Anda di halaman 1dari 18

Co-Asistensi Bidang Reproduksi

Bovine Viral Diarrhea (BVD)

Jumat, Desember 2018

ANDI HISMAL GIFARI ZAKAWALI HARIS


C024181006

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ternak sapi, khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya
penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam
kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan
berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging,
disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang.

Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein


hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai
pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi.
Daging untuk pemenuhan gizi mulai meningkat dengan adanya istilah “balita” dan
terangkatnya peranan gizi terhadap kualitas generasi penerus. Konsumsi protein
hewani yang rendah pada anak-anak pra sekolah dapat menyebabkan anak-anak
yang berbakat normal menjadi subnormal. Oleh karena itu, protein hewani sangat
menunjang kecerdasan, disamping diperlukan untuk daya tahan tubuh.

Terkait dengan lalu lintas hewan sapi potong yang cukup besar, maka perlu
dilakukan suatu pengawasan yang ketat terhadap resiko penyakit. Hewan sapi
sangat peka terhadap penyakit menular Bovine Viral Diarrhea (BVD). Virus BVD
merupakan penyakit ternak yang sangat infeksius. Virus ini menyebabkan
kerugian ekonomi akibat bermacam-macam gejala klinis yang ditimbulkan dan
merupakan subjek penyakit yang masuk dalam program penanggulangan dan
pemberantasan di seluruh dunia. Infeksi BVD memiliki patogenesis yang sangat
komplek, dengan infeksi sebelum dan sesudah kebuntingan yang menyebabkan
gejala klinis yang bervariasi. Infeksi virus selama kebuntingan menghasilkan
infeksi pada fetus, yang dapat menyebabkan kematian embrio dini, efek
teratogenik atau hewan yang memiliki infeksi persisten. Hewan dengan status
infeksi persisten akan mengeluarkan virus BVD melalui eksresi dan sekresi
selama hidupnya dan merupakan rute transmisi utama dalam penularan virus ini.
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang
mempunyai dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari
subklinis sampai kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut
menimbulkan gejala diare, pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara
transplasenta menyebabkan aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi
persisten pada pedet baru lahir.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah penyakit Bovine Viral Diarrhea itu?
1.2.2 Apa gejala penyakit Bovine Viral Diarrhea?
1.2.3 Bagaimana penanganan penyakit Bovine Viral Diarrhea?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Mengetahui tentang penyakit Bovine Viral Diarrhea.
1.3.2 Mengetahui gejala penyakit Bovine Viral Diarrhea.
1.3.3 Mengetahui penanganan penyakit Bovine Viral Diarrhea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD)


BVD pada dasarnya merupakan penyakit sapi berumur 6 – 24 bulan,
berlangsung secara akut atau sub akut, dan ditandai dengan berbagai manifestasi
klinis, terutama gejala – gejala gangguan pencernaan dan pernafasan. Selain sapi,
hewan – hewan berkuku genap kambing, domba, kerbau dan menjangan juga
rentan terhadap virus BVD (Baker, 1995).

Gambar 1. Bovine Viral Diarrhea pada Sapi Perah

1. Etiologi
Virus BVD termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga
Togaviridae dan merupakan RNA virus. Virus memiliki antigen yang mirip
dengan virus hog cholera. Dalam batas – batas tertentu virus bersifat termostabil,
peka terhadap asam, kloroform dan tripsin. Virus tidak menyebabkan
hemaglutinasi. Semua galur virus BVD menunjukkan reaksi silang (Merck, 2001).
Infeksi virus pada sapi dapat menyebabkan diare (39%), radang paru –
paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%), dan keguguran (5%). Hasil
survei menunjukkan bahwa virus BVD dapat diisoalasi dari 21% kejadian radang
paru – paru pada sapi, sedangkan untuk virus lainnya, yang meliputi virus IBR,
PI-3 dan Rota-virus, angka tersebut mencapai 16% (Merck,2001).
Gambar 2. BVDV

