Anda di halaman 1dari 137

PRAKTEK BAJA 2

PERAKITAN JEMBATAN RANGKA

DISUSUN OLEH :

Joni Pranata (4115010005)


Karunia Pratiwi (4115010013)
Khairina Nur Ariesta (4115050014)
Khusnan Abdul Aziz (4115010015)
Listiawati (4115010016)

PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN


POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
DEPOK
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Tugas
Bengkel ini. Laporan ini merupakan pertanggung jawaban dari pembelajaran yang
telah kami laksanakan, sekaligus sebagai salah satu bukti tertulis dalam Praktek Baja
2 yang telah kami lakukan.

Pada Laporan Praktek Perakitan Jembatan Baja 2 ini, meliputi perencanaan


jembatan baja dengan gambar rencananya, pembebanan jembatan baja, serta metode
pelaksanaan perakitan jembatan baja.

Kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan YME yang telah memberi rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan ini,

2. Bapak Mursid Mufti Ahmad, ST , Bapak Denny Yatmadi, ST, MT serta Bapak
Putra Agung, MA, ST, MT selaku dosen pembimbing Praktek Perakitan
Jembatan Baja 2,

3. Bapak Harris yang telah membantu kami dalam Praktek Perakitan Jembatan Baja
2 berlangsung, dan

4. Teman – teman kelas 3 PJJ yang telah bekerja sama dalam Praktek Perakitan
Jembatan Baja 2 serta penyusunan laporan ini.

Dengan tersusunnya laporan ini kami berharap dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca, khususnya bagi kami selaku penyusun laporan dan umumnya bagi
semua kalangan masyarakat. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari pihak
pembaca yang bersifat membangun jika laporan kami jauh dari kesempurnaan.

Depok, Mei 2018

Penyusun

2
3
4
5
6
7
8
9
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kepulauan terbentang dari
Sabang sampai Marauke, memiliki kontur tanah yang beragam. Oleh karena itu tidak dapat
dipungkiri jembatan memiliki peranan vital dalam kegiatan manusia untuk menunjang
aktivitas sehari-hari di berbagai bidang karena jembatan merupakan suatu konstruksi yang
memungkinkan rute transportasi pada bagian jalan yang terputus oleh adanya
sungai,danau,jalan raya,jalan kereta api dan sebagainya.
Dengan adanya sebuah jembatan, maka peluang terciptanya perbaikan ekonomi dan
pengembangan desa menjadi suatu kota akan meningkat karena terbukanya akses transportasi
yang mempermudah pedistribusian barang dan jasa. Maka dari itu diperlukanlah ahli-ahli
dalam bidang jembatan yang dapat membantu kemajuan negara Indonesia.
Salah satu cara terciptanya ahli-ahli dalam bidang jembatan itu ialah dengan
pendidikan. Pendidikan melatar belakangi suatu kegiatan belajar mengajar serta transfer ilmu.
Metode belajar mengajar dengan cara teori dan praktek pun sebaiknya saling beriringan.
Dengan mengacu pada proses ini, maka pada bengkel baja 2 ini mahasiswa diamanahkan
tugas untuk merencanakan design struktur jembatan dan sekaligus mengaplikasikannya di
bengkel dengan standar-standar yang telah ditetapkan di Standar Negara Indonesia (SNI) dan
acuan lain nya yang terkait.
Pelaksanaan bengkel baja 2 merupakan salah satu media untuk mengaplikasikan teori
yang didapat dalam proses belajar dan mengajar. Perencanaan jembatan yang buat di praktek
ini bukan hanya meliputi dari segi konstruksi atau perencanaan segi fisiknya saja, tapi juga
termasuk perencanaan kebutuhan bahan yang dipakai, perencanaan waktu kerja, dan
perencanaan metode kerja yang efektif juga dapat dilaksanakan di lapangan. Pelaksanaan
bengkel baja 2 dimulai dari pencarian data-data yang diperlukan, setelah data-data yang
diperlukan itu didapatkan barulah dapat dilakukan perencanaan jembatan. Setelah semua
perencanaan selesai, baru lah masuk ke tahap perakitan jembatan.
Perencanaan jembatan yang dilaksanakan pada praktek bengkel baja 2 adalah
perencanaan jembatan rangka bawah untuk penyebrangan orang dan sepeda motor roda dua.

1.2. Tujuan Penulisan

1
Tujuan yang ingin dicapai dari praktek bengkel baja 2 ini adalah mahasiswa
diharapkan mampu mengolah, menganalisa, dan memberikan solusi terhadap permasalahan
yang terjadi pada perencanaan dan perakitan jembatan dengan ilmu yang telah diberikan
dikelas agar menjadi sebuah perencanaan dan perakitan jembatan yang baik dan benar.

1.3. Rumusan Masalah


Perencanaan yang dibahas pada laporan ini adalah mengenai perencanaan mulai dari :
a. Perhitungan beban-beban yang bekerja pada jembatan
b. Perhitungan tekan dan tarik pada batang rangka
c. Perhitungan luasan plat simpul dan jumlah baut
d. Perencanaan kebutuhan bahan
e. Perencanaan metode kerja
f. Perencanaan waktu kerja

1.4. Metode Penulisan


Dalam penulisan dan pelaksanaan praktek bengkel baja 2 ini dilakukan dengan
berbagai macam metode, diantaranya :
1. Penjelasan dosen bengkel yang terkait
2. Studi Pustaka dari media buku dan internet

1.5. Sistematika Penulisan


Dalam pembuatan Laporan Bengkel Baja 2 ini dibuat dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penulisan
1.3. Rumusan Masalah
1.4. Metode Penulisan
1.5. Sistematika Penulisan
BAB II. Dasar Teori
2.1. Rancangan Desain Jembatan
2.2. Metode Pelaksanaan (Perakitan)
2.3. Kriteria Perancangan
2.4. Kekuatan Lentur Segmen

2
2.5. Perencanaan Pembebanan
BAB III. Analisa Perhitungan
BAB IV. Sumber Daya
BAB V. Cara Kerja
BAB VI. Kesimpulan dan Saran
Lampiran Gambar
Lampiran Penjadwalan

3
BAB II

DASAR TEORI

2.1. Rancangan Desain Jembatan


2.1.1. Pengertian Struktur Jembatan

Jembatan adalah suatu struktur kontruksi yang memungkinkan route transfortasi


melalui sungai, danau, kali, jalan raya, jalan kereta api dan lain-lain. Jembatan adalah suatu
struktur konstruksi yang berfungsi untuk menghubungkan dua bagian jalan yang terputus
oleh adanya rintangan-rintangan seperti lembah yang dalam, alur sungai saluran irigasi dan
pembuang . Jalan ini yang melintang yang tidak sebidang dan lain-lain.

Sejarah jembatan sudah cukup tua bersamaan dengan terjadinya hubungan


komunikasi / transportasi antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam
lingkungannya.

Macam dan bentuk serta bahan yang digunakan mengalami perubahan sesuai dengan
kemajuan jaman dan teknologi, mulai dari yang sederhana sekali sampai pada konstruksi
yang mutakhir.

Jembatan berdasarkan jenis dapat dibagi menjadi:

a. Jembatan diatas sungai


b. Jembatan diatas saluran sungai irigasi/ drainase
c. Jembatan diatas lembah
d. Jembatan diatas jalan yang ada / viaduct

Jembatan berdasarkan klasifikasi dibagi menjadi:

a. Menurut Kegunaanya
b. Menurut Jenis Materialnya
c. Menurut Sistem Struktur

Jembatan berdasarkan menurut letak jembatan menjadi:

a. Jembatan Lantai Atas yaitu jembatan dimana posisi lantai jembatan (sebagai tempat
lalu lintas kendaraan) terletak disisi atas struktur utama jembatan
b. Jembatan Lantai Bawah yaitu jembatan dimana posisi lantai jembatan (sebagai tempat
lalu lintas kendaraan) terletak disisi bawah struktur utama jembatan
c. Jembatan Lantai Tengah yaitu jembatan dimana posisi lantai jembatan (sebagai
tempat lalu lintas kendaraan) terletak disisi tengah struktur utama jembatan

4
d. Jembatan Lantai Ganda yaitu jembatan dimana sisi atas dan sisi bawah dari jembatan
digunakan untuk lalu lintas kendaraan

Jembatan berdasarkan menurut kegunaan menjadi:

a. Jembatan jalan raya (highway brigde)


b. Jembatan pejalan kaki (foot path)
c. Jembatan kereta api (railway brigde)
d. Jembatan jalan air
e. Jembatan jalan pipa
f. Jembatan penyebrangan

Jembatan berdasarkan menurut jenis materialnya:

a. Jembatan jalan raya (highway brigde)


b. Jembatan kayu
c. Jembatan baja
d. Jembatan beton bertulang dan pratekan
e. Jembatan komposit

Jembatan berdasarkan jenis struktural menjadi:

a. Jembatan dengan tumpuan sederhana (simply supported bridge)


b. Jembatan menerus (continuous bridge)
c. Jembatan kantilever (cantilever bridge)
d. Jembatan integral (integral bridge)
e. Jembatan semi integral (semi integral bridge)
f. Jembatan pelengkung tiga sendi (arches bridge)
g. Jembatan rangka (trusses bridge)
h. Jembatan gantung (suspension bridge)
i. Jembatan kable (cabled-stayed bridge)
j. Jembatan urung-urung (culverts bridge)

Dalam pemilihan konstruksi jembatan harus memperhatikan prinsip yang diantaranya:

a. Konstruksi Sederhana (bisa dikerjakan masyarakat) bos


b. Harga Murah (manfaatkan material lokal)
c. Kuat & Tahan Lama (mampu menerima beban lalin)
d. Perawatan Mudah & Murah (bisa dilakukan masy)
e. Stabil & Mampu Menahan Gerusan Air

Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan pondasi:

a. Berat bangunan yang harus dipikul pondasi berikut beban-beban hidup, mati serta
beban-beban lain dan beban- beban yang diakibatkan gaya-gaya eksternal
b. Jenis tanah dan daya dukung tanah
c. Bahan pondasi yang tersedia atau mudah diperoleh di tempat
d. Alat dan tenaga kerja yang tersedia

5
e. Lokasi dan lingkungan tempat pekerjaan
f. Waktu dan biaya pekerjaan

Struktur jembatan terdiri dari struktur atas, struktur bawah dan pondasi. Didalam pemilihan
tipe maupun ukuran dari struktur jembatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek antara
lain :

a. Aspek Lalu Lintas


b. Aspek Geometri
c. Aspek Tanah
d. Aspek Hidrologi
e. Aspek Perkerasan
f. Aspek Konstruksi
Struktur jembatan dapat berfungsi dengan baik untuk suatu lokasi tertentu apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

a. Tingkat pelayanan
b. Keawetan
c. Kemudahan pelaksanaan
d. Ekonomis
e. Keindahan estetika
Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang meliputi berat
sendiri, beban mati, beban mati tambahan, beban lalu-lintas kendaraan, gaya rem, beban
pejalan kaki, dll.
Struktur atas jembatan umumnya meliputi :
a. Trotoar
 Sandaran dan tiang sandaran,
 Peninggian trotoar (Kerb),
 Slab lantai trotoar.
b. Slab lantai kendaraan
c. Gelagar (Girder)
d. Balok diafragma
e. Ikatan pengaku (ikatan angin, ikatan melintang)
f. Tumpuan (Bearing)
Struktur bawah jembatan berfungsi memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang
ditumbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada tumpuan
6
dsb. untuk kemudian disalurkan ke fondasi. Selanjutnya beban-beban tersebut disalurkan oleh
fondasi ke tanah dasar.
Struktur bawah jembatan umumnya meliputi :
a. Pangkal jembatan (Abutment)
b. Dinding belakang (Back wall)
c. Dinding penahan (Breast wall)
d. Dinding sayap (Wing wall)
e. Oprit, plat injak (Approach slab)
f. Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
g. Tumpuan (Bearing)
h. Pilar jembatan (Pier)
i. Kepala pilar (Pier Head)
j. Pilar (Pier), yg berupa dinding, kolom, atau portal
k. Konsol pendek untuk jacking (Corbel)
l. Tumpuan (Bearing)
Pondasi jembatan berfungsi meneruskan seluruh beban jembatan ke tanah dasar. Berdasarkan
sistimnya, fondasi abutment atau pier jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam
jenis, antara lain :
a. Fondasi telapak (spread footing)
b. Fondasi sumuran (caisson)
c. Fondasi tiang (pile foundation)
 Tiang pancang kayu (Log Pile)
 Tiang pancang baja (Steel Pile)
 Tiang pancang beton (Reinforced Concrete Pile)
 Tiang pancang beton prategang pracetak (Precast Prestressed Concrete Pile), spun
pile
 Tiang beton cetak di tempat (Concrete Cast in Place), borepile, franky pile
 Tiang pancang komposit (Compossite Pile)

2.2. Jembatan Rangka Baja


2.1.1. Pengertian
Sebuah jembatan truss adalah jembatan yang beban suprastruktur terdiri dari truss.
sedangkan konstruksinya dipertimbangkan pada kebutuhan bentang,bisa berbentuk

7
rangka bisa hanya merupakan baja propil menerus.. Unsur-unsur yang terhubung
(biasanya lurus) dapat ditekankan dari ketegangan, kompresi, atau kadang-kadang baik
dalam respons terhadap beban dinamis. Jembatan truss adalah salah satu jenis tertua dari
jembatan modern. Jenis dasar jembatan truss ditunjukkan dalam artikel ini memiliki
desain sederhana yang dapat dengan mudah dianalisis oleh para insinyur abad kedua
puluh kesembilan belas dan awal. Sebuah jembatan truss ekonomis untuk membangun
karena penggunaan yang efisien bahan.
Sifat truss memungkinkan analisis struktur menggunakan beberapa asumsi dan
penerapan hukum Newton tentang gerak sesuai dengan cabang fisika yang dikenal
sebagai statika. Untuk keperluan analisis, gulungan diasumsikan pin bersendi dimana
komponen lurus bertemu. Asumsi ini berarti bahwa anggota truss (chords, vertikal dan
diagonal) akan bertindak hanya dalam ketegangan atau kompresi. Sebuah analisis lebih
kompleks diperlukan di mana sendi kaku memaksakan beban lentur signifikan terhadap
unsur-unsur, seperti dalam truss Vierendeel.
Di jembatan diilustrasikan dalam kotak info di bagian atas, anggota vertikal dalam
ketegangan, anggota yang lebih rendah horisontal dalam ketegangan, geser, dan lentur,
anggota luar diagonal dan atas adalah dalam kompresi, sedangkan diagonal batin dalam
ketegangan. Para anggota vertikal pusat menstabilkan anggota kompresi atas, mencegah
dari tekuk. Jika anggota atas adalah cukup kaku maka elemen vertikal ini dapat
dihilangkan. Jika akord yang lebih rendah (anggota horizontal truss) cukup tahan terhadap
lentur dan geser, elemen vertikal luar dapat dihilangkan, tetapi dengan kekuatan tambahan
ditambahkan ke anggota lain sebagai kompensasi.
Kemampuan untuk mendistribusikan kekuatan dalam berbagai cara telah
menyebabkan berbagai macam jenis truss jembatan. Beberapa jenis mungkin lebih
menguntungkan bila kayu digunakan untuk elemen kompresi sementara jenis lain
mungkin lebih mudah untuk mendirikan dalam kondisi situs tertentu, atau ketika
keseimbangan antara tenaga kerja, mesin dan biaya bahan memiliki proporsi yang
menguntungkan tertentu.
Dimasukkannya unsur yang ditunjukkan sebagian besar keputusan rekayasa
berdasarkan ekonomi, menjadi keseimbangan antara biaya bahan baku, fabrikasi off-site,
transportasi komponen, di tempat ereksi, ketersediaan mesin dan biaya tenaga kerja.
Dalam kasus lain penampilan struktur dapat mengambil kepentingan yang lebih
besar sehingga mempengaruhi keputusan desain lebih dari sekedar masalah ekonomi.
Bahan modern seperti metode beton pratekan dan fabrikasi, seperti pengelasan otomatis,

8
dan perubahan harga baja relatif terhadap tenaga kerja secara signifikan mempengaruhi
desain jembatan modern.

2.2.1. Kelebihan Jembatan Rangka Baja


1. Gaya batang utama merupakan gaya aksial
2. Dengan sistem badan terbuka (open web) pada rangka batang dimungkinkan
menggunakan tinggi maksimal dibandingkan dengan jembatan balok tanpa
rongga.

2.2.2. Kelemahan Jembatan Rangka Baja


Efisiensi rangka batang tergantung dari panjang bentangnya, artinya jika jembatan
rangka batang dibuat semakin panjang,maka ukuran dari rangka batang itu sendiri juga
harus diperbesar atau dibuat lebih tinggi dengan sudut yang lebih besar untuk menjaga
kekakuannya, sampai rangka batang itu mencapai titik dimana berat sendiri jembatan
terlalu besar ,sehingga rangka batang tidak mampu lagi mendukung beban tersebut.

2.2.3. Keuntungan dan Kerugian Material Baja


1. Keuntungan
Besi baja mempunyai kuat tarik dan kuat tekan yang tinggi, sehingga dengan
material yang sedikit bisa memenuhi kebutuhan struktur.
Keuntungan lain bisa menghemat tenaga kerja karena besi baja diproduksi di
pabrikan dilapangan hanya memasang saja.
Setelah selesai masa layan, besi baja bisa dibongkar dengan mudah dan
dipindahkan ke tempat lain, setelah masa layan, jembatan baja bisa dengan
mudah diperbaiki dari karat.
Pemasangan jembatan baja di lapangan lebih cepat dibandingkan dengan
jembatan beton
2. Kerugian
 Bisa berkarat
 Lebih berisik jika dilewati beban seperti kereta api

2.3. Perencanaan model jembatan

9
Perencanaan struktur jembatan yang ekonomis dan memenuhi syarat teknis ditinjau
dari segi keamanan serta rencana penggunaannya, merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk diupayakan. Dalam perencanaan teknis jembatan perlu dilakukan
identifikasi yang menyangkut beberapa hal antara lain :
1. Kondisi tata guna lahan, baik yang ada pada jalan pendukung maupun lokasi jembatan
berkaitan dengan ketersediaan lahan yang ada.
2. Kelas jembatan yang disesuaikan dengan kelas jalan dan volume lalu lintas.
3. Struktur tanah, geologi dan topografi serta kondisi sungai dan perilakunya.
4. Pemilihan jenis struktur dan bahan konstruksi jembatan yang sesuai dengan kondisi
medan, ketersediaan material dan sumber daya manusia yang ada.
5. Penguasaan tentang teknologi perencanaan, metode pelaksanaan, peralatan, material/
bahan mutlak dibutuhkan dalam perencanaanjembatan.
6. Analisis Struktur yang akurat dengan metode analisis yang tepat agar diperoleh hasil
perencanaan jembatan yang optimal.

