Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH PSIKIATRI

REAKSI STRES AKUT, GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA, DAN


GANGGUAN PENYESUAIAN

Disusun Oleh:
Farida Nur Kusumawati
G99122042

Pembimbing:
dr. Yusvick M Hadin, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA
SURAKARTA
2013
REAKSI STRES AKUT

A. PENDAHULUAN
Reaksi stres akut (juga disebut gangguan stres akut, shock psikologis,
mental shock, atau sekedar shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang
timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan. "Respons
stres akut" pertama kali dideskripsikan oleh Walter Cannon pada tahun 1920
sebagai sebuah teori bahwa hewan-hewan bereaksi terhadap ancaman
dengan pembuangan umum dari sistem saraf simpatik. Respons ini
kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari sindrom adaptasi umum yang
mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan organisme lain.
Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang
parah, disosiatif, dan gejala lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah
terkena stresor traumatis yang ekstrem (misalnya, menyaksikan kematian
atau kecelakaan serius). Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik,
individu mengembangkan gejala disosiatif. Individu dengan gangguan stres
akut mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit atau tidak
mungkin untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan
menyenangkan sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar
tugas-tugas kehidupan biasa. Seseorang dengan gangguan stress akut dapat
mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka,
pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami
kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik
(amnesia disosiatif) (Kaplan, Sadock,& Grebb, 2007)
B. DEFINISI
Reaksi Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah kondisi
psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang
mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang
mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi
untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan
kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius,
dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau kematian. Reaksi

1
stres akut adalah variasi dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan
adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata)
yang intens ketidakberdayaan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007).
C. EPIDEMIOLOGI
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar
8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang
pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita
memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada
kelompok usia dewasa muda.
D. ETIOLOGI
Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau
saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami
ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang
rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam, cedera serius, atau
kematian.
Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk
menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan
adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan
peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan yang merupakan
predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan
apakah gangguan akan berkembang, yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti
sosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi
penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa

2
dewasa akan terjadi regresi emosional (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007;
Ingram, 1995).
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka
menyertakan sebuah keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa
penyempitan bidang kesadaran dan penyempitan perhatian,
ketidakmampuan untuk memahami rangsangan, dan disorientasi. Keadaan
ini dapat diikuti baik oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau
dengan agitasi dan overeaktifitas. Tanda-tanda panik otonom kecemasan
(takikardia, berkeringat, kemerahan) yang umumnya hadir. Gejala biasanya
muncul dalam beberapa menit dari dampak dari stres rangsangan atau
aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam beberapa
jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada.
Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan
berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia
sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan
mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif).
Peristiwa traumatik yang dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya
salah satu dari cara berikut: berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas
balik, atau rasa menghidupkan kembali pengalaman atau penderitaan
pemaparan pada pengingat dari peristiwa traumatik (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2007).
F. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik untuk reaksi stress akut menurut PPDGJ III adalah
sebagai berikut :
1. Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya
pengalaman stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari
gejala, biasanya setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.
2. Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah;
selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal

3
berikut dapat terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa,
overaktif, dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi
gambaran klinisnya untuk waktu yang lama.
b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya,
gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam
hal di mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan,
gejala-gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya
hampir menghilang setelah 3 hari.
3. Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan
mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan
gangguan psikiatrik lainnya.
4. Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang
peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV
adalah sebagai berikut:
1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua
dari berikut ini ditemukan:
a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
2. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
a. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas
emosi
b. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada
dalam keadaan tidak sadar)
c. derealisasi
d. depersonalisasi

4
e. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek
penting dari trauma)
3. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu
cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau
penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatik.
4. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi
trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat,
orang).
5. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit
tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon
kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain,
menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang
diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan
kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga
tentang pengalaman traumatic.
7. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu
dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
8. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata
suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada
sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat
perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau
riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.
Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan
stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga
mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

