Anda di halaman 1dari 24

1.1.

Good Corporate Governance (GCG)


Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa etika bisnis memiliki maksud dan tujuan
sebagai tuntutan agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan mana yang
yang boleh serta tidak boleh di lakukan dalam berperilaku pada dunia usaha.
Pada saat menjalankan bisnisnya, maka suatu perusahaan bukan hanya memiliki kewajiban
serta tanggung jawab yang bersifat legal serta ekonomis melainkan suatu perusahaan memiliki
kewajiban yang juga memiliki sifat yang etis. Etika bisis lah yang menjadi tuntunan untuk
berperilaku di dalam dunia usaha agar dapat menjadikan seseorang atau suatu perusahaan bisa
membedakan mana yang buruk dan mana yang baik serta mana yang tidak boleh di lakukan
dan boleh untuk di lakukan.
Berdasarkan hal – hal tersebut itulah maka di perlukan suatu tata kelola perusahaan yang
baik atau yang biasa kita sebut Good Corporate Governance atau disingkat dengan GCG supaya
perilaku para pelaku bisnis dapat memiliki arahan yang bisa untuk di rujuk. Sebagai suatu
entitas bisnis yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat serta lingkungannya maka
suatu perusahaan memang sudah seharusnya mempunyai tindakan yang baik sebagai good
citizen yang dimana hal ini merupakan tuntutan dari etika bisnis yang baik.
Good Corporate Governance dimaksud agar dapat mengatur hubungan – hubungan
tersebut serta mencegah terjadinya kesalahan – kesalahan yang fatal dalam strategi korporasi.
Good Corporate Governance juga dimaksudkan agar dapat memastikan bahwa kesalahan –
kesalahan yang terjadi bisa di perbaiki dengan cepat.
Dalam tataran yang praktis, Indonesia telah mempunyai pedoman Good Corporate
Governance yang di susun oleh komite nasional kebijakan Corporate Governance (KNKG).
Saat ini, perusahaan – perusahaan yang telah menerapkan Good Corporate Governance telah
merasakan besarnya manfaat yang bisa di ambil setelah menjalankan konsep tersebut secara
konsisten. Selain kinerja yang terus membaik, harga saham serta citra perusahaan pun turut
meningkat. Bahkan kredibilitas perusahaannya terut naik hingga melewati batas – batas negara,
baik itu di mata para investor, mitra maupun kreditor serta para stakeholders lainnya.
Good Corporate Governance (GCG) ialah suatu sistem, dan perangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah.
Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara
manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan
di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu
memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait
dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai
transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Sejak diperkenalkan oleh OECD
(2015), prinsip-prinsip corporate governance berikut ini telah dijadikan acuan oleh negara-
negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin
sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau perusahaan dan diselaraskan dengan sistem
hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku di negara masing-masing. Prinsip-prinsip tatakelola
perusahaan yang baik ini antara lain :
A. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris
dan direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders
lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris
bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib memberikan nasehat kepada
direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai.
Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka
pengelolaan perusahaan.
B. Pertanggungan-jawab ( responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melakukan
kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai pengelola perusahaan hendaknya
dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak
lain di luar ketentuan yang telah disepakati, seperti tersirat pada undang-undang, regulasi,
kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.
C. Keterbukaan (transparancy)
Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi
yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara
independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui
keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
D. Kewajaran (fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan
perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan
melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan
pihak lain. Setiap anggota direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan
transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.
E. Kemandirian (independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara mandiri
sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku. Tersirat dengan
prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan terhadap
hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan
perusahaan.

1.2. Corporate Social Responsibility (CSR)


1.2.1. Konsep CSR
Berdasarkan konsep Tiple Bottom Line, Corporate Social Responsibility dan dipopulerkan
oleh John Elkington pada tahun 1998 pada bukunya “Canibal With Forks, The Triple Bottom
Line of Twentieth Century Business”. Elkington mendeskripsikan Triple Bottom Line pada
istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Selain mengejar
keuntungan (profit) perusahaan juga memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan
(planet). Konsep Triple Bottom Linedigunakan sebagai landasan dan aplikasi program
Corporate Social Responsibility pada sebuah perusahaan. Tiga kepentingan yang menjadi satu
ini merupakan garis besar haluan dan tujuan utama tanggung jawab sosial pada perusahaan
(Ulum, zainul, dahlan, 2014).
a. Profit (Keuntungan)
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan dari setiap kegiatan usaha. Tak
heran jika focus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit
atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. Baik secara langsung maupun tidak
langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap
pemegang saham.
b. People (Masyarakat)
Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder
penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi
kebradaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan, maka sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan masyarakat dan lingkungan, perusahaan perlu
berkomitmen untuk berupaya memberikan masyarakat sebesar-besarnya kepada
masyarakat.
Melihat pentingnya pelaksanaan Corporate Social Responsibility dalam membantu
perusahaan menciptakan citra positifnya maka perusahaan seharusnya melihat
Corporate Social Responsibility bukan sebagai sentra biaya (cost center) melainkan
sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang. Logikanya sederhana, jika
Corporate Social Responsibility diabaikan kemudian terjadi insiden. Maka biaya yang
dikeluarkan untuk biaya recovery bisa jadi lebih besar dibandingkan biaya yang ingin
dihemat melalui peniadaan Corporate Social Responsibility itu sendiri. Hal ini belum
termasuk pada resiko non-finansial yang berupa memburuknya citra perusahaan di mata
publiknya.
c. Planet (Lingkungan)
Unsur ketiga yang perlu diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Lingkungan
adalah sesuatu yang berkaitan dengan seluruh bidang kehidupan manusia. Hubungan
manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, di mana jika kita merawat
lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan manfaat bagi kita , dan sebaliknya.