Metode perencanaan struktur jembatan yang digunakan ada dua macam, yaitu Metode
perencanaan ultimit (Load Resistant Factor Design, LRFD) dan Metode perencanaan
tegangan ijin (Allowable Stress Design, ASD). Perhitungan struktur atas jembatan
umumnya dilakukan dengan metode ultimit dengan pemilihan faktor beban ultimit sesuai
peraturan yang berlaku. Metode perencanaan tegangan ijin dengan beban kerja umumnya
digunakan untuk perhitungan struktur bawah jembatan (fondasi). Untuk tipe jembatan
simple girder, perhitungan dapat dilakukan secara manual dengan Excel. Untuk tipe
jembatan yang berupa rangka, perhitungan struktur dilakukan dengan komputer berbasis
elemen hingga (finite element) untuk berbagai kombinasi pembebanan yg meliputi berat
sendiri, beban mati tambahan, beban lalu-lintas kendaraan (beban lajur, rem, pedestrian),
dan beban pengaruh lingkungan (temperatur, angin, gempa) dengan pemodelan struktur
3-D (space-frame). Metode analisis yang digunakan adalah analisis linier metode matriks
kekakuan langsung (direct stiffness matriks) dengan deformasi struktur kecil dan material
isotropic. Program komputer yang digunakan untuk analisis adalah SAP2000. Dalam
program tersebut berat sendiri struktur dan massa struktur dihitung secara otomatis.
2.3.1. Perencanaan Dengan Teori LRFD
Kekuatan desain setiap komponen struktur tidak boleh kurang dari kekuatan yang
dibutuhkan yang ditentukan berdasarkan kombinasi pembebanan LRFD.

10
Rn = kekuatan nominal
Φ = faktor tahanan ( ≤ 1.0 ) (SNI: faktor reduksi)
γi = Faktor beban
Qi = Salah satu dari N beban kerja di dalam satu kelompok kombinasi pembebanan
LRFD.
LRFD memperhitungkan keamanan pada kedua sisi (efek beban dan tahanan): faktor
beban dan faktor ketahanan.
1. Faktor beban ditentukan dengan teori probabilitas dan memperhitungkan:
a. Deviasi beban nominal dari beban aktual
b. Ketidakpastian di dalam analisis yang mentransformasikan beban menjadi efek
beban
c. Probabilitas bahwa lebih dari satu beban ekstrim terjadi secara simultan
2. Faktor ketahanan ditentukan dengan teori probabilitas dan memperhitungkan:
a. Pengerjaan yang tidak sempurna
b. Variabilitas kekuatan material
c. Kesalahan dalam pelaksanaan
d. Konskuensi kegagalan yang ditimbulkan
Gaya dalam dapat akibat beban terfaktor (kekuatan yang dibutuhkan) dihitung dengan
menggunakan metode analisis:
a. Elastis,
b. Inelastis, atau
c. Plastis
Untuk efek inelastis ditinjau secara tidak langsung. Perhitungan indeks reliabilitas =
indeks keamanan.

R = Tahanan rata-rata
Q = Efek beban rata-rata
VR = Koefisien variasi tahanan
VQ = Koefisien variasi efek beban

11
2.3.2. Pembebanan Struktur Pada Desain LRFD
Penentuan beban desain LRFD yang bekerja pada struktur jembatan disesuaikan
dengan RSNI T-02-2005, untuk setiap bebannya menggunakan faktor beban pada keadaan
ultimate.
Ada dua kategori aksi berdasarkan lamanya beban bekerja :
1. Aksi tetap atau beban tetap
Merupakan aksi yang bekerja sepanjang waktu dan bersumber pada sifat bahan,
cara jembatan dibangun dan bangunan lain yang mungkin menempel pada
jembatan.
2. Aksi transien atau beban sementara
Merupakan aksi yang bekerja dengan jangka waktu yang pendek, walaupun
mungkin sering terjadi.
2.3.2.1. Faktor Beban
Berikut adalah ringkasan aksi-aksi rencana menurut RSNI T-02-2005, faktor beban
menggunakan keadaan Ultimate dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Ringkasan Aksi – Aksi Rencana

12
2.3.2.2. Kombinasi Beban
Menurut RSNI T-02-2005, kombinasi beban dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Kombinasi Beban Umum Untuk Keadaan Ultimite

2.3.2.3. Material Properties


Modulus Elastisitas E = 200000 MPa
Rasio Poisson µ = 0.3
Modulus geser G = 77200 MPa (AISC’05), G = 80000 MPa (SNI)
Koefisien pemuaian α = 12 x 10-6 / Oc
Tabel 2.3 Sifat Mekanis Baja

13
Gambar 2.1 Kurva Tegangan – Regangan Baja
2.3.2.4. Faktor Reduksi
Menurut RSNI T-03-2005, faktor reduksi untuk baja adalah:
Tabel 2.4 Faktor Reduksi Baja

Sedangkan faktor reduksi untuk beton menurut SKSNI T15-1991-03 adalah:


Tabel 2.5 Faktor Reduksi Beton

14
2.3.2.5. Analisa Struktur Baja Cara LFRD
Adapun analisa struktur baja cara LRFD mempertimbangkan kompak atau tidaknya
penampang yang ditentukan dengan table berikut (Sumber: SNI 03-1729-2002)
Tabel 2.6 Analisa Struktur Baja

2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
2.3.2.6.
Perencanaan Sambungan

15
Sambungan dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
1. Sambungan dengan baut
2. Sambungan dengan paku/keling
3. Sambungan dengan las

2.3.2.6.1.Sambungan Dengan Menggunakan Baut


Baut adalah salah satu alat penyambung profil baja, selain paku keling danlas. Baut
yang lazim digunakan sebagai alat penyambung profil baja adalah bauthitam dan baut
berkekuatan tinggi. Baut hitam terdiri dari 2 jenis, yaitu : Baut yang diulir penuh dan baut
yang tidak diulir penuh, sedangkan baut berkekuatantinggi umumnya terdiri dari 3 type
yaitu :
a. Tipe 1 : Baut baja karbon sedang,
b. Tipe 2 : Baut baja karbon rendah,
c. Tipe 3 : Baut baja tahan karat.
Walaupun baut ini kurang kaku bila dibandingkan dengan paku keling danlas, tetapi
masih banyak digunakan karena pemasangan baut relatif lebih praktis.Pada umumnya
baut yang digunakan untuk menyambung profil baja ada 2 jenis, yaitu :
a. Baut Yang Diulir Penuh
Baut yang diulir penuh berarti mulai dari pangkal baut sampai ujung baudiulir. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan Gambar berikut.

Gambar 2.2 Baut Yang Diulir Penuh


Diameter baut yang diulir penuh disebut Diameter Kern (inti) yang ditulis dengan
notasi k d tau 1 d pada Tabel Baja tentang Baut, misalnya.

Tabel 2.7 Spesifikasi Baut

16
Diameter yang dipergunakan untuk menghitung luas penampang (Abaut) ialah :

Jadi kalau ada ingin mengetahui luas penampang baut M16 diulir penuh, maka anda harus
menghitung dengan rumus dari tabel di atas, yaitu :

Kalau baut yang diulir penuh digunakan sebagai alat penyambung, maka ulir baut akan
berada pada bidang geser. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut.

Gambar 2.3 Ulir Baut Berada pada Bidang Geser

17
b. Baut Yang Tidak Diulir Penuh
Baut yang tidak diulir penuh ialah baut yang hanya bagian ujungnya diulir. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan Gambar berikut ini.

Gambar 2.4 Baut Yang Tidak Diulir Penuh


Diameter nominal baut yang tidak diulir penuh ialah diameter terluar dari batang baut.
Diameter nominal ialah diameter yang tercantum pada nama perdagangan, misalnya baut
M16 berarti diameter nominal baut tersebut = 16 mm.
Mengenai kekuatan tarik baut, anda dapat melihat pada tabel konstruksi baja. Sebagai
contoh, berikut ini diuraikan kekuatan baut masing-masing dari baut hitam dan baut
berkekuatan tinggi. Kalau baut hitam, ada tertulis di kepala baut 4,6 ini berarti tegangan
leleh minimum baut = 4 x 6 x 100 = 2400 kg/cm2.
Sedangkan, untuk baut berkekuatan tinggi, ada tertulis di kepala baut A325 atau
A490. untuk baut A325 dengan diameter 16 mm, maka kekuatan tarik baut = 10700 kg.
Untuk menghitung luas penampang baut tidak diulir penuh digunakan rumus :

2.3.2.6.2. Jenis – Jenis Sambungan Yang Menggunakan Baut:


Ada 4 jenis sambungan yang menggunakan baut, yaitu :
1. Baut dengan 1 irisan (Tegangan geser tegak lurus dengan sumbu baut)

Gambar 2.5 Baut Dengan Satu Irisan

18
2. Baut dengan 2 irisan (Tegangan geser tegak lurus dengan sumbu baut)

Gambar 2.6 Baut Dengan Dua Irisan


3. Baut yang dibebani / sumbunya

Gambar 2.7 Baut Yang Dibebani Sejajar Dengan Sumbu


4. Baut yang dibebani sejajar sumbu dan tegak lurus sumbu

Gambar 2.8 Baut Yang Dibebani Sejajar Sumbu Dan Tegak Lurus Sumbu
Besarnya tegangan izin baut pada sambungan yang menggunakan baut telah diatur pada
PPBBI Pasal. 8.2 yaitu :
Tegangan geser izin :τ = 0,6⋅σ
Tegangan Tarik izin :σ tarik = 0,7 ⋅σ

19
Tegangan idiil (akibat geser dan tarik) izin :

Tetapi perlu diperhatikan, apabila pelat tidak kuat bila dibandingkan dengan baut, maka
lubang baut pada pelat akan berubah bentuk dari bulat akan berubah menjadi oval. Karena itu
harus dihitung kekuatan tumpuan dengan rumus :

Mengenai jarak baut pada suatu sambungan, tetap harus berdasarkan PPBBI pasal 8.2, yaitu:
 Banyaknya baut yang dipasang pada satu baris yang sejajar arah gaya, tidak boleh
lebih dari 5 buah.
 Jarak antara sumbu buat paling luar ke tepi atau ke ujung bagian yang disambung,
tidak boleh kurang dari 1,2 d dan tidak boleh lebih besar dari 3d atau 6 t (t adalah
tebal terkecil bagian yang disambungkan).

20
 Pada sambungan yang terdiri dari satu baris baut, jarak dari sumbu ke sumbu dari 2
baut yang berurutan tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari 7 d
atau 14 t.
 Jika sambungan terdiri dari lebih satu baris baut yang tidak berseling, maka jarak
antara kedua baris baut itu dan jarak sumbu ke sumbu dari 2 baut yang berurutan pada
satu baris tidak boleh kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari 7 d atau 14 t.
2,5 d < s < 7 d atau 14 t
2,5 d < u < 7 d atau 14 t
1,5 d < s1 < 3 d atau 6 t
 Jika sambungan terdiri dari lebih dari satu baris baut yang dipasangberseling, jarak
antara baris-baris buat (u) tidak bole kurang dari 2,5 d dan tidak boleh lebih besar dari
7 d atau 14 t, sedangkan jarak antara satu baut dengan baut terdekat pada baris lainnya
(s2) tidak boleh lebih besar dari
7 d – 0,5 u atau 14 t – 0,5 u.
2,5 d < u < 7 d atau 14 t
s2> 7 d – 0,5 u atau 14 t – 0,5 u

2.3.2.6.3.Sambungan Dengan Menggunakan Paku Keling


Paku keling (rivet) adalah salah satu alat penyambung atau profil baja,selain baut
dalam las. Paku keling terdiri dari sebuah baja yang pendek yang mudah ditempa dan
berbentuk mangkuk setengah bulatan. Pada saat paku keling dalam keadaan plastis, paku
keling dipukul dengan palu sehingga akan terbentuk sebuah kepala lagi pada sisi yang
lainnya. Dan biasanya, paku keling akan mengembang sehingga mengisi seluruh lubang.
Penggunaan paku keeling sebagaialat penyambung lebih kaku bila dibandingkan dengan
penggunaan baut. Pada umumnya paku keling yang dipakai pada struktur baja adalah
paku keling yang dipasang di bengkel dan paku keling yang dipasang di lapangan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan, paku keling terdiri secara sederhana dari
sebuah baja yang pendek, mudah ditempa dan berbentuk mangkuk setengah bulatan.
Tetapi bisa juga kepala paku keling tersebut berbentuk bonggolan.
Pada saat paku keling berada dalam keadaan plastis, paku keling dipukul dengan
palu sehingga akan terbentuk sebuah kepala lagi pada sisi yang lainnya, dan paku keling
tersebut mengembang serta mengisi seluruh lubang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
gambar berikut ini.

21
Gambar 2.9 Alat Penyambung dengan Paku Keling
Selama proses penempaan, sebuah alat bucking di tempatkan dibawah kepala paku
keling di sisi belakang sambungan, untuk memegang paku keling supaya tidak bergerak
dan berfungsi sebagai landasan. Setelah ditempa, paku keling kemudian menjadi angin
dingin dan pendek, proses pemendekkan ini akanmemberikan tekanan pada pelat-pelat
yang disambung. Didalam perhitungan, prinsip sambungan dengan menggunakan paku
keling samasaja dengan prinsip sambungan dengan menggunakan baut. Yang
membedakannya hanyalah tegangan izin. Untuk mengetahui tegangan izinnya dapat
dilihat PPBBI pasal 8.3. ayat (1). Kecuali kombinasi tegangan geser dan tegangan tarik
yang diizinkan sama dengan kombinasi tegangan geser dan tegangan tarik pada
sambungan baut, yaitu :
Hal ini didasarkan kepada pendapat Gunawan dan Margaret (1991) yang menyatakan

bahwa pada PPBBI rumus tersebut ditulis salah. Besarnya tegangan gizi dalam menghitung
kekuatan paku keling adalah :
Tegangan geser yang diizinkan :τ = 0,8 σ
Tegangan tarik yang diizinkan :σ tr = 0,8 σ
Tegangan tumpuan yang diizinkan :
σtr = 2 σ untuk S1 > 2 d
σtr = 1,6 σ untuk1,5 d ≤ S1 ≤ 2 d
Dimana :
S1 = Jarak dari paku keling yang paling luar ke tepi bagian yang disambung d = Diameter
pake keling.

22
σ = Tegangan dasar menurut tabel (pasal 2.2), kecuali untuk tumpuan menggunakan
tegangan dasar bahan yang disambung.
2.3.2.6.4.Sambungan dengan menggunakan las
Pengelasan adalah salah satu cara menyambung pelat atau profil baja, selain
menggunakan baut dan paku keling. Kalau diperhatikan sekarang ini, sebagian besar
sambungan yang dikerjakan di bengkel menggunakan las, misalnya pembuatan pagar besi,
pembuatan tangga besi ataupun jerejak. Proses pengelasan biasanya dikerjakan secara
manual dengan menggunakan batang las(batang elektroda).
Batang elektroda berbeda-beda tipenya tergantung kepada jenis baja yang akan dilas,
di pasaran biasanya disebut las listrik. Selain itu ada juga proses pengelasan dengan
menggunakan gas acetylin yang disebut las antigen(las karbit). Pada Konstruksi baja biasanya
terdapat 2 macam las, yaitu las tumpul dan las sudut.
a. Las Tumpul
Untuk menyambung pelat atau profil baja dengan las tumpul ada 4 jenis yaitu :
1. Las tumpul persegi panjang : Sambungan jenis ini hanya dipakai bila tebal logam
dasar tidak lebih dari 5 mm

Gambar 2.10 Las Tumpul Persegi Panjang


2. Las tumpul V tunggal : Sambung 1.112an jenis ini tidak ekonomis bila logam dasar
tebalnya melebihi 15 mm

Gambar 2.11 Las Tumpul V Tunggal

23
3. Las tumpul V ganda : sambungan jenis ini lebih cocok untuk seluruh kondisi.

Gambar 2.12 Las Tumpul V Ganda


4. Las tumpul U tunggal : Sambungan jenis ini cocok untuk logam dasar yang tebalnya
tidak lebih dari 30 mm

Gambar 2.13 Las Tumpul U Tunggal


b. Las Sudut
Untuk menyambung pelat atau profil baja dengan las sudut ada 3 jenis yaitu:
1. Las sudut datar : Sambungan jenis ini adalah sambungan las yang paling umum
digunakan karena memberikan kekuatan yang sama dengan pemakaian elektroda
yang lebih sedikit

Gambar 2.14 Las Sudut Datar


2. Las sudut cekung : Pemakaian elektroda lebih banyak dibandingkan dengan las
sudut datar.

24
Gambar 2.15 Las Sudut Cekung
3. Las sudut cembung : Pemakaian elektroda lebih banyak sama seperti las sudut
cekung.

Gambar 2.16 Las Sudut Cembung


2.3.2.6.5.Peraturan Sambungan Dengan Menggunakan Las
Untuk menyambung pelat atau profil baja dengan menggunakan las
harusberpedoman kepada Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia
(PPBBI)tahun 1983, pasal 8.5, antara lain :
1. Panjang netto las adalah :
Ln = Lbruto – 3a
Dimana : a = tebal las
Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar pada halaman berikut ini.

25
Gambar 2.17 Panjang Las dan Tebal Las
2. Panjang netto las tidak boleh kurang dari 40 mm atau 8 a 10 kali tebal las.
3. Panjang netto las tidak boleh lebih dari 40 kali tebal las. Kalau diperlukan panjang
netto las yang lebih dari 40 kali tebal las, sebaiknya dibuat las yang terputus-
putus.
4. Untuk las terputus pada batang tekan, jarak bagian-bagian las itu tidak boleh
melebihi 16 t atau 30 cm. Sedangkan pada batang tarik, jarak itu tidak boleh
melebihi 24 t atau 30 cm, dimana t adalah tebal terkecil dari elemen yang dilas.
5. Tebal las sudut tidak boleh lebih dari ½ t√2
6. Gaya P yang ditahan oleh las membentuk sudut α dengan bidang retak las,
Maka tegangan miring diizinkan adalah :

26
Gambar 2.18 Bidang Retak Luas
Tegangan miring yang terjadi dihitung dengan :

Tegangan idiil pada las dapat dihitung dengan :

1. Gaya yang diizinkan untuk beberapa macam sambungan las

27
28
2.4. Metode Pelaksaanaan Perakitan
2.4.1. Metode Pemotongan Profil
Pada umumnya, ada dua metode dalam melakukan pemotongan profil baja yakni
dengan manual dan dengan masinal. Pada umumnya metode yang banyak digunakan saat
ini adalah metode dengan menggunakan mesin (masinal). Selanjutnya akan dijelaskan
dibawah ini.
a. Gergaji Tangan / Manual
Prinsip kerja dari gergaji tangan adalah langkah pemotongan kearah depan, sedangkan
arah mundur mata gergaji tidak melakukan pemotongan. Pekerjaan pemotongan
dilakukan oleh dua daun mata gergaji yang mempunyai gigi-gigi pemotong.
Menggunakan gergaji tangan dapat dilakukan untuk memendekkan benda kerja, membuat
alur/celah dan melakukan pemotongan. Untuk kondisi tertentu, alat ini digunakan untuk
memotong ujung baja siku dengan sudut potongan 45 ̊.

