Laporan BVD Coass Reproduksi Hismal
Laporan BVD Coass Reproduksi Hismal
Terkait dengan lalu lintas hewan sapi potong yang cukup besar, maka perlu
dilakukan suatu pengawasan yang ketat terhadap resiko penyakit. Hewan sapi
sangat peka terhadap penyakit menular Bovine Viral Diarrhea (BVD). Virus BVD
merupakan penyakit ternak yang sangat infeksius. Virus ini menyebabkan
kerugian ekonomi akibat bermacam-macam gejala klinis yang ditimbulkan dan
merupakan subjek penyakit yang masuk dalam program penanggulangan dan
pemberantasan di seluruh dunia. Infeksi BVD memiliki patogenesis yang sangat
komplek, dengan infeksi sebelum dan sesudah kebuntingan yang menyebabkan
gejala klinis yang bervariasi. Infeksi virus selama kebuntingan menghasilkan
infeksi pada fetus, yang dapat menyebabkan kematian embrio dini, efek
teratogenik atau hewan yang memiliki infeksi persisten. Hewan dengan status
infeksi persisten akan mengeluarkan virus BVD melalui eksresi dan sekresi
selama hidupnya dan merupakan rute transmisi utama dalam penularan virus ini.
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang
mempunyai dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari
subklinis sampai kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut
menimbulkan gejala diare, pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara
transplasenta menyebabkan aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi
persisten pada pedet baru lahir.
1. Etiologi
Virus BVD termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga
Togaviridae dan merupakan RNA virus. Virus memiliki antigen yang mirip
dengan virus hog cholera. Dalam batas – batas tertentu virus bersifat termostabil,
peka terhadap asam, kloroform dan tripsin. Virus tidak menyebabkan
hemaglutinasi. Semua galur virus BVD menunjukkan reaksi silang (Merck, 2001).
Infeksi virus pada sapi dapat menyebabkan diare (39%), radang paru –
paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%), dan keguguran (5%). Hasil
survei menunjukkan bahwa virus BVD dapat diisoalasi dari 21% kejadian radang
paru – paru pada sapi, sedangkan untuk virus lainnya, yang meliputi virus IBR,
PI-3 dan Rota-virus, angka tersebut mencapai 16% (Merck,2001).
Gambar 2. BVDV
2. Epidemiologi
Penyakit BVD terdapat di seluruh dunia. Di daerah – daerah tertular secara
enzootik, 50 – 70% sapi – sapi mempunyai antibodi BVD. Pada dasarnya sapi –
sapi berumur 6 – 24 bulan adalah yang paling peka, karena sampai umur 6 bulan
masih dilindungi antibodi kolostral, sedang selewat umur 24 bulan telah terinfeksi
secara alami (di daerah tertular). Pada sapi – sapi yang tidak kebal, tua atau muda
penyakit dapat bersifat parah (Darmadi, 1989).
Selain hewan – hewan yang telah disebutkan, babi juga telah diketahui
mengandung titer BVD tanpa adanya gejala sakit. Dalam vaksinasi, hewan –
hewan yang akan divaksin akan menunjukkan respon serologis positif. Hewan –
hewan yang tidak berhasil membentuk antibodi (sero negatif) akan bertindak
sebagai pengidap, dan sewaktu – waktu akan menjadi akut. Hewan demikian
harus dikeluarkan dari peternakan. Virus yang ditularkan secara kontak langsung
atau tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi tinja, dan secara
aerosol. Virus juga terdapat di dalam kemih dan mungkin bersifat infeksius. Sapi
dapat tertular virus dari domba dan begitu pula sebaliknya. Sapi dapat menjadi
sumber penularan bagi hewan - hewan liar yang berdiam disekitar peternakan
(Subronto, 2003).
3. Patogenesis
Seperti halnya penyakit lain patogenesis virus BVDV tergantung pada
interaksi antara host, agen, dan lingkungan. Terdapat berbagai temuan klinis
berdasarkan faktor-faktor host dan virulensi dari bentuk khusus dari BVDV yang
terlibat. Secara umum, kompleks BVDV dapat mengakibatkan diare subklinis,
penyakit mukosa, perakut fatal diare, immunosuppresi, trombositopenia dan
hemoragik, kegagalan reproduksi dan kelainan bawaan dari pedet. Gejala klinis
dari infeksi BVDV tergantung pada faktor hostnya (sapi) seperti umur hewan, usia
janin saat terinfeksi secara transplasenta (usia kebuntingan), dan status kekebalan
(pasif karena kolostrum atau aktif karena vaksinasi/paparan sebelumnya)
(Radostits, 2007). Secara mudah patogenesis BVD dapat dibahas dalam dua
kategori yaitu imunokompeten ternak yang tidak bunting dan imunokompeten
pada ternak yang bunting (Kahrs, 1981).
