Anda di halaman 1dari 39

SMF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

INSOMNIA NON ORGANIK

Disusun Oleh:
OKKI MASITAH SYAHFITRI NASUTION
NIM. 0708015043

Pembimbing:
dr. Denny Jeffry Rotinusulu, Sp. KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/lab Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2011

0
BAB 1
PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang


untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas
di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur
dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95% orang Amerika telah
melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien.

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis
adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat
dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien
dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh


mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,
dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan
fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien
dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.

1
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan
kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat
dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada
populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya
kinerja pekerjaan dan sosial.

Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.

Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi


medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko
kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa
insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan
pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi
pasien mereka.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS PSIKIATRI

RIWAYAT PSIKIATRI

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Marfuah
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan : IRT
Suku :
Alamat :
Pasien datang bersama suami berobat ke Poliklinik Atma Husada Mahakam
Samarida

ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Sulit Tidur
Riwayat perjalanan penyakit sekarang :
Autoanamnesis:
Kesulitan tidur dirasakan pasien sejak 2 bulan yang lalu, pasien kesulitan
memulai tidur dan saat terbangun pasien sering terjaga pada malam hari sampai
pagi hari. Pasien sudah mencoba memejamkan matanya namun tidak juga tertidur
sehingga pasien merasa lemas dan lesu dikeesokan harinya. Pasien merasa bahwa
sulit tidur dikarenakan pikiran pasien tentang penyakitnya yang tidak kunjung
sembuh. Penyakit ini dirasakan pasien saat hamil besar, pasien sering merasa
melayang dan merasa pusing. Oleh dokter spesialis kandungan, pasien diberitahu

3
bahwa pasien mengalami hipertensi dan harus menjalani operasi pada saat
melahirkan. Pasien menjalani operasi tanggal 1 desember 2011, sejak saat itu
keluhan pasien tidak kunjung berkurang, pasien tetap merasa pusing dan terasa
berat di kepala. Pasien juga mengaku mendengar perkataan orang bahwa
kemungkinan masih ada yang tersisa di dalam kandungannya, hal inilah yang
membuat pasien sering memikirkannya, merasa jengkel, kesal dan gelisah
sehingga pasien tidak dapat tidur dan dapat terbangun tiba-tiba. Kadang-kadang
pasien sering merasa kesal dengan bayinya ketika menangis tengah malam
sehingga bayi pasien dititipkan ke orang tuanya yang rumahnya bersebelahan.
Pasien sering dinasehati bahwa tidak perlu takut dan gelisah, namun pasien tetap
kepikiran tentang penyakitnya. Pasien sudah pernah dibawa ke dokter jantung dan
mendapatkan obat, namun obat yang diminum pasien merasa berdebar-debar.
Alloanamnesa: (oleh suami pasien)
Menurut suami, pasien memang takut dengan jarum suntik dan operasi. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan pasien merasa trauma dan takut penyakitnya
tidak kunjung sembuh. Suami juga mengatakan pasien hanya tidur beberapa jam
namun terbangun dan tidak dapat tidur lagi.
Riwayat Medis dan Psikiatrik Lain
 Gangguan mental dan lainnya
Pasien tidak memiliki riwayat gangguan mental dan emosi
 Gangguan Psikosomatik
Pasien tidak memiliki riwayat gangguan psikosomatik
 Kondisi Medis
Pasien tidak memiliki riwayat malaria, typhoid, dan trauma kepala. pasien
juga tidak memiliki riwayat epilepsi. Pasien memiliki riwayat operasi bulan
desember 2011.
 Gangguan Neurologi
Pasien tidak memiliki riwayat gangguan neurologi.

Riwayat Kebiasaan
Tidak ada kebiasaan merokok maupun minum alkohol

4
Gambaran Kepribadian
Pasien merupakan pribadi yang senang bergaul, mudah sekali berteman.

Faktor Pencetus
Memikirkan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh

Riwayat perkawinan
Pasien sudah menikah, melahirkan anak pertama 2 bulan yang lalu

Riwayat sosial ekonomi


Pasien berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa dengan pasien,
ayah pasien juga mengalami hipertensi

Riwayat Religius
Pasien rajin beribadah

Hubungan dengan keluarga dan lingkungan


Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan anggota keluarganya.