29
Gambar 2.19 Gergaji Tangan
b. Mesin Gerinda Potong
Pemotongan dengan gerinda potong ini menggunakan batu gerinda sebagai alat potong.
Material dijepit pada ragum mesin gerinda. Selanjutnya batu gerinda dengan putaran
tinggi digesekkan ke material. Kapasitas pemotongan yang dapat dilakukan pada mesin
gerinda ini hanya terbatas pada pemotongan bahan berbentuk profil-profil diantaranya
pipa, plat strip, besi siku dan sebagainya. Alat ini digunakan untuk memotong bahan
rangka utama.

Gambar 2.20 Mesin Gerinda Potong


Untuk merapihkan atau menghaluskan bagian ujung/sudut benda kerja setelah dilakukan
pemotongan, dapat menggunakan alat gerinda tangan ataupun dengan mesin gerinda
duduk. Berbeda dengan gerinda tangan, mata gerinda duduk lebih besar dan tebal
sehingga dikhususkan untuk plat atau besi yang tebal. Untuk penggunaan mesin gerinda
duduk ini, perlu ekstra hati-hati terhadap percikan api yang dihasilkan pada saat
menggerinda. Sangat dianjurkan untuk memakai kacamata pelindung saat
mengoperasikan mesin ini.

Gambar 2.21 Mesin Gerinda Duduk

2.4.2. Metode Pengukuran

30
Mengukur adalah mengadakan perbandingan antara dua buah bentuk dimensi, dimana
satu bagian merupakan alat ukur dan bagian lain merupakan benda yang diukur. Dalam
hal ini mengukur dapat bersifat sebagai berikut:
1. Tidak Menunjuk
Mengukur sebuah benda tetapi hasil dari pengukurannya tidak menunjukkan angka
tertentu, jadi hasilnya hanya berupa sebuah kesimpulan bahwa sebuah benda kerja
yang diukur :
 Sama besar.
 Tidak sama besar.
 Lebih kecil.
 Dua kali lebih kecil dan sebagainya.
2. Mengukur dengan Memberi Penunjuk
Mengukur sebuah benda atau membandingkan sebuah benda dengan sebuah alat ukur
yang dapat memberi penunjukan berapa panjang benda yang kita ukur. Berarti dalam
hal ini alat penggukurnya sudah dilengkapi dengan angka satuan standar yang telah
digunakan.
a. Satuan-Satuan Dasar
Ukuran yang digunakan sudah distandarisasi secara internasional sehingga dunia
ini memiliki alat ukur yang sama. Standar ini telah dipergunakan hamper di
seluruh Negara.
b. Toleransi Ukuran
Toleransi ukuran adalah penyebaran ukuran yang diperbolehkan dan yang
diberikan oleh perbedaan antara ukuran batas yang terbesar dan yang terkecil
dalam pengukuran.
c. Teknik Pengukuran
Hasil pengukuran sangat ditentukan dari tiga hal penting yaitu alat ukur yang
presisi, prosedur yang tepat serta ketepatan dalam mengukur. Oleh sebab itu ada
beberapa teknik pengukuran yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengukuran Mistar
Hal-hal berikut perlu diperhatikan untuk mendapatkan pembacaan yang teliti,
yaitu:
 Mistar diletakkan dalam arah pengukuran panjang.

31
 Bila memungkinkan kita harus menggunakan tumpuan, sehingga kesalahan
baca bisa dibatasi pada satu tempat saja.
 Pada waktu melakukan pembacaan, mata harus berada tegak lurus ditempat
dimana kita melakukan pembacaan.
 Pengambilan ukuran oleh jangka harus diperhatikan bahwa patok jangka
terletak sejajar satu sama lain dan berdiri tegak terhadap bidang benda
kerja.
2. Penggunaan Mistar Geser
Untuk melakukan pengukuran dengan mistar geser perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
 Uji lah mistar ukur dengan cara dinolkan dengan dilihat tidak boleh ada
cahaya.
 Jangan menggunakan mistar geser untuk kunci sekrup atau penggores.
 Ukurlah dengan perasaan yaitu pada saat menekan penggeser sehingga
tidak ada kelonggaran dengan benda yang diukur.
 Masukkan ujung pengukur sedalam mungkin terutama untuk bentuk-bentuk
silinder. Perhatikan bahwa mistar geser benar-benar tegak lurus terhadap
benda yang akan diukur.
 Kencangkan sekrup pengancing sebelum mistar ukur diambil dari benda
ukur.

Gambar 2.22 Penggunaan Mistar Geser

2.4.3. Metode Penitikan


Menandai benda kerja suatu pekerjaan yang harus dilakukan sebelum
melakukan pekerjaan untuk pembuatan komponen rangka jembatan.
A. Penggores
Penggores adalah suatu alat yang sederhana dan digunakan sebagai alat tulis untuk
melukis benda-benda keras. Alat ini dibuat dengan ujung yang runcing dan tajam,
serta lebih keras dari benda kerja yang digores (dilukis). Ujung penggores umunya

32
mempunyai sudut 20o – 25o. Macam-macam penggores yang sering digunakan di
bengkel antara lain:

Gambar 2.23 Jenis – Jenis Penggores


Cara Kerja:
a. Tekan pengarah/penggaris besi, atau penyiku dengan kuat pada benda kerja

Gambar 2.24 Cara Menggores


b. Penggores dimiringkan ke arah luar dari pengarah
c. Miringkan penggores kearah gerakan penggoresan.
d. Tekan dan goreslah benda kerja dengan sekali gores saja

Gambar 2.25 Kemiringan Penggores


B. Penitik
Penitikan adalah suatu proses penandaan dengan jalan menekan pada bagian yang
diinginkan di benda kerja. Penekanan ini dilakukan terhadap benda kerja yang lebih
lunak dibanding dengan kekerasan dari penitik itu sendiri.

33
Gambar 2.26 Penitik

a) Tujuan Penitik
1. Menentukan pusat – pusat lingkaran atau lubang pada perpotongan garis untuk
memusatkan awal dari pengeboran.
2. Untuk menjelaskan garis hingga di mana bagian yang dikerjakan.
3. Untuk menjelaskan garis-garis goresan.
b) Cara Kerja
1. Pegang penitik di tangan kiri (yang bukan kidal).
2. Miringkan penitik dan geser sepanjang garis hingga tepat pada garis potong, di
mana tempat pusat titik akan dititik.
3. Penitik harus tegak lurus terhadap benda kerja.
4. Penitik dipukul satu kali dengan pukulan ringan dan periksa posisinya. Jika
sudah tepat, pukul lebih keras.

Gambar 2.27 Cara Penggunaan Penitik

C. Penandaan untuk Pengerjaan Pengeboran


Memberi tanda pada benda kerja sebelum dilakukan proses pengeboran adalah modal
utama untuk mengurangi kesalahan ukuran pada benda kerja tersebut. Pemberian tanda
yang tepat sangat memudahkan bagi operator dalam melakukan pekerjaan, disamping itu

34
akan mendapatkan benda kerja yang sesuai ukuran yang dikehendaki. Sebagai contoh:
penandaan dengan penitik pada benda kerja sebuah pelat berbentuk bujur sangkar dengan
ukuran masing-masing sisinya 20 cm dan tebalnya 3 mm di setiap sudutnya akan dibuat
lubang dengan ø 1,0 cm yang akan digunakan untuk pemasangan baut pengikat maka
penandaan benda kerja dilakukan dengan menitik pada pusat lubang yang direncanakan.
Menandai pada benda kerja untuk pengeboran adalah menggunakan penggores untuk
menggaris dan penitik sebagai tanda pada garis yang telah digores atau pada bagian yang
akan dilubangi. Hal yang perlu diperhatikan dalam penandaan adalah toleransi ukuran
yang biasanya telah tertera pada gambar kerja (misal toleransi +0,2).

D. Penandaan untuk Pengerjaan Pemotongan


Penandaan pada benda kerja sebelum dipotong pada mesin potong dilakukan dengan
menggoreskan penggores pada benda kerja yang sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
Pada mesin potong kemampuan memotong pada posisi melintang dan membujur sangat
terbatas untuk itu benda kerja dari plat yang memiliki ukuran relatif besar tidak bisa
dipotong dengan mesin potong. Penandaan disini dilakukan dengan mempergunakan
penggores. Setelah dilakukan penandaan maka benda kerja dipasang pada mesin potong
dengan memperhitungkan toleransi yang diijinkan biasanya sekitar 2 mm.
Alat yang digunakan pada pekerjaan penandaan terdiri dari 3 macam alat ukur dan 2
macam alat gambar yaitu mistar baja, mistar gulung dan mistar sorong. Sedangkan alat
gambar adalah penggores, penitik garis dan penitik pusat serta jangka untuk membuat
busur.

E. Penandaan untuk Pekerjaan Pembentukan Profil


Penandaan pada benda kerja profil dilakukan untuk membentuk lengkungan sesuai
mal, pemotongan miring pada ujung profil, dan pemotongan lengkung pada plat untuk
membuat gading besar karena ukurannya tidak ada dipasaran.

2.4.4. Metode Pengeboran


Proses untuk membuat lubang pada benda kerja dilakukan pengeboran dengan
menggunakan mesin bor. Pada proses pembuatan lubang pada rangka baja ini digunakan
mesin bor bangku/lantai. Dimana konstruksinya terikat dengan bangku dan
mempunyai dudukan benda yang dapat diatur tinggi rendahnya maupun posisi
horizontalnya. Guna menghitung kecepatan putaran mesin adalah:

35
 Kecepatan putaran (mm)
 Kecepatan potong (meter/menit)
 Diameter mata bor (mm)

2.4.5. Metode Pengelasan


Pengelasan (welding) adalah salah salah satu teknik penyambungan logam dengan
cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan
dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang kontinyu.
Prosedur pengelasan kelihatannya sangat sederhana, tetapi sebenarnya didalamnya
banyak masalah- masalah yang harus diatasi dimana pemecahannya memerlukan
bermacam-macam pengetahuan. Secara konvensional cara-cara pengklasifikasi tersebut
pada waktu ini dapat dibagi dua golongan, yaitu :
 Klasifikasi berdasarkan kerja : las cair, las tekan, las patri dan lain-lainnya.
 Klasifikasi berdasarkan energi yang digunakan : las listrik, las kimia, las gas.
Pengelasan yang paling banyak digunakan pada waktu ini adalah pengelasan cair
dengan busur gas. Karena itu kedua cara tersebut yaitu las listrik dan las gas akan dibahas
secara terpisah.
Fungsi dari proses pengelasan yaitu dapat diperolehnya sambungan yang lebih kuat
dan lebih ringan disbanding dengan keeling, disamping itu proses pembuatannya lebih
sederhana. Pada konstruksi ini sambungan las memungkinkan pelat disambung temu, dan
kekuatan dari kampuh las 70 – 100% dibandingkan dengan sambungan paku kelingnya
yaitu 60 – 87% kekuatan pelat.

A. Las Gas
Las Gas/Karbit adalah proses memotong dan menyambungan logam dengan logam
(pengelasan) yang menggunakan gas asetilen (C2H2) sebagai bahan bakar, prosesnya
adalah membakar bahan bakar yang telah dibakar gas dengan oksigen (O2) sehingga
menimbulkan nyala api dengan suhu sekitar 3500°C yang dapat mencairkan logam induk
dan logam pengisi.
Sebagai bahan bakar dapat digunakan gas-gasasetilen, propana atau hidrogen. Ketiga
bahan bakar ini yang paling banyak digunakan adalah gas asetilen, sehingga las gas pada
umumnya diartikan sebagai las oksi-asetelin. Karena tidak menggunakan tenaga listrik,

36
las oksi-asetelin banyak dipakai di lapangan walaupun pemakaiannya tidak sebanyak
las busur elektrode terbungkus.
Gas Asetilen diproduksi melalui reaksi antara Kalsium Karbit (CaC2) dengan air
(H20).
CaC2 + 2H2O → Ca(OH)2 + C2H2
Gas Asetilen dapat bocor dari tabung produksi dan menyebabkan ledakan jika tersulut
api. Cara yang lebih disarankan adalah membeli gas Asetilen dalam tabung logam. gas-
gas lain yang juga berperan adalah gas propane (LPG), methane dan hydrogen. Karena
temperature nyala api yang dihasilkan lebih rendah dari gas asitilen maka ketiga jenis gas
ini jarang dipakai sebagai gas pencampur.

1) Peralatan
Untuk dapat mengelas atau memotong ataupun fungsi lainya dari proses las gas maka
diperlukan peralatan yang dapat menunjang fungsi-fungsi itu. Secara umum, peralatan
yang digunakan dalam gas ini adalah :
1. Tabung gas Oksigen dan tabung gas bahan bakar
Tabung gas berfungsi untuk menampung gas atau gas cair dalam kondisi bertekanan.
Umumnya tabung gas dibuat dari Baja, tetapi sekarang ini sudah banyak tabung-
tabung gas yang terbuat dari paduan Alumunium. Tabung gas tersedia dalam bentuk
beragam mulai berukuran kecil hingga besar. Ukuran tabung ini dibuat berbeda karena
disesuaikan dengan kapasitas daya tampung gas dan juga jenis gas yang
ditampung.Untuk membedakan tabung gas apakah didalamnya berisi gas Oksigen,
Asetilen atau gas lainya dapat dilihat dari kode warna yang ada pada tabung itu.
2. Katup silinder/tabung
Sedang pengatur keluarnya gas dari dalam tabung maka digunakan katup. Katup ini
ditempatkan tepat dibagian atas dari tabung. Pada tabung gas Oksigen, katup biasanya
dibuat dari material Kuningan, sedangkan untuk tabung gas Asetilen, katup ini terbuat
dari material Baja.
3. Regulator
Regulator atau lebih tepat dikatakan Katup Penutun Tekan, dipasang pada katub
tabung dengan tujuan untuk mengurangi atau menurunkan tekann hingga mencapai
tekana kerja torch. Regulator ini juga berperan untuk mempertahankan besarnya
tekanan kerja selama proses pengelasan atau pemotongan. Bahkan jika tekanan dalam
tabung menurun, tekana kerja harus dipertahankan tetap oleh regulator. Pada regulator

37
terdapat bagian-bagian seperti saluran masuk, katup pengaturan tekan kerja, katup
pengaman, alat pengukuran tekanan tabung, alat pengukuran tekanan kerja dan katup
pengatur keluar gas menuju selang.
4. Selang gas
Untuk mengalirkan gas yang keluar dari tabung menuju torch digunakan selang gas.
Untuk memenuhi persyaratan keamanan, selang harus mampu menahan tekan kerja
dan tidak mudah bocor. Dalam pemakaiannya, selang dibedakan berdasarkan jenis gas
yang dialirkan. Untuk memudahkan bagimana membedakan selang Oksigen dan
selang Asetilen cukup memperhatikan kode warna pada selang.
5. Torch
Gas yang dialirkan melalui selang selanjutnya diteruskan oleh torch, tercampur
didalamnya dan akhirnya pada ujuang nosel terbentuk nyala api. Dari keterangan
diatas, torch memiliki dua fungsi yaitu :
 Sebagai pencampur gas oksigen dan gas bahan bakar.
 Sebagai pembentuk nyala api diujung nosel.

2) Proses Las Gas


Proses las gas dapat dilaksanakan dengan pemberian kawat las (atau istilah logam
pengisi) atau tidak sama sekali. Satu syarat dimana diperlukan logam pengisi atau tidak
adalah dilihat dari ketebalan pelat yang akan di las. Jika pelat itu tipis maka untuk
menyambungnya dapat dilakukan tanpa memberikan logam pengisi.
Sedangkan untuk pelat-pelat tebal diperlukan logam pengisi untuk menjamin
sambungan yang optimal.
Jika pada pelat tipis dipaksakan harus diberi logam pengisi maka hal itu mungkin saja
dilakukan. Akan tetapi pada daerah sambungan akan nampak tonjolan logam las yang
terlihat kurang baik. Agar aman dipakai gas asetilen dalam tabung tekanannya tidak boleh
melebihi
100 kPa dan disimpan tercampur dengan aseton. Nyala api terdiri dari 3 macam, yaitu :
a. Nyala Api Netral
Kegunaan dari nyala api netral ini untuk heat treatment logam agar mengalami surface
hardening. Nyala api kerucut dalam berwarna putih menyala. Nyala api kerucut antara
tidak ada. Nyala api kerucut luar berwarna kuning
b. Nyala Api Oksigen Lebih

38
Sering digunakan untuk pengelasan logam perunggu dan kuningan.Setelah
dicapai nyalaapi netral kemudian kita kurangi aliran gas asetilen maka kita akan
dapatkan nyala api oksigenlebih. Nyala apinya pendek dan berwarna ungu, nyala
kerucut luarnya juga pendek.
c. Nyala Api Asitilen Lebih
Setelah dicapai nyala api netral kemudian kita mengurangi aliran gas oksigen. Nyala
apimenampakkan kerucut api dalam dan antara. Nyala api luar berwarna biru.