BVDV dapat menginfeksi janin setiap saat, tapi hasilnya bervariasi tergantung
pada strain virus dan usia kebuntingan. Aborsi dapat terjadi selama spesifik
periode kebuntingan (Sudarisman, 2011):
a. Sub klinis
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika
Serikat dan penyakit enzootic lainnya. Gejalanya meliputi demam yang tidak
begitu tinggi, leukopenia, diare ringan, dan secara serologis ditemukan titer
antibodi yang tidak tinggi (Eko, 2008).
b. Akut
Bentuk ini menunjukkan perubahan organik yang paling luas. Hewan yang
berumur 6 - 24 bulan adalah yang paling banyak menderita; pada sapi-sapi yang
tua akan nampak menderita sekali. Bentuk ini mencapai 5 - 24% dari kejadian
BVD. Penyakit berlangsung 1 - 30 hari dengan rata-rata 2 - 3 minggu. Secara
umum suhu yang berfase 2 mencapai ± 42 0C pada puncak yang akhir. Hewan
tampak lesu, dengan nafsu makan yang hilang serta gerakan rumen yang menurun
dan cenderung terjadi penimbunan gas di dalamnya. Produksi air susu jadi
menurun. Lebih lanjut lagi mengalami diare yang profus dengan tinja yang sangat
cair, tercampur lendir dan titik-titik/bekuan darah. Hal terakhir biasanya
disebabkan oleh trombositopenia (Eko, 2008).
Demam yang tinggi, anoreksia dan diare akan terjadi dehidrasi, yang akan
mengakibatkan asidosis, hipokloremia, dan hipokalemia. Karena asidosis maka
respirasi akan meningkat frekuensinya. Dari segi alat pernapasan akan terlihat
ingus yang mukoid atau mukopurulen, adanya lesi dalam mukosa hidung, dan bau
napas dan mulut yang tidak enak. Pada auskultasi suara bronchial akan menonjol,
sementara suara vasikulernya menurun. Adanya infeksi sekunder menyebabkan
gejala pneumonia jadi lebih jelas. Batuk berlangsung selama ± 10 hari.
Pada rongga mulut akan dapat dilihat erosi pada lidah, gusi dan mukosa pipi.
Papila akan memendek oleh lesi tersebut, sapi yang sakit akan menunjukkan
hipersalivasi. Lesi-lesi juga ditemukan pada lubang hidung. Dari matanya akan
terlihat pembengkakan kornea yang ditandai dengan lakrimasi yang berlebihan
(Eko, 2008).
Lesi kulit terlihat pada daerah interdigital atau sebelah atas dari mahkota
(korona) keempat tracak. Lesi - lesi tersebut akan mengakibatkan kepincangan.
Tidak jarang karena adanya imunosupresi, lesi kulit juga disertai infeksi oleh
tungau Chorioptes sp (Eko, 2008).
Selain pneumonia, infeksi sekunder dapat pula menyebabkan mastitis dan
metritis. Keluron terjadi pada 5% kasus BVD. Anak yang lahir kemudian
menderita hipoplasia serebeli (hypoplasia cerebeli) (Eko, 2008).
Hewan yang terinfeksi akan mengalami kematian dalam waktu 1 - 2
minggu. Apabila PMN meningkat jumlahnya biasanya akan terjadi kesembuhan.
Dalam keadaan lain mungkin penyakit akan menjadi kronik (Eko, 2008).
c. Sub akut
Bentuk ini ditandai dengan diare yang intermiten, kekurusan, kembung
rumen yang kronik, serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula. Anemia
dan lukopenia akan ditemukan secara menyolok. Pertumbuhan badan menjadi
terlambat (Eko, 2008).
d. Bentuk Neonatal
Bentuk ini mengenai pedet - pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, yang
ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi, diare, serta gangguan pernapasan. Pedet
yang menderita kebanyakan berasal dari induk dengan kekebalan yang rendah,
atau berasal dari induk yang sakit. Infeksi atas pedet umumnya terjadi setelah
kelahiran.Pada infeksi prenatal, terjadi sindrom pedet lemah, yang selain
kelemahan umum pedet yang baru lahir terus mengalami diare (Eko, 2008).
