Anda di halaman 1dari 14

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah investasi masa depan bangsa. Oleh sebab itu, tanggung jawab orang tua

dan pendidik harus mengupayakan agar anak-anak pertumbuhan dan perkembangannya

optimal sesuai dengan harapan. Anak harus terus dibina, dibimbing, dan dilindungi agar

sehat dan sejahtera baik fisik, emosional, intelektual, social, dan seksualnya.

Tanggungjawab orang tua tidak hanya mencakup atau terbatasi pada kebutuhan materi

saja, tetapi sesungguhnya mencakup juga kepada seluruh aspek kehidupan anaknya,

termasuk didalamnya aspek pendidikan seksual. Dimana pemahaman dan pemilihan

metode pendidikan seksual yang tepat akan mengantarkan anak menjadi insan yang

mampu menjaga dirinya dari pernbuatan- perbuatan yang terlarang dan sadar akan

ancaman serta peringatan dari perbuatan amoral serta memiliki pegangan agama yang

jelas.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa tahun 2011 ada 2509 laporan kekerasan, di

mana 59%-nya adalah kekerasan seksualyang kemudian meningkattahun 2012 dimana

terdapat 2637 laporan, 62% diantaranya adalah kekerasan seksual. Jumlah ini terus

meningkat. KPAI mencatat dari tahun 2012 hingga 2013 jumlah kekerasan seksual pada

anak meningkat hingga 100 persen. Jumlah ini tidak hanya pada korban namun juga

pelaku. Menurut sekretaris KPAI Rita Pranawati, modus kekerasan seksual pada anak

semakin beragam, KPAI menyebut pelecehan seksual yang diterima oleh anak-anak

sebagian besar karena kesalahan pola asuh. Permasalahan utama yang terjadi adalah

karena korban kekerasan seksual tidak mengadukan permasalahan utama keluarga korban

enggan melaporkan kepada pihak yang berwajib, bahwasanya pelaku kekerasan seksual

1
2

merupakan keluarga dekat korban (paman, pekerja, sepupu). Para pelaku kekerasan

seksual 68 persen dilakukan oleh orang yang dikenal anak, termasuk 34 persen dilakukan

oleh orangtua kandung sendiri (Nainggolan: 2008). Sementara itu usia korban rata-rata

berkisar antara 2–15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 tahun 3 bulan.

KPAI mencatat, bahwa tempat kejadian setelah sekolah adalah rumah.

KPAI menghimbau agar orang tua maupun lingkungan sekitar harus mulai waspada

dengan melakukan upaya preventif. Upaya prventif seharusnya dilakukan, tidak hanya

oleh pemerintah namun juga di lingkungan dimana anak tumbuh. Rumah dan Sekolah

menjadi tempat dimana anak paling banyak menghabiskan waktunya sehari-hari. Di

rumah, orang tua menjadi benteng pertama perlindungan untuk mencegah kekerasan

seksual. Sekolah dimana anak menimba ilmu, juga sedapat mungkin dapat memberikan

perlindungan yang simultan. Upaya preventif untuk melindungi anak-anak dari kekerasan

seksual diantaranya dilakukan dengan memberikan pendidikan seks sejak dini. Anak

diharapkan mengetahui batasan tubuh yang boleh dan yang tidak boleh disentuh oleh

orang lain.

Salah satu tujuan pentingnya pendidikan seks pada anak usia dini adalah menjaga

kesehatan tubuhnya dari orang-orang yang berniat buruk pada anak. Wakil ketua KPAI

Susanto menegaskan dengan pengetahuan tentang seks, anak mampu menolak,

menghindar, mengadu kepada orang terdekat jika ada seseorang yang melakukan

tindakan kejahatan seksual (Rezkisari: 2015). Selain mencegah kejahatan seksual,

pendidikan seksual juga menghindari tindakan yang seharusnya belum boleh anak

lakukan karena ketidaktahuannya.

2
3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pendidikan seks?

2. Mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini?

3. Bagaimana strategi orangtua dalam memberikan pendidikan seks untuk anak usia

dini?