B. Las Listrik
Pengelasan dengan las listrik menyambungkan dua logam atau lebih dengan jalan
pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Las listrik atau busur listrik
merupakan proses penyambungan logam yang memanfaatkan tenaga listrik sebagai
sumber panasnya. Pengelasan menggunakan las listrik dibedakan menjadi dua macam,
yaitu las tahanan listrik dan las busur nyala listrik.
Las tahanan listrik merupakan proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan
mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan benda yang akan disambung,
tahanan yang ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang sentuh akan menimbulkan panas
yang berguna untuk mencairkan permukaan benda yang akan disambung dengan
membangkitkan busur las listrik melalui sebuah elektrode. Terjadinya busur nyala listrik
tersebut diakibatkan oleh perbedaan tegangan listrik antara dua kutub, yaitu banda kerja
dan elektrode. Elektroda mencair bersama-sama dengan benda kerja akibat dari busur api
arus listriik.
Perbedaan tegangan ini disebut dengan tegangan busur nyala.
a. Elektroda
Berdasarkan selaput perlindungnya, elektrode dibedakan mejadi dua macam, Yaitu
elektrode polos dan elektrode berselaput. Elektrode berselaput terdiri atas bagian inti dan
zat pelindung, Pelapisan fluks pada bagian inti dapat dilakukan dengna cara destruksi,
semprot atau celup, selaput yang ada pada elektode, jika terbakar akan menghasilkan gas
CO2 yang berfungsi untuk melindungi cairan las, busur listrik, dan sebagian benda kerja
dari udara luar. Elektrode berselaput digunakan untuk pengelasan benda yang butuh
kekuatan mekanis.
Ukuran standar diameter kawat inti dari 1,5 – 7 mm dengan panjang antara 350 – 450
mm. sebagian bahan fluks dari elektroda ini antara lain : selulosa, kalsium karbonat
(CaCO3), titanium dioksida, kaolin, kalsium oksida, mangan, oksida besi, serbuk besi,

39
besi silicon, besi mangan, dan sebagainya dengan prosentase yang berbeda-beda untuk
setiap elektroda.
Klasifikasi elektroda menurut AWS/ASTM (American Welding Society / American
Society for Testing Welding), semua jenis elektroda ditandai dengan huruf “E” disertai 4
atau 5 angka. Misalnya, E6013 artinya : E = Elektroda las listrik 60 = kekuatan tarik
minimum dari deposit las adalah 60000 lb/m2 atau 42 kg/mm2.
1 = dapat dipakai untuk pengelasan segala posisi
3 = jenis selaput Rutil Postium sumber tegangan / arus AC, DCSP, DCRP. Daya
tembus lemah dan kadar serbuk besi 0-10%
Selaput elektode mempunyai fungsi-fungsi antara lain sebagai berikut.
 Mencegah terbentuknya oksida-oksida dan natrida logam saat proses penjelasan
berlangsung.
 Membuat torak pelindung sehingga dapat mengurangi kecepatan pendinginan. Hal itu
bertujuan agar pengelasan yang terjadi tidak getas dan rapuh.
 Memberikan sifat-sifat khusus terhadap hasil pengelaasan dengan cara menambat zat-
zat tertentu yang terkandung dalam selaput.
 Menstabilkan terjadinya busur api dan mengarahkan nyala busur api hingga mudah
dikontrol.
 Membantu mengontrol ukuran dan frekuensi tetesan logam cair.
 Memugkinkan dilakukannya proses pengelasan yang berbeda-beda
Untuk menentukan jenis elektrode yang tepat, harus memperhatikan beberapa hal antara
lain sebagai berikut :
 Jenis logam yang akan dilas,
 Tebal bahan yang akan dilas,
 Kekuatan mekanis yang diharapkan dari hasil pengelasan,
 Posisi pengelasan, serta
 Bentuk kampuh benda kerja.

b. Unit Las Busur Listrik


Satu unit bususr listrik terdiri atas beberapa bagian, antara lain sebagai berikut:
 Mesin atau pesawat pembangkit tenaga listrik, terdiri dari, Mesin arus AC, Mesin arus
DC, dan Mesin arus AC – DC
 Kabel, bergungsi untuk menghubungkan mesin listrik dengan jaringan listrik.

40
 Penjepit atau klem.
 Perlengkapan lain yang berfungsi sebagai penunjang proses pengelasan busur nyala
listrik.

c. Mesin Las
Berdasarkan arus yang dikeluarkan pada ujung elektrode, mesin las dibedakan
menjadi beberapa macam.
 Mesin Las Arus Bolak-Balik (Mesin AC)
Arus listrik bolak-balik yang dihasilkan oleh pengbangkit listrik PL atau generator
AC, dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam proses pengelasan.
 Mesin las Arus Searah Mesin (DC)
Arus listrik yang digunakan untuk memperoleh nyala bususr listrik adalah arus searah.
Arus searah ini berasal dari mesin las yang berupa dynamo motor listrik searah,
dynamo dapat digerakkan oleh motor listrik, motor bensin, motor diesel, atau alat
penggerak mula yang lain.
Mesin arus searah yang menggunakan motor listrik sebagai penggerak, mulanya
memerlukan rectifier yang bergungsi untuk mengubah arus bolak-balik menjadi arus
searah.
 Mesin Las Arus Bolak-balik dan Searah (mesin AC-DC)
Mesin las ganda merupakan satu unit mesin las yang mampu melayani pengelasan
dengan arah searah (DC) dan pengelasan dengan arus bolak-balik (AC). Mesin las
ganda mempunyai transformotor satu fasa dan sebuah alat perata dalam satu unit
mesin. Mesin las (AC-DC) lebih fleksibel karena mempunyai semua kemampuan
yang dimiliki oleh masing-masng mesin las DC atau mesin las AC.

d. Alat Bantu
Berikut akan dibahas beberapa alat Bantu yang umum digunakan oleh operator las,
berupa :
 Kabel Las
Kabel las digunakan untuk mengalirkan arus listrik dari sumber listrik ke mesin las
atau dari mesin ke las elektode dan massa, daya yang digunakan untuk pengelasan
cukup besar, maka dibutuhkan arus yang besar pula sehingga kabel harus mampu

41
meminimalkan hambatan, hambatan kabel dipengaruhi oleh bahan kabel, diameter,
dan panjang pendeknya kabel.
 Pemegang Elektode
Pemegang elektrode berfungsi untuk menjepit atau memegang ujung elektrode yang
tidak berselaput dan mengalirkan arus dari kabel elektrode ke elektrode.
Pemegang elektrode dibungkkus dengan bahan pengikat, biasanya terbuat dari
ebonite. Bahan utama untuk membuat pegangan elektrode adalah kuningan. Bagian
yang terpenting dari pemegang elektrode, yaitu pada bagian mulutnya,
 Tang Massa
Tang massa berfungsi untuk menghubungkan kabel massa ke benda kerja atau
meja kerja. Selain itu, tang massa juga berfungsi untuk menmgalirkan arus listrik dari
kabel massa ke benda kerja atau meja kerja cara kerja tang massa ada dua
macam,yaitu dengan sistem penjepit atau klem dan sistem magnet. Tang massa sistem
klem dilengkapi dengan pegas untuk memberikan gaya penjepit yang kuat pada
benda.
 Palu Terak
Palu terak digunakan untuk membersihkan terak yang terjadi akibat proses pengelasan
dengan cara memukul atau menggores teraknya, ujung palu yang runcing, digunakan
untuk memkul bagian sudu rigi-rigi, ujung yang berbentuk pahat digunakan untuk
memukul bagian permukaanrigi-rigi, ujung yang berbentuk pahat digunakan untuk
memukul permukaan rigi dan percikan logam pengelasan yang menempel pada benda
kerja.
 Tang Panas
Tang panas digunakan untuk memegang benda-benda panas yang memperoleh
pemanasan dari pengelasan. Tangkai tang biasanya diberi isolator panas, misalnya
plastik atau bahan lain yang dapat menahan panas. Mulut tang mempunyai berbagai
macam bentuk, diantaranya rata, bulat dan kombinasi rata dan bulat.
 Sikat Kawat
Sikat kawat berfungsi untuk membersihkan benda kerja yang akan dilas dan sisa- sisa
terak yang masih ada setelah dibersihkan dengan palu terak. Bahan serabut sikat
terbuat dari kawat baja yang tahan terhadap panas dan elastis, tangkai terbuat dari
kayu yang dapat mengisolasi panas dari bagian yang disikat.

42
e. Teknik Pengelasan
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam teknik-teknik pengelasan, yaitu sebagai
berikut :
 Menentukan Besar Arus dan Tegangan Listrik
Besar arus dan tegangan listrik yang digunakan dalam pengelasan yaitu Diameter
elektode,Tebal bahan,Jenis elektrode,Posisi pengelasan, dan Polaritas.
Tabel 2.8 Kuat Arus dan Tebal bahan dan Diameter Elektroda

 Menyalakan dan Mematikan Elektode


Menyalakan elektrode dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan sentakan dan
dengan goresan.
1. Cara sentakan sebagai berikut :
o Pegang elektrode tegak lurus terhadap pelat kerja
o Ketukkan beberapa kali permukaan pelat kerja
o Tarik elektode segera setelah timbul busur listrik, untuk mencegah agar
elektrode tidak lengket ke pelat kerja.
2. Cara goresan sebagai berikut :
o Pegang elektrode sehingga membentuk sudut terhadap pelat kerja sebesar ±
600 . Gerakan elektrode ke arah pinggir pelat kerja sehingga menyinggungnya.
o Tarik elektrode sejarak garis tengah elektrode, segera setelah timbul busur
nyala listrik untuk mencegah agar elektrode tidak lengket ke pelat kerja.
3. Cara mematikan nyala busur harus hati-hat karena mematikan busur berarti
mengakhiri proses pengelasan yang berada pada ujung rigi las. Ada dua cara yang
sering digunakan untuk mematikan nyala busur, seperti pada berikut ini.

43
o Dengan cara mengangkat sedikit, kemudian diturunkan sambil dilepas dengan
menganyunkan ke kiri atas.
o Dengan cara mengangkat elektrode, kemudian diturunkan dan diayunkan ke
arah luar.
o Gerakan Elektode
o Ada tiga macam gerakan ayunan elektrode, seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 2.28 Gerakan Ayunan Elektrode


f. Posisi Pengelasan
Posisi pengelasan pada pengelasan las listrik, antara lain sebagai berikut :
 Posisi Pengelasan di Bawah Tangan
 Kemiringan elektroda 10 derajat – 20 derajat terhadap garis vertical kearah jalan
elektroda dan 70 derajat-80 derajat terhadap benda kerja.
 Posisi Pengelasan Mendatar (Horizotal)
 Mengelas dengan horizontal biasa disebut juga mengelas merata dimana kedudukan
benda kerja dibuat tegak dan arah elektroda mengikuti horizontal. Sewaktu mengelas
elektroda dibuat miring sekitar 5 derajat – 10 derajat terhadap garis vertical dan 70
derajat – 80 derajat kearah benda kerja.
 Posisi Pengelasan Tagak (Vertikal)
 Mengelas posisi tegak adalah apabila dilakukan arah pengelasannya keatas atau ke
bawah. Dengan kemiringan elektroda sekitar 10 derajat-15 derajat terhadapvertikal
dan 70 derajat-85 derajat terhadap benda kerja.
 Posisi Pengelasan di Atas Kepala

44
 Mengelas dengan posisi ini benda kerja terletak pada bagian atas juru las dan
kedudukan elektroda sekitar 5 derajat – 20 derajat terhadap garis vertical dan 75
derajat - 85 derajat terhadap benda kerja.

g. Pengaruh Kecepatan Elektroda pada Hasil Las Listrik


Untuk menghasilkan rigi-rigi las yang rata dan halus, kecepatan tangan menarik atau
mendorong elektroda waktu menggilas harus stabil (Maman Suratman, 2011). Apabila
elektroda digerakkan dengan :
 Tepat dan stabil = menghasilkan daerah perpaduan dengan bahan dasar
perembesan las yang baik.
 Terlalu cepat = menghasilkan perembesan las dangkal karena pemanasan bahan
dasar kurang dan cairan elektroda kurang menembus bahan dasar.
 Terlalu lambat  menghasilkan jalur yang lebar dan menimbulkan kerusakan sisi
las terutama bila bahan dasar yang dilas tipis.

h. Metode Pemasangan dan Pengecangan Baut


Bagi awam yang tahu itu baut maka tentunya dapat membayangkan bahwa cara
pemasangannya pasti tidak akan berbeda jauh. Mula-mula kepala baut dipasangkan pada
komponen yang akan disambung, yang tentunya pasti sudah dilobangi. Selanjutnya
dipasang washer dan mur, lalu diputar kencang-kencang dengan kunci pas atau kunci
inggris atau spud wrench (ini istilah di AISC), sekuat tenaga.
Untuk Pemasangan baut jembatan di lapangan maka mekanisme slip kritis yang
digunakan untuk perencanaan sambungan baut, dan bukan mekanisme tumpu.
Jadi proses pemasangan baut agar menghasilkan gaya pretensioned baut adalah
sesuatu yang sangat penting, bahkan vital bagi kelangsungan hidup jembatan tersebut.
Metode apa saja yang dapat digunakan untuk pemasangan baut tersebut. Mari kita baca
petunjuk dari AISC tentang itu :
1) Turn-of-Nut Method
Adalah yang paling sederhana dan tidak perlu alat-alat khusus, tetapi agar dapat
menghasilkan seperti yang diharapkan maka diperlukan verifikasi terlebih dahulu
misalnya dengan cara [3] calibrated wrench
2) Direct Tension Indicator
Calibrated Wrench; dan [4] Alternative Design Bolt

45
3) Perlu baut dan kunci pas yang khusus pula bahkan para praktisi tersebut berbagi
pengalaman bahwa ditemui meskipun katanya produk tersebut memenuhi standar
ASTM yang sama tetapi di lapangan hasilnya berbicara lain.
Tabel 2.9 Kekuatan Baut

Prinsip dasar dari pemasangan baut mutu tinggi yang akan dikerjakan dengan
mekanisme slip-kritis, yaitu pada baut harus terjadi gaya pretensioned seperti yang tercantum
pada AISC, lihat tabel diatas.
Jadi jika mau pakai baut diameter 20, yaitu M20 maka pemasangan yang baik adalah
jika setelah pemasangan pada baut tersebut terdapat gaya pretensioned sebesar 142 kN, itu
kalau baut mutu ASTM A-325. Ingat itu adalah gaya minimum, jadi boleh saja lebih tinggi,
resikonya paling-paling bautnya putus.

46
Gambar 2.29 Mekanisme standar pengencangan baut dan gaya-gaya yang terjadi
Masalahnya adalah bahwa gaya yang tercantum pada tabel J3.1 adalah gaya pada baut
(Tension in bolt pada gambar di atas), yaitu kN atau Kips, padahal kalau mengencangkan
pakai wrench yang dilengkapi dengan torque meter yang dapat dibaca adalah gaya torsinya.
Ini contoh dial pembacaan yang dapat dilihat pada wrench yang dilengkapi torque meter.

Gambar 2.30 Wrench yang dilengkapi Torque Meter


Pemberian pelumas / lubricant ini sangat berpengaruh pada pengalihan gaya toris ke
gaya tarik baut, bahkan bisa melindungi lapisan galvanis ketika dikencangkan mur-nya tidak
rusak. Macam lubricant-nya ternyata juga tertentu. Adapun lubricant yang disarankan adalah
lubricant yang berbasis Molybdenum.

2.5. Kriteria Perancangan


Perancangan jembatan rangka baja dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ada, seperti peraturan yang berlaku dan persyaratan. Kriteria-kriteria tersebut terkait
dengan material yang dipakai, konsep desian, alat sambung yang digunakan, beban yang
diaplikasikan pada jembatan, dan metodologi perancangan.
2.5.1. Data Struktur
Pemilihan desain jembatan rangka baja pada praktek kerja baja 2 dipilih jembatan
rangka bawah yang direncanakan untuk dilewati pejalan kaki dan sepeda motor.
Data Jembatan yang tertera seperti dibawah ini :
Diketahui :
 Panjang Jembatan :8m
 Lebar Jalan : 1,2 m
 Tinggi Jembatan : 1,2 m
 Jarak antar Segmen :1m

47
 Jumlah Segmen : 8 segmen
 Tebal Plat : 5 mm
 Mutu Beton : 30 Mpa
 Profil Baja : Siku sama kaki 5 x 50 x 50
 Mutu Baja : BJ-37
 Diameter Baut : 10 mm
 Mutu Baut : A325
 Elektroda : E6013

Gambar 2.31 Profil Siku

Gambar 2.32 Baut

Gambar 2.33 Tampak Samping Jembatan

48
Gambar 2.34 Tampak Bawah Jembatan

2.5.2. Material
Baja untuk jembatan tersedia dalam beberapa tingkat kekuatan yang berbeda, masing-
masingditetapkan di bawah ASTM A709, Spesifikasi Standar untuk Baja Struktural
untukJembatan. Penyebutan kelas (Grade) ditunjukkan pada Tabel 1, serta beberapa
spesifikasialternatif yang mungkin lebih dikenal. Penunjukan kelas berdasarkan
teganganleleh minimum dalam kips/inci² , Gambar 2, dan "W" menunjukkan bahwa itu
adalah komposisi baja tahan terhadap cuaca (weathering).ASTM A709 berisi persyaratan
tambahan untuk keliatan takik (notch toughness) danitem lain yang tersedia tetapi hanya
berlaku jika ditentukan oleh pembeli.
Tabel 2.10 Mekanikal Properti Jembatan untuk Baja

49
Tanda HPS (high performance steel) menunjukkan bahwa bahan baja mempunyaikinerja
yang tinggi dan dapat di las dibandingkan baja konvensional dengan kekuatan yangsama.
Pembagian kelas (grade) pada ASTM dan AASHTO dapat dilihat pada tabel 2.11 berikut,
Tabel 2.11 Mekanika Properti Minimum Struktur Baja

Gambar 2.35 Kurva Tegangan – Regangan

50
RSNI T-03-2005, menetapkan bahwa sifat mekanis baja struktural yang
digunakandalam perencanaan harus memenuhi persyaratan minimum yang diberikan pada
table berikut:

Tabel 2.12 Sifat Mekanis Baja

Jenis Baja fu (Mpa) fy (Mpa) Peregangan


Minimum
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13

Sifat-sifat mekanis baja struktural lainnya untuk maksud perencanaan ditetapkan


sebagai berikut:
1 Modulus elastisitas, E = 200.000 Mpa
2 Modulus geser, G = 80.000 Mpa
3 Angka poisson, µ= 0,3
4 Koefisien pemuaian, α= 12 x 10-6 per °

2.6. Metode Perancangan


Salah satu tantangan dalam perencanaan dan pembangunan konstruksi jembatan di
lapangan adalah menentukan metode konstruksi dari struktur utama jembatan tersebut.
Ada beberapa hal yang di peratimbangkan untuk menentukan sistem pemasangan
jembatan yaitu:
1. Kondisi/sungai ditempat jembatan akan dibangun, misalnya lebar, kedalaman, aliran
air, banyak mengandung batu/karang, berpasir dan sebagainya.
2. Daerah sekitar dan jalan yang menyambung ke jembatan, misalnya lurus, berbelok,
berada pada dasar galian atau berada di atas timbunan
3. Apakah material, mesin dan tenaga kerja cukup tersedia di lokasi jembatan yang akan
di bangun, atau harus didatangkan dari tempat yang jauh
4. Jumlah bentang rangka baja (segmen) yang akan dipasang
2.6.1. Sistem Perancah

Pada sistem ini balok jembatan rangkai atau dipasang diatas landasan yang sepenuhnya
didukung oleh sistem perancah, kemudian setelah selesai perancah dibongkar. Adapun

51
kelebihan dari sistem ini ialah minimnya alat angkat berat (service atau gantry) yang
diperlukan mengingat pengecoran yang dilakukan adalah ditempat, pelaksanaan
dilapangan cukup mudah dan perancah yang telah selesai digunakan bisa ke tempat lain
yang membutuhkan perancah juga jadi pekerjaan relatif lebih singkat.