Genogram
Pasien merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara sudah menikah tetapi belum
mempunyai anak.

5
Keterangan :
= Laki-laki = menunjukkan pasien
= Perempuan
= Perempuan yang sudah meninggal
= Perempuan dengan gangguan tidur

STATUS PRAESENS
a. Status Internus
Keadaan umum : Tenang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 98 x/ menit, reguler kuat angkat
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,5 0 C
Keadaan gizi : Baik
Kulit : Anhidrosis
Kepala : Alopesia (-), Trauma (-)
Mata : Anemis (-) Ikterik (-) Pupil isokor
Hidung : Deviasi Septum (-) Rhinorrhea (-)
Telinga : Sekret (-) Pendengaran normal
Mulut Tenggorokan : Higiene baik, Hiperemi faring (-)
Leher : Pembesaran KGB (-) Deviasi trakea (-)
Toraks : Simetris
Jantung : Cor dalam batas normal
Paru : Pulmo dalam batas normal
Abdomen : Distensi (-) soefl
Hepar Lien : Pembesaran (-)
Ruang Trobe : Timpani
Bising Usus : Normal, Mettalic Sound (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

6
b. Status Neurologikus
Panca indera : Tidak didapatkan kelainan
Tanda meningeal : Tidak didapatkan kelainan
Tekanan intrakranial : tidak didapatkan kelainan
Mata :
Gerakan : normal, strabismus (-)
Pupil : isokor 3mm/3mm, midriasis (-)
Diplopia : Tidak ada
Visus : secara kasar normal
c. Status Psikiatrikus
a. Penampilan
1. Identifikasi pribadi : cukup pandai bergaul, kooperatif, dan sedikit
tertutup.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Psikomotor dalam batas normal
3. Gambaran umum : tenang, kooperatif, terdapat kontak mata
b. Bicara
Cukup banyak bicara intonasi sesuai
c. Mood dan Afek
1. Mood  stabil
2. Afek  sesuai
d. Fikiran dan Persepsi
1. Bentuk fikiran
I. Produktivitas Normal
II. Kelancaran berfikir / ide cepat
III. Gangguan bahasa (-)
2. Isi fikiran :tidak ada gangguan , berpikir tentang kesembuhan
penyakitnya
3. Gangguan berpikir
I. Waham (-)
II. Flight of ideas (-)
4. Gangguan persepsi

7
I. Halusinasi : Auditorik (-) Visual (-)
II. Deprsonalisasi dan Derealisasi (-)
5. Mimpi dan fantasi (-)
e. Sensorik
1. Kesadaran : Composmentis
2. Orientasi
I. Waktu (+)
II. Orang (+)
III. Tempat (+)
3. Konsentrasi dan Berhitung (+)
4. Ingatan
I. Masa dahulu (+)
II. Masa kini (+)
III. Segera (+)
5. Pengetahuan (+)
6. Kemampuan berpikir abstrak (+)
7. Tilikan diri derajat VI
8. Penilaian
I. Penilaian sosial (+)
II. Penilaian terhadap test (+)

IKHTISAR & KESIMPULAN PEMERIKSAAN PSIKIATRI


A. Keadaan Umum
o Kesadaran : compos mentis
o Sikap : kooperatif
o Tingkah laku : Tenang
o Perhatian : baik
o Inisiatif : baik
o Ekspresi wajah : Afek sesuai
o Verbalisasi : (+) lancar
B. Keadaan Spesifik