1.3 Tujuan

1. Untuk memperoleh informasi mengenai konsep pendidikan seks.

2. Untuk memperoleh informasi mengenai pentingnya pendidikan seks untuk anak usia

dini.

3. Untuk memperoleh informasi mengenai strategi orangtua dalam memberikan

pendidikan seks untuk anak usia dini.

3
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Seksual

Pendidikan Seks (Sex education) adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan

mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai

dari pertumbuhan jenis kelamin (laki-laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin

sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada

laki-laki.Tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada timbulnya

birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon. Termasuk nantinya masalah

perkawinan, kehamilan dan sebagainya. Sehingga pendidikan seks sudah seharusnya

diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui

pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya sex education

maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja.

Kita ketahui bahwa manusia itu diciptakan berjenis-jenis, yaitu laki-laki dan

perempuan. Kalau kamu ditanya apa seks kamu, tentu kamu menjawab laki-laki dan

perempuan. Sedangkan ciri-ciri, sifat atau peranan dari masing-masing jenis kelamin

itulah yang disebut dengan seksualitas. Seksualitas juga bisa di artikan sebagai dorongan

atau kehidupan seks itu sendiri, yakni segala sesuatu alias totalitas dari kehidupan

seseorang laki-laki dan perempuan meliputi penampilan fisik, emosi, psikologi, juga

intelektual mereka. Seks dan Seksualitas itu sesuatu yang alami terjadi pada manusia

karena itu adalah sesuatu hal yang sangat normal.

Pendidikan seks merupakan transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and value)

tentang fisik genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki- laki

dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan

4
5

manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya. Pendidikan seks adalah upaya

pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan

kepada anak dalam usaha menjaga anak terbebas dari kebiasaan yang tidak islami serta

menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan

pemahaman yang sehat tentang seks dari aspek kesehatan fisik, psikis, dan spiritual.

2.2 Pentingnya Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini

Diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali dianggap tabu

karena kepercayaan umum bahwa mengajarkan anak mengenai seks adalah bertujuan

untuk mendorong aktivitas seksual (Asekun-Olarinmoye, Dairo, & Adeomi, 2011). Hal

tersebut menyebabkan banyak orangtua tidak mendukung pendidikan seks untuk anak

karena ketakutan bahwa anak akan melakukan hubungan seks dan adanya kepercayaan

bahwa pendidikan seks hanya ditujukan kepada orang dewasa. Faktor lainnya adalah

pengalaman orangtua ketika masa kecil juga tidak mendiskusikan masalah seks dengan

orangtua mereka, sehingga pendidikan seks untuk anak belum dilakukan orangtua secara

maksimal.

Pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang benar dan

sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Anak yang secara naluriah memiliki rasa ingin

tahu yang tinggi, lambat laun akan bertanya tentang bagian-bagian tubuhnya. Tidak

mungkin, seorang anak tidak ingin mengetahui tentang beberapa organ vital tersebut sejak

dini, padahal anak telah melalui proses-proses seksual tersebut secara alami sesuai dengan

tahapan dari Sigmund Freud. Anak usia dini berada pada tiga fase psikoseksual yaitu fase

oral, fase anal dan tahap phalik (William Crain, 2014: 389). Fase oral adalah fase di mana

bayi mulai menghisap untuk bertahan hidup dan menimbulkan kesenangan. Fase anal

berkisar antara 1,5 sampai 2 tahun, adalah fase di mana anus dan fases menjadi bagian

5
6

terpenting untuk menjadi perhatian. Fase uretral, sekitar usia 3-6 tahun, anak mulai dapat

memperhatikan keadaan alat kelaminnya sendiri, mempermainkannya, bahkan terkadang

membanding-bandingkan dengan teman sebayanya.

