PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelinci merupakan salah satu komoditas peternakan yang potensial sebagai penyedia
daging, karena pertumbuhan dan reproduksi yang cepat. Satu siklus reproduksi seekor kelinci dapat
memberikan 8–10 ekor anak pada umur 8 minggu, bobot badannya dapat mencapai 2 kg atau lebih.
Secara teoritis, seekor induk kelinci dengan berat 3-4 kg dapat menghasilkan 80 kg karkas
pertahun. Salah satu jenis kelinci tipe pedaging yaitu New Zealand White yang berasal dari New
Zealand memiliki ciri-ciri bulunya putih mulus, padat, tebal dan agak kasar jika diraba, serta
matanya merah. Bobot anak umur 58 hari sekitar 1,8 kg, bobot umur 4 bulan mencapai 2–3 kg,
dewasa rata-rata 3,6 kg. setelah lebih tua bobot maksimalnya mencapai 4,5–5 kg. Jumlah anak yang
dilahirkan rata-rata 50 ekor pertahun. Persentase karkasnya 50–60% dari bobot hidup, dan
menghasilkan daging ± 1–1,5 kg/ekor (Marhaeniyanto, dkk.2015).
Kelinci New Zealand White banyak diternakkan di Indonesia sebab memiliki pertumbuhan
yang tergolong cepat. Komoditas kelinci jenis ini juga banyak digunakan untuk kelinci percobaan
di laboratorium. Kelangsungan hidup kelinci sangat ditentukan oleh perhatian dan perawatan.
Jenis, jumlah dan mutu pakan yang diberikan sangat menentukan pertumbuhan, kesehatan dan
perkembangbiakan kelinci. Kemampuan kelinci menggunakan berbagai jenis pakan, memudahkan
kelinci untuk dipelihara di berbagai tempat dengan memanfaatkan potensi sumber daya pakan
lokal. Diharapkan dengan budidaya kelinci, petani peternak mampu meningkatkan pendapatan
selain itu juga akan meningkatkan asupan gizi keluarga atau masyarakat (Marhaeniyanto dan
Sri.2017).
Permasalahan yang sering terjadi pada jenis kelinci New Zealand White ini adalah
kurangnya pemaksimalan pemenuhan nutrisi pada ransum kelinci. Jika pemenuhan nutrisi pada
kelinci New Zealand White dapat terpenuhi sesuai syarat, maka dipastikan akan menimbulkan efek
produktivitas yang meningkat seperti pertambahan bobot badan yang maksimal. Terpenuhinya
nutrisi yang dibutuhkan untuk peningkatan atau pertambahan bobot badan pada kelinci akan
mempengarhui terhadap perawakan dan kualitas dari kelinci tersebut.
Pemberian daun kelor (Moringa oleifera) pada ransum kelinci dapat dijadikan alternatif
untuk pemenuhan nutrisi kelinci jenis New Zealand White. Pakan kelinci tidak hanya berupa
hijauan saja tetapi perlu ditambah konsentrat untuk menunjang produktivitas. Potensi tanaman
kelor merupakan tanaman tahunan yang memiliki kandungan asam amino esensial yang seimbang,
kelor dikenal sabagai jenis tanaman sayuran yang sudah dibudidayakan sejak lama, daunnya
majemuk, menyirip ganda dan berpinak, daunnya membundar kecil-kecil. Daun kelor memiliki
keunikan yaitu kandungan asam aminonya seimbang serta meskipun mengandung senyawa anti
nutrisi. Pakan suplemen juga dapat meningkatkan kondisi palatabilitas, konsumsi dan daya cerna
hijauan pakan yang merupakan pakan dasar ternak ruminansia sesuai dengan pendapat
(Marhaeniyanto, dkk.2015). Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan
alasan untuk pemenuhan nutrisi pada kelinci jenis New Zealand White dengan menambahkan daun
kelor pada ransum kelinci yang nantinya akan mempengaruhi produktivitas kelinci tersebut.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh bobot badan yang diberi daun kelor pada kelinci New Zealand
White?
2. Bagimana littersize pada kelinci New Zealand White setelah di beri daun kelor?
2
Daun kelor mengandung protein dan
Pertambahan bobot badan kelinci asam amino yang tinggi, serta
kurang maksimal karena kurangnya mengandung banyak mineral yang
pemenuhan nutrisi pada ransum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bobot
diberikan. badan ternak. Mengandung vitamin
seperti A,C, dan E yang baik untuk
pemenuhan nutrisi pada kelinci.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2. Kelinci New Zealand White
Kelinci New Zealand umumnya bewarna putih, tetapi ada juga yang bewarna merah atau
hitam. Matanya bewarna merah, bulunya padat, pertumbuhannya cepat dan anak cepat disapih.
Kelinci New Zealand White termasuk kelinci tipe pedaging dengan berat dewasa mencapai 4-5 kg.
Kelinci ras New Zealand White ini pada jantan dan betina memiliki dewasa kelamin yang berbeda.
Kelinci betina mengalami lebih cepat dewasa kelamin dibandingkan dengan kelinci jantan. Dewasa
pada kelinci New Zealand White berkisar antara 5-6 bulan dan dapat dikawinkan untuk pertama
kali pada saat berumur 5,5 bulan. (Saputra.2016).
Kelinci merupakan ternak yang memiliki potensi tinggi sebagai hewan peliharaan atau hias,
penghasil daging maupun kulit-rambut. Peternakan kelinci di Indonesia sudah cukup
memasyarakat sebab pemeliharaannya mudah, relatif tidak membutuhkan modal besar, siklus
usaha relatif cepat, menghasilkan beragam produk, belum banyak pesaing, dapat memanfaatkan
lahan sempit serta dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan. (Brahmantiyo, dkk.2017).
Breed kelinci dengan nama berbeda terkadang memiliki asal-usul yang sama, sementara
dalam kasus lain karena keunikannya telah hilang sedikit demi sedikit sebab perkawinan silang.
Breed kelinci serta semua hewan dicirikan oleh standar semua breed, dengan serangkaian
karakteristik atau parameter yang didefinisikan secara tepat yang dibuat berdasarkan penilaian
fenotipik. (Vašíčková, et al.2016).
2.3 Kelor
Daun kelor merupakan daun majemuk, menyirip ganda dan berpinak, daunnya membundar
kecil-kecil. Memiliki keunikan yaitu kandungan asam aminonya seimbang serta meskipun
mengandung senyawa anti nutrisi. Pakan suplemen juga dapat meningkatkan kondisi palatabilitas,
konsumsi dan daya cerna hijauan pakan yang merupakan pakan dasar ternak ruminansia sesuai
dengan pendapat (Marhaeniyanto, dkk.2015).
5
Gambar 3. Daun Kelor
Kandungan gizi kelor cukup tinggi, terutama pada kandungan proteinnya yaitu sebesar
26,89%. Hasil analisa proksimat disajikan pada tabel berikut :
KOMPONEN KANDUNGAN
Kadar Air 6,57 g/100 g
Protein 26,89 g/100 g
Lemak 5,76 g/100 g
Energi 4304 kcal/kg
Serat Kasar 13,24 g/100 g
Abu 9,69 g/100 g
Ca 1,55 g/100 g
6
diberikan kualitas nutrisinya kurang baik maka akan menurunkan bobot badan. Pertambahan bobot
badan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan
pakan ternak. (Saputra,dkk.2011).
Bobot badan kelinci perlakuan kontrol cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rerata
bobot badan kelinci perlakuan ekstrak. Pertambahan bobot badan kelinci dapat disebabkan oleh
adanya minyak kelapa yang kaya asam lemak jenuh dalam pakan tinggi kolesterol. Asam lemak
jenuh akan menjadi prekursor pembentukan trigliserida. Trigliserida merupakan simpanan lipid
utama dalam jaringan adiposa, sehingga makin banyak kelinci mengkonsumsi lemak maka
semakin besar pula lipid dalam jaringan adiposa sehingga bobot badan kelinci tersebut akan
menjadi lebih besar. (Andriani.2005).
Pertumbuhan pada ternak dapat diketahui dengan mencatat pertambahan bobot badan
dengan penimbangan secara regular, sehingga dapat dihitung tiap hari, minggu, atau waktu tertentu.
Kenaikan bobot badan dalam pertumbuhan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot badan
harian. Pertambahan bobot badan pada umumnya mengalami tiga tingkat kecepatan yang berbeda-
beda, yang pertama pertumbuhan tulang, diikuti dengan pertumbuhan otot dan yang terakhir adalah
pertumbuhan jaringan lemak. (Marhaeniyanto, dkk.2015).
2.5 Littersize
Kelinci (Oryctolagus cuniculus) merupakan salah satu ternak pseudoruminansia yang
cukup baik dalam produktivitasnya. Umumnya ternak kelinci dalam satu tahun mampu melahirkan
lima kali (umur kebuntingan pada ternak kelinci berkisar antara 28–35 hari) dengan jumlah anak
perkelahiran (litter size) 5-6 ekor. (Saputra.2016).
Jumlah anak sekelahiran berkisar 46 ekor. Anak kelinci yang baru lahir hanya menyusu
pada induknya dan mulai diberi pakan pellet pada umur sekitar 3 minggu sebanyak 25 g pagi dan
25 g sore. (Bahar,dkk.2014).
Littersize kelinci New Zealand White yang tertinggi adalah dengan penambahan kacang
kedelai dalam pakan 30 g sebesar 6,5±1,291ekor, sedangkan yang paling rendah adalah
penambahan kedelai 60 g sebesar 5,75±0,957ekor. Efek pakan perlakuan kedelai sebagai pakan
tambahan sebelum dikawinkan tidak memberikan efek terhadap littersize disebabkan pada
kenaikan level protein pakan perlakuan yang tidak berbeda jauh antara 16–19%.