2. Epidemiologi
Penyakit BVD terdapat di seluruh dunia. Di daerah – daerah tertular secara
enzootik, 50 – 70% sapi – sapi mempunyai antibodi BVD. Pada dasarnya sapi –
sapi berumur 6 – 24 bulan adalah yang paling peka, karena sampai umur 6 bulan
masih dilindungi antibodi kolostral, sedang selewat umur 24 bulan telah terinfeksi
secara alami (di daerah tertular). Pada sapi – sapi yang tidak kebal, tua atau muda
penyakit dapat bersifat parah (Darmadi, 1989).
Selain hewan – hewan yang telah disebutkan, babi juga telah diketahui
mengandung titer BVD tanpa adanya gejala sakit. Dalam vaksinasi, hewan –
hewan yang akan divaksin akan menunjukkan respon serologis positif. Hewan –
hewan yang tidak berhasil membentuk antibodi (sero negatif) akan bertindak
sebagai pengidap, dan sewaktu – waktu akan menjadi akut. Hewan demikian
harus dikeluarkan dari peternakan. Virus yang ditularkan secara kontak langsung
atau tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi tinja, dan secara
aerosol. Virus juga terdapat di dalam kemih dan mungkin bersifat infeksius. Sapi
dapat tertular virus dari domba dan begitu pula sebaliknya. Sapi dapat menjadi
sumber penularan bagi hewan - hewan liar yang berdiam disekitar peternakan
(Subronto, 2003).

3. Patogenesis
Seperti halnya penyakit lain patogenesis virus BVDV tergantung pada
interaksi antara host, agen, dan lingkungan. Terdapat berbagai temuan klinis
berdasarkan faktor-faktor host dan virulensi dari bentuk khusus dari BVDV yang
terlibat. Secara umum, kompleks BVDV dapat mengakibatkan diare subklinis,
penyakit mukosa, perakut fatal diare, immunosuppresi, trombositopenia dan
hemoragik, kegagalan reproduksi dan kelainan bawaan dari pedet. Gejala klinis
dari infeksi BVDV tergantung pada faktor hostnya (sapi) seperti umur hewan, usia
janin saat terinfeksi secara transplasenta (usia kebuntingan), dan status kekebalan
(pasif karena kolostrum atau aktif karena vaksinasi/paparan sebelumnya)
(Radostits, 2007). Secara mudah patogenesis BVD dapat dibahas dalam dua
kategori yaitu imunokompeten ternak yang tidak bunting dan imunokompeten
pada ternak yang bunting (Kahrs, 1981).

1. Imunokompeten ternak yang tidak bunting

BVDV subklinis yang umumnya terjadi dipeternakan, karena penurunan


antibodi induk. Infeksi jarang berlangsung lebih dari beberapa hari dan ditandai
dengan depresi, diare ringan, dan leukopenia sementara.
Peracut BVD adalah bentuk parah dan sangat fatal dari penyakit yang disebabkan
oleh NCP BVDV-2, namun jarang terjadi. Bentuk penyakit ini dapat
mengakibatkan trombositopenia dan sindrom hemoragik, hemoragi, epistaksis,
dan pendarahan abnormal. Sapi dengan BVD lebih rentan terhadap
rhinotracheitis, penyakit pernapasan sapi, dan enteritis (Sudarisman, 2011).

2. Imunokompeten ternak bunting

BVDV dapat menginfeksi janin setiap saat, tapi hasilnya bervariasi tergantung
pada strain virus dan usia kebuntingan. Aborsi dapat terjadi selama spesifik
periode kebuntingan (Sudarisman, 2011):