Secara edukatif, anak dapat diberikan pendidikan seks sesuai dengan tahapan

perkembangan yang telah ia capai. Pendidikan seks dapat diberikan sejak anak mulai

bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang perbedaan alat kelaminnya

dengan alat kelamin milik adik. Secara garis besar, terdapat beberapa alasan dan tujuan

mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan oleh

Kakavoulis (1998) menyatakan bahwa melalui pendidikan seks, anak akan memiliki

pengetahuan mengenai tubuhnya, kesadaran yang baik, dan hubungan interpersonal yang

tepat, mampu membedakan identitas diri dan peran seks, pengetahuan tentang fungsi

generatif, dapat melindungi diri dari kekerasan, meningkatkan stabilitas emosi dan

kesehatan, dan kepribadian yang saling menghormati.

Pendidikan seks juga membantu anak untuk memahami struktur tubuh dari laki-laki

dan perempuan serta memperoleh pengetahuan mengenai kelahiran. Selain itu, pendidikan

seks mengajarkan anak untuk membangun dan menerima peran serta tanggungjawab dari

gender dirinya. Hal tersebut dikarenakan perbedaan dan persamaan antara dua gender jika

dilihat dari tubuh dan pemikiran akan mendorong perkembangan ke depannya ketika

berkenalan dengan teman dan hubungan interpersonal. Pendidikan seks merupakan sebuah

pendidikan holistik, di mana mengajarkan individu mengenai penerimaan diri, sikap, dan

keterampilan. Di sisi lain, mengacu pendapat Roqib (2008) bahwa tujuan diberikannya

pendidikan seks sejak usia dini, yaitu sebagai berikut:

(1) membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti bagian-bagian tubuh,

pertumbuhan, serta perkembanganbiakan, (2) mencegah anak-anak dari tindak kekerasan,

(3) mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual; (4)

6
7

mendorong hubungan yang baik, dan (5) membantu anak mengetahui peran gender sesuai

dengan jenis kelamin (seks) mereka.

2.3 Strategi Orangtua dalam Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini

Keterlibatan aktif orangtua dalam pendidikan seks membuat anak menguasai lebih

banyak pengetahuan mengenai terminologi genital yang sesuai jika dibandingkan dengan

pendidikan seks yang diajarkan oleh guru (Kenny, Reena, Ryan, & Runyon, 2008). Anak

yang dilatih oleh orangtuanya juga akan menerima pengetahuan yang berulang-ulang

secara konsisten dalam lingkungan yang natural atau alamiah. Hal ini semakin

menegaskan bahwa orangtua merupakan orang dewasa pertama yang dijumpai dan

sebagai pendidik utama anak. Namun demikian, beberapa penelitian (Pop & Rusu, 2015)

mengindikasikan bahwa orangtua, meskipun secara naluri rela mengambil tugas dalam

mendidik anak mereka, banyak dari orangtua memerlukan dukungan yang mencakup

dukungan informasi, motivasi, dan strategi yang dapat membantu orangtua dalam

memberikan pendidikan seks pada anak. Oleh karena itu, di bawah ini, terdapat beberapa

pendapat mengenai strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh orangtua dalam

memberikan pendidikan seks pada anak.

Ilmawati (Jatmikowati, Angin, & Ernawati, 2015) menjelaskan pokok-pokok strategi

yang perlu diterapkan dan diajarkan orangtua kepada anak yang bersifat praktis, di

antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak

dini. Jangan biasakan anak-anak, meskipun mereka masih kecil, dibiarkan untuk

bertelanjang di depan orang lain; misalnya, ketika keluar kamar mandi, berganti

pakaian, dan sebagainya.

7
8

2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak

perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai

perbedaan mendasar. Anak dapat diajak mengenali perbedaan yang ada pada

tubuhnya secara fisik. Dengan demikian anak akan mengetahui identitas dirinya

dengan tepat.

3. Memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa. Masa usia dini

merupakan masa dimana anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mu- lai

melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi

juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan

upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika

pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, setidaknya

anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan

perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Jika pemisahan tempat

tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara

langsung anak akan memiliki kesadaran tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

4. Mengenalkan waktu berkunjung. Anak tidak diperbolehkan untuk memasuki kamar

(ruangan) orang dewasa pada waktu tertentu (misalnya pada malam hari) kecuali

meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kamar.

5. Mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya. Mengajari anak untuk menjaga

kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak

tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet

training). Segera setelah anak siap, pada usia 3-6 tahun, orang tua mulai melatih

anaknya tentang toilet training (William Crain, 2014:395). Toilet training sebaiknya

diajarkan ketika anak sudah dapat mengungkapkan dan memahami apa yang sedang

8
9

diperintahkan kepada dirinya, sehingga tidak akan menimbulkan ketegangan dan

kecemasan pada anak.

Clara Kriswanto, sebagaimana yang dikutip oleh Roqib (2008) menyatakan bahwa

pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau strategi sebagai

berikut.

1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya. Apabila anak akan merasa

nyaman dengan tubuhnya, maka anak akan menyayangi dan merawat tubuhnya

(kebersihan dan kesehatannya).

2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang

dari orangtuanya secara tulus. National Chatolic Services (2004: 6) mengungkapkan

bahwa orangtua sebaiknya menjelaskan mengapa sentuhan-sentuhan tertentu itu

aman, misalnya ketika ayah memeluk sepulang bekerja. Sentuhan-sentuhan tersebut

memiliki tujuan yang baik, dan tidak ada maksud untuk melukai, dan sangat lazim dan

aman. Pada dasarnya, anak juga memerlukan perhatian, sentuhan yang pantas dari

sanak famili, guru, dan teman-teman. Mereka memerlukan ketenangan hati yang

diperoleh melalui sentuhan yang pantas.

3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh

dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus mengenakan baju kembali

di dalam kamar mandi atau di dalam kamar. Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi,

mana bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, dan dilihat oleh orang lain.

4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan perempuan.

Hal tersebut dapat diawali dengan identifikasi bagian tubuh anak itu sendiri. Orangtua

dapat memulai dengan mengajarkan ke anak mengenai jari-jari tangan, jari-jari kaki,

lutut, dan hidung ketika anak berumur beberapa bulan (National Chatolic Services,

2004). Ketika anak sudah berumur mendekati 18 bulan, anak sebaiknya juga mulai

9
10

belajar mengenai nama-nama bagian tubuh privatnya dan perbedaan antara tubuh anak

laki-laki dan anak perempuan.

5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil dan

melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam kandungan ibu

sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan berbohong kepada anak seperti

“adik datang dari langit atau dibawa burung”. Penjelasan disesuaikan dengan

keingintahuan atau pertanyaan anak misalnya dengan contoh yang terjadi pada

binatang.

6. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang mampu

menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya

sendiri.

7. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap bagian tubuh

dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan dan penis adalah alat

kelamin pria, daripada mengatakan dompet atau burung.

8. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau

pembicaraan seks adalah pribadi.

9. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada

orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.

Sebagaimana telah dibahas di awal, strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada

anak usia dini sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan

kemampuan serta pemahaman anak sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu

dipertimbangkan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa

strategi yang dapat digunakan orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak

usia dini antara lain: (a) membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan

yang tidak boleh dilakukan di depan umum, (b) mendorong anak mengetahui identitas diri

10
11

(laki-laki dan perempuan), (c) memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang

dewasa, (d) mengenalkan waktu berkunjung, (e) mendorong anak agar menjaga

kebersihan tubuhnya (toilet training), (f) memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak

agar mereka merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta mendorong anak

untuk dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang dilakukan oleh orang lain,

(g) memberikan penjelasan tentang proses perkembangan secara sederhana, (h)

memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar, (i) mengajarkan anak

untuk mengetahui nama-nama yang benar, (j) membantu anak memahami konsep pribadi

dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi, dan (k) memberi

dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada orangtua untuk setiap

pertanyaan tentang seks.