5
G. DIAGNOSIS BANDING
1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional
yang besar yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma
tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan,
pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari
pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan (waking through), penghindaran yang persisten oleh
penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita
tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Menurut
DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah
lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut
berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung
lebih dari 1 bulan.
2. Gangguan Panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan
panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Gangguan panik ini sering
disertai dengan adanya agoraphobia yaitu ketakutan berada sendirian di
tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan
keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai
tempat kerjanya sehingga hal ini mendukung adanya suatu serangan
panic yang spontan. Selain itu, pasien juga menghindari tempat-tempat
umum atau transportasi umum.
H. PENATALAKSANAAN
Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin
berkembang menjadi gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil
Creamer, O'Donnell dan Pattison's (2004) penelitian terhadap 363 pasien
menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut hanya memiliki
validitas prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa
pengalaman kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor
PTSD. Obat dapat digunakan untuk jangka waktu yang sangat singkat
(sampai empat minggu)

6
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas
konseling dan psikoterapi bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku
kognitif yang mencakup eksposur dan restrukturisasi kognitif ternyata
efektif dalam mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis dengan klinis
ASD dengan hasil yang signifikan pada 6 bulan follow-up. Kombinasi
relaksasi, restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih
unggul untuk mendukung konseling
I. PROGNOSIS
Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke
gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai
dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.

7
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
(POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER/PTSD)

A. PENDAHULUAN
Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)
adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau
menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,
seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan
yang serius. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul
kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan
mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha menghindari keadaan-
keadaan yang mengingatkan pada peristiwa tersebut, menjadi mati rasa
secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan
atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma
menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Resiko
akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh
mana seseorang terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya dia bereaksi.
Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak
diketahui. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma
jika mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan
lain adalah dilepaskannya hormon-hormon tertentu oleh otak (misalnya
kortisol) dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut.
Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-
kenangan tersebut. Orang-orang dengan ketidakseimbangan zat kimia
tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca
trauma akan meningkat.
B. DEFINISI
Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi kuat, memanjang dan
tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa sehingga seseorang
menderita stress atau kehilangan yang berat (Hibbert, Godwin & Dear,
2009). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik,

8
ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat
pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan
orang biasa (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). National Institute of Mental
Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan
yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam
keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan
kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang
(Anonim, 2005c).
Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama,
pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa
seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares
(mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi
emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan
peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang
dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir,
merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu
juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain,
dan emosi yang dangkal. Ketiga, sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan
dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah
berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas
segala sesuatu (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b).
C. ETIOLOGI
1. Stresor
Stresor adalah penyebab utama terjadinya PTSD. Stressor berupa
kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang
parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang,
dipenjara Namun tidak semua orang yang mengalami stressor yang berat
mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak cukup untuk menyebabkan
PTSD. Respon pasien terhadap trauma haruslah takut yang sangat kuat
bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis dan psikososial yang

9
ada pada orang yang telah mengalami trauma (Kaplan, Sadock, & Grebb,
2007).
2. Faktor resiko
a. Biologis:
- Kerentanan genetik.
- Kepribadian “borderline”, paranoid, dependent atau antisosial.
- Perempuan
b. Psikososial
- Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).
- Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi.
- Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau
kelompok yang kurang).
- Konsumsi alkohol yang berlebihan.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif
terhadap stres berat atau stres berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian
tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi
sosialnya.Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan setelah
kejadian, awitan biasanya dalam 6 bulan. Tiga kelompok utama gejala (tidak
ada sebelum pajanan) :
1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)
a. Ansietas yang menetap
b. Kewaspadaan yang berlebihan
c. Konsentrasi buruk
d. Insomnia
2. Intrusions (pengacauan)
a. Kilasan balik
b. Mimpi buruk
c. Ingatan yang hidup
3. Avoidance (penghindaran)
a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan
b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian

10
c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari
E. DIAGNOSIS
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti
bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang
luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila
tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu
lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapatkan
alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan,
bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi
mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi
penarikan diri secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran
terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan
traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan
otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya,
mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang
berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai
melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan
apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan
tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-
ulang krmbali (flashbacks).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku
semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,
diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang
berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

11
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari
DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, ed 4) :
1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic di mana
kedua dari berikut ini terdapat :
a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau
ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau
lebih) cara berikut:
a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang
kejadian, termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi.
b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi
kembali.
d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu
aspek kejadian traumatik.
e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan
trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum
trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
a. usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma.
b. usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang
menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
c. tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma

12
d. hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
e. perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
f. rentang aspek yang terbatas.
g. perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan
sebelum trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
a. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur.
b. iritabilitas atau ledakan kemarahan.
c. sulit berkonsentrasi.
d. kewaspadaan berlebihan.
e. respon kejut yang berlebihan.
5. Lama gangguan (gejala dalam kriteria 2,3,4 ) lebih dari satu bulan.
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.
(Kaplan,Sadock,& Grebb, 2007)
F. DIAGNOSIS BANDING
Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan
Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan
dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk
membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan
gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua
kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan
PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD.
G. PROGNOSIS
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita
gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tidak berubah
atau memburuk. Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih
mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD
muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang
baik, dukungan sosial yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau
penyalahgunaan zat.

13
H. PENATALAKSANAAN
1. Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan
penilaian resiko (bunuh diri/pengabaian diri).
2. Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan
medis untuk korban penyiksaan.
3. Psikoterapi
Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan. Yang pertama
adalah terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada
keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai
desensitisasi. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the
imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita
secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau
exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang
aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat
kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut
dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai
penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau
yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim,
2005b; Tomb, 2004).
Yang kedua manajemen stress (anxiety management). Tipe yang
kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik
relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapis akan
mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala
PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar
mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu
belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung
berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar
untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran

14
positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4)
asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan
harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika
kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim,
2005b; Tomb, 2004). Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk
merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan
mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif
terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,
mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih
realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang
(Anonim, 2005b).
Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy)
mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi
bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara
langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).
Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik.
Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur
PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan.
Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu
untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban trauma (Rose et
al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan
secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan
Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada
semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika
melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara.
Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita

15
PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana
tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling
menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka
saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu
dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita
mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan
berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan ke -jiwaan yang dipendam.
Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih
baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari
trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain
untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya
penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan
bermacam terapi dan pengobatan yang cocok untuk PTSD. Walaupun
seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama
yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan
permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya (Anonim, 2005b).
Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe
psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement desensitization
reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang
seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu
bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b).
Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi
PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam
beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi
sangat tidak nyaman bagi pasien. Selain terapi individu, terapi kelompok
dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok
sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman
mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting terutama untuk
mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala

16
menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan
rawat inap (Tomb, 2004).
4. Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin
dan paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat
ini cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala
pada PTSD tidak hanya gejala yang menyerupai kecemasan atau depresi.
Buspirone juga dapat digunakan, beberapa penelitian juga telah
menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat bermanfaat. Dosis
yang digunakan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obatan lain yang
berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidase inhibitors (MAOIs),
trazodone dan antikonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi
agitasi atau psikotik akut (Kaplan, Sadock, &Grebb, 2007).

17
GANGGUAN PENYESUAIAN

A. PENDAHULUAN
Gangguan penyesuaian adalah reaksi maladaptif jangka pendek
terhadap apa yang disebut orang awam sebagai nasib malang pribadi atau
apa yang disebut dokter psikiatrik sebagai stresor psikososial (Mansjoer,
2008).
Keadaan-keadaan stres yang subjektif dan gangguan emosional
yang biasanya mengganggu kinerja dan fungsi sosial, dan yang timbul pada
periode adaptasi terhadap suatu perubahan dalam hidup yang bermakna atau
terhadap akibat dari peristiwa kehidupan yang penuh stres (termasuk adanya
atau kemungkinan adanya suatu penyakit fisik berat). Stresor tersebut
mungkin sudah berpengaruh terhadap integritas dari hubungan sosial
individu atau terhadap sistem dukungan dan nilai-nilai sosial yang lebih luas
(migrasi atau status sebagai pengungsi). Stresor mungkin hanya
berpengaruh terhadap individu atau pun juga terhadap kelompoknya dalam
masyarakat (PPDGJ III, 1993).
Gangguan penyesuaian dengan mood depresi terjadi pada individu
yang sebelumnya berfungsi baik, segera setelah mengalami stres yang dapat
diidentifikasi, mengakibatkan gangguan fungsi, dan sembuh setelah stres
hilang (Tomb, 2004).
B. DEFINISI
Gangguan penyesuaian (adjustment disorder/maladjusment)
merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stresor yang dikenali dan
berkembang beberapa bulan sejak munculnya stresor, yang ditandai dengan
adanya hendaya fungsi atau tanda-tanda distres emosional yang lebih dari
biasa (Nevid, dkk, 2005). Gangguan ini termasuk kelompok gangguan yang
paling ringan yang dapat terjadi pada semua usia. Orang awam
menyebutnya sebagai nasib malang pribadi, sedangkan ahli psikiatrik
menyebut gangguan ini sebagai stresor psikososial (Mansjoer, 2008).
Hendaya yang muncul dari reaksi maladaptif ini adalah hendaya
yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis.

18
Diagnosis gangguan penyesuaian bisa ditegakkan bila reaksi terhadap stres
tersebut tidak memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti
gangguan mood atau gangguan kecemasan (Nevid, dkk, 2005).
Reaksi maladaptif dalam bentuk gangguan penyesuaian ini mungkin
teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stresor. Bila
reaksi maladaptif ini masih berlangsung lebih dari enam bulan setelah
stresor dialihkan, diagnosis gangguan penyesuaian perlu diubah (Nevid,
dkk, 2005).
C. ETIOLOGI
Gangguan penyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih stresor.
Beratnya stresor tidak selalu meramalkan keparahan gangguan. Stresor pada
masalah penyesuaian atau keadaan stres ini dapat bersumber pada frustasi,
konflik, tekanan, atau krisis (Maramis, 2005).
Frustasi timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud
(tujuan) kita, misalnya bila kita mau berpiknik lantas mendadak hujan turun
atau mobil kita mogok. Frustasi dapat datang dari luar atau pun dari dalam.
Contoh frustasi yang datangnya dari luar antara lain, bencana alam,
kecelakaan, kematian seorang yang tercinta, peperangan, norma-norma,
adat-istiadat, kegoncangan ekonomi, diskriminasi rasial atau agama,
pengangguran dan ketidakpastian sosial. Sedangkan frustasi yang datang
dari dalam dapatberupa cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral
sehingga penilaian diri sendiri menjadi sangat tidak enak dan merupakan
frustasi yangberhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.
Konflik terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustasi terhadap
yang lain. Umpamanya seorang pemuda ingin menjadi dokter, tetapi
sekaligus takut akan tanggung jawab kelak bila sudah jadi dokter. Atau jika
kita harus memilih antara sekolah terus atau menikah (mengurus rumah
tangga). Contoh lain lagi berupa konflik yang terjadi bila kita harus memilih
antara beberapa hal yang semuanya tidak kita ingini, misalnya pekerjaan
yang tidak menarik atau menganggur.