8
Keadaan Afek
o Afek : sesuai
o Arus Emosi : Stabill
Keadaan dan fungsi Intelek
o Daya Ingat : baik
o Konsentrasi : baik
o Orientasi : baik
o Insight : baik
Keadaan Proses berpikir
o Bentuk fikiran : cepat
o Arus fikiran : koheren
o Isi : waham (-)
Keadaan sensasi dan persepsi
o Halusinasi : (-) visual dan auditori
o Ilusi : (-)
Keadaan intelektual dan perbuatan
o Kegaduhan umum : (-)
o Deviasi seksual : (-)
Psikomotor : normal
Kemauan : ADL (+) Mandiri

C. Diagnosis
Formulasi Diagnosis
 Seorang laki-laki, usia 31 tahun, beragama Islam, status menikah, SMEA,
tinggal di Samarinda. Datang berobat ke Poli RSKD Atma Husada
Mahakam Samarinda diantar oleh istri pasien yang tinggal serumah pada
hari Kamis, 11 Januari 2012 Pukul 10.45 WITA
 Pada proses autoanamnesis, pasien mengalami sulit tidur sejak 3 tahun
yang lalu. Pasien mengaku apabila sulit tidur pasien mudah marah dan
sulit mengontrol emosinya tetapi pasien masih melakukan aktivitas fisik
harian seperti biasanya. Hal ini semakin mengganggu sejak 2 minggu

9
belakangan ini. Faktor pencetus menurut pasien adalah masalah ekonomi
keluarga dimana penghasilan pasien tidak cukup untuk memenuhi
pengeluarannya.
 Riwayat trauma (-) kejang (-), penyakit infeksi (-)
 Riwayat konsumsi alkohol (+) dan Napza (+)
 Riwayat mengkonsumsi rokok (+)
 Pada pemeriksaan psikiatri didapatkan penampilan rapi, tenang,
kooperatif, atensi (+), orientasi (+), emosi stabil, dan afek sesuai, proses
berfikir cepat, koheren, waham (-), halusinasi visual dan auditorik (-), ilusi
(-), kemauan ADL mandiri, intelegensi kesan cukup, psikomotor dalam
batas normal. Pasien merupakan pribadi yang senang bergaul, mudah
sekali berteman namun tertutup dan mudah tersinggung.

D. Diagnosis Multiaksial
 Aksis I : F.51.0 Insomnia non organik
 Aksis II : Tidak ada diagnosis untuk aksis ini
 Aksis III : Tidak ada diagnosis untuk aksis ini
 Aksis IV : Masalah ekonomi
 Aksis V : GAF 90-81 gejala minimal berfungsi baik, cukup puas, tidak
lebih dari masalah harian biasa.

E. Usulan Pemeriksaan
EEG, darah lengkap, dan urine lengkap

F. Penatalaksanaan
Psikofarmakoterapi
Alganax 0-1/2-1
Psikoterapi

G. Prognosis
Dubia ad bonam

10
11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fisiologi Tidur


Tidur merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang memiliki fungsi
perbaikan dan homeostatik (mengembalikan keseimbangan fungsi-fungsi normal
tubuh) serta penting pula dalam pengaturan suhu dan cadangan energi normal.
Rasa kantuk berkaitan erat dengan hipotalamus dalam otak. Dalam keadaan badan
segar dan normal, hipotalamus ini bekerja baik sehingga mampu memberi respon
normal terhadap perubahan tubuh maupun lingkungannya. Namun, setelah badan
lelah usai bekerja keras seharian, ditambah jam rutin tidur serta sesuatu yang
bersifat menenangkan di sekelilingnya, seperti suara burung berkicau, angin
semilir, kasur dan bantal empuk, udara nyaman, dll., kemampuan merespon tadi
berkurang sehingga menyebabkan seseorang mengantuk. Disini yang berperan
adalah suatu zat yang disebut GABA (Gamma Aminobutyric Acid), merupakan
asam amino yang berfungsi sebagai neurotransmiter (penghantar sinyal saraf).

Sebenarnya tidur tidak sekedar mengistirahatkan tubuh, tapi juga


mengistirahatkan otak, khususnya serebral korteks, yakni bagian otak terpenting
atau fungsi mental tertinggi, yang digunakan untuk mengingat, memvisualkan,
serta membayangkan, menilai dan memberikan alasan sesuatu.