Gambar 2.36 Launching Sistem Perancah

2.6.2. Sistem Kantilever

Sistem kantilever ialah dengan cara pemasangan bentang satu per satu melalui satu sisi,
sistem ini dapat di lakukan pada kondisi arus sungai yang sangat deras dan daerah yang
bertebing. Sistem ini membutuhkan teknologi yang modern, seperti crane dan link set.
Sistem pemasangan kantilever mempunyai keuntungan karena alat pemasangan yang
tidak bergerak sehingga memudahkan pada saat perakitan persegmennya.

Tempat yang dibutuhkan dalam sistem ini harus luas, sesuai bentang jembatannya di
belakang kepala jembatan dan untuk pemasangan angkur dan ruang untuk pekerja.
Pemasangan angkur berguna untuk menghindari gaya jungkit pada saat pemasangan
segmen jembatan.

52
Gambar 2.37 Launching sistem Kantilever

2.6.3. Sistem Peluncuran atau Launching

Pada sistem ini jembatan yang akan dibangun di rangkai di satu sisi jembatan, kemudian
diluncurkan dengan cara ditarik atau di dorong hingga mencapai sisi lain jembatan
dengan menggunakan bentang angker dan beban imbangan (counter weight). Bila struktur
jembatan cukup besar,dan lahan terbatas biasanya digunakan sistem incremental
launching. Karena tempat tambahan pada oprit perlu, pada bentang tunggal karena
dibutuhkan rel untuk peluncuran yang harus dibuat.Seperti pada Gambar 1.27 Kelebihan
metoda ini:

1. Dapat digunakan di daerah yang mempunyai daya dukung tanah rendah yang tidak
memungkinkan dipasangnya perancah

2. Dapat meminimalkan dipakainya perancah sehingga membuat biaya lebih ekonomis

Gambar 2.38 Launching Sistem Peluncuran

2.7. Alat Sambung

Sambungan pada konstruksi jembatan terbagi menjadi dua yaitu sambungan baut dan
sambungan las.

2.7.1. Sambungan Baut

Baut adalah alat sambung dengan batang bulat dan berulir, salah satu ujungnya
dibentuk kepala baut ( umumnya bentuk kepala segi enam ) dan ujung lainnya dipasang
mur/pengunci.

53
Dalam pemakaian di lapangan, baut dapat digunakan untuk membuat konstruksi
sambungan tetap, sambungan bergerak, maupun sambungan sementara yang dapat
dibongkar/dilepas kembali.

Bentuk uliran batang baut untuk baja bangunan pada umumnya ulir segi tiga (ulir
tajam) sesuai fungsinya yaitu sebagai baut pengikat. Sedangkan bentuk ulir segi empat
(ulir tumpul) umumnya untuk baut-baut penggerak atau pemindah tenaga misalnya
dongkrak atau alat-alat permesinan yang lain.

Gambar 2.39 Bagian – Bagian Baut

Baut dibedakan menjadi dua yaitu baut hitam dan baut pass.

a. Baut Hitam
Yaitu baut dari baja lunak ( St-34 ) banyak dipakai untuk konstruksi ringan / sedang
misalnya bangunan gedung, diameter lubang dan diameter batang baut memiliki
kelonggaran 1 mm
b. Baut Pass
Yaitu baut dari baja mutu tinggi (>St-42 ) dipakai untuk konstruksi berat atau beban
bertukar seperti jembatan jalan raya, diameter lubang dan diameter batang baut relatif
pass yaitu kelonggaran < 0,1 mm
2.7.2. Sambungan Las

Terdapat lima jenis sambungan yang biasa digunakan untuk menyatukan dua bagian
benda logam, seperti dapat dilihat dalam berikut:

54
Gambar 2.40 Jenis Sambungan

A. Sambungan tumpu (butt joint)


Kedua bagian benda yang akan disambung diletakkan pada bidang datar yang sama
dan disambung pada kedua ujungnya
B. Sambungan sudut (corner joint)
Kedua bagian benda yang akan disambungmembentuk sudut siku-siku dan
disambung pada ujung sudut tersebut
C. Sambungan tumpang (lap joint)
Bagian benda yang akan disambung saling menumpang (overlapping) satu sama
lainnya
D. Sambungan T (tee joint)
Satu bagian diletakkan tegak lurus pada bagian yang lain dan membentuk huruf T
yang terbalik
E. Sambungan tekuk (edge joint)
Sisi-sisi yang ditekuk dari ke dua bagian yang akan disambung sejajar, dan
sambungan dibuat pada kedua ujung bagian tekukan yang sejajar tersebut.

2.8. Kekuatan Lentur Segmen


2.8.1. Kekuatan terhadap Lentur
2.8.1.1. Kekuatan Lentur yang Dipengaruhi oleh Tekuk Lokal / Kelangsingan

Kekuatan unsur terhadap momen lentur ultimit rencana (Mu) tergantung pada
tekuk setempat dari elemen pelat yang membentuk penampang unsur. Dapat
ditentukan dengan rumus Mu ≤ Ø*Mn.

Jika unsur berpenampang kompak, yakni penampang yang mampu


mengembangkan kekuatan lentur plastis penuh dan memikul pengaruh persendian
plastis tanpa menekuk, atau dengan persyaratan λ ≤ λp, maka besarnya momen
nominal adalah sama dengan momen plastis (Mn = Mp). Besarnya momen plastis
sendiri (buku “metode plastis, analisa dan desain” Wahyudi, Sjahril A. Rahim)
adalah :

55
Mp = Z*fy

Z = f*S

Dimana :

Z = Modulus plastis penampang (mm3)

f = Faktor bentuk penampang ( penampang I – f = 1,12)

S = Modulus elastis penampang (mm3)

Ø = Faktor reduksi kekuatan bahan

Mu = Momen ultimit unsur (Nmm)

Mn = Momen nominal penampang (Nmm)

2.8.1.2. Kekuatan Lentur yang Dipengaruhi oleh Tekuk Lateral

Kekuatan unsur terhadap momen lentur ultimit rencana (Mu) juga dipengaruhi oleh
tekuk lateral dari suatu unsur. Yaitu kekuatan lentur unsur dengan atau tanpa penahan
lateral penuh. Dapat ditentukan dengan rumus Mu ≤ Ø*Mn.

Jika menggunakan penahan lateral penuh atau sebagian seperti penahan lateral
menerus atau penahan lateral antara, dengan persyaratan L/ry≤(80+50*βm)*√(250/fy)
(penampang I dengan flens sama), maka besarnya momen nominal adalah sama dengan
momen plastis (Mn = Mp).

Dimana : L = Jarak penahan lareral antara (mm)

ry = Jari-jari girasi terhadap sumbu lemah (y) =

βm = -1,0 atau -0,8

2.8.1.3. Kekuatan Unsur Badan (Web)

Kekuatan unsur terhadap gaya geser ultimit rencana (Vu) ditentukan oleh ketahanan
badan seperti kekuatan geser badan. Dapat dinyatakan dengan rumus:

Vu ≤ Ø*Vn

Jika unsur berpenampang kompak λw ≤ 82 maka Vn = Vw, maka Vw =


0,6*fy*Aw(BMS 1992)

56
Dimana :

Vu = Kekuatan geser ultimit unsur (N)

Vn = Kekuatan geser nominal penampang (N)

Vw= Kekuatan geser nominal badan (N)

Ø = Faktor reduksi kekuatan bahan

Aw = Luas elemen badan (mm2)

λw = Kelangsingan badan

2.8.1.4. Kekuatan Unsur Terhadap Tekan

Unsur yang memikul gaya tekan cukup besar dapat runtuh dalam salah satu dari dua cara
yakni tekuk setempat dari elemen pelat yang membentuk penampang melintang dan tekuk
lentur dari seluruh unsur. Rumus-rumusnya adalah:

Nu ≤ Ø*Nn (1)

Nu ≤ Ø*Nc (2)

Nn = Kf*An*fy

Nc = αc*Nn ≤ Ns (BMS 1992)

Dimana : Nu = Kapasitas tekan aksial terfaktor (N)

Nn = Kapasitas tekan aksial nominal penampang (N)

Nc = Kapasitas tekan aksial unsur (N)

Ø = Faktor reduksi kekuatan bahan

αc = Faktor reduksi kelangsingan unsur (tabel BMS 1992)

An = Luas penampang bersih (mm2)

Kf = Faktor bentuk=Ae/Ag, untuk penampang kompak Kf =1

2.8.1.5. Kekuatan Unsur Terhadap Tarik

Kekuatan unsur terhadap gaya tarik ultimit rencana (Nu) ditentukan oleh persyaratan
sebagai berikut:

57
Nu ≤ Ø*Nt

Nilai Nt diambil terkecil dari :

Nt = Ag*fy (BMS1992)

Nt = 0,85*kt*An*fu

Dimana : Nu = Gaya tarik aksial terfaktor (N)

Nt = Gaya tarik aksial nominal penampang (N)

Ø = Faktor reduksi kekuatan bahan

Ag = Luas penampang penuh (mm2)

An = Luas penampang bersih (mm2)

fu = Tegangan tarik/ putus bahan (Mpa)

fy = Tegangan leleh bahan (Mpa)

kt = Faktor koreksi untuk pembagian gaya

= Untuk hubungan yang simetris kt = 1

= Untuk hubungan yang asimetris kt = 0,85 atau 0,9

= Hubungan penampang I atau kanal pada kedua sayap

kt = 0,85

2.9. Perilaku Segmen / Batang dengan Pengekang Lateral

Distribusi tegangan pada sebuah penampang IWF akibat momen lentur, diperlihatkan
dalam Gambar 1.30 di bawah. Pada daerah beban layan, penampang masih elastik
Gambar 1.30 kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat terluar mencapai
kuat lelehnya Setelah mencapai regangan leleh (εy), regangan akan terus naik tanpa
diikuti kenaikan tegangan Gambar 1.31 Ketika kuat leleh tercapai pada serat terluar
Gambar 1.31, tahanan momen nominal sama dengan momen leleh Mr, dan besarnya
adalah:

Mu = Myx = Sx. Fy

58
Dan pada saat kondisi pada Gambar 1.31 tercapai, semua serat dalam penampang
melarnpaui regangan lelehnya, dan dinamakan kondisi plastis. Tahanan momen nominal
dalam kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, yang besarnya:

𝑴� = 𝒇� ∫ y . dA = 𝒇�.�
A

Dengan Z dikenal sebagai modulus plastis.

Gambar 2.41 Distribusi Tegangan Pada Level Berbeda

Gambar 2.42 Diagram Tegangan-Regangan Baja

Selanjutnya diperkenalkan isilah faktor bentuk (shape factor, SF) yang merupakan
perbandingan antara modulus plastis dengan modulus tampang, yaitu :

𝑺� = � = Mp/My = Z/S

Untuk profil WF dalam lentur arah sumbu kuat (Sumbu x), faktor bentuk berkisar
antara 1,09 sampai 1,18 (umumnya 1,12). Dalam arah sumbu lemah (sumbu y) nilai faktor
bentukdapat mencapai 1,5.

59
2.10.Panjang Efektif

Panjang efektif Le batang tekan harus ditentukan dengan analisis tekuk elastis kritikal
rangka atau diperoleh dari tabel dibawah :

Tabel 2.13 Panjang Efektif Batang Tekan

2.10.1 Sokongan Lateral Batang Tekan Tepi oleh Lantai


Batang tekan tepi, yang mendukung secara menerus lantai baja atau beton bertulang,
boleh dianggap disokong secara efektif ke arah lateral pada seluruh panjangnya, apabila
hubungan friksi atau hubungan lain antara lantai dan batang tersebut dapat menahan gaya
lateral, yang terbagi rata sepanjang batang, sebesar 2,5 % gaya maksimum batang
tersebut.

Panjang efektif, Le batang tekan tersebut harus diambil sama dengan nol apabila
gesekan menberikan sokongan memadai, atau harus diambil sama dengan jarak antara
hubungan individual apabila disediakan.

2.10.2 Batang Tepi Atas yang Tidak Disokong


1) Panjang Efektif

60
Bila batang tepi atas tidak diberi sistem ikatan lateral, tetapi disokong secara lateral
oleh portal U yang terdiri dari elemen melintang dan batang tegak, maka stabilitas
lateral batang tersebut dapat dihitung sebagai balok menerus dengan tumpuan per
dalam arah lateral di tempat portal-portal U tersebut.

Panjang efektif, Le batang tersebut harus dihitung sebagai berikut:

1
Le =2,5 k e ( EI o αδ ) 4

Dimana :

Ke = Adalah faktor panjang efektif, ke = 1,0, kecuali bila batang tekan

ditahan terhadap lentur dalam bidang pada potongan di atas

perletakan rangka.

E = Adalah modulus elastisitas bahan baja, dinyatakan dalam Mega

Pascal (MPa).

Io = Adalah momen kedua maksimum dari luas batang terhadap

sumbu y.

α = Adalah jarak antar portal

δ = Adalah lendutan lateral yang dapat terjadi dalam portal U, pada

ketinggian titik berat batang yang ditinjau, dinyatakan dalam

milimeter (mm)

Untuk portal U simetris, dimana elemen melintang dan batang vertikal masing-masing
mempunyai momen inersia tetap sepanjang seluruh panjangnya, dapat dianggap
bahwa:

d 31 d2
( )( )
δ=
3 E I1
+ 2 + F d 22
EI2

Dimana :

d1 = Adalah jarak titik berat batang tekan terhadap permukaan

terdekat dari unsur melintang portal U, dinyatakan dalam

61
milimeter (mm)

d2 = Adalah jarak titik berat batang tekan terhadap sumbu titik berat

unsur melintang portal U, dinyatakan dalam milimeter (mm)

I1 = Adalah momen kedua dari luas unsur badan yang membentuk

lengan portal U dalam bidang lenturnya.

F = Adalah fleksibilitas hubungan antara unsur melintang vertikal

Portal U, dinyatakan dalam radian per satuan momen, F dapat

diambil sebesar :

a. 0,5 x 10-10 rad/kNm bila unsur melintang dibaut atau keling melalui pelat-
pelat ujung atau sambungan yang tidak diperkaku
b. 0,2 x 10-10 rad/kNm bila unsur melintang dibaut atau keling melalui pelat-
pelat ujung yang diperkaku
c. 0,1 x 10-10 rad/kNm bila unsur melintang dilas tepat keliling potongan
melintang atau hubungan adalah dengan baut atau keling antara pelat-pelat
ujung diperkaku pada unsur melintang dan bagian diperkaku dari vertikal
atau bagian diperkaku dari batang.

Gambar 2.43 Tahanan Lateral oleh portal U

62
Gambar 2.44 Hubungan Sambungan Portal U

2) Pengaruh Beban pada Elemen Melintang

Apabila batang tepi atas di atas tumpuan jembatan, dalam bidang rangka, diikat
oleh elemen ujung, maka momen lentur lateral pada batang tersebut akibat beban pada
elemen melintang, harus diperhitungkan. Bila tidak dilakukan analisis lengkap dari
interaksi gelagar utama dan elemen melintang, nilai rencana momen lentur lateral,
My* dari batang tepi atas tersebut, harus diambil sebesar:

Dengan syarat bahwa tiap gelagar utama berada dalam bidang vertikal, dan kedua
gelagar utama letaknya sejajar.

Dimana :

ϴ = Adalah rotasi (dalam rad) unsur melintang pada sambungannya


dengan gelagar utama yang ditinjau, pada pembebanan yang
digunakan bila menghitung Pc. θ dapat dihitung dengan
mengabaikan tiap interaksi antar unsur melintang dan gelagaar utama.

63
Bila karena pembebanan tidak merata, θ bervariasi antara unsur-unsur
melintang nilai rata- rata θ untuk unsur melitang yang berada dalam bagian
bentang yang dibebani harus digunakan.

L = Adalah bentang gelagar utama yang ditinjau.

P*c = Adalah gaya maksimum rencana dalam batang tekan dari bentang
yang ditinjau.

PE = diambil sebagai berikut :

a. Bila Le kurang dari tiga kali jarak antara portal U :

b. Bila Le kurang lebih dari empat kali jarak antara portal U :

c. PE diperoleh dengan interpolasi linier untuk nilai antara dari Le.

Untuk setiap beban terbagi rata yang ditempatkan pada seluruh bentang, momen
rencana, My*, sesuai rumus di atas, harus dianggap bekerja di tempat manapun dalam
jarak horisontal Le dari setiap perletakan balok. Di tempat lain momen harus dianggap
sebesar 0,5 My*. Untuk kasus pembebanan lain harus dianggap bahwa My* bekerja di
tempat manapun dalam bentangnya.

2.11. Perencanaan Pembebanan


Perencanaan setiap bagian struktur jembatan harus sesuai dengan beban rencana,
gaya-gaya yanga bekerja, dan berbagai pengaruhnya yang muncul selama umur
jembatan. Hal ini bertujuan unutk memastikan jembatan dapat memenuhi fungsi layanya
sesuai rencana. Standar perencanaan beban yang digunakan pada praktek bengkel baja 2
adalah SK. RSNI T-02-2005 (Kepmen PU No. 498/KPTS/M/2005) Tentang Peraturan
Pembebanan untuk Jembatan.
2.11.1. Aksi dan Beban Tetap
2.11.1.1. Umum
Masa dari setiap bagian bangunan harus dihitung berdasarkan dimensi yang tertera
dalam gambar dan kerapatan masa rata-rata dari bahan yang digunakan;

64
Berat dari bagian-bagian bangunan tersebut adalah masa dikalikan dengan percepatan
gravitasi g. Percepatan gravitasi yang digunakan dalam standar ini adalah 9,8 m/dt2.
Besarnya kerapatan masa dan berat isi untuk berbagai macam bahan diberikan dalam
Tabel 2.16;
Pengambilan kerapatan masa yang besar mungkin aman untuk suatu keadaan batas,
akan tetapi tidak untuk keadaan yang lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
digunakan faktor beban terkurangi. Akan tetapi apabila kerapatan masa diambil dari
suatu jajaran harga, dan harga yang sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan tepat, maka
Perencana harus memilih-milih harga tersebut untuk mendapatkan keadaan yang paling
kritis. Faktor beban yang digunakan sesuai dengan yang tercantum dalam standar ini dan
tidak boleh diubah;
Beban mati jembatan terdiri dari berat masing-masing bagian struktural dan elemen-
elemen non-struktural. Masing-masing berat elemen ini harus dianggap sebagai aksi
yang terintegrasi pada waktu menerapkan faktor beban biasa dan yang terkurangi.
Perencana harus menggunakan kebijaksanaannya di dalam menentukan elemen-elemen
tersebut;

2.11.1.2. Berat Sendiri


Tabel 2.14 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri

Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen- elemen
struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian
jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural
yang dianggap tetap.