 Infeksi selama siklus entrus bisa mengakibatkan infertilitas atau kematian


embrio dini. Jika terjadi sebelum inseminasi penurunan konsepsi terjadi
karena penundaan atau pengurangan ovulasi. Inseminasi dengan semen
yang terinfeksi BVDV akan menghasilkan tingkat konsepsi yang rendah.
 Infeksi pada paruh pertama kebuntingan dapat mengakibatkan aborsi atau
infeksi persisten pedet.
 Infeksi pada paruh kedua kebuntingan bisa mengakibatkan aborsi, bayi
lahir mati, atau sapi lemah, tapi tidak menyebabkan infeksi persisten
pedet.
Infeksi persisten (PI) pedet terjadi ketika janin terinfeksi BVDV selama paruh
pertama kebuntingan (gambar.3). Pada masa tersebut sistem kekebalan janin
belum cukup berkembang untuk merespon infeksi BVDV. Janin kemungkinan
aborsi tetapi jika bertahan kemungkinan akan berkembang menjadi pedet PI.
Beberapa pedet PI dapat tumbuh jelek sementara yang lain dapat tumbuh sehat
dan baik, sehingga tidak mungkin mendeteksi hewan PI secara visual. Sebagian
besar hewan PI mati pada umur 2 tahun, tetapi beberapa akan bertahan beberapa
tahun dan carier BVDV sepanjang hidup dan menjadi ancaman bagi kesehatan
ternak (Wiyono, 1989).
Viremia berlangsung selama 15-60 hari setelah terjadinya infeksi.
Perubahan yang menyolok berupa jejas terbatas pada saluran pencernaan,
pernapasan, mata dan pada permukaan epitel organ lain maupun epidermis. Virus
yang bersifat imunosupresif menyebabkan penurunan fungsi limfosit T. Supresi
juga terjadi pada pusat hemopoetik hingga penderita mengalami lekopenia,
terutama neotropenia. Pada hewan yang bunting virus dapat menembus barier
plasenta, sehingga janin dapat menjadi seropositif pada waktu berumur 7 bulan di
dalam kandungan. Jika infeksi terjadi pada awal kebuntingan, karena terjadinya
toleransi imunologik, pedet yang dilahirkan akan menjadi seronegatif. Sebagian
penderita juga akan mengalami keguguran (Wiyono, 1989).
Sebagai akibat imunosupresi oleh virus hewan mudah menderita infeksi
sekunder hingga terjadi pneomonia dan radang - radang infeksi yang lain.
Tergantung dari virulensi virus, derajat kekebalan penderita dan bagian tubuh
yang paing menderita, BVD dibedakan dalam bentuk - bentuk subklinis, akut,
subakut, atau kronik dan neonatal (Subronto, 2003).

Gambar 3. Mekanisme Penyakit BVD


4. Gejala Klinis

a. Sub klinis
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika
Serikat dan penyakit enzootic lainnya. Gejalanya meliputi demam yang tidak
begitu tinggi, leukopenia, diare ringan, dan secara serologis ditemukan titer
antibodi yang tidak tinggi (Eko, 2008).