Dikatakan sehat dan normal bila begitu naik ke atas tempat tidur dengan
tatanan rapi, bantal enak dan empuk, kurang lebih selang 30 menit sudah tertidur,
bahkan ada orang begitu mencium bantal dalam 3-5 menit langsung tertidur.
Salah satu kriteria yang digunakan adalah “Siklus Kleitman”, yang terdiri dari
aktivitas bangun / aktivitas harian dan siklus tidur yang juga dikenal sebagai
activity / rest cycle. Siklus ini terdiri dari Rapid Eye Movement (REM) dan Non-
Rapid Eye Movement (NREM). Sebenarnya bentuk pola tidur dapat dibedakan
dengan memperhatikan pergerakan bola mata yang dimonitor selama fase tidur.
Secara obyektif, EEG dapat digunakan untuk mencatat fase REM maupun NREM

12
selama tidur. Tidur yang dipengaruhi oleh NREM ditandai dengan gelombang
EEG yang bervoltase tinggi tetapi berfrekuensi rendah, sedangkan tidur yang
dipengaruhi oleh REM ditandai oleh gambaran EEG yang berfrekuensi tinggi
tetapi bervoltase rendah.

Siklus dari Kleitman akan berulang selama periode tidur setiap pengulangan
diserati dengan pemendekan fase 3-4 dari NREM yang disebut SWS (Slow Wave
Sleep) sedangkan lama REM lebih panjang. Kenyenyakan tidur sebenarnya
tergantung pada lamanya fase-fase yang dilalui dari fase pertama sampai fase
empat dari NREM. Sedangkan fase ini berjalan cepat, maka orang itu belum tidur
nyenyak.

Pada usia lanjut, jumlah tidur yang dibutuhkan setiapa hari akan makin
berkurang dan disertai fragmen-fragmen tidur yang banyak sehingga jumlah SWS
makin berkurang dan ini menunjukkan bahwa mereka mengalami masa tidur yang
tidak terlalu nyenyak.

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu

diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur
16-20jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.
Tahap tidur normal orang dewasa adalah sebagai berikut :

- Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata


menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12
siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan

13
meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa
campuran.
- Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM.
Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki
sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas
gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo
rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah,
frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot
menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang
mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
- Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi
oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks
K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-
14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase
tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit,
aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan
tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur
dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
- Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus
per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot
meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
- Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4
sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG
berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau
tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total.
Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam.
Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur.
REM ditandai dengan rekaman EEG yang menyerupai tahap pertama, yang
terjadi bersamaan dengan gerak bola mata yang cepat dan penurunan level muscle
tone. Periode REM akan disertai dengan frekuensi pernafasan dan frekuensi
jantung yang berfluktuasi. Periode ini dikenal sebagai desynchronized sleep.

14
Pada orang dewasa muda normal periode tidur NREM berakhir kira-kira 90
menit sebelum periode pertama REM, periode ini dikenal sebagai periode REM
laten. Rangkaian dari tahap tidur selama tahap awal siklus adalah sebagai berikut :
NREM tahap 1,2,3,4,3, dan 2; kemudian terjadi periode REM. Jumlah siklus
REM bervariasi dari 4 sampai 6 tiap malamnya, tergantung pada lamanya tidur.

Siklus tidur lebih pendek pada bayi dibandingkan pada orang dewasa.
Periode REM pada bayi berkisar antara 50-60 menit pada awalnya, yang lama-
kelamaan akan meningkat. Siklus tidur dewasa berlangsung 70-100 menit selama
masa remaja.

Pola tidur berubah sepanjang kehidupan seseorang.


Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada masa
neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah tidur REM. Lama tidur sekitar 18
jam. Pada usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM.
Waktu tidur menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan
waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan ini menetap
sampai batas lansia.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa peristiwa tidur dipengaruhi oleh
beberapa hormon antara lain serotonin, asetilkolin, dan dopamin yang saling
berinteraksi dalam menidurkan dan membangunkan seseorang.
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS
(Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang
tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan
dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas
neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kholinergik,
histaminergik.
• Sistem serotonergik

Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino


trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk / tidur. Bila
serotonin dari trypthopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak

15
bisa tidur / jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.