Tabel 2.15 Berat isi untuk beban mati [ kN/m³ ]

65
2.11.1.3. Beban Mati Tambahan / Utilitas
Tabel 2.16 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan

A. Pengertian dan persyaratan


Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada
jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat berubah selama
umur jembatan.
Dalam hal tertentu harga KMA yang telah berkurang boleh digunakan dengan
persetujuan Instansi yang berwenang. Hal ini bisa dilakukan apabila instansi tersebut
mengawasi beban mati tambahan sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.
66
Pasal ini tidak berlaku untuk tanah yang bekerja pada jembatan. Faktor beban yang
digunakan untuk tanah yang bekerja pada jembatan ini dan diperhitungkan sebagai
tekanan tanah pada arah vertikal.

B. Ketebalan yang diizinkan untuk pelapisan kembali permukaan


Kecuali ditentukan lain oleh Instansi yang berwenang, semua jembatan harus
direncanakan untuk bisa memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50
mm untuk pelapisan kembali dikemudian hari. Lapisan ini harus ditambahkan pada
lapisan permukaan yang tercantum dalam gambar.
Pelapisan kembali yang diizinkan adalah merupakan beban nominal yang dikaitkan
dengan faktor beban untuk mendapatkan beban rencana.

C. Sarana lain di jembatan


Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan
harusdihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih, saluran air kotor
dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga kondisi yang
paling membahayakan dapat diperhitungkan.

2.11.1.4. Pengaruh Penyusutan Dan Rangkak


Tabel 2.17 Faktor Beban Akibat Penyusutan Dan Rangkak

Pengaruh rangkak dan penyusutan harus diperhitungkan dalam perencanaan jembatan-


jembatan beton. Pengaruh ini dihitung dengan menggunakan beban mati dari jembatan.
Apabila rangkak dan penyusutan bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka harga
dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil minimum (misalnya pada waktu
transfer dari beton prategang).

2.11.1.5. Pengaruh Prategang


Tabel 2.18 Faktor Beban Akibat Pengaruh Prategang

67
Prategang akan menyebabkan pengaruh sekunder pada komponen-komponen yang
terkekang pada bangunan statis tidak tentu. Pengaruh sekunder tersebut harus
diperhitungkan baik pada batas daya layan ataupun batas ultimit.
Prategang harus diperhitungkan sebelum (selama pelaksanaan) dan sesudah
kehilangan tegangan dalam kombinasinya dengan beban-beban lainnya. Pengaruh
utama dari prategang adalah sebagai berikut:
1. Pada keadaan batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu
sistem beban pada unsur. Nilai rencana dari beban prategang tersebut harus dihitung
dengan menggunakan faktor beban daya layan sebesar 1,0;
2. Pada keadaan batas ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap sebagai
beban yang bekerja, melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan unsur.

2.11.1.6. Tekanan Tanah


Tabel 2.19 Faktor Beban Akibat Tekanan Tanah

1. Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung dari sifat-sifat tanah. Sifat-sifat tanah
(kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam dan lain sebagainya) bisa
diperoleh dari hasil pengukuran dan pengujian tanah;
2. Tekanan tanah lateral mempunyai hubungan yang tidak linier dengan sifat-sifat bahan
tanah;
3. Tekanan tanah lateral daya layan dihitung berdasarkan harga nominal dari ws, c dan
φ;
4. Tekanan tanah lateral ultimit dihitung dengan menggunakan harga nominal dari ws
dan harga rencana dari c dan φ. Harga-harga rencana dari c dan φ diperoleh dari
harga nominal dengan menggunakan Faktor Pengurangan Kekuatan KR, seperti
terlihat dalam tabel sifat-sifat untuk tekanan tanah. Tekanan tanah lateral yang
diperoleh masih berupa harga nominal dan selanjutnya harus dikalikan dengan Faktor
Beban yang cukup seperti yang tercantum dalam Pasal ini;
5. Pengaruh air tanah harus diperhitungkan :
Tabel 2.20 Sifat-Sifat Untuk Tekanan Tanah

68
6. Tanah dibelakang dinding penahan biasanya mendapatkan beban tambahan yang
bekerja apabila beban lalu lintas bekerja pada bagian daerah keruntuhan aktif teoritis
(lihat gambar tambahan beban hidup). Besarnya beban tambahan ini adalah setara
dengan tanah setebal 0,6 m yang bekerja secara merata pada bagian tanah yang
dilewati oleh beban lalu lintas tersebut. Beban tambahan ini hanya diterapkan untuk
menghitung tekanan tanah dalam arah lateral saja, dan faktor beban yang digunakan
harus sama seperti yang telah ditentukan dalam menghitung tekanan tanah arah
lateral. Faktor pengaruh pengurangan dari beban tambahan ini harus nol.
7. Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam biasanya tidak diperhitungkan pada
Keadaan Batas Ultimit. Apabila keadaan demikian timbul, maka Faktor Beban
Ultimit yang digunakan untuk menghitung harga rencana dari tekanan tanah dalam
keadaan diam harus sama seperti untuk tekanan tanah dalam keadaan aktif. Faktor
Beban Daya Layan untuk tekanan tanah dalam keadaan diam adalah 1,0, tetapi dalam
pemilihan harga nominal yang memadai untuk tekanan harus hati-hati.

69
Gambar 2.44 Tambahan Beban Hidup

2.11.1.7. Pengaruh Tetap Pelaksanaan


Tabel 2.21 Faktor Beban Akibat Pengaruh Pelaksanaan

Pengaruh tetap pelaksanaan adalah beban muncul disebabkan oleh metoda dan urut-
urutan pelaksanaan jembatan beban ini biasanya mempunyai kaitan dengan aksi-aksi
lainnya, seperti pra-penegangan dan berat sendiri. Dalam hal ini, pengaruh faktor ini
tetap harus dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut dengan faktor beban yang sesuai.
Bila pengaruh tetap yang terjadi tidak begitu terkait dengan aksi rencana lainnya,
maka pengaruh tersebut harus dimaksudkan dalam batas daya layan dan batas ultimit
dengan menggunakan faktor beban yang tercantum dalam Pasal ini.

2.11.2. Beban Lalu Lintas


2.11.2.1. Umum
Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban
truk "T". Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan
pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang
sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur
kendaraan itu sendiri.
Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada
beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak
pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu
truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana.

70
Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan
yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban "T" digunakan untuk
bentang pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu beban "D" yang harganya
telah diturunkan atau dinaikkan mungkin dapat digunakan.

2.11.2.2. Lajur lalu lintas rencana


Lajur lalu lintas Rencana harus mempunyai lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalu
lintas yang digunakan untuk berbagai lebar jembatan bisa dilihat dalam Tabel 2.23 Lajur
lalu lintas rencana harus disusun sejajar dengan sumbu memanjang jembatan.

2.11.2.3. Beban lajur “D”


Tabel 2.22 Faktor Beban Akibat Beban Lajur “D”

2.11.2.3.1. Intensitas dari beban “D”


A. Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan
beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar 2;

Tabel 2.23 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana

B. Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung
pada panjang total yang dibebani L seperti berikut:
L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . (1)

71
L > 30 m : q = 9,0 (0,5+ 15/L) kPa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2)
dengan pengertian :
q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan.
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Hubungan ini bisa dilihat dalam Gambar 2.45.
Panjang yang dibebani L adalah panjang total BTR yang bekerja pada jembatan. BTR
mungkin harus dipecah menjadi panjang-panjang tertentu untuk mendapatkan
pengaruh maksimum pada jembatan menerus atau bangunan khusus. Dalam hal ini L
adalah jumlah dari masing-masing panjang beban-beban yang dipecah seperti terlihat
dalam Gambar 5.
C. Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap
arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk
mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua
yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada
bentang lainnya. Ini bisa dilihat dalam Gambar 2.48.

Gambar 2.45 Beban Lajur “D”

Gambar 2.46 Beban “D” : BTR VS Panjang Yang Dibebani

72
2.11.2.3.2. Penyebaran Beban "D" Pada Arah Melintang
Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga
menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BGT dari
beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D"
harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 % seperti tercantum
dalam Gambar 2.47.
b. apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah
lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan (Tabel 10), dengan intensitas 100 %
seperti tercantum dalam Gambar 2.47. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar
nl x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, kedua-duanya
bekerja berupa strip pada jalur selebar nl x 2,75 m;
c. lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada
jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari
jalur dengan intensitas sebesar 50 % seperti tercantum dalam Gambar 2.47.

Gambar 2.47 Penyebaran Pembebanan Pada Arah Melintang


d. luas jalur yang ditempati median yang dimaksud dalam Pasal ini harus dianggap
bagian jalur dan dibebani dengan beban yang sesuai, kecuali apabila median tersebut
terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap.

2.11.2.3.3. Respon Terhadap Beban Lalu Lintas “D“


Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen
dangeser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan mempertimbangkan

73
beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok (tidak termasuk kerb dan trotoar)
dengan intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.

Gambar 2.48 Susunan Pembebanan “D”

2.11.2.4. Pembebanan Truk "T"


Tabel 2.24 Faktor Beban Akibat Pembebanan Truk “T”

74
2.11.2.4.1. Besarnya Pembebanan Truk “T”
Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 6. Berat dari masing-masing as
disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara
roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m
sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.

Gambar 2.49 Pembebanan Truk “T” (500 Kn)

2.11.2.4.2. Posisi Dan Penyebaran Pembebanan Truk "T" Dalam Arah Melintang
Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk
"T" yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk "T" ini
harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana seperti terlihat dalam Gambar
2.49. Jumlah maksimum lajur lalu lintas rencana dapat dilihat dalam Tabel 2.23, akan
tetapi jumlah lebih kecil bisa digunakan dalam perencanaan apabila menghasilkan
pengaruh yang lebih besar. Hanya jumlah lajur lalu lintas rencana dalam nilai bulat harus
digunakan. Lajur lalu lintas rencana bisa ditempatkan dimana saja pada lajur jembatan.

2.11.2.4.3. Respon Terhadap Beban Lalu Lintas “T”


Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan
geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan:
A. Menyebar beban truk tunggal “T” pada balok memanjang sesuai dengan faktor yang
diberikan dalam Tabel 2.25;
Tabel 2.25 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”

75
B. Momen lentur ultimit rencana akibat pembebanan truk “T” yang diberikan dapat
digunakan untuk pelat lantai yang membentangi gelagar atau balok dalam arah
melintang dengan bentang antara 0,6 dan 7,4 m;
C. Bentang efektif S diambil sebagai berikut:
1) Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian), S
= bentang bersih;
2) Untuk pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak
dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih + setengah lebar dudukan tumpuan.

2.11.2.5. Klasifikasi Pembebanan Lalu Lintas


2.11.2.5.1. Pembebanan Lalu Lintas Yang Dikurangi
Dalam keadaan khusus, dengan persetujuan Instansi yang berwenang, pembebanan
"D"setelah dikurangi menjadi 70 % bisa digunakan. Pembebanan lalu lintas yang
dikurangi harga berlaku untuk jembatan darurat atau semi permanen.
Faktor sebesar 70 % ini diterapkan untuk BTR dan BGT dan gaya sentrifugal yang
dihitung dari BTR dan BGT. Faktor pengurangan sebesar 70 % tidak boleh digunakan
untuk pembebanan truk "T" atau gaya rem pada arah memanjang jembatan.

2.11.2.5.2. Pembebanan Lalu Lintas Yang Berlebih

76
Dengan persetujuan Instansi yang berwenang, pembebanan "D" dapat diperbesar di
atas 100 % untuk jaringan jalan yang dilewati kendaraan berat. Faktor pembesaran di
atas 100 % ini diterapkan untuk BTR dan BGT dan gaya sentrifugal yang dihitung dari
BTR dan BGT.
Faktor pembesaran di atas 100 % tidak boleh digunakan untuk pembebanan truk "T" atau
gaya rem pada arah memanjang jembatan.

2.11.2.6. Faktor Beban Dinamis


1)Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang
bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung kepada frekuensi dasar dari
suspense kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan
frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dinyatakan sebagai
beban statis ekuivalen.
2)Besarnya BGT dari pembebanan lajur "D" dan beban roda dari Pembebanan Truk "T"
harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak
dengan jembatan. Besarnya nilai tambah dinyatakan dalam fraksi dari beban statis.
FBD ini diterapkan pada keadaan batas daya layan dan batas ultimit.
3)Untuk pembebanan "D": FBD merupakan fungsi dari panjang bentang ekuivalen
seperti tercantum dalam Gambar 7. Untuk bentang tunggal panjang bentang
ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus
panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus:
LE = L Lmax av . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(3)
dengan pengertian :
Lav adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan
secara menerus.
Lmax adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang disambung
secara menerus.
4)Untuk pembebanan truk "T": FBD diambil 30%. Harga FBD yang dihitung
digunakan pada seluruh bagian bangunan yang berada diatas permukaan tanah.
Untuk bagian bangunan bawah dan fondasi yang berada dibawah garis permukaan,
harga FBD harus diambil sebagai peralihan linier dari harga pada garis permukaan
tanah sampai nol pada kedalaman 2 m. Untuk bangunan yang terkubur, seperti halnya
gorong-gorong dan struktur baja-tanah, harga FBD jangan diambil kurang dari 40%
untuk kedalaman nol dan jangan kurang dari 10% untuk kedalaman 2 m. Untuk
kedalaman antara bisa diinterpolasi linier. Harga FBD yang digunakan untuk
kedalaman yang dipilih harus diterapkan untuk bangunan seutuhnya.

77
Gambar 2.50 Faktor Beban Dinamis Untuk BGT Untuk Pembebanan Lajur “D”
2.11.2.7. Gaya Rem
Tabel 2.26 Faktor Beban Akibat Gaya Rem

Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi,
harusditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan
gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas,
tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut
dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi
1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D disini jangan direduksi bila
panjang bentang melebihi 30 m, digunakan rumus 1: q = 9 kPa.
Dalam memperkirakan pengaruh gaya memanjang terhadap perletakan dan bangunan
bawah jembatan, maka gesekan atau karakteristik perpindahan geser dari perletakan
ekspansi dan kekakuan bangunan bawah harus diperhitungkan.
Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas
vertikal. Dalam hal dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh dari gaya rem
(seperti pada stabilitas guling dari pangkal jembatan), maka Faktor Beban Ultimit
terkurangi sebesar 40% boleh digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal.
Pembebanan lalu lintas 70% dan faktor pembesaran di atas 100% BGT dan BTR tidak
berlaku untuk gaya rem.

78
Gambar 2.51 Gaya Rem Per Lajur 2,75 M (Kbu)

2.11.2.8.Gaya Sentrifugal
Tabel 2.27 Faktor Beban Akibat Gaya Sentrifugal

Jembatan yang berada pada tikungan harus memperhitungkan bekerjanya suatu gaya
horisontal radial yang dianggap bekerja pada tinggi 1,8 m di atas lantai kendaraan. Gaya
horisontal tersebut harus sebanding dengan beban lajur D yang dianggap ada pada semua
jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis. Beban lajur D disini tidak
boleh direduksi bila panjang bentang melebihi 30 m. Untuk kondisi ini rumus 1; dimana
q = 9 kPa berlaku. Pembebanan lalu lintas 70% dan faktor pembesaran di atas 100%
BGT dan BTR berlaku untuk gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal harus bekerja secara
bersamaan dengan pembebanan "D" atau "T" dengan pola yang sama sepanjang
jembatan. Gaya sentrifugal ditentukan dengan rumus berikut:
V2 T
TTR = 0,79 T . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (4)
r
dengan pengertian :
TTR adalah gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian jembatan
TT adalah Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada bagian yang sama (TTR dan
TT mempunyai satuan yang sama)
V adalah kecepatan lalu lintas rencana (km/jam)
r adalah jari-jari lengkungan (m)

2.11.2.9. Pembebanan Untuk Pejalan Kaki


Tabel 2.28 Faktor Beban Akibat Pembebanan Untuk Pejalan Kaki

79
Gambar 2.52 Pembebanan Untuk Pejalan Kaki
Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung memikul
pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan pejalan kaki dan
trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari
luas yang dibebani seperti pada Gambar 2.52.
Luas yang dibebani adalah luas yang terkait dengan elemen bangunan yang ditinjau.
Untuk jembatan, pembebanan lalu lintas dan pejalan kaki jangan diambil secara
bersamaan pada keadaan batas ultimit. Apabila trotoar memungkinkan digunakan untuk
kendaraan ringan atau ternak, maka trotoar harus direncanakan untuk bisa memikul
beban hidup terpusat sebesar 20 kN.

2.11.3. Aksi Lingkungan


2.11.3.1. Umum
Aksi lingkungan memasukkan pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa dan
penyebab-penyebab alamiah lainnya.
Besarnya beban rencana yang diberikan dalam standar ini dihitung berdasarkan
analisa statistik dari kejadian-kejadian umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal
khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat. Perencana mempunyai
tanggung jawab untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian khusus setempat dan harus
memperhitungkannya dalam perencanaan.

2.11.3.2. Penurunan
Tabel 2.29 Faktor Beban Akibat Penurunan

80
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan terjadinya penurunan yang
diperkirakan, termasuk perbedaan penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh
penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya rangkak dan interaksi pada struktur
tanah.
Penurunan dapat diperkirakan dari pengujian yang dilakukan terhadap bahan fondasi
yang digunakan. Apabila perencana memutuskan untuk tidak melakukan pengujian akan
tetapi besarnya penurunan diambil sebagai suatu anggapan, maka nilai anggapan tersebut
merupakan batas atas dari penurunan yang bakal terjadi. Apabila nilai penurunan ini
adalah besar, perencanaan bangunan bawah dan bangunan atas jembatan harus memuat
ketentuan khusus untuk mengatasi penurunan tersebut.

