AB. Tatalaksana Metformin Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
Anak Dibandingkan dengan Obat Anti Diabetes Oral yang Lain. Sari Pediatri
2010; 11:295-400
7. Deepak N Parchwani, SMS Murthy, Amit A Upadhyah, Digisha D Patel, National
Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology | 2013 | Vol 3 | Issue 1 | 57 –
68
8. Robert M, Hal B Jenson, Richard E, Bonita F. Nelson Textbook of Pediatrics 18 th
Edition
9. Tamara S. Hannon, Goutham Rao and Silva A. Arslanian, Childhood Obesity and
Type 2 Diabetes Mellitus, Pediatrics 2005;116;473
10. WHO.obesity: Preventing and managing the Global Epidemic. Geneva: WHO
technical Report Series, 2000.
11. Ebe D’Adamo MD,Sonia Caprio MD,Type 2 Diabetes in Youth ; Epidemiology
and Pathophysiology, Journal Diabetes Care, Volume 34,2011.
12. Anila Chadha, MD, Malcolm S. Schwartz, DO, Type 2 Diabetes Mellitus in
Childhood: Obesity and Insulin Resistance, JAOA • Vol 108 • No 9 • September
2008

31
13. Kohei kaku. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy, JMAJ
53(1): 41-46, Japan Medical Association- Journal 53 (1): 41-46, 2010
14. Chiarelli, Francesco, Maria Loredana M. Insulin resistance and obesity in
childhood,EJE.2008
15. P.A. Tatarani, Obesity, Diabetes & Energy Metabolism Unit, Clinical Diabetes &
Nutrition Section. Pathophysiology of obesity-induced insulin resistance and type
2 diabetes mellitus.2009

32

Anda mungkin juga menyukai