Miller (2010: 170-172) menjelaskan strategi khusus orangtua ketika menghadapi

anak yang menyentuh area genital, sebagai berikut:

1. Anak prasekolah biasanya beberapa waktu berada di kamar mandi untuk

membandingkan, menyentuh, mengeksplor, atau bercerita mengenai area genitalnya

serta di waktu yang lain juga membuka kaos ibunya (ibu masih menyusui) untuk

diminta menyusui boneka. Reaksi orangtua adalah bersikap hati-hati akan tetapi tidak

perlu berlebihan. Perilaku anak merupakan ekspresi wajar rasa ingin tahu yang sehat.

Terkadang orangtua juga dapat memanfaatkan momen untuk mengajarkan kepada

anak akan perbedaan. Misalnya orangtua dapat mengatakan "iya”, anak laki-laki dan

perempuan memiliki tubuh yang berbeda, tetapi setiap orang adalah spesial. Anak

perempuan akan tumbuh menjadi wanita dewasa dan anak laki-laki akan tumbuh

menjadi pria dewasa.”

2. Anak biasanya juga dapat menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan untuk

menurunkan stressnya. Selain itu, anak usia dini juga menggosokkan alat genitalnya

11
12

ketika merasa lelah/kecewa/kebiasaan sederhana sebelum tidur. Apabila anak yang

mengalami adalah infant atau toddler, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan

orangtua yaitu tetap fokus pada penghilangan sumber stress anak. Orangtua dapat

memastikan bahwa anak memiliki waktu istirahat yang cukup, lingkungan yang

nyaman, dan pengasuhan yang cukup. Apabila anak yang mengalami adalah usia

prasekolah, maka orangtua harus lebih proaktif dalam membantu anak mengganti

kebiasaan anak dengan perilaku sosial yang mudah diterima. Misalnya: “ apakah

kamu mau memeluk boneka ketika akan tidur untuk membantumu untuk tidak

menggosokkan pantatmu?” atau “kamu harus ke kamar mandi jika perlu untuk

menyentuh pantatmu”.

12
13

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pendidikan seks untuk anak usia dini adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan

penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak. Pengarahan

dan pemahaman yang sehat tentang seks dari berbagai aspek, di mana selain

menerangkan tentang aspek-aspek anatomi dan biologis juga menerangkan aspek-aspek

psikologis dan moral. Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan

seks seringkali dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini

dengan cara yang benar dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Pendidikan seks

dapat diberikan sejak anak mulai bertanya tentang seks.

Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak usia dini sebaiknya dilakukan

dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan serta pemahaman anak

sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu dipertimbangkan. Strategi khusus jika anak

beberapa waktu berada di kamar mandi untuk membandingkan, menyentuh, mengeksplor,

atau bercerita mengenai area, maka orangtua bersikap hati-hati akan tetapi tidak perlu

berlebihan karena perilaku anak merupakan ekspresi wajar rasa ingin tahu yang sehat.

Apabila anak juga menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan untuk menurunkan

stressnya, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu tetap fokus pada

penghilangan sumber stress anak.

3.2 Saran

Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memahami dan mengetahui

Strategi pendidikan seks pada anak.

13
14

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Sri Wahyuning.2017. Pendidikan Seks pada Anak Taman Kanak-kanak Melalui
Metode Permainan Ular Tangga “Aku Anak Berani”(Studi Deskripsi Komunikasi
Interpersonal Anak dalam Bermain Ular Tangga “Aku Anak Berani”. Vol 3.No.2
:Promedia

Eka,Oktavianingsih.2016.Upaya Orangtua Dalam Pendidikan Seks Untuk Anak Usia


Dini.Vol 1.No1

Jatmikowati, T. E., Angin, R., & Ernawati. (2015). A Model And Material of Sex Education
For Early- Aged- Children. Cakrawala Pendidikan, (3), 434–448.
Solihin.2016.Pendidikan Seks Untuk Anak Usia Dini.Vol 1.No 1

Rezkisari, Indira. (2015). KPAI: Pentingnya Pendidikan Seksual Bagi Anak Sejak Usia Dini.

Jakarta : diunduh pada 12 November 2015 di www.republika.co.id

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

14

Anda mungkin juga menyukai