2.11.3.3. Pengaruh Temperatur / Suhu


Tabel 2.30 Faktor Beban Akibat Pengaruh Temperatur/Suhu

Tabel 2.31 Temperatur Jembatan Rata-Rata Nominal

Tabel 2.32 Sifat Bahan Rata-Rata Akibat Pengaruh Temperatur

Pengaruh temperatur dibagi menjadi:

81
1) variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada
temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat
terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut; Variasi temperatur rata-rata
berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam Tabel 2.32. Besarnya harga
koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang digunakan untuk menghitung
besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi diberikan dalam Tabel 2.33. Perencana
harus menentukan besarnya temperatur jembatan rata-rata yang diperlukan untuk
memasang sambungan siar muai, perletakan dan lain sebagainya, dan harus
memastikan bahwa temperatur tersebut tercantum dalam gambar rencana.
2) variasi perbedaan temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan
temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari diwaktu siang
pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari seluruh
permukaan jembatan diwaktu malam. Gradien temperatur nominal arah vertikal
untuk berbagai tipe bangunan atas diberikan dalam Gambar 10. Pada tipe jembatan
yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam
arah melintang.
2.11.3.4. Tekanan Hidrostatis Dan Gaya Apung
Tabel 2.33 Faktor Beban Akibat Tekanan Hidrostatis Dan Gaya Apung

1) Permukaan air rendah dan tinggi harus ditentukan selama umur bangunan dan
digunakan untuk menghitung tekanan hidrostatis dan gaya apung. Dalam
menghitung pengaruh tekanan hidrostatis, kemungkinan adanya gradien hidrolis
yang melintang bangunan harus diperhitungkan;
2) Bangunan penahan-tanah harus direncanakan mampu menahan pengaruh total dari
air tanah kecuali jika timbunan betul-betul bisa mengalirkan air. Sistem drainase
demikian bisa merupakan irisan dari timbunan yang mudah mengalirkan air
dibelakang dinding, dengan bagian belakang dari irisan naik dari dasar dinding
pada sudut maksimum 60° dari arah horisontal;
3) Pengaruh daya apung harus ditinjau terhadap bangunan atas yang mempunyai
rongga atau lobang dimana kemungkinan udara terjebak, kecuali apabila ventilasi

82
udara dipasang. Daya apung harus ditinjau bersamaan dengan gaya akibat aliran.
Dalam memperkirakan pengaruh daya apung, harus ditinjau beberapa ketentuan
sebagai berikut:
a. pengaruh daya apung pada bangunan bawah (termasuk tiang) dan beban mati
bangunan atas;
b. syarat-syarat sistem ikatan dari bangunan atas;
c. syarat-syarat drainase dengan adanya rongga-rongga pada bagian dalam supaya
air bisa keluar pada waktu surut.

2.11.3.5. Beban Angin


Tabel 2.34 Faktor Beban Akibat Beban Angin

1) Pasal ini tidak berlaku untuk jembatan yang besar atau penting, seperti yang
ditentukan oleh Instansi yang berwenang. Jembatan-jembatan yang demikian harus
diselidiki secara khusus akibat pengaruh beban angin, termasuk respon dinamis
jembatan;
2) Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan
angina rencana seperti berikut:
TEW = 0,0006Cw (Vw)2Ab [ kN ] . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(10)
dengan pengertian :
VW adalah kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau
CW adalah koefisien seret - lihat Tabel 2.39
Ab adalah luas equivalen bagian samping jembatan (m2)
Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam Tabel 2.40.
3) Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam
arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekivalen
ini dianggap 30 % dari luas yang dibatasi oleh batang-batang bagian terluar;
4) Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas; Apabila
suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arah
horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti diberikan dengan rumus:
TEW = 0,0012Cw (Vw)2Ab [ kN ] . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (11)
dengan pengertian :
CW = 1.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (12)
Tabel 2.35 Koefisien Seret CW

83
Tabel 2.36 Kecepatan Angin Rencana Vw

2.11.4.1. Pengaruh Getaran


2.11.4.2.1. Umum
Getaran yang diakibatkan oleh adanya kendaraan yang lewat diatas jembatan dan
akibat pejalan kaki pada jembatan penyeberangan merupakan keadaan batas daya layan
apabila tingkat getaran menimbulkan bahaya dan ketidak nyamanan seperti halnya
keamanan bangunan.

2.11.4.2.2. Jembatan
Getaran pada jembatan harus diselidiki untuk keadaan batas daya layan terhadap
getaran. Satu lajur lalu lintas rencana dengan pembebanan "beban lajur D", dengan faktor
beban 1,0 harus ditempatkan sepanjang bentang agar diperoleh lendutan statis
maksimum pada trotoar. Lendutan ini jangan melampui apa yang diberikan dalam
Gambar 2.59. Untuk mendapatkan tingkat kegunaan pada pejalan kaki.
Walaupun Pasal ini mengizinkan terjadinya lendutan statis yang relatif besar akibat
beban hidup, perencana harus menjamin bahwa syarat-syarat untuk kelelahan bahan
dipenuhi.

84
Gambar 2.53 Lendutan Statis Maksimum Untuk Jembatan

2.11.4.2.3. Jembatan Penyebrangan


Getaran pada bangunan atas untuk jembatan penyeberangan harus diselidiki pada
keadaan batas daya layan. Perilaku dinamis dari jembatan penyeberangan harus diselidiki
secara khusus. Penyelidikan yang khusus ini tidak diperlukan untuk jembatan
penyeberangan apabila memenuhi batasan-batasan sebagai berikut:
1) Perbandingan antara bentang dengan ketebalan dari bangunan atas kurang dari 30.
Untuk jembatan menerus, bentang harus diukur sebagai jarak antara titik-titik lawan
lendut untuk beban mati.
2) Frekuensi dasar yang dihitung untuk getaran pada bangunan atas jembatan yang
terlentur harus lebih besar dari 3 hz. Apabila frekuensi yang lebih rendah tidak bisa
dihindari, ketentuan dari butir c berikut bisa digunakan.
3) Apabila getaran jembatan terlentur mempunyai frekuensi dasar yang dihitung kurang
dari 3 hz, lendutan statis maksimum jembatan dengan beban 1,0 kN harus kurang
dari 2 mm.

2.11.4.2.4. Masalah Getaran Untuk Bentang Panjang Atau Bangunan Yang Lentur
Perilaku dinamis jembatan dengan bentang lebih besar dari 100 m, jembatan gantung
dan struktur kabel (cable stayed) akibat kendaraan, angin atau beban lainnya harus
memperoleh penyelidikan yang khusus.

2.11.4.2. Beban Pelaksanaan


Beban pelaksanaan terdiri dari:
1) Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu sendiri dan;
2) Aksi lingkungan yang mungkin timbul selama waktu pelaksanaan.

85
Perencana harus membuat toleransi untuk berat perancah atau yang mungkin akan
dipikul oleh bangunan sebagai hasil dari metoda atau urutan pelaksanaan. Perencana
harus memperhitungkan adanya gaya yang timbul selama pelaksanaan dan stabilitas serta
daya tahan dari bagian-bagian komponen.
Apabila rencana tergantung pada metoda pelaksanaan, struktur harus mampu
menahan semua beban pelaksanaan secara aman. Ahli Teknik Perencana harus menjamin
bahwa tercantum cukup detail ikatan dalam gambar untuk menjamin stabilitas struktur
pada semua tahap pelaksanaan. Cara dan urutan pelaksanaan, dan tiap tahanan yang
terdapat dalam rencana, harus didetail dengan jelas dalam gambar dan spesifikasi.
Selama waktu pelaksanaan jembatan, tiap aksi lingkungan dapat terjadi bersamaan
dengan beban pelaksanaan. Ahli Teknik Perencana harus menentukan tingkat
kemungkinan kejadian demikian dan menggunakan faktor beban sesuai untuk aksi
lingkungan yang bersangkutan. Adalah tidak perlu untuk mempertimbangkan pengaruh
gempa selama pelaksanaan konstruksi.

BAB III

ANALISA PERHITUNGAN PEMBEBANAN

3.1 Desain Jembatan Rangka

Gambar 3.1 Desain Jembatan Rangka

Spesifikasi jembatan:

86
PARAMETER KETERANGAN

Tipe Jembatan Through Warren Truss

Panjang Bentang Jembatan 8 meter

Jumlah Segmen 8 segmen


Tinggi Rangka Maksimum 1 meter
Lebar Jembatan 1,5 meter

3.2 Perhitunagan Struktur Jembatan

Dalam analisa perhitungan untuk pembebanan dapat dihitung dengan menggunakan


peraturan pembebanan untuk jembatan yaitu dengan RSNI T-02-2005 dan penggunaannya
harus disesuaikan dengan spesifikasi jembatan yang direncanakan. Pembebanan direncanakan
dengan permodelan yang sesuai dengan keadaan jembatan, beban di distribusikan dalam
bentuk beban area, beban garis, beban titik dan gaya momen pada model jembatan. Ada
beberapa aksi dan beban yang akan bekerja pada jembatan yaitu:

1. Dead Load (DL)


2. Super Dead Load (SDL)
3. Life Load (LL)

Material yang akan digunakan untuk struktur utama terdiri dari:


a) Profil siku dengan mutu bahan

87
 Profil yang digunakan : siku double 5mm x 50mm x 50mm
 Mutu Profil yang digunakan : BJ-37
 Tebal Plat : 5 mm
 E : 2 x 106 kg/cm2
 Fu : 370 MPa
 Fy : 240 MPa
 BJ Beton : 24 kN/m3

b) Baut
 Fu : 370 MPa
 Fy : 240 MPa
 Ø Baut : 10 mm
c) Breaching
 Profil yang digunakan : 3mm x 50mm x 50mm
 Tebal Plat : 5 mm

Pada program analisa struktur beban dimasukan pada lantai untuk kendaraan struktur
jembatan rangka

Gambar 3.2 Desain Struktur Jembatan Rangka Yang Akan Dihitung Menggunakan
Program.

Tahap perencanaan perhitungan beban menggunakan program yang akan digunakan dengna
membuat model dan pasang tumpuan rol dan sendi. Memasukan materil, dimensi lantai,
profil rangka yang akan digunakan.

88
89
90
Gambar 3.3 Memasukan Material Yang Akan Digunakan Pada Jembatan Rangka.

Definisi Beban

Gambar 3.4 Load Pattern

91
Gambar 3.5 Load Combination

Pembebanan

 Beban mati (DL)

 Pelat Beton
tepi = 2,4 x 0,08 x 0,5 x (1,5/2)
= 0,072 T
tengah = 2,4 x 0,08 x 1 x (1,5/2)
= 0,144 T
 Bondek
BI = 7,85 t/m3
Luas = 0,000486 m2
Tepi = 7,85 x 0,000486 x 0,5 x (1,5/2)
= 0,001430 T/m
Tengah = 7,85 x 0,000486 x 1 x (1,5/2)= 0,002861 T/m

92
Gambar 3.6 Pemodelan beban mati

 Beban mati tambahan (SDL)

 Railing
Tengah = 3,05 x 1 = 3,05 kg = 0,00305 T

Tepi = 3,05 x 0,5 = 1,525 kg = 0,00153 T

Gambar 3.7 Pemodelan beban SDL

93
 Beban hidup (LL)

 Motor

Tepi = 0,8 x 0,5 x 0,75 = 0,3 T

Tengah = 0,8 x 1 x 0,75 = 0,6 T

 Pejalan Kaki

Tepi = 0,5 x 0,5 x 0,75 = 0,1875 T

Tengah = 0,5 x 1 x 0,75 = 0,375 T

Gambar 3.8 Pemodelan beban SDL

94
3.3 Hasil Analisis
Dari analisis struktur lalu Kontrol Lendutan dan Berat Struktur. Untuk mengetahui
nilai lendutan jembatan yang dirancang digunakan software SAP2000 sebagai aplikasi
pembantu. Dari hasil cek uji lendutan, didapatkan nilai lendutan sebesar 0,8 mm

Gambar 3.9 Nilai Lendutan

3.4 Gaya Pada Batang

Gaya pada batang dianalisa menggunakan dengan SAP 2000 dan didapatkan gaya batang
maksimum dan minimum pada rangka jembatan sebagai berikut :

95
Gambar 3.10 Analisa Gaya Batang

a) Batang Tekan

Didapatkan nilai batang maksimum tekan pada jembatan sebesar

PU Tekan = 91,786 kN

Gambar 3.11 Axial Batang Tekan

b) Batang Tarik

Didapatkan nilai batang maksimum tekan pada jembatan sebesar

PU Tarik = 85,895 kN

96
Gambar 3.12 Axial Batang Tarik

Dipilih PU pada batang Tarik karena baut menjadi komponen utama penahan beban pada
sambungan. PU Tarik = 85,895 kN = 85895 N

3.5 Perhitungan Sambungan


Sambungan pada jembatan rangka ini menggunakan sambungan baut dan sambungan las,
yang mana untuk menentukan jumlah baut dan pembebanan yang akan diterima oleh
sambungan las adalah sebagai berikut:
Detail baut :
Mutu baut : A325
D Baut : 10 mm
1 1
Ab : π D2= x π x 10 2=¿ 78,54 mm2
4 4
Fu baut : 825 Mpa
R : 0,5 mm
m :2
Ø : 0,75
Detail Plat :
B : 50 mm
Tebal : 5 mm Ø leleh : 0,9
Fy : 240 Mpa Ø fraktur : 0,75
Fu : 370 Mpa

a. Baut
1) Kebutuhan baut
Vd = Ø x R x Fu x A baut x m x n
= 0,75 x 0,5 x 825 x 78,54 x 2 x 1
= 48596,51 N = 48,60 kN
85,895
Jumlah baut (n) = =¿ 1,77 ≈ 3 buah
48,60

97
2) Pengecekan Sambungan Baut
a) Cek Kekuatan Baut
- Kekuatan Geser
n x Vd ≥ PU
3 x 48,60 ≥ 85,895 kN
145,8 kN > 85,895 kN (OKE)

- Kekuatan Tarik
Td = 0,75 x Ø x Fu x A baut x n
= 0,75 x 0,75 x 825 x 78,54 x 3
= 109342,4063 N = 109,34 kN
Td ≥ PU
109,34 kN > 85,895 kN (OKE)

- Kekuatan Tumpu
Rd = 2,4 x Ø x D x tebal plat x Fu x n
= 2,4 x 0,75 x 10 x 5 x 825 x 3
= 222750 N = 222,75 kN

Rd ≥ PU
222,75 kN > 85,895 kN (OKE)

b) Cek Kekuatan Plat


Ag = B x tebal plat x m = 50 mm x 5 mm x 2 = 500 mm2
An = Ag – (Luas lubang)
= 500 – [(2 x t) x (D+1)]
= 500 – [(2 x 5) x (10+1)]
= 390 mm2
Ae = 0,9 x An
= 0,9 x 390 = 351 mm2
S1 > 2Dbaut → S1 = 25 mm
S2 > 3Dbaut → S2 = 35 mm
1,5D < S < 3,5D → S = 30 mm
- Kuat Leleh
ØPn = 0,9 x Fy plat x Ag
= 0,9 x 240 x 500 = 108000 N = 108 kN
ØPn ≥ PU
108 kN > 85,895 kN (OKE)

- Kuat Fraktur
ØPn = 0,75 x Fu plat x Ae
= 0,75 x 370 x 351 = 97402,5 N = 97,40 kN
ØPn ≥ PU
97,40 kN > 85,895 kN (OKE)

c) Cek Block Shear


- Agt = 2 x S x t
= 2 x 30 x 5 = 300 mm2
- Ant = Agt – 2(0,5dt)

98
= 300 – 2(0,5 x (10+1) x 5) = 245 mm2
- Ags = 2 x (S1 +4S2) t
= 2 x (25 + 4 x 35) x 5 = 1650 mm2
- Ans = 1650 – 2(4,5 x 11 x 5) = 1155 mm2
- Kuat Tarik
Fu x Ant = 370 x 245 = 90650 N = 90,65 kN
- Kuat Geser
0,6 x Fu x Ans = 0,6 x 825 x 1155 = 571725 N = 571,725 kN

ØPn = Ø x (Fy plat x Agt + 0,6 x Fu baut x Ans)

= 0,75 x (240 x 300 + 0,6 x 825 x 1155)

= 482793,75 N = 482,79 kN

PU ≤ ØPn

85,895 kN < 482,79 kN (OKE)

Jumlah Baut

SAMBUNGA Gaya (kN) n baut


N
A 53.358 2
B 26.386 2
C 68.804 2
D 28.302 2
E 85.895 3
F 11.319 2
G 85.895 3
H 9.002 2
I 75.236 3

3) Jumlah Baut Untuk Diafragma

Dari hasil SAP didapatkan gaya momen pada diafragma terbesar sebagai berikut :

99
Gaya momen = 0,3745 kNm

Gambar 3.13 Gaya Momen pada Diafragma

Untuk itu didapat gaya pada ujung diafragma sebesar gaya momen dibagi setengah lebar
jembatan.
0,3745 kNm
PDiafragma = =0,50 kN
1,5 m/2
Rd (Kuat Tumpu) = 2,4 x Ø x D x tebal plat x Fu x n
= 2,4 x 0,75 x 10 x 5 x 825 x 1
= 74250 N = 74,25 kN

Jumlah Baut Diafragma


0,50 kN
n= =0,0067 buah=2 buah
74,25 kN

4) Jumlah Baut Untuk Bracing


Dari hasil SAP didapatkan gaya aksial terbesar pada bracing sebagai berikut :
Gaya Aksial Tarik = 13,773 kN

100
Gambar 3.14 Gaya Aksial Pada Bracing

Jumlah Baut pada Bracing

13,773 kN
n= =0,185buah=2 buah
74,25 kN

b. Las
1) Perhitungan pembebanan (per m)
kN kN
a) q motor = 1,8 x 0,8 = 1,44
m m
kN kN
b) q orang = 1,8 x 0,5 = 0,9
m m
kN kN
c) q Bondek = 1,3 x 7,85 = 10,205
m m
kN kN
d) q Rangka Baja = 1,1 x 0,0377 = 0,0415
m m
e) q Total = Q orang+motor + Q Beton Bertulang + Q Rangka Baja

kN kN kN
= 2,34 + 10,205 +0,0415
m m m

kN
= 12,59
m

2) Mencari Ru

101
1 1 kN
Vu = x q x L= x 12,59 x 1,5 m=9,44 kN
2 2 m

Vu = Ru  9,44 kN

3) Pengecekan Sambungan Las


a) Kuat Geser (Vn)

Ø Vn = Øfw x (0,707 x a) x Lw

= [0,75 x (0,60 x 425)] x (0,707 x 2) x [60 x 2]

= 32451,3 N ≥ (Ru = 9440 N)

b) Tahanan Geser (Rn)

Ø Rn = 0,9 x 0,6 Fy x Luas base metal

= 0,9 x (0,6 x 210) x 300

= 34020 N ≥ (Ru = 9440 N)

3.6 Cek Tingkat Keekonomisan Jembatan Terhadap Beban Yang Bekerja

A. Menggunakan Profil yang dikerjakan (Double Siku 50 x 50 x 5)

102
Warna yang dikeluarkan setiap elemen batang menunjukan rasio kekuatan batang terhadap
tegangan yang terjadi sesuai dengan peraturan AISC – LRFD 93. Batasan rasio warna yang
dikeluarkan sesuai dengan gambar diatas. Jika batang berwarna merah berarti rasio lebih
besar dari 1 atau over strenght.

Rasio Batang Terbesar pada batang tekan yaitu batang A3 dan A4 sebesar 0,647.