• Sistem Adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di


badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus
cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan
yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergik akan
menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan
jaga.

• Sistem Kholinergik

Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra


vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini,
mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan
aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat
pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari
lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

• Sistem histaminergik

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

• Sistem hormon

Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon


seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi
secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem
ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin,
dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

16
Beberapa orang secara normal adalah petidur yang normal yang
memerlukan tidur kurang dari enam jam setiap malam dan yang berfungsi secara
adekuat. Petidur lama adalah mereka yang tidur lebih dari sembilan jam setiap
malamnya untuk dapat berfungsi secara adekuat.

Tidur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
dimaksud disini adalah irama biologis tubuh, dimana dalam periode 24 jam, orang
dewasa tidur sekali, kadang 2 kali. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh
siklus terang gelap, rutinitas harian, periode makan, dan penyelaras eksternal
lainnya. Faktor-faktor inilah yang membentuk siklus 24 jam.

3.2 Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal


kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala
yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

3.3 Klasifikasi

Berikut ini adalah gangguan tidur menurut DSM-IV-TR.

I. GANGGUAN TIDUR PRIMER

I.1 Dissomnia

17
I.1.a Insomnia primer

I.1.b Hipersomnia primer

I.1.c Narkolepsi

I.1.d Gangguan tidur berhubungan dengan pernafasan

I.1.e Gangguan tidur irama sirkadian (gangguan jadwal tidur-bangun)

I.1.f Dissomnia yang tidak ditentukan

I.2 Parasomnia

II.2.a Gangguan mimpi buruk

II.2.b Gangguan teror tidur

II.2.c Gangguan tidur berjalan

II.2.d Parasomnia yang tidak ditentukan

II. GANGGUAN TIDUR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN

MENTAL LAIN

II.1 Insomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II

II.2 Hipersomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II

III. GANGGUAN TIDUR LAIN

III.1 Gangguan tidur karena kondisi medis umum

III.1.a Kejang epilepsi; asma berhubungan dengan tidur

III.1.b Nyeri kepala kluster & hemikrania paroksismal kronik berhubungan

dengan tidur

III.1 c Sindrom menelan abnormal berhubungan dengan tidur

18
III.1.d Asma berhubungan dengan tidur

III.1.e Gejala kardiovaskuler berhubungan dengan tidur

III.1.f Refluks gastrointestinal berhubungan dengan tidur

III.1.g Hemolisis berhubungan dengan tidur (Hemoglobinuria Nokturnal

Paroksismal)

III.2 Gangguan tidur akibat zat

III.2.a Pemakaian obat hipnotik jangka panjang

III.2.b Obat antimetabolit

III.2.c Obat kemoterapi kanker

III.2.d Preparat tiroid

III.2.e Anti konvulsan

III.2.f Anti depresan

III.2.g Obat mirip hormon Adenokortikotropik (ACTH); kontrasepsi oral;


alfa metil dopa; obat penghambat beta.

Klasifikasi Insomnia

Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau
susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur
seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat

19
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu
masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1
dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga
dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu
penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang
menderita insomnia.

3.4 Tanda dan Gejala Insomnia

 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari


 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal

3.5. Etiologi Insomnia

• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga


dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.
• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

20
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer.
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka
berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak
mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.3,8

3.6 Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada:

 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon


selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama

21
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.1,4

3.7 Klasifikasi Insomnia

Gangguan insomnia biasa terjadi sebelum seseorang berusia 40 tahun tetapi


prevalensi tertinggi dijumpai pada usia di atas 65 tahun. Insomnia dapat
disebabkan oleh gangguan mental lainnya, penyakit organik atau akibat
penggunaan obat tertentu (insomnia sekunder) atau mungkin idiopatik (insomnia
primer).