b. Akut
Bentuk ini menunjukkan perubahan organik yang paling luas. Hewan yang
berumur 6 - 24 bulan adalah yang paling banyak menderita; pada sapi-sapi yang
tua akan nampak menderita sekali. Bentuk ini mencapai 5 - 24% dari kejadian
BVD. Penyakit berlangsung 1 - 30 hari dengan rata-rata 2 - 3 minggu. Secara
umum suhu yang berfase 2 mencapai ± 42 0C pada puncak yang akhir. Hewan
tampak lesu, dengan nafsu makan yang hilang serta gerakan rumen yang menurun
dan cenderung terjadi penimbunan gas di dalamnya. Produksi air susu jadi
menurun. Lebih lanjut lagi mengalami diare yang profus dengan tinja yang sangat
cair, tercampur lendir dan titik-titik/bekuan darah. Hal terakhir biasanya
disebabkan oleh trombositopenia (Eko, 2008).
Demam yang tinggi, anoreksia dan diare akan terjadi dehidrasi, yang akan
mengakibatkan asidosis, hipokloremia, dan hipokalemia. Karena asidosis maka
respirasi akan meningkat frekuensinya. Dari segi alat pernapasan akan terlihat
ingus yang mukoid atau mukopurulen, adanya lesi dalam mukosa hidung, dan bau
napas dan mulut yang tidak enak. Pada auskultasi suara bronchial akan menonjol,
sementara suara vasikulernya menurun. Adanya infeksi sekunder menyebabkan
gejala pneumonia jadi lebih jelas. Batuk berlangsung selama ± 10 hari.
Pada rongga mulut akan dapat dilihat erosi pada lidah, gusi dan mukosa pipi.
Papila akan memendek oleh lesi tersebut, sapi yang sakit akan menunjukkan
hipersalivasi. Lesi-lesi juga ditemukan pada lubang hidung. Dari matanya akan
terlihat pembengkakan kornea yang ditandai dengan lakrimasi yang berlebihan
(Eko, 2008).
Lesi kulit terlihat pada daerah interdigital atau sebelah atas dari mahkota
(korona) keempat tracak. Lesi - lesi tersebut akan mengakibatkan kepincangan.
Tidak jarang karena adanya imunosupresi, lesi kulit juga disertai infeksi oleh
tungau Chorioptes sp (Eko, 2008).
Selain pneumonia, infeksi sekunder dapat pula menyebabkan mastitis dan
metritis. Keluron terjadi pada 5% kasus BVD. Anak yang lahir kemudian
menderita hipoplasia serebeli (hypoplasia cerebeli) (Eko, 2008).
Hewan yang terinfeksi akan mengalami kematian dalam waktu 1 - 2
minggu. Apabila PMN meningkat jumlahnya biasanya akan terjadi kesembuhan.
Dalam keadaan lain mungkin penyakit akan menjadi kronik (Eko, 2008).

Gambar 4. BVD Akut

c. Sub akut
Bentuk ini ditandai dengan diare yang intermiten, kekurusan, kembung
rumen yang kronik, serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula. Anemia
dan lukopenia akan ditemukan secara menyolok. Pertumbuhan badan menjadi
terlambat (Eko, 2008).

d. Bentuk Neonatal
Bentuk ini mengenai pedet - pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, yang
ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi, diare, serta gangguan pernapasan. Pedet
yang menderita kebanyakan berasal dari induk dengan kekebalan yang rendah,
atau berasal dari induk yang sakit. Infeksi atas pedet umumnya terjadi setelah
kelahiran.Pada infeksi prenatal, terjadi sindrom pedet lemah, yang selain
kelemahan umum pedet yang baru lahir terus mengalami diare (Eko, 2008).
Gambar 5. BVDV Neonatal

5. Pemeriksaan Patologi Klinis


Oleh diare akan terjadi asidosis, hipokloremia, dan hipokalemia. Karena
supresi atas sumsum tulang, PMN yang terbentuk akan merosot jumlahnya.
Begitu juga dengan limfosit, hingga terjadi limfopenia (Subronto, 2003).
Adanya netropenia pada hewan yang terinfeksi dengan jumlah kurang dari
1000 sel/ml, harus dicurigai mengalami BVD. Apabila kurang dari 600 sel/ml, hal
tersebut mempunyai arti diagnostik. BVD perlu dibedakan dari salmonelosis yang
selain adanya netrofil muda, PMN nampak mengalami keracunan. Pada BVD
netrofil tidak ditemukan. Bila netrofil tidak dapat dihitung, BVD dapat disangka
adanya dengan melihat jumlah sel darah putih yang berkisar 2000 - 3000 sel/ml
darah. Pada kasus yang berlangsung kronik akhirnya terjadi sitopenia dan
mungkin juga disertai trombositopenia (Subronto,2003).

6. Pemeriksaan Patologi Anatomis


Dalam seksi ditemukan lesi yang menyangkut berbagai alat tubuh. Erosi
yang bersifat linier atau ulserasi terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari
mulut, kerongkongan terutama pada sepertiga bagian bawah, dan abomasum.
Peyer’s pathes tampak mengalami nekrose. Mukosa batang tenggorok bersifat
kongestif dan kadang-kadang dibarengi dengan pendarahan (Subronto, 2003).
Permukaan serosa menunjukkan ekinosae dan pada pencernaan mungkin
dapat dilihat adanya perdarahan, hingga tinja juga mengandung bintik - bintik
darah (Subronto, 2003).
Secara mikroskopik dijumpai adanya nekrose pada berbagai jaringan
limfoit, kelenjar limfe, limpa dan lempengan peyer. Jaringan - jaringan tersebut
mengalami hipoplase (Subronto, 2003).

7. Diagnosa
Penetuan diagnosa didasarkan atas gejala klinis, perubahan dalam seksi
dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan titer antibodi dilakukan
dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3 -
4 minggu. Kenaikan empat kali atau lebih atas titer dipakai sebagai patokan
penentuan diagnosa. Cara lain dilakukan dengan inokulasi virus pada biakan sel
atau dengan uji Flouresen antibody (Journal IPB, 2015).
Hasil pemeriksaan darah juga sangat penting diperhatikan dalam
penentuan diagnosa. Rendahnya jumlah sel darah putih dan adanya demam pada
hewan yang terinfeksi di daerah wabah harus dicurigai terhadap BVD.
Diagnosa banding yang perlu diperhatikan meliputi ingusan, IBR,
Stomatitis vesikuler, PMK, Salmonelosis, dan Paratuberkulosis (Journal IPB,
2015).

8. Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan terhadap hewan yang terinfeksi berupa pengobatan suportif,
terutama cairan elektrolit. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas, untuk
infeksi sekunder dan aspirin sebagai anaglesika dan antipiretika perlu dianjurkan.
Pencegahan dilakukan dengan cara vaksinasi. Sampai sekarang yang ada baru
vaksin MLV. Vaksinasi inaktif masih dalam taraf penelitian (Subronto, 2003).
BAB III
METODE

3.1 Tata Laksana


SIGNALEMENT
Nama : Sapi 1
Jenis hewan : Sapi
Kelamin : Betina
Ras/breed : Sapi Bali
Warna : Cokelat
Umur : 1 tahun

Gejala Penyakit

Dari anamnesa yang diperoleh serta pada sapi yang ditemukan di


kecamatan Palakka memperlihatkan gejala penyakit sebagai berikut:

1. Diare parah
2. Nafsu makan berkurang
3. Terlihat kurus
4. Ambruk dan susah berdiri
5. Demam
6. Feses berbau amis
7. Feses cair dan tersembur kuat

Diagnosa

Dari anamnesa yang diproleh serta gejala penyakit yang ditunjukkan maka
mengarahkan diagnose ke Suspect Bovine Viral Diarrhea.

Penanganan

Penangan yang diberikan pada kasus ini berupa:


1. Pemberian air yang dicampur gula dan garam
2. Pemberian Bicarbon
3. Isolasi sapi sakit dari sapi yang lain
4. Pemberian pakan yang lunak
5. Pemberian air yang banyak
BAB IV
PEMBAHASAN

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan yang dapat dilakukan hanya bersifat supportif saja karena
penyakit ini disebabkan oleh virus. Pencegahan dan pengendalian merupakan hal
penting yang harus dilaksanakan.
Pengendalian BVDV saat ini harus menggabungkan kombinasi dari
biosekuriti, pengujian dan pemusnahan hewan PI serta vaksinasi. Berbagai pilihan
dapat dilakukan untuk manajemen BVD ketika infeksi dalam suatu kelompok
ternak telah ditetapkan yaitu :

1. Vaksinasi dari sapi penderita. Hewan yang telah divaksin diberikan


booster vaksin tunggal setiap tahun.
2. Tindakan pencegahan melalui biosekuriti agar tidak terbawa virus ke
peternakan oleh pembawa.
3. Melakukan pengujian dengan pemeriksaan darah pada semua kelahiran
pedet sekitar 3 bulan setelah terlihat hewan pertama yang sakit BVD. Dan
terus melakukan pengujian sampai 9 bulan setelah terlihat hewan terakhir
yang sakit karena BVD.
4. Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap bulu, makanan, dan air.
5. Tempat tinggal pedet dibuat sendiri.
6. Pengujian hewan baru untuk infeksi persisten.
7. Pedet yang baru lahir diberi kolostrum secara maksimal.
8. Kurangi stress pada sapi yang bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit lain,
kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan kandang dan kualitas air yang jelek.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah tersebarnya


penyakit BVD adalah :