Rasio Batang Terbesar pada batang tekan yaitu batang D4 dan D5 sebesar 0,019

103
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan beban yang diperhitungkan sehingga menimbulkan
tegangan. Kekuatan bahan dari baja double siku 50 x 50 x 5 dominan warna yang ditunjukan
adalah hijau yang berarti rasio batang dominan kurang dari 0.5

104
BAB IV
SUMBER DAYA

4.1. Umum
Dalam bab ini, akan dibahas apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan jembatan yang
akan dibuat, baik itu alat yang dipakai maupun bahan-bahan yang diperlukan hingga
jembatan dapat dibuat.
4.2. Alat
Alat atau Perkakas adalah benda yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan dalam
pelaksanaan bengkel baja 2 ini. Beberapa alat di bengkel yang digunakan ialah sebagai
berikut:

Tabel 4.1 Peralatan Yang Digunakan

105
106
107
4.3. Bahan
Bahan dasar yang digunakan dalam pelaksanaan bengkel baja 2 ini adalah sebagai
berikut :

Tabel 4.2 Bahan Yang Digunakan

Sebagai gelagar utama 24 batang

25 buah

Profil baja
5 siku 50 x 50x Sebagai Bracing Jembatan 6 batang
3

4.4 Peralatan K3
Untuk melindungi diri dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi saat pelaksanaan perlu
digunakan alat pelindung diri. Beberapa APD dibawa secara perorangan danada pula yang
telahdisediakan di bengkel baja 2 :

108
Tabel 4.3 Peralatan K3 Yang Digunakan

20 pasang

20 buah

20 set

109
20 pasang

4.5 Tenaga Kerja


Tenaga kerja adalah eksekutor pelaksanaan. Tenaga kerja harus bisa membaca gambar
untuk bisa melaksanakan proyek jembatan pada bengkel baja 2 ini.
Tabel 4.4 Tenga Kerja yang dibutuhkan

Pekerja Adalah Mahasiswa PJJ


1 Pekerja semester 6 20 orang

110
4.6 Kebutuhan Bahan

111
Tabel 4.5 Potongan Batang Siku 50x50x5

Total jumlah batang siku 50 x 50 x 5 yang dibutuhkan adalah 24 buah dan total jumlah batang
siku 50 x 50 x 3 yang dibutuhkan adalah 6 buah

112
113
Tabel 4.6 Potongan Pelat
Total pelat baja tebal 5 mm yang dibutuhkan adalah 1 lembar

114
BAB V
METODE PELAKSANAAN

5.1 Pekerjaan Persiapan


Pekerjaan persiapan praktek kerja baja 2 meliputi persiapan bahan, alat, serta tenaga
kerja.
Pada persiapan bahan dibutuhkan 24 batang profil siku 50 x 50 x 5, 6 batang profil siku
50 x 50 x 3, 1 lembar pelat baja tebal 5 mm, 25 buah baut diameter 10 mm, dan 1 kardus
elektroda las listrik. Semua bahan tersebut diambil dari gudang penyimpanan bengkel sipil
kemudian diletakkan di sekitar area kerja.
Pada persiapan alat dibutuhkan gergaji potong abrasive, gergaji mesin air, peralatan las
asetilin, peralatan las listrik, gerinda mesin tangan, gerinda potong dukuk peralatan mesin
bor, dan peralatan untuk perakitan jembatan rangka baja.
Pada persiapan tenaga kerja dikerjakan oleh 20 orang tenaga kerja.

5.2 Pekerjaan Pelat Simpul

1. Pembuatan Mal Pelat Simpul


Pembuatan mal pelat simpul menggunakan alat penitik, palu, penggores, penggaris,
gunting seng, gambar kerja pelat simpul, dan seng. Langka pertama yaitu kertas
diletakkan diatas seng lalu dilakukan penitikan sesuai dengan tanda jumlah baut dan pada
ujung-ujung gambar kerja, lalu lakukan penggoresan pada tanda titik diujung-ujung
gambar kerja, dan terakhir gunting seng sesuai dengan tanda. Pada saat pembuatan mal
terdapat 2 orang tenaga kerja, 1 orang bertugas untuk menitik dan lainnya bertugas untuk
memegang gambar kerja agar gambar kerja tidak bergeser.

2. Penitikan Pelat Simpul


Penitikan pelat simpul menggunakan alat penitik, palu dan mal. Langkah pertama
yaitu Mal diletakan diatas pelat baja lalu dilakukan penitikan sesuai dengan tanda jumlah
baut dan pada ujung-ujung mal pelat simpul. Pada saat penitikan terdapat 2 orang tenaga
kerja, 1 orang bertugas untuk menitik dan lainnya bertugas untuk memegang mal agar
mal tidak bergeser.

115
3. Penggoresan Pelat Simpul
Penggoresan pelat simpul menggunakan alat penggores, penggaris dan kapur tulis.
Penggoresan dilakukan pada ujung-ujung mal yang telah diberi acuan penitikan, lalu
tanda penggoresan diperjelas lagi dengan kapur tulis untuk mempermudah pemotongan
pelat simpul. Pada saat penggoresan hanya 1 orang tenaga kerja yang bertugas untuk
melakukan penggoresan pada pelat.

4. Pemotongan Pelat Simpul


Pemotongan pelat simpul menggunakan peralatan las asetelin. Pemotongan pelat
simpul berdasarkan acuan mal yang telah di gambar pada pelat baja tebal 6 mm. Pertama-
tama lakukan penyetalan tabung asetelin dan tabung oksigen. Buka tuas asetilin pada
brander, nyalankan dengan pematik, setel tuas las asetelin hingga api yg diinginkan, setel
tuas oksigen sampai terdapat nyala api, lalu arahkan brander pada gambar yang akan
dipotong, setelah itu gunakan klem untuk mengambil pelat yang telah di potong. Pada
saat pemotongan terdapat 2 orang tenaga kerja, 1 orang bertugas mengoperasikan las
asetelin dan yang lainnya bertugas untuk mengarahkan dan mengambil potongan pelat
dengan klem.
Pada saat pemotongan tenaga kerja diharuskan menggunakan peralatan K3 yaitu
Kacamata las dan apron.

5. Penggerindaan Pelat Simpul


Penggerindaan pelat simpul menggunakan gerinda mesin tangan. Pengikiran
dilakukan di ujung-ujung pelat yang tidak rata karena proses pemotongan. Pengikiran
dilakukan hingga ujung-ujung pelat menjadi halus dan rata. Pada saat pengikiran hanya 1
orang tenaga kerja yang bertugas untuk melakukan pengikiran pada pelat.

6. Pengeboran Pelat Simpul


Pengeboran pelat simpul menggunakan peralatan bor dan oli. Pelat yang telah
dipotong serta dikikir di letakan di meja mesin pengeboran, lalu sesuaikan mata bor tepat
pada titik yang telah ditandai dengan penitik, setelah itu kunci dengan kencang pelat
simpul ke meja pengeboran dengan menggunakan klem, lalu lakukan proses pengeboran.
Pada saat proses pengeboran tuangkan oli pada pelat dan mata bor secara terkontrol agar
mata bor tidak kering dan panas. Pada saat pengeboran terdapat 2 orang tenaga kerja, 1

116
orang bertugas memposisikan titik pada pelat dengan mata bor serta mengoperasikan
mesin pengeboran, dan yang lainnya bertugas untuk memasang klem serta menuangkan
oli.

5.3 Pekerjaan Batang Siku

1. Pemotongan Batang siku


Pada saat pemotongan batang siku, urutan pemotongan disesuaikan dengan table
pemotongan batang siku. Pemotongan batang siku menggunakan gergaji abrasive, gergaji
besi mesin dan meteran. Pertama-tama dilakukan pengukuran pada batang dengan
meteran, panjang pengukuran disesuaikan dengan tabel kebutuhan batang, lalu tandai
dengan kapur tulis, setelah itu lakukan proses pemotongan pada batang. Batang yang
telah dipotong diberi tanda menggunakan tipe-x sesuai dengan nama batang. Pada saat
pemotongan terdapat 4 orang tenaga kerja, 2 orang bertugas memposisikan panjang
batang yang akan dipotong serta memberi tanda, dan yang lainnya bertugas untuk
mengoperasikan gergaji abrasive dan gergaji besi mesin.

2. Pembuatan mal batang siku


Pembuatan mal batang siku menggunakan alat penitik, palu, penggores, penggaris,
gunting seng, gambar kerjabatang siku, dan seng. Langkah pertama yaitu kertas
diletakkan diatas seng lalu dilakukan penitikan sesuai dengan tanda jumlah baut dan pada
ujung-ujung gambar kerja, lalu lakukan penggoresan pada tanda titik diujung-ujung
gambar kerja, dan terakhir gunting seng sesuai dengan tanda. Pada saat pembuatan mal
terdapat 2 orang tenaga kerja, 1 orang bertugas untuk menitik dan lainnya bertugas untuk
memegang gambar kerja agar gambar kerja tidak bergeser.

3. Pengukuran dan Penitikan Batang Siku


Penitikan dan pengukuran menggunakan alat penitik, palu, meteran, penggaris, dan
penggores. Sebelum dilakukan penitikan terlebih dahulu di ukur jarak dari as baut ke as
baut lainnya dengan menggunakan meteran. Setelah didapat ukuranyang pas dilakukan
penitikan. Penitikan di bantu menggunakan mal dan di lakukan dengan meniti kan alat
penitik yang kemudian dipukul dengan palu pada titik yang terdapat pada mal yang
dipasang kan pada batang siku yang telah dipotong. Penitikan dilakukan sesuai dengan
jumlah baut yangakandipasangkanpada batangsiku. Pada saat pengukuran dan penitikan

117
terdapat 4 orang tenaga kerja, 2 orang bertugas untuk melakukan pengukuran dan 2 orang
lainnya bertugas untuk penitikan.

4. Pengeboran Batang Siku


Pengeboran batang siku menggunakan peralatan bor dan oli. batang yang telah
dipotong, dikikir terlebih dahulu untuk menghilangkan bagian yang tajam pada ujung
batang. Lalu batang di letakan di meja mesin pengeboran, lalu sesuaikan mata bor tepat
pada titik yang telah ditandai dengan penitik, setelah itu kunci dengan kencang batang ke
meja pengeboran dengan menggunakan klem, lalu lakukan proses pengeboran. Pada saat
proses pengeboran tuangkan oli pada batang dan mata bor secara terkontrol agar mata bor
tidak kering dan panas. Pada saat pengeboran terdapat 2 orang tenaga kerja, 1 orang
bertugas memposisikan titik pada batang dengan mata bor serta mengoperasikan mesin
pengeboran, dan yang lainnya bertugas untuk memasang klem serta menuangkan oli.

5.4 Pekerjaan Pengelasan


Pengelasan menggunakan peralatan las listrik. Persiapankan peralatan las litrik dan
letakan elektroda pada penjepit serta atur arus yang akan digunakan. Lalu proses pengelasan
dilakukan pada pelat I dengan tanda yang terdapat pada pelat simpul dengan posisi tegak
lurus terhadap pelat simpul. pengelasan dilakukan disudut-sudut pelat hingga membentuk
pelat T. Pada saat pengelasan hanya 1 orang tenaga kerja yang bertugas untuk melakukan
proses pengelasan. Pada saat pengelasan tenaga kerja diharuskan menggunakan peralatan K3
yaitu topeng/masker las serta apron.

5.5 Pekerjaan Perakitan Jembatan Rangka Baja


Dalam gambar berikut :

118
Gambar 5.1 Rencana Pembagian Segmen
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pembagian segmen struktur jembatan,hal ini bertujuan
untuk mempermudah proses pelaksanaan dilapangan. Dengan pembagian segmen para pekerja
akan lebih mudah memahami bagian-bagian pekerjaan yang harus mereka lakukan. Selain itu
resiko tertukar nya material dapat diminimalisir sehingga kesalahan pemasangan dapat dihindari.
Dalam praktek bajaII yang telah dilaksanakan struktur jembatan yang direncakan dibagi kedalam
8 segmen yaitu Segmen 1, Segmen 2, Segmen 3, Segmen 4, Segmen 5, Segmen 6, Segmen 7,dan
Segmen 8. Untuk lebih jelasnya metode perakitan dilaksankan sebagai berikut:

1. Perakitan Segmen 1

Gambar 5.2 Segmen 1

119
Perakitan segmen 1 dimulai dengan menggabung kanbatang d1 dan b1 dengan
menggunakan pelat simpul abutment yang sekaligus berfungsi sebagai tumpuan dengan
cacatan di plat simpul pada tumpuan diberi baja siku pada kedua sisinya sebagai dudukan
pada tumpuan. Selanjutnya dudukan tersebut pada satu bagian tumpuan dilubangi sebagai
permodelan tumpuan rol. Kemudian lakukan perakitan segmen satu pada sisi seberangnya.
Setelah perakitan tersebut selesai, kedua sisi disatukan menggunakan batang cross girder
dengan menggunakan pelat J yang sudah terpasang pada plat simpul abutment dengan cara di
las. Proses penyambungan dilakukan dengan menggunakan sambungan baut. Selanjutnya
dipasang bracing dengan menggunakan pelat K. Pada saat penyambungan baut, baut
dikencangkan menggunakan menggunakan pengencang baut hidrolik.

2. Perakitan Segmen 2

Gambar 5.3 Segmen 2

Perakitan segmen 2 dimulai dengan menggabungkan batang d1 dan a1 pada pelat simpul
B kemudian merakit batang b1 dengan batang b2 menggunkan pelat simpul C. Selanjutnya
pemasangan batang V1 pada pelat simpul B dan C. Dilanjutkan dengan pemasangan batang
D2 menggunakan pelat simpul C dan D dan menggabungkan batang V dengan pelat D dan E.
Langkah Perakitan tersebut dilakukan pada sisi bagian kanan dan sisi bagian kiri.
Kemudian kedua sisi disatukan menggunakan batang cross girder dengan menggunakan
pelat T yang sudah terpasang pada plat simpul B, C dan D, E dengan cara di las. Proses
penyambungan dilakukan dengan menggunakan sambungan baut. Selanjutnya dipasang
bracing dengan menggunakan pelat K. Pada saat penyambungan baut, baut dikencangkan
menggunakan menggunakan pengencang baut hidrolik.

120
3. Perakitan Segmen 3

Gambar 5.4 Segmen 3

Perakitan segmen 3 dimulai dengan menggabungkan batang a1 dan a2 pada pelat simpul
D kemudian merakit batang b2 dengan batang b3 menggunkan pelat simpul E. Selanjutnya
pemasangan batang V2 pada pelat simpul D dan E. Dilanjutkan dengan pemasangan batang
D3 menggunakan pelat simpul E dan F dan menggabungkan batang V3 dengan pelat F dan G.
Langkah Perakitan tersebut dilakukan pada sisi bagian kanan dan sisi bagian kiri.
Kemudian kedua sisi disatukan menggunakan batang cross girder dengan menggunakan
pelat J yang sudah terpasang pada plat simpul F dan G dengan cara di las. Proses
penyambungan dilakukan dengan menggunakan sambungan baut. Selanjutnya dipasang
bracing dengan menggunakan pelat K. Pada saat penyambungan baut, baut dikencangkan
menggunakan menggunakan pengencang baut hidrolik.

4. Perakitan Segmen 4

121
Gambar 5.5 Segmen 4

Perakitan segmen 4 dimulai dengan menggabungkan batang a2 dan a3 pada pelat simpul
F kemudian merakit batang b3 dengan batang b4 menggunkan pelat simpul G. Selanjutnya
pemasangan batang V3 pada pelat simpul F dan G. Dilanjutkan dengan pemasangan batang
d4 menggunakan pelat simpul F dan I dan menggabungkan batang V4 dengan pelat H dan I.
Langkah Perakitan tersebut dilakukan pada sisi bagian kanan dan sisi bagian kiri.
Kemudian kedua sisi disatukan menggunakan batang cross girder dengan menggunakan
pelat J yang sudah terpasang pada plat simpul H dan I dengan cara di las. Proses
penyambungan dilakukan dengan menggunakan sambungan baut. Selanjutnya dipasang
bracing dengan menggunakan pelat L. Pada saat penyambungan baut, baut dikencangkan
menggunakan menggunakan pengencang baut hidrolik.
Setelah proses perakitan 4 segmen pertama selesai dilanjutkan dengan proses
perakitan 4 segmen bagian kedua pada tempat yang berbeda. Kemudian kedua bagian
tersebut diangkat ke abutmen dan disambung dengan baut dan dikencangkan diatas
perancah.

5. Pekerjaan Pembersihan Akhir


Pekerjaan pembersihan dilakukan setelah seluruh pekerjaan selesai.Pembersihan akhir
meliputi pembersihan alat dan bahan material yang digunakan selama praktek kerja baja2.

122
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Dari penjelasan, perhitungan dan analisa pada bab sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa :
1) Jembatan Baja ini memiliki berat struktur sebesar 766,54 kg
ton dan memiliki lendutan sebesar 0.8 mm dihitung dari posisi chamber
sebesar 20 cm dengan batas lendutan yang diijinkan sebesar L/800 = 800/800
= 1 cm = 10 mm.
Dengan desain Profil komponen sebagai berikut :
Rangka Utama : siku 50 mm x 50 mm x 5 mm
Girder : siku 50 mm x 50 mm x 5 mm
Diafragma : siku 50 mm x 50 mm x 5 mm
Wind Bracing : siku 40 mm x 40 mm x 4 mm
Pelat Simpul : Pelat Tebal 6 mm
Baut : ⊘ 10 mm
2) Terdapat sambungan baut pada batang Tekan maupun Tarik. Untuk batang
tekan dengan 2 buah baut dan untuk batang tarik dengan 3 buah baut.
Sedangkan jumlah baut pada Diafragma dan Bracing adalah 2 buah untuk
keduanya.
3) Sedangkan untuk sambungan Las sendiri terdapat pada sambungan pelat
simpul yang berada pada Cross Girder yang menuju rangka utama dan pelat
simpul setiap tumpuan sebagai fungsi landasan tumpuan.
4) Metode Pelaksanaan Jembatan Rangka Baja ini dilaksanakan dengan
pemasangan per segmen dari segmen 1 sampai segmen 8 dengan bantuan
launcher sebagai dudukan jembatan sementara sebelum mampu menanggung
beban sendiri

123
5) Pengencangan baut dengan alat hidrolik yang dilakukan dari bagian tengah
jembatan ke arah kanan dan kiri.

6.2. Saran
1) Persiapan material dan alat untuk setiap pekerjaan harus dipastikan dalam
keadaan tersedia, berfungsi baik dan sesuai dengan mutu.
2) Setiap pekerjaan yang dilakukan harus dengan disiplin yang baik agar tepat
sesuai jadwal yang ditentukan.
3) Dibutuhkan keteletian untuk semua pekerja dalam praktik baja II ini agar
mendapatkan hasil yang presisi untuk semua pekerjaan yang dilakukan.
4) Komunikasi antar setiap pekerja karena pekerjaan dilapangan saling
berhubungan, supaya mendapatkan hassil yang maksimal.
5) Kelengkapan APD untuk setiap pekerja harus digunakan agar tidak terjadi
kecelakaan kerja dilapangan.
6) harus membuat rencana cadangan dalam tahap pelaksanaan agar ketika
pekerjaan mengalami kendala dapat menemukan solusi yang tepat.

124
LAMPIRAN
JADWAL PELAKSANAAN

Anda mungkin juga menyukai