(Saputra,dkk.2011).
7
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
Nutrien Kebutuhan
DE (MJ/Kg) 11-13
8
c. Timbangan digital merek Idealife kapasitas 5 kg dengan kepekaan 1 gram untuk
menimbang pakan konsentrat dan kepekaan 0.01 gram untuk sisa pakan konsentrat.
9
Pada saat pemeliharaan, pemberian pakan berupa konsentrat diberikan pada pukul
07.00 WIB dan pakan hijauan yang berupa rumput lapang diberikan pada pukul 09.00 WIB
dan pukul 16.00 WIB. Pakan yang diberikan untuk kelinci adalah 8 % dari bobot badan
(berdasar BK), sedangkan untuk air minum diberikan secara ad libitum.
Konsentrat yang dipakai selama penelitian hanya dibuat dalam satu kali
pencampuran, kemudian diambil sampel untuk keperluan analisis proksimat sebanyak 50
gram. Sampel hijauan diambil dua kali dalam seminggu dan dikeringkan, kemudian
dilakukan dekomposit selama pengambilan data (6 minggu). Sampel hijauan diambil
sebanyak 10%, kemudian dilakukan analisis bahan keringnya. Sampel sisa pakan diambil
10% dari total sisa pakan kemudian dikeringkan dengan sinar matahari secara langsung dan
setelah kering ditimbang kemudian dianalisis kandungan bahan keringnya.
3.4.2 Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang meliputi konsumsi pakan dan
konversi pakan dianalisis menggunakan analisis variansi berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola searah. Pertambahan bobot badan harian dianalisis menggunakan
analisis kovariansi dan dilaporkan secara deskriptif untuk mengetahui adanya pengaruh
perlakuan terhadap peubah yang diamati. Model matematika yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Yij = µ + ti + €ij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = nilai tengah perlakuan ke-i
ti = pengaruh perlakuan ke-i
€ij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
10
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Y.2005. Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma Ulmifolia Lamk.) Terhadap
Bobot Badan Kelinci Yang Diberi Pakan Berlemak. GRADIEN: Jurnal Ilmiah
MIPA, 1(2), 74-76.
Bahar, S., & Sudolar, N. R. 2017. Uji Kesukaan Pakan Kelor (Moringa Oleifera Lam.) Pada Ternak
Kelinci.Buletin Pertanian Perkotaan.7(1),1-5
Bahar, S., Bakrie, B., Sente, U., Andayani, D., & Lotulung, B. V.2014. Potensi Dan Peluang
Pengembangan Ternak Kelinci Di Wilayah Perkotaan DKI Jakarta. Buletin Pertanian
Perkotaan, 4, 1-6.
Brahmantiyo, B., & Rahardjo, Y. C.2014. Pengembangan Pembibitan Kelinci di Pedesaan dalam
Menunjang Potensi dan Prospek Agribisnis kelinci. JITV, 19(3).
Brahmantiyo, B., Nuraini, H., & Rahmadiansyah, D.2017. Produktivitas Karkas Kelinci Hyla,
Hycole dan New Zealand White. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner.616-626.
Marhaeniyanto, E., & Susanti, S.2017. Penggunaan Konsentrat Hijau Untuk Meningkatkan
Produksi Ternak Kelinci New Zealand White. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan
Universitas Brawijaya, 27(1), 28-39.
Marhaeniyanto, E., Murti, A. T., & Susanti, S.2017. Pembuatan Pakan Konsentrat Di Kelompok
Peternak Kelinci Mandiri Desa Ngijo Kecamatan Karangploso Kabupaten
Malang. Peduli, 1(2), 1-10.
Marhaeniyanto, E., Rusmiwari, S., & Susanti, S.2017. Pemanfaatan Daun Kelor Untuk
Meningkatkan Produksi Ternak Kelinci New Zealand White. Buana Sains, 15(2),
119-126.
Raharjo, Y. C., & Brahmantiyo, B. (2014). Plasma Nutfah Kelinci Sebagai Sumber Pangan Hewani
Dan Produk Lain Bermutu Tinggi. JITV, 19(3).
Saputra, D. I.2016. Pengaruh Penambahan Jenis Pakan Sumber Protein pada Ransum Berbasis
Limbah dan Hijauan Kelapa Sawit terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot, dan
Efisiensi Kelinci Lokal Jantan. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4(2).
Saputra, S. H., Minarti, S., & Junus, M.2012. Pengaruh Penambahan Kacang Kedelai (Glycine
Max) dalam Pakan Terhadap Potensi Reproduksi Kelinci Betina New Zealand White
Menjelang Dikawinkan. Ternak Tropika Journal of Tropical Animal
Production, 12(1), 72-75.
11
Vašíčková, K., Ondruška, Ľ., Baláži, A., Parkányi, V., & Vašíček, D.2016. Genetic
Characterization Of Nitra Rabbits and Zobor Rabbit. Slovak Journal of Animal
Science, 49(3), 104-111.
12