Gambar 5. BVDV Neonatal
7. Diagnosa
Penetuan diagnosa didasarkan atas gejala klinis, perubahan dalam seksi
dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan titer antibodi dilakukan
dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3 -
4 minggu. Kenaikan empat kali atau lebih atas titer dipakai sebagai patokan
penentuan diagnosa. Cara lain dilakukan dengan inokulasi virus pada biakan sel
atau dengan uji Flouresen antibody (Journal IPB, 2015).
Hasil pemeriksaan darah juga sangat penting diperhatikan dalam
penentuan diagnosa. Rendahnya jumlah sel darah putih dan adanya demam pada
hewan yang terinfeksi di daerah wabah harus dicurigai terhadap BVD.
Diagnosa banding yang perlu diperhatikan meliputi ingusan, IBR,
Stomatitis vesikuler, PMK, Salmonelosis, dan Paratuberkulosis (Journal IPB,
2015).
Gejala Penyakit
1. Diare parah
2. Nafsu makan berkurang
3. Terlihat kurus
4. Ambruk dan susah berdiri
5. Demam
6. Feses berbau amis
7. Feses cair dan tersembur kuat
Diagnosa
Dari anamnesa yang diproleh serta gejala penyakit yang ditunjukkan maka
mengarahkan diagnose ke Suspect Bovine Viral Diarrhea.
Penanganan
1. Melakukan program vaksinasi BVD pada setiap ternak yang masuk atau
yang baru lahir.
2. Tidak menjual sapi dari peternakan yang terjangkit BVD.
3. Memberikan informasi kepada calon pembeli terhadap terjangkitnya
penyakit BVD ini. Jika ternak bunting yang terjangkit berikan penjelasan
agar memeriksakan pedetnya jika telah lahir untuk melihat pedet menjadi
carier terhadap BVD. Jika menjadi carier pedet harus dimusnahkan.
4. Pengguguran setelah terinfeksi BVD.
5. Hewan yang terinfeksi dan hewan lain yang kontak dengan hewan tersebut
diisolasi.
6. Sanitasi dengan melakukan desinfeksi kandang secara rutin dan dilakukan
dengan kombinasi sistem all in, all out.
7. Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi. Hanya membawa dari
peternakan yang bebas BVD.
8. Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi
yang efektif.
9. Menghindari pembelian dari kandang-kandang penjualan/pengepul.
10. Isolasi hewan baru selama 30 hari sebelum kontak dengan hewan dalam
peternakan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang
mempunyai dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari
subklinis sampai kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut
menimbulkan gejala diare, pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara
transplasenta menyebabkan aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi
persisten pada pedet baru lahir.
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini. Terapi yang diberikan
untuk sapi yang positif terjangkit berupa terapi suportif serta management isolasi
dan desinfeksi kandang.
.
5.2 Saran
Perlu edukasi kepada masyarakat akan pentingnya managemen
pemeliharaan hewan ternak dengan baik dan benar agar dapat mengurangi
penyebaran penyakit BVD serta penanganan untuk sapi positif terjangkit.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, J. 1995. The Clinical Manifestation of Bovine Viral Diarrhea Infection. Vet
Clin North Am Food Anim Pract. 13(3):425-54.
Eko Susilorini, Tri, Manik Eirry Sawitri dan Muharlien.2008. Budidaya 22 Ternak
Potensial.Jakarta: Penebar Swadaya.
Kahrs, R.F. 1981. Viral Diseases of Cattle. 1 st edition. The IOWA State
University Press. Ames. IOWA.
Merk Veteriner Manual. 2001; Merck Sharp & Dohme Corp. Asubsidiary of
Merck & Co..Inc. Whitehouse Station, NJ USA.
Wiyono, A., P. Ronohardjo, R.J. Graydon and P.W.Daniels. 1989. Diare Ganas
Sapi. Kejadian Penyakit pada Sapi Bali Bibit Asal Sulawesi Selatan yang
Baru Tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan XXI.
Lampiran