Insomnia dikelompokan menjadi :

 Insomnia primer, yaitu insomnia menahun dengan sedikit atau sama sekali
tidak berhubungan dengan berbagai stres maupun kejadian.
 Insomnia sekunder, yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh nyeri,
kecemasan obat, depresi, atau stres yang hebat.
Insomnia primer cirinya ditandai dengan adanya kesulitan dalam memulai
atau mempertahankan tidur atau non restoratif atau tidur tidak nyenyak selama 1
bulan dan tidak disebabkan oleh gangguan mental, keadaan medikal umum, dan
penggunaan zat.

22
Insomnia sering terjadi di masyarakat umum dan lebih sering terjadi pada
pasien yang mengalami gangguan kejiwaan; meskipun hanya sedikit jumlah
orang-orang dengan insomnia yang berkonsultasi ke dokter. Kesulitan tidur lebih
sering terjadi pada orang tua, wanita, individu dengan pendidikan rendah dan
status ekonomi rendah, dan orang-orang dengan masalah medis kronis.

Transient insomnia sering terjadi pada orang yang biasanya tidur normal.
Bentuk insomnia ini terjadi bersamaan dengan adanya stres piskologis akut,
seperti saat kehilangan. Keadaan ini cenderung untuk sembuh sendiri.

Insomnia kronis adalah kesulitan tidur yang dialami hampir setiap malam
selama sebulan atau lebih. Salah satu penyebab kronik insomnia yang paling
umum adalah depresi. Penyebab lainnya adalah arthritis, gangguan ginjal, gagal
jantung, sleep apnea, sindrom restless legs, parkinson, dan hypertyroidism.
Namun demikian, insomnia kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku,
termasuk penyalahgunaan kafein, alkohol, dan substansi lain, siklus tidur/bangun
yang disebabkan oleh kerja lembur dan kegiatan malam hari lainnya, dan stres
kronik.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang


direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,

23
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

3.8 Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

 Pola tidur penderita.


 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
 Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Untuk mendiagnosa insomnia, dilakukan penilaian terhadap : pola tidur
penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres
psikis, riwayat medis, aktivitas fisik

Insomnia cenderung bertambah kronis jika terjadi stres psikologi


(contohnya : perceraian, kehilangan pekerjaan) dan juga penggunaan
mekanisme pertahanan yang keliru. Gangguan tidur seringkali timbul sebagai
eksaserbasi yang dapat memberi petunjuk apakah berkaitan dengan peristiwa
hidup tertentukah? Atau mungkin disebabkan oleh etiologi lainnya. Demikian
pula riwayat pola tidur maupun siklus harian (rest/activity cycle) sangat
bermanfaat dalam menentukan suatu diagnosis. Insomnia juga dapat menjadi
suatu keluhan dari pasien yang sebenarnya menderita sleep apnea atau
myoclonus-nocturnal.

Pada pasien dengan insomnia primer harus diperiksa riwayat medis dan
psikiatrinya. Riwayat medis harus dinilai secara seksama, mengenai riwayat
penggunaan obat dan pengobatan.

Pengukuran sleep hygiene digunakan untuk memonitor pasien dengan


insomnia kronis. Pengukuran ini meliputi :

24
- Bangun dan pergi ke tempat tidur pada waktu yang sama setiap hari,
walaupun pada akhir pekan.
- Batasi waktu ditempat tidur setiap harinya.
- Tidak menggunakan tempat tidur sebagai tempat untuk membaca, nonton
TV atau bekerja.
- Meninggalkan tempat tidur dan tidak kembali selama belum mengantuk
- Menghindari tidur siang.
- Latihan minimal tiga atau empat kali tiap minggu (tetapi bukan pada sore
hari, kalau hal ini akan mengganggu tidur).
- Pemutusan atau pengurangan konsumsi alkohol, minuman yang
mengandung kafein, rokok dan obat-obat hipnotik-sedatif.
Banyak aspek dari program yang mungkin akan menyulitkan pasien.
Meskipun demikian, cukup banyak pasien yang termotivasi untuk
meningkatkan fungsinya dengan cara melakukan pengukuran ini.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)
Kriteria Diagnostik untuk Insomnia Primer menurut DSM-IV-TR
A. Keluhan yang menonjol adalah kesulitan untuk memulai atau
mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama
sekurangnya satu bulan.
B. Gangguan tidur (atau kelelahan siang hari yang menyertai) menyebabkan
penderitaan yang bermakana secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Gangguan tidur tidak terjadi semata-mata selama perjalanan narkolepsi,
gangguan tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur irama sirkadian,
atau parasomnia.

25
D. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan mental
lain (misalnya, gangguan depresi berat, gangguan kecemasan umum,
delirium).
E. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)

3.9 Tatalaksana

1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku

26
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur


 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.

27
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
 Menghindari makan besar sebelum tidur
 Cek kesehatan secara rutin
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietaS
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

28
Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi


tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala


rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over”, Hang over adalah efek sisa yang disebabkan adanya

29
akumulasi dari sisa metabolit aktif. Jika ini terjadi pada pengendara
kendaraan bermotor, resiko terjadinya kecelakaan meningkat lebih
dari lima kali lipat. pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus

- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

3.10 Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

30
Gambar 1. Komplikasi Insomnia

Komplikasi insomnia meliputi

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

3.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia

31
BAB 4
PEMBAHASAN

a. DIAGNOSIS
Fakta Teori
Anamnesis
 Pasien laki-laki, usia 31 tahun Insomnia adalah keluhan
 Gejala-gejala : sulit untuk memulai dalam hal kesulitan untuk memulai
tidur,sering terbangun pada malam atau mempertahankan tidur atau
hari, gelisah, mudah marah , lesu, tidur non-restoratif yang
kurang berkonsentrasi. berlangsung setidaknya satu bulan
 Keluhan dirasakan sejak 3 tahun dan menyebabkan gangguan
yang lalu signifikan atau gangguan dalam
Riwayat Penyakit Dahullu fungsi individu. Insomnia dapat
 Riwayat trauma (-), kejang (-), mempengaruhi tidak hanya tingkat
DBD (+) energi dan suasana hati tetapi juga
 Riwayat konsumsi alkohol (+) dan kesehatan, kinerja dan kualitas
Napza (+) hidup. Penyebab dari insomnia itu
 Riwayat merokok (+) sendiri terdiri dari berbagai
penyebab seperti kelainan
 Tidak pernah dirawat di Rumah
emosional, kelainan fisik, dan
Sakit Jiwa
pemakaian obat-obatan.
Status Psikiatrikus
 Kesan umum rapi Sulit tidur sering terjadi, baik
 Kontak verbal (+) sulit, kontak pada usia muda maupun usia lanjut;
visual (+) dan seringkali timbul bersamaan
 Kesadaran orientasi tempat, waktu dengan gangguan emosional,
dan orang tidak ada gangguan, seperti kecemasan, kegelisahan,
Atensi (+) depresi, atau ketakutan. Kadang
 Emosi stabil, afek normal seseorang sulit tidur hanya karena
 Proses berfikir, intelegensia cukup badan dan otaknya tidak lelah.
 Kemauan mandiri Tanda dan gejala insomnia adalah:
 Psikomotor normal  Kesulitan untuk memulai tidur
pada malam hari
 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada
siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian
berkurang
 Peningkatan kesalahan dan
kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala

32
 Gejala gastrointestinal
Kriteria Diagnostik Insomnia
Non-Organik berdasarkan PPDGJ
• Hal tersebut di bawah ini
diperlukan untuk membuat
diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan
masuk tidur atau
mempertahankan tidur,
atau kualitas tidur yang
buruk
b. Gangguan minimal terjadi
3 kali dalam seminggu
selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan
tidak bisa tidur dan peduli
yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari
dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap
kuantitas dan atau kualitas
tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup
berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain
seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia
diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas)
tidak diguankan untuk
menentukan adanya gangguan,
oleh karena luasnya variasi
individual. Lama gangguan yang
tidak memenuhi kriteria di atas
(seperti pada “transient
insomnia”) tidak didiagnosis di
sini, dapat dimasukkan dalam
reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)