1. Melakukan program vaksinasi BVD pada setiap ternak yang masuk atau
yang baru lahir.
2. Tidak menjual sapi dari peternakan yang terjangkit BVD.
3. Memberikan informasi kepada calon pembeli terhadap terjangkitnya
penyakit BVD ini. Jika ternak bunting yang terjangkit berikan penjelasan
agar memeriksakan pedetnya jika telah lahir untuk melihat pedet menjadi
carier terhadap BVD. Jika menjadi carier pedet harus dimusnahkan.
4. Pengguguran setelah terinfeksi BVD.
5. Hewan yang terinfeksi dan hewan lain yang kontak dengan hewan tersebut
diisolasi.
6. Sanitasi dengan melakukan desinfeksi kandang secara rutin dan dilakukan
dengan kombinasi sistem all in, all out.
7. Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi. Hanya membawa dari
peternakan yang bebas BVD.
8. Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi
yang efektif.
9. Menghindari pembelian dari kandang-kandang penjualan/pengepul.
10. Isolasi hewan baru selama 30 hari sebelum kontak dengan hewan dalam
peternakan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit yang
mempunyai dampak sosial dan ekonomi cukup besar. Penyakit ini mulai dari
subklinis sampai kondisi fatal yang disebut mucosal disease. Kondisi akut
menimbulkan gejala diare, pneumonia dan mortalitas tinggi. Infeksi secara
transplasenta menyebabkan aborsi, stillbirths, efek teratogenik atau infeksi
persisten pada pedet baru lahir.
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini. Terapi yang diberikan
untuk sapi yang positif terjangkit berupa terapi suportif serta management isolasi
dan desinfeksi kandang.
.
5.2 Saran
Perlu edukasi kepada masyarakat akan pentingnya managemen
pemeliharaan hewan ternak dengan baik dan benar agar dapat mengurangi
penyebaran penyakit BVD serta penanganan untuk sapi positif terjangkit.
DAFTAR PUSTAKA

Baker, J. 1995. The Clinical Manifestation of Bovine Viral Diarrhea Infection. Vet
Clin North Am Food Anim Pract. 13(3):425-54.

Darmadi, P. 1989. Kejadian Diare Ganas pada Sapi. Direktorat Jenderal


Peternakan, Jakarta.

Eko Susilorini, Tri, Manik Eirry Sawitri dan Muharlien.2008. Budidaya 22 Ternak
Potensial.Jakarta: Penebar Swadaya.

Journal ipb, 2015. http://journal.ipb.ac.id/index.php/hemera/article/view/4810

Kahrs, R.F. 1981. Viral Diseases of Cattle. 1 st edition. The IOWA State
University Press. Ames. IOWA.

Merk Veteriner Manual. 2001; Merck Sharp & Dohme Corp. Asubsidiary of
Merck & Co..Inc. Whitehouse Station, NJ USA.

Radostitis, O.M. 2007. New Concepts in Patogenesis, Diagnosis and Control of


Diseases Caused by The Bovine Viral Diarrhea Virus. Can. Vet J.

S. Sudarmono, A dan Y. Bambang Sugeng.1992. Sapi potong + pemeliharaan,


perbaikan produksi, prospek bisnis, analisis penggemukan.Edisi Revisi.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Subronto.2003.Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Edisi kedua.Yogyakarta : Gama
Press.

Sudarisman. 2011. Bovine Viral Diarrhea pada Sapi di Indonesia dan


Permasalahannya. Wartazoa Vol 21 No1.

Wiyono, A., P. Ronohardjo, R.J. Graydon and P.W.Daniels. 1989. Diare Ganas
Sapi. Kejadian Penyakit pada Sapi Bali Bibit Asal Sulawesi Selatan yang
Baru Tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan XXI.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai