Anda di halaman 1dari 3

Yusuf Ismail

“Fluxcup Chroma Key Project”


Video, internet
Kolaborasi dengan : pengguna internet (internet user)
Oleh Arman Fadillah (1803222)
SPS ( PENDIDIKAN SENI RUPA)

Jagad internet, aplikasi digital dan sosial media memberikan ruang yang
sangat bebas dan terbuka sehingga mampu merubah segala sendi kehidupan manusia
hingga ke ruang yang paling privat sekalipun. Tiap orang bisa menjadi produsen dan
konsumen pada waktu yang bersamaan. Hal ini membuat pemerintah dan perusahaan
besar mulai mengontrol internet dengan ketat. Yusuf Ismail menciptakan sosok
Fluxcup, seorang pengguna internet yang dihadirkan untuk merepresentasikan hal-hal
yang terjadi di dunia maya yang kemudian mengacaukannya melalui pernyataan-
pernyataan kritis.

Yusuf Ismail lahir di Bogor, 1982. Ia belajar seni patung di Institut Teknologi
Bandung. Yusuf tertarik dengan wacana budaya media baru. Ia berusaha mengambil
jarak dengan arus besar kritik sosial yang menggunakan media baru, dengan cara
merekonstruksi budaya mental di sekitarnya. Kehadiran wacana yang spesifik ini
telah mendorongnya untuk mewujudkan strategi artistik dalam rangka menyampaikan
tawaran estetikanya, yang mampu mengakali batas-batas pengendalian yang
diharapkan. Pada tahun 2012 Yusuf meraih posisi pertama dalam Bandung
Contemporary Art Award. Ia sudah berpartisipasi di beberapa pameran, baik di
Indonesia dan di luar negeri. Ia menciptakan karakter fiksi bernama Fluxcup di dunia
maya dengan menyebarkan konten video secara masif melalui internet. Ia tinggal dan
bekerja di Bandung, Indonesia.
The Very Best of Fluxcup

21 November 2015

Pengantar oleh Martin Suryajaya

AMBYAR—itulah kesan pertama yang saya dapati ketika menengok


sejumlah karya Yusuf Ismail A.K.A. Ucup A.K.A. Fluxcup di kanal video Youtube.
Seniman video ini tidak menghasilkan karya-karya yang sekadar bermain-main
bentuk dan akrobat citrawi—singkatnya, ia tidak menghasilkan screensaver dengan
subteks yang punya pretensi mendalam dan cendekia seperti kebanyakan seniman
video. Ia mengerjai tetek-bengek hidup kekinian: ideologi how to, ideal-ideal
kepraktisan hidup, kultur fanboy dan segala obsesi atas ketrendian. Ia membuat
seluruh konstruksi ideal itu ambyar berkeping-keping. Dalam amatan sekilas, si Ucup
terkesan memparodikan segala sesuatu—membuat semuanya jadi lucu. Dalam arti
itu, ia bisa saja disebut tengah menjalankan laku kritik ideologi: membuyarkan aura
sakral dari berbagai aspek laku hidup kontemporer yang biasanya dikeramatkan—
seperti misalnya, obsesi untuk menjadi relevan, kaya sekaligus keren. Fluxcup
membuyarkan semua itu dengan gelak tawa.

Namun, kalau kita perhatikan lebih jauh, ada yang ganjil dalam parodinya.
Yang ia hadirkan bukan sekadar lelucon yang bikin kita tersenyum atau tertawa lepas
begitu saja. Dalam beberapa karyanya, lelucon itu juga menyebabkan rasa pening di
kepala. Dalam hal ini, kita bisa memilah dua kategori parodi dalam karya-karya
Fluxcup. Yang pertama adalah karya-karya plesetan yang bisa dinikmati tanpa sakit
kepala—karya-karya yang tidak saya masukkan ke dalam mixtape The Very Best of
Fluxcup ini. Dalam kategori ini, terdapat berbagai karya hasil dubbing atas potongan
film atau klip lagu pembuka suatu film. Misalnya, Ksatria Batang Hitam yang
memparodikan klip lagu Ksatria Baja Hitam. Ini tak jauh beda dengan parodi-parodi
yang dibikin P Project dan Padhyangan 6 pada era ‘90-an. Intinya: bisa dinikmati
sambil lalu.

Lain halnya dengan karya-karya parodi dalam kategori kedua—semua yang


disertakan dalam playlist di atas. Karya-karya dalam kategori ini membikin kita
sedikit pusing karena objek parodinya adalah bagian dari diri kita sendiri: kultus
Radiohead di kalangan anak hipster, kultus Nine Inch Nails di kalangan para
penggembira musik metal-industrial, kultus Pharell Williams di kalangan para fanboy
musik pop gak jelas, sampai dengan subkultur anak Kiri yang gemar meniru-niru
gaya leluhur-leluhur Kiri nusantara. Selain karena objeknya berada di sekitar kita,
parodi jenis ini juga bisa bikin pusing-pusing karena eksekusinya cenderung
membawa suasana senewen dan agak neurotik. Kita seperti dibawa untuk merasa
buntu terhadap keadaan sekitar. Kita seperti diantarkan untuk sampai pada
kesimpulan bahwa, dalam konteks kekinian, segala sesuatunya mubazir. Petuah-
petuah moral, tips-tips sukses, ideal-ideal untuk jadi trendi, semuanya sama saja: taik
kucing. Segalanya mentok dan sia-sia. Dan kesadaran akan kemubaziran segala
sesuatu adalah awal dari perlawanan.

Anda mungkin juga menyukai