1.2.2. Definisi CSR


Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungannya
atau CSR adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Tanggung jawab organisasi untuk dampak keputusan dan kegiatannya terhadap
masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis yang berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat;
mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan; mematuhi hukum yang berlaku dan
konsisten dengan norma-norma perilaku internasional; dan terintegrasi di seluruh organisasi
dan dipraktekkan dalam hubungannya (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility).
CSR adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk
tanggung jawab mereka terhadap sosial atau lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.
Sedangkan definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah
komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Wacana Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang kini menjadi isu sentral yang semakin
populer dan bahkan ditempatkan pada posisi yang penting, karena itu kian banyak pula
kalangan dunia usaha dan pihak-pihak terkait mulai merespon wacana ini, tidak sekedar
mengikuti tren tanpa memahami esensi dan manfaatnya.
Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan
(sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan
sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan komitmen
perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Disisi lain masyarakat mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi
pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral
untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena seiring
waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang
diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial.
Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata
kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan tata kelola perusahaan
yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang
bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan
(stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan
signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat
diperbaiki dengan segera.
Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran
strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam
membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu melalui CSR perusahaan juga
dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang
sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial.
CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan memerhatikan kebutuhan dan
keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat
sesaat dan berdampak sementara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu
menciptakan keseimbangan antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya
tanggung jawab sosial perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa
Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan
lingkungan.
Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara
berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi
program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh
perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada
gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta
pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan
alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan
baku produksi yang diambil dari alam.
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong
royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung
jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi,
menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan
sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara
keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif,
maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat
ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi
perusahaan untuk memupuk modal sosial.
Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, adapun isi Undang-Undang tersebut yang berkaitan
dengan CSR, yaitu:
Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Diantara berbagai definisi diatas dapat kami menyimpulkan bahwa Corporate Social
Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi jangka panjang
terhadap satu issue tertentu di masyarakat atau lingkungan untuk dapat menciptakan
lingkungan dan kehidupan yang lebih baik.
Kontribusi dari perusahaan ini bisa berupa banyak hal, misalnya : bantuan dana, bantuan
tenaga ahli dari perusahaan, bantuan berupa barang, dll. Di sini perlu dibedakan antara program
Corporate Social Responsibility dengan kegiatan charity. Kegiatan charity hanya berlangsung
sekali atau sementara waktu dan biasanya justru menimbulkan ketergantungan publik terhadap
perusahaan. Sementara, program Corporate Social Responsibility merupakan program yang
berkelanjutan dan bertujuan untuk menciptakan kemandirian publik.
Perusahaan yang menjalankan model bisnisnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip etika
bisnis dan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang strategik dan sustainable akan dapat
menumbuhkan citra positif serta mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.

1.3. Hubungan CGC dan CSR


Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi penting dan relevan bagi
perusahaan untuk menjaga hubungan baik dengan lingkungan dan masyarakat yang secara
langsung maupun tidak telah dimanfaatkan sumber daya nya.
Konsep CSR bermakna sangatlah luas, mencakup seluruh pemangku kepentingan (stake
holders) di dalam dan di sekitar suatu perusahaan. Secara umum, masyarakat dunia telah
menerima dan menyepakati bahwa CSR adalah sesuatu yang perlu menjadi komitmen setiap
perusahaan. Indonesia, berbeda dengan negara-negara lain, telah menjadikannya sebagai suatu
kewajiban hukum (meski belum berlaku bagi semua jenis perusahaan). Terlepas dari berbagai
kekurangsempurnaan dalam pengaturannya, namun semoga pewajiban atas sesuatu yang
sebenarnya merupakan kegiatan sukarela ini bukannya menjadi beban baru bagi dunia usaha
(seperti yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan usaha), tapi dapat melihatnya sebagai suatu
kesempatan untuk berpartisipasi dalam perbaikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat
dan lingkungan di mana mereka, perusahaan-perusahaan tersebut, berdiri, beroperasi dan
mendapatkan keuntungan. Sebagai wujud pengimplemetasian GCG yang memiliki standar
tertentu, CSR harus dijakankan dengan sepenuh hati dan berkelanjutan agar mampu dirasakan
manfaatnya baik sekarang maupun di masa yang akan datang
Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu bentuk dari
implementasi konsep Good Corporate Governance atau GCG. Sebagai entitas bisnis yang
memiliki tanggung jawab kepada para masyarakat serta lingkungan maka sudah seharusnya
bahwa perusahaan dapat bertindak sebagai good citizen yang dimana hal ini merupakan
tuntutan dari etika bisnis yang baik.

2.1 Tentang ISO 26000


Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization)
sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak
untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi
untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility. Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada
pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi.
Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment”
tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002 yang
diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO
on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social
Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai
pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility” pada tahun 2002. Pada
bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negara-negara berkembang,
selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NYIP diedarkan
kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana
29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak.
Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau
Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini,
menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta
maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik
ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.
ISO 26000 merupakan salah satu pedoman yang dapat digunakan oleh perusahaan
dalam mengimplementasikan CSR dan bukanlah suatu sertifikasi. ISO 26000 menyediakan
standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang
mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun
negara maju. Dengan ISO 26000 ini, organisasi akan memberikan tambahan nilai terhadap
aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:
1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan
isunya;
2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-
kegiatan yang efektif; dan
3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk
kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
2.2 Prinsip ISO 26000
Dalam pedoman ISO 26000 (2010) terdapat tujuh prinsip social resposibility:
1. Akuntabilitas
Membuktikan kepada seluruh pemangku kepentingan bahwa perusahaan telah
melakukan segala sesuatu dengan benar terkait dampak terhadap masyarakat dan
lingkungan atas seluruh kegiatan operasional yang dilakukan oleh perusahaan.
2. Transparansi
Perusahaan menyatakan secara transparan seluruh keputusan dan aktivitas yang
memiliki dampak kepada masyarakat dan lingkungan. Untuk itu perusahaan dituntut
atas keterbukaan yang clear, accurate, dan completeness atas seluruh kebijakan,
keputusan, dan aktivitas yang dilakukan.
3. Perilaku Etis
Perusahaan harus berperilaku etis sepanjang waktu dengan menegakkan kejujuran,
kesetaraan, dan integritas. Perilaku etis dilaksanakan melalui pengembangan struktur
tata kelola yang mendorong perilaku etis, membuat dan mengaplikasikan standar
perilaku eits.
4. Penghormatan pada kepentingan stakeholder
Perusahaan harus menghhormati dan menanggapi seluruh kepentingan para
stakeholder. Dalam hal ini yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah
mengidentifikasi, menanggapi kebutuhan, mengenali hak-hak legal dan kepentingan
yang sah, serta mengenali kepentingan yang lebih luas terkait dengan pembangunan
keberlanjutan.
5. Kepatuhan terhadap hukum
Sebuah organisasi harus menerima bahwa kepatuhan pada hukum merupakan suatu
kewajiban, untuk itu yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah patuh terhadap
semua regulasi yang berlaku, memastikan bahwa seluruh aktivitasnya sesuai dengan
kerangka hukum yang relevan, patuh kepada seluruh aturan yang dibuat oleh
perusahaan sendiri secara adil dan imparsial, mengetahui perubahan-perubahan dalam
regulasi, serta secara periodik memeriksa kepatuhannya.
6. Penghormatan terhadap norma perilaku internasional
Di negara-negara dimana hukum nasionalnya atau implementasinya tidak mencukupi
untuk melindungi kondisi lingkungan dan sosialnya, perusahaan harus mengacu kepada
norma perilaku internasional.
7. Penghormatan terhadap hak asasi manusia
Perusahaan harus menghormati serta mengakui pentingnya hak asasi manusia dan
sifatnya yang universal. Dalam hal ini yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah
ketika ditemui situasi pelanggaran hak asasi manusia, perusahaan harus melindungi hak
asasi manusia tersebut dan tidak mengambil kesempatan dari situasi tersebut, dan
apabila tidak ada regulasi hak asasi manusia di tingkat nasional, maka perusahaan harus
mengacu pada standar internasional.
2.3. Stakeholders
Pada dasarnya Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan tanggung jawab
perusahaan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).
Menurut IFC (2007) pemangku kepentingan didefinisikan sebagai “persons or groups who
are directly or indirectly affected ny a project, as well as those who may have interests in a
project and/or the ability to influence its outcome, either porsitively or negarively”.
Dalam IFC (2007) juga dijelaskan bahwa yang juga termasuk di dalam pemangku
kepentingan (stakeholder) adalah komunitas lokal yang terkena dampak representatif secara
formal atau informal, pemerintah lokal atau pusat, politisi, pemimpin agama, organisasi
masyarakat atau sekelompok orang yang memiliki kepentingan, komunitas akademisi, atau
lingkungan bisnis yang lain.
Sedangkan menurut ISO 26000 dalam Jalal (2010) yang dimaksud dengan pemangku
kepentingan (stakeholder) didefinisikan dengan menjawab pertanyaan pertanyaan sebagai
berikut:
a. Kepada siapa perusahaan memiliki kewajiban hukum?
b. Siapa yang terpengaruh secara negatif maupun positif oleh keputusan dan aktivitas
perusahaan?
c. Siapa yang menyuarakan pernyataan mengenai keputusan dan aktivitas perusahaan?
d. Siapa yang biasanya terlibat dalam penyelesaian isu-isu penting?
e. Siapa yang bisa membantu perusahaan dalam mengelola dampak tertentu?
f. Siapa yang bisa mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam menjalankan CSR-nya?
g. Siapa yang akan dirugikan kalau tidak dilibatkan?
h. Siapa yang terpengaruh sepanjang value chain?
2.4. Implementasi ISO 26000
ISO 26000 merupakan pedoman pelaksanaan CSR yang ketujuh subjek intinya dapat
diterapkan secara universal oleh seluruh organisasi. Masing-masing tujuh subjek inti dalam
ISO 26000 memiliki isu-isu yang ditekankan. Dalam pelaksanaannya, suatu perusahaan
diharuskan untuk melakukan seluruh subjek inti tetapi tidak semua isu yang terdapat dalam
subjek inti tersebut harus diidentifikasi oleh perusahaan. Berikut tujuh subjek inti dalam ISO
26000:
1. Tata Kelola Organisasi
Seluruh organisasi harus memiliki proses, sistem, dan struktur yang memungkinkan
untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dan praktik social responsibility.
Akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, penghormatan terhadap kepentingan
stakeholder, dan kepatuhan hukum harus dimasukkan ke dalam pengambilan
keputusan.
2. Hak Asasi Manusia
hak dasar yang berhak dimiliki semua orang sebagai manusia, yang antara lain
mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
3. Praktik ketenagakerjaan
segala kebijakan dan praktik ketenagakerjaan yang terkait dengan pekerjaan yang
dilakukan di dalam atau atas nama perusahaan. Tenaga kerja harus mendapatkan
penghidupan yang layak. Isu terkait dalam praktik ketenagakerjaan seperti pekerja dan
hubungan ketenagakerjaan, kondisi kerja dan jaminan sosial para pekerja, dialog sosial,
health and safety at work, Human development and training in the work place
4. Lingkungan
Salah satu tanggung jawab perusahaan adalah harus ramah lingkungan, artinya
perusahaan harus memperhatikan, melestarikan, dan menjaga lingkungan. Isu yang
terkait dengan lingkungan seperti Prevention and Pollution (pencegahan polusi),
Sustainable Resource Use (penggunaan sumber daya berkelanjutan), Climate Change
Mitigation and Adaption (adaptasi dan mitigasi perubahan iklim), Protection The
Environment.
5. Prosedur operasi yang wajar
perilaku etis organisasi saat berhubungan dengan organisasi dan individu lain. Praktik
operasi yang adil merujuk pada etika organisasi dalam berhubungan dengan organisasi
lainnya. Isu yang terkait dalam subjek inti seperti Anti-corruption (Anti Korupsi),
Responsible Political Involvement, Fair Competition, Promoting Social Responsibility
In The Value Chain, Respect For Property Rights.
6. Isu konsumen
tanggung jawab perusahaan penyedia barang/jasa terhadap konsumen dan
pelanggannya. Dalam berhadapan dengan konsumen, perusahaan haruslah bersikap
jujur dalam menjalankan bisnis, melakukan pemasaran, dan menjamin kualitas serta
ketersediaan atas produk dan jasa yang dihasilkan. Delapan hak konsumen adalah
pemenuhan kebutuhan dasar, keamanan, informasi, memilih, didengarkan,
penyelesaian klaim, edukasi, dan lingkungan yang sehat.
7. Pelibatan dan pengembangan masyarakat
hubungan organisasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya. Isu-isu yang
terkait dengan subjek ini seperti Community Involvement, Education and Culture,
Employment Creation and Skills, Technology Development and Access, Wealth and
Income Creation, Health, Social Investment

2.5 Pelaporan dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)


Pelaporan dan pengungkapan CSR berhubungan dengan teori agensi karena pelaporan dan
pengungkapan CSR berhubungan dengan perilaku perusahaan kepada stakeholder.
Pengungkapan tanggung jawab sosial atau sering disebut sebagai Corporate Sosial Reporting
adalah proses pengkomunikasian efek-efek sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan
ekonomi perusahaan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada
masyarakat secara keseluruhan. Kontribusi negatif perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya
telah menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat, Oleh karena itu dengan
mengungkapkan informasi-informasi mengenai operasi perusahaan sehubungan dengan
lingkungan sebagai tanggung jawab perusahaan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan
masyarakat
Saat ini sustainability report perusahaan-perusahaan hampir di seluruh dunia disusun
dengan mengunakan standar pelaporan yang diusulkan oleh GRI (Global Reporting Initative).
Global Reporting Initiative Guideline merupakan guideline yang paling banyak dijadikan
rujukan dalam CSR Reporting. GRI dibentuk tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally
Responsible Economies (CERES) dan United Nation Environment Programme (UNEP).
The Global Reporting Initiative (GRI) adalah jaringan organisasi nonpemerintah yang
bertujuan mendorong keberlanjutan dan pelaporan lingkungan, sosial dan tata kelola. GRI
mengeluarkan kerangka kerja pelaporan keberlanjutan yang paling banyak dipergunakan di
dunia dalam rangka mendorong transparansi yang lebih besar (Global Reporting Initiative,
2010).
GRI dalam standar pelaporannya memperhatikan tiga indikator/aspek, yaitu indikator
ekonomi atau keuangan (economic performance indicators), indikator lingkungan
(environment performance indicator), dan indikator sosial (social performance indicators).
Indikator sosial terdiri dari empat indikator, yaitu hak asasi manusia (human rights
performance indicators), masyarakat (society performance indicators), tenaga kerja (labor
performance indicators), dan pertanggungjawaban produk (product responsibility
performance indicators).
Prinsip-prinsip laporan untuk menetapkan kualitas menurut pedoman keberlanjutan GRI
(2010) adalah:
a. Balance.Mencerminkan aspek-aspek yang positif maupun negatif.
b. Comparability. Isu dan informasi dipilih dan dilaporkan dengan konsisten hingga
dapat dibandingkan antar waktu.
c. Accuracy. Informasi harus cukup detail agar bisa dinilai oleh stakeholder.
d. Timeliness. Dilaporkan secara reguler, tersedia tepat waktu kepada stakeholder.
e. Clarity. Informasi harus tersedia dalam bentuk yang mudah dipahami dan bisa diakses
oleh stakeholder.
f. Reliability. Informasi harus dikumpulkan, direkam, dianalisis dan disajikan
berdasarkan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara kualitas dan materialitas.

Sedangkan, prinsip pelaporan untuk menetapkan isi laporan dalam GRI (2006) adalah:
a. Materialitas
Informasi yang dilaporkan dapat mempengaruhi penilaian dan kebijakan dari
stakeholder secara substantif.
b. Pelibatan stakeholder
Mengidentifikasi para stakeholder dan menjelaskan dalam laporan bagaimana
organisasi telah merespon harapan dan kepentingan tersebut.
c. Konteks keberlanjutan
Memperlihatkan kinerja organisasi dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas.
d. Kelengkapan
Cakupan topik dan indikator material serta definisi batasan laporan harus dapat
menggambarkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dan
memungkinkan stakeholder untuk menilai kinerja organisasi dalam periode laporan
berjalan.

Menurut GRI (2006), isi Sustainability Report terdiri dari 5 bagian:


a. Visi dan strategi
Menjelaskan visi dan strategi perusahaan berkaitan dengan sustainability,
dicantumkan juga pernyataan atau sambutan dari manajemen.
b. Profil perusahaan
Merupakan overview struktur organisasi operasi perusahaan serta ruang lingkup
pelaporan.
c. Sistem manajemen dan struktur penegelolaan
Pengungkapan struktur organisasi, kebijakan-kebijakan yang diambil, dan sistem
manajemen, termasuk usaha-usaha perusahaan dalam melibatkan stakeholder.
d. GRI content index
Berisi tabel yang mengidentifikasikan letak setiap elemen isi laporan GRI
berdasarkan bagian dan indikatornya. Tujuannya untuk memudahkan pengguna
laporan agar dapat mengakases secara cepat informasi dan indikator yang terdapat
dalam GRI.
e. Indikator kinerja
Indikator ini mengukur efek atau dampak kegiatan perusahaan meliputi aspekaspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan.

2.6 Menerapkan Panduan GRI Bersama Dengan ISO 26000


GRI sejak awal secara aktif turut serta, lewat berbagai pemangku kepentingan
internasional, dalam proses pengembangan ISO 26000. GRI mendukung upaya yang diberikan
lewat panduan GRI bersama dengan ISO 26000. sebagai kontribusi positif yang dapat dicapai
dunia bisnis dan organisasi lain melalui perbaikan cara beroperasinya, guna menjamin masa
depan yang berkelanjutan untuk semua. Sebagai salah satu kerangka pelaporan keberlanjutan
yang paling banyak dipergunakan, disusun berdasarkan pendekatan keterlibatan berbagai
pemangku kepentingan internasional proses yang didasarkan konsensus, GRI memberikan
panduan yang paling sesuai untuk mendukung organisasi yang tertarik melaporkan aspek-
aspek yang dicakup dalam ISO 26000 (Global Reporting Initiative, 2010).
Panduan ISO 26000 menekankan pentingnya pelaporan publik untuk kinerja tanggung
jawab sosial kepada pemangku kepentingan internal maupun eksternal, seperti karyawan,
masyarakat setempat, investor dan regulator. Penekanan ini menggambarkan betapa
pentingnya perhatian internasional terhadap masalah pelaporan, dan ini sejajar dengan misi
GRI untuk menjadikan pengungkapan kinerja di bidang ekonomi, lingkungan dan sosial
menjadi satu praktik umum (Global Reporting Initiative, 2010).
Walau ISO 26000 tidak memberikan petunjuk tentang pelaporan kinerja tanggung jawab
sosial, namun materi dari ISO 26000 juga membahas rangkaian topik yang mirip dengan yang
ada dalam Panduan Pelaporan GRI. Untuk itu, bagi perusahaan panduan ISO menyediakan
struktur dalam mengorganisir aktivitas mereka, yang dapat mempengaruhi proses pelaporan
perusahaan. Dengan menggunakan kerangka kerja GRI ini bersama dengan panduan ISO yang
baru, pelapor akan memiliki serangkaian alat bantu praktis untuk mengukur dan melaporkan
kebijakan dan praktik tanggung jawab sosial mereka.

3.1. Pengertian Asean Corporate Scorecard


Asean Scorecard merupakan alat untuk memeringkat kinerja tata kelola perusahaan publik
dan terbuka di ASEAN.
3.2. Sejarah Asean Corporate Scorecard
Ketika terjadi krisis ekonomi secara global, banyak perusahaan yang membuat membuat
penelitian dan kajian, terutama di Eropa dan Amerika. Di Eropa ada istilah Cadbury Report.
Cadbury Report ini diketuai oleh Sir Adrian cadbury, Agen Cadbury. Ketika itu, pemerintah
Inggris meminta cadbury melakukan penelitian, apa yang menjadi penyebab krisis.Lalu
Cadbury pun membentuk Cadbury Committe. Hasil penelitian itu diberi nama Cadbury
Report pada 1992.
Cadbury Report itulah yang kemudian disarankan kepada seluruh perusahaan di Eropa.
Bila mereka tidak ingin krisis ekonomi terulang, maka disarankan untuk melaksanakan prinsip-
prinsip yang terdapat dalam cadbury report tersebut yang kemudian diistilahkan
dengan corporate governance.Dari sana munculah banyak organisasi yang menjadi pendorong
penerapan GCG, misalnya OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development), atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang
berkedudukan di Paris.
OECD mengeluarkan prisnsip-prinsip GCG secara uumum, kemudian disebarkan ke
semua regional, termasuk ASEAN. Di ASEAN berkumpul negara-negara yang kemudian
membentuk forum bernama Asean Capital Market Forum (ACMF).Negara-negara ASEAN
menciptakan atau sepakat untuk menerapkan Asean Corporate Governcance Scourecard
(Asean CG Scorecard) untuk level ASEAN. Asean CG Scorecard ini kemudian menjadi standar
bagi perusahaan-perusahaan di ASEAN, terutama untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) 2015. Jadi, semua negara di ASEAN memiliki standard yang sama, yakni
ASEAN CG Scorecard.
ASEAN CG Scorecard ini seperti layaknya standar ISO bagi perusahaan manufaktur untuk
melakukan ekspor dan impor. Begitu pula dengan standar GCG di ASEAN untuk MEA,
namanya ASEAN CG Scorecard.Implementasi GCG di Indonesia sendiri melalui beberapa
tahap. Pertama, setelah krisis terjadi, yaitu sekitar tahun 1999.Ketua Dewan Komisioner
Indonesia Muliaman D Hadad meresmikan roadmap tata kelola perusahaan Indonesia.
Roadmap ini dikeluarkan pada 14 Februari 2014.
Dalam roadmap itu ada 33 rekomendasi perbaikan yang harus dibenahi oleh perusahaan-
perusahaan diIndonesia, terutama perusahaan yang sudah terdaftar atau terbuka, atau yang
sudah melantai di bursa saham. Dari 33 rekomendasi ini OJK membuat POJK baru agar 33
rekomendasi tersebut bisa diterapkan di Indonesia.Semua perusahaan terbuka wajib
menerapkan 33 rekomendasi tersebut, walaupun masa berlakunya tidak langsung, atau secara
bertahap. Hingga kini, ke-33 rekomendasi tersebut belum semua diturunkan.
Rekomomendasi-rekomendasi tersebut mengatur tentang keberadaan direksi, komisaris,
RUPS, mengatur saham, pembagian deviden, etika bisnis, komunikasi, dan sebagainya.Jadi
sejak 2014 itu Indonesia sudah mewajibkan perusahaan terbuka untuk menerapkan governance
berdasarkan standard internasional.Dalam ASEAN CG Scorecad tersebut ada 5 parameter, dan
190 sub parameter. Kelima parameter itu adalah, pertama, hak pemegang saham, kedua,
perlakuan setara antar pemegang saham, ketiga, peran pemegang saham, keempat, keterbukaan
informasi dan transparansi, kelima, tanggung jawab dewan direksi dan komisaris.
Pakar sekaligus praktisi GCG Wilson Arafat mengatakan, bila sebuah perusahaan
menerapkan parameter-parameter tersebut secara komprehensif, sistematis, efektif, dan efisien,
bisa dijamin perusahaan tersebut akan tumbuh kuat dan berkelanjutan.“Bisa menjadi sebuah
perusahaan tumbuh kuat dan berkelanjutan kalau beyond-nya juga dilakukan, bukan sekadar di
atas kertas,” kata Wilson.
Bukti empiris sudah banyak yang bisa kita ketahui bersama baik itu di Asia, Eropa, dan
sebagainya, bahwa sebuah perusahaan bisa hancur karena tidak menerapkan prinsip-prinsip
GCG dalam menjalankan perusahannya. Seperti yang terjadi pada Enron Corp.,
Worldcom, dan Xerox.
3.3. Instrumen Penilaian
Salah satu penilaian Corporate Governance adalah menggunakan Asean Corporate
Governance Scorecard, yang merupakam suatu tolak ukur atau parameter pengukuran praktek
Corporate Governance yang disepakati oleh ACMF (ASEAN Capital Market Forum) yaitu
asosiasi otoritas pasar modal ASEAN , dimana ASEAN Corporate Governance Scorecard
tersebut dibuat berdasarkan OECD Principles dan diharapkan dapat meningkatkan
kepercayaan investor kepada perusahaan-perusahaan listing di ASEAN.

Instrumen penilaian mengacu pada prinsip-prinsip Corporate Governance yang


dikembangkan oleh OECD meliputi
1. Hak-hak pemegang saham (Rights of Shareholders);
2. Perlakuan yang Setara Terhadap Pemegang Saham (Equitable Treatment of
Shareholders);
3. Peran Pemangku Kepentingan (Role of Stakeholders);
4. Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency); dan
5. Tanggung Jawab Dewan (Responsibilities of Boards).

Penilaian tersebut dengan menggunakan rumus di bawah ini:


4. Struktur Organisasi (CSR) & (GCG)
4.1. Struktur Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap para pemangku
kepentingan baik itu dari pihak internal perusahaan maupun pihak eksternal perusahaan
perusahaan.
Keseriusan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas CSR bisa ditinjau dari struktur
organisasinya. Secara umum terdapat dua kategori, yaitu CSR merupakan bagian dari
departemen atau divisi lain, dan CSR sudah merupakan departemen/ divisi otonom,
pertanggungjawabannya langsung kepada direktur atau pimpinan perusahaan. Kategori
tersebut dideskripsikan sebagai berikut:
a. CSR merupakan bagian dari aktivitas departemen/ divisi lain
Dalam model ini, CSR bukan merupakan sebuah departemen/ divisi yang sifatnya
otonom, melainkan menjadi bagian departemen/ divisi lain. Perencanaan dan teknis
pelaksanaan program, dipertanggungjawabkan kepada kepala depertemen.
Ada juga program CSR yang sifatnya ad hock, secara struktur tidak berada dimana-mana,
namun pada saat dibutuhkan bisa tiba-tiba muncul menjadi bagian program sosial perusahaan,
seperti pada pringatan ulang tahun,peringatan hari besar agama dan pada saat ada kejadian luar
biasa seperti bencana alam atau pencemaran akibat dampak operasional perusahaan.
Tipe ini menunjukan lemahnya komitmen perusahaan terhadap program CSR, karena
tidak memiliki kedudukan strategis. Jika dilihat dari produk kebijakan, program CSR masih
lemah, karena belum mendapatkan tempat dalam struktur organisasi perusahaan. Pada
umumnya pengelola program CSR berada pada level staf, bukan level manager.
b. CSR Sebagai Departemen Otonom
Dalam model ini, CSR merupakan departemen atau bidang yang sifatnya mandiri, bukan
bagian dari departemen lain. Sehingga mulai dari perencanaan program, anggaran,
implementasi, hingga evaluasi dilakukan secara mandiri. Secara struktur, posisi Departemen
CSR dengan departemen lain sebagai mitra sejajar, dan pertanggungjawaban program sifatnya
langsung kepada Direktur/ pimpinan perusahaan.
Tipe struktur ini menunjukkan besarnya komitmen perusahaan terhadap CSR,
dikarenakan CSR memiliki anggaran sendiri, memiliki hak menentukan program jangka
pendek, menengah, hingga jangka panjang, selain itu secara personalia, memiliki team
work yang dipimpin oleh seorang kepala bidang atau manager. Dengan demikian dalam
departemen / divisi CSR terdapat diferensiasi tugas yang jelas.
Bahkan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen dengan guidance ISO
26000, akan menempatkan pejabat pengelola CSR pada posisi Head Of CSR yang setara
dengan direktur.

Contoh perusahaan yang menggunakan CSR adalah PT. PLN (Persero) :


PLN telah “berkomitmen menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat, mengupayakan tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi dan
menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan”, PLN bertekad menyelaraskan
pengembangan ketiga aspek dalam penyediaan listrik, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
Untuk itu, PLN mengembangkan Program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai
wujud nyata dari Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Wewenang dan tanggung jawab Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) PT PLN (Persero), mencakup di antaranya:
• Menyusun dan melaksanakan kebijakan pemberdayaan masyarakat di lingkungan perusahaan
sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan dan CSR dengan lingkup kegiatan
Community relation, Community Services, Community Empowering dan Pelestarian alam.
• Menyusun dan melaksanakan program kepedulian sosial perusahaan.
• Menyusun dan melaksanakan program kemitraan sosial dan bina UKM dan peningkatan citra
perusahaan.
• Memastikan tersedianya dan terlaksananya program pelestarian alam termasuk penghijauan
dan upaya pengembangan citra perusahaan sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance.

4.2. Struktur Good Corporate Governance (GCG)


4.2.1. Struktur Organisasi GCG secara garis besar adalah terdiri dari :
 Rapat Umum Pemegang Saham
 Dewan Komisaris
 Direksi
 Komite-Komite dibawah Dewan Komisaris
 Satuan Kerja Kepatuhan
 Satuan Kerja Audit Intern
 Audit Ekstern
 Satuan Kerja Manajemen Risiko
 Stakeholders

Berdasarkan hal tersebut, secara umum struktur organisasi GCG pada bank dapat digambarkan
dalam struktur sebagai berikut:

a. RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham)


Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam Bank dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi
dan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dan Anggaran Dasar Bank yang berlaku. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan
forum dimana Direksi dan Komisaris melaporkan dan bertanggungjawab atas kinerja mereka
terhadap Pemegang Saham.
b. Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi.
Paling kurang 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia.
Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen dan paling kurang 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.
c. Direksi
Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dan wajib berasal dari pihak yang independen
terhadap pemegang saham pengendali. Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan
yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan, serta
hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali.
Setiap usulan penggantian dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh Dewan Komisaris
kepada Rapat Umum Pemegang Saham, harus memperhatikan rekomendasi Komite
Remunerasi dan Nominasi.
Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di bidang
operasional sebagai Pejabat Eksekutif bank (tidak termasuk Bank Perkreditan Rakyat).
Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
4.2.2. Komite - Komite
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan
Komisaris dibantu oleh sekurang-kurangnya :
a. Komite Audit;
b. Komite Pemantau Risiko;
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
4.2.3. Fungsi Kepatuhan
Bank wajib memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Dalam rangka memastikan
kepatuhan, Bank wajib menunjuk seorang Direktur Kepatuhan dengan berpedoman pada
persyaratan dan tata cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan
Fungsi Audit Intern Bank Umum.
a. Satuan Kerja Kepatuhan
Dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi Direktur Kepatuhan secara efektif, Bank
membentuk satuan kerja kepatuhan (compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja
operasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Direktur Kepatuhan wajib mencegah
direksi Bank agar tidak menempuh kebijakan dan/atau menetapkan keputusan yang
menyimpang dari peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku. Direktur Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
secara berkala kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris.

b. Fungsi Audit Intern


Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank wajib membentuk
Satuan Kerja Audit Intern yang independen terhadap satuan kerja operasional. Dalam
melaksanakan tugasnya SKAI menyampaikan laporan kepada Direktur Utama dan Dewan
Komisaris dengan tembusan kepada Direktur Kepatuhan. Pemimpin SKAI diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur Utama Bank dengan persetujuan Dewan Komisaris.

c. Fungsi Audit Ekstern


 Bank wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di
Bank Indonesia dalam pelaksanaan audit laporan keuangan Bank.
 Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham berdasarkan calon yang
diajukan oleh dewan Komisaris sesuai rekomendasi Komite Audit.
 Audit dan penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik wajib memenuhi
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
4.2.4. Penerapan Manajemen Risiko
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan dengan tujuan,
kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta Bank dengan berpedoman pada
persyaratan dan tata cara sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
a. Satuan Kerja Manajemen Risiko & Komite Manajemen Risiko
Dalam kaitan dengan pengembangan struktur organisasi yang ada, Bank wajib membentuk
Komite Manajemen Risiko (Risk Management Committee) dan Satuan Kerja Manajemen
Risiko (Risk Management Unit).
b. Pengendalian Intern
Pengendalian intern merupakan suatu mekanisme pengawasan yang ditetapkan oleh
manajemen Bank secara berkesinambungan (on going basis), guna:
 menjaga dan mengamankan harta kekayaan Bank;
 menjamin tersedianya laporan yang lebih akurat;
 meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
 mengurangi dampak keuangan/kerugian, penyimpangan termasuk kecurangan/fraud,
dan pelanggaran aspek kehati-hatian;
 meningkatkan efektivitas organisasi dan meningkatkan efisiensi biaya.

Anda mungkin juga menyukai