19
Tekanan juga dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan
sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk dapat menjadi stres
yang hebat. Tekanan, seperti juga frustasi dapat berasal dari dalam ataupun
dari luar. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau norma-norma kita
yang kita gantungkan terlalu tinggi dan kita mengejarnya tanpa ampun,
sehingga kita terus menerus berada di bawah tekanan. Contoh tekanan dari
luar misalnya orangtua yang menuntut dari anak angka rapor yang tinggi,
istri tiap hari mengeluh kepada suaminya bahwa uang belanja tidak cukup,
keputusan yang perlu diambil, sedangkan waktu sering mendesak.
Krisis ialah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada seorang
individu ataupun suatu kelompok, umpamanya kematian, kecelakaan,
penyakit yang memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali.
D. MANIFESTASI KLINIS
Sampai tiga bulan mungkin ditemukan stresor dan perkembangan
gejala. Gejala tidak selalu menghilang segera setelah stresor menghilang dan
jika stresor berlanjut, gangguan mungkin akan menjadi kronik. Gejalanya
sangat bervariasi, dengan depresi, kecemasan dan gangguan campuran
adalah yang paling sering pada orang dewasa. Manifestasi juga termasuk
perilaku menyerang dan kebut-kebutan, minum berlebihan, melarikan diri
dari tanggung jawab hukum, dan menarik diri. Presentasi klinis dapat sangat
bervariasi berupa kecemasan, depresi, gangguan tingkah laku, campuran
gangguan emosi dan konduksi, serta campuran kecemasan dan depresi
(Mansjoer, 2008).
Pada remaja, gangguan tingkah laku (misalnya perilaku agresif atau
dissosial) dapat merupakan ciri yang menyertai gangguan ini. Tidak ada
satupun dari gejala tersebut yang cukup parah atau menonjol, sehingga
dapat membenarkan diagnosis yang lebih spesifik. Pada anak-anak,
fenomena regresif seperti kembali ngompol, bicara kekanak-kanakan, atau
menghisap jempol sering kali merupakan bagian dari pola gejalanya
(PPDGJ III, 1993).
Bila sesuatu yang buruk terjadi pada hidup kita, maka wajar bila
kita merasa sedih. Bila ada krisis dalam pekerjaan, saat dituduh melakukan

20
kejahatan, mengalami kebanjiran, gempa atau badai, bisa dimengerti bila
kita mengalami kecemasan atau depresi. Sebaliknya, justru apabila kita
tidak bereaksi “maladaptif”, (misalnya cemas), paling tidak secara
temporer, karenaterjadinya peristiwa-peristiwa tersebut dapat menunjukkan
ada yang tidak wajar pada diri kita. Namun, bila reaksi emosional kita
berlebihan, atau kemampuan kita untuk berfungsi mengalami penurunan
atau hendaya, (misalnya menghindari interaksi sosial, sulit bangun tidur,
tertinggal dalam pelajaran sekolah) maka kondisi ini bisa didiagnosis
sebagai gangguan penyesuaian.
Berikut tabel yang menunjukkan beberapa subtipe gangguan
penyesuaian yang reaksi maladaptifnya bervariasi.
Tabel Subtipe Gangguan Penyesuaian
Gangguan Ciri-ciri Utama
Gangguan Penyesuaian dengan mood Kesedihan, menangis, merasa tidak punya
depresi harapan
Gangguan Penyesuaian dengan Khawatir, gelisah, dan gugup (atau pada
Kecemasan anak takut berpisah dari figur kelekatan
utama)
Gangguan penyesuaian dengan Gejala Kombinasi dari kecemasan dan depresi
Campuran antara Kecemasan dan
mood depresi
Gangguan Penyesuaian dengan Melanggar hak orang lain atau melanggar
Gangguan Tingkah Laku norma sosial yang sesuai usianya. Contoh:
membolos, berkelahi, mengebut, dan
melalaikan kewajiban hukum (misal
menghentikan pembayaran tunjangan)
Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Gabungan dari gangguan emosi, seperti
Campuran antara Gangguan Emosi dan depresi atau kecemasan, dan gangguan
Tingkah Laku tingkah laku.
Gangguan Penyesuaian Tak Kategori residual yang dapat diterapkan pada
Tergolongkan kasus-kasus yang tidak dapat digolongkan

21
dalam salah satu dari subtipe lainnya.