33
Berdasarkan anamnesa yang diperoleh secara autoanamnesa maupun
alloanamnesa yang dialami pasien mencakup sebagian besar dari gejala gangguan
tidur insomnia. Untuk mendiagnosa insomnia, dilakukan penilaian terhadap : pola
tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan
stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik. Gejala utama dari insomnia adalah
Penderita mengalami kesulitan untuk tertidur atau sering terjaga di malam hari
dan sepanjang hari merasakan kelelahan.

Insomnia cenderung bertambah kronis jika terjadi stres psikologi


(contohnya : perceraian, kehilangan pekerjaan) dan juga penggunaan mekanisme
pertahanan yang keliru. Gangguan tidur seringkali timbul sebagai eksaserbasi
yang dapat memberi petunjuk apakah berkaitan dengan peristiwa hidup tertentu
atau mungkin disebabkan oleh etiologi lainnya. Demikian pula riwayat pola tidur
maupun siklus harian (rest/activity cycle) sangat bermanfaat dalam menentukan
suatu diagnosis. Insomnia juga dapat menjadi suatu keluhan dari pasien yang
sebenarnya menderita sleep apnea atau myoclonus-nocturnal.

b. PENATALAKSANAAN

Fakta Teori
a. Farmakoterapi a. Farmakoterapi
- Benzodiazepine : nitrazolam,
Alganax 0-1/2-0
triazolam, estazolam
b. Psikoterapi - Non bezodiazepine : Cholaral
hydrate, phenobarbital
b. Psikoterapi
- Terapi kognitif perilaku
- Terapi suportif

Farmakoterapi yang diberikan pada pasien ini kurang sesuai dengan yang
ada diliteratur. Berdasarkan teori yaitu Pemilihan obat, ditinjau dari sifat
gangguan tidur :

34
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting) Misalnya pada gangguan anxietas
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
“Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik
antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik) Misalnya pada gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-
pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang
dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Indikasi penggunaan obat anti insomnia terutama pada kasus transient dan
shortterm Insomnia, sangat berhati-hati pada kasus longterm insomnia. Selalu
diupayakan untuk mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan
ditujukan pada penyebab dasar tersebut. Obat golongan Benzodiazepine tidak
menyebabkan REM supression dan rebound. Efek samping dari penggunaan obat
anti insomnia berhubungan dengan farmakokinetiknya dimana obat dengan waktu
paruh singkat (sekitar 4jam ex.triazolam) gejala rebound lebih berat pada pagi
harinya dan sampai menjadi panik. Waktu paruh sedang (Estazolam) gejala
rebound lebih ringan, dan waktu Paruh panjang (nitrazepam) menimbulkan gejala
hang over pada pagi harinya dan juga intensifying day time sleepiness.
Penggunaan lama obat anti isomnia golongan nezodiazepine dapat terjadi
disinhibitting effect yang menyebabkan rage reaction (perilaku penyerang dan
ganas).

35
C. PROGNOSIS
Fakta Teori
Bonam Prognosis umumnya baik dengan
terapi yang adekuat dan juga terapi
pada gangguan lain.

Pada pasien ini prognosis adalah bonam apabila dengan terapi yang adekuat
dan sesuai dengan jenis dari insomnia. Selalu diupayakan untuk mencari dasar
dari penyebab gangguan tidur tersebut dan mengobati pada penyebab dasar
tersebut.

36
BAB 5
KESIMPULAN

Insomnia merupalan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam


mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-
obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan
melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-obatan,
alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik,
dan kebutuhan tidur secara individual.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,


bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya
digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin
(Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine (Chloral-
hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat
berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah
seperti mengatur jadwal tidur.

37
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri


Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.

Maramis, W.E, Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga Press, Surabaya, 2009

Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.

Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.


(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 10 Januari 2012)

38

Anda mungkin juga menyukai