Sumber: Psikologi Abnormal Edisi 5 (Adaptasi dari DSM-IV-TR)

E. PERJALANAN PENYAKIT DAN DIAGNOSIS


Onset biasanya terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya peristiwa
yang merupakan stresor atau perubahan dalam hidup, dan lamanya gejala-
gejala biasanya tidak melebihi 6 bulan, kecuali dalam kasus reaksi depresif
berkepanjangan. Apabila gejala-gejala tersebut bertahan melampaui periode
ini, maka diagnosis harus disesuaikan dengan gambaran klinis yang masih
ada (PPDGJ III, 1993).
Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III :
1. Diagnosis tergantung pada suatu evaluasi yang teliti terhadap hubungan
antara:
a. Bentuk, isi, dan keparahan gejala
b. Riwayat dan kepribadian sebelumnya, dan
c. Kejadian atau situasi yang penuh stres atau krisis kehidupan
2. Adanya ketiga faktor ini harus ditetapkan dengan jelas dan harus
mempunyai bukti yang kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi
bila tidak mengalami gangguan tersebut.
3. Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif,
ansietas, campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai
adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun
dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis.
4. Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang
stresfull dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali
dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21)
F. PROGNOSIS
Gangguan penyesuaian termasuk kelompok gangguan yang paling
ringan sehingga prognosisnya baik dengan pengobatan yang sesuai.
Sebagian besar pasien kembali ke tingkat fungsi sebelumnya dalam tiga

22
bulan. Akan tetapi, remaja biasanya memerlukan waktu pulih lebih lama
dibandingkan orang dewasa (Mansjoer, 2008).
G. PENATALAKSANAAN
Psikoterapi merupakan pengobatan terpilih untuk gangguan
penyesuaian. Salah satu yang efektif adalah dengan terapi kelompok. Terapi
ini ditujukan untuk membantu orang dengan gangguan penyesuaian
memecahkan situasi dengan cepat dengan teknik suportif, sugesti,
penentraman, modifikasi lingkungan, dan bahkan perawatan di rumah sakit.
Adanya fleksibilitas sangat penting dalam pendekatan ini. Selain
psikoterapi, pasien mungkin berespon terhadap obat antiansietas atau
antidepresan, tergantung jenis gangguannya. Bila cemas berat mungkin
dapat digunakan dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien dengan
manifestasi menarik diri mungkin dapat diberikan medikasi psikostimulan
singkat (Mansjoer, 2008).

23
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder (DSM-IV). 4th ed. Washington,DC:American Psychiatric
Association
Anonim, 2005a, Disaster Rescue and Response Workers,
http://www.ncptsd.va.gov/facts/disasters/fs_rescue_workers. html, diakses
04 Mei.
Anonim, 2005b, Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic
Stress Disorder: A Guide for Patients and Families, http://www.
psychguides. Com
Anonim, 2005c, Apa itu Gangguan Tekanan Lepas Kejadian Traumatik (PTSD)?
http://www.cgh.com.sg/health_public/pamphlet/Malay/PTSD/PTSD_main1
_new.html
Boyce, P., & J. Condon, 2000. Traumatic Childbirth and the Role of Debriefing.
B Raphael & J.P.Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice
and Evidence (New York: Cambridge University Press, 2000).
Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI : Jakarta
Hibbert A,Godwin A & Dear F. 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Alih Bahasa:Rini
Cendika. EGC:Jakarta
Ingram IM. 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku
kedokteran.
Kaplan H,Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2.Alih
Bahasa:Widjaja Kusuma.Binarupa Aksara: Tangerang
Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius :
Jakarta
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan.
Airlangga University Press : Surabaya
Maslim Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Atmajaya.

24
Nevid, J.S, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Jilid
I. Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta
Rose, S, J. Bisson & S. Wessely. 2002. Psychological Debriefing for Preventing
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane Database
of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560.
Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom. 2000.
Randomized Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce
Maternal Depression after Operative Childbirth, British Medical Journal,
321: 1043-1047.
Swalm, D. 2005. Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why it’s Important to
Talk Talk Talk. Associate Head of Dept of Psychological Medicine for
Women, King Edward Memorial Hospital, Subiaco 6008, Western
Australia, www.trauma-center.org
Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai