Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 KONSEP BENCANA
A. Pengertian Bencana
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh :
1 Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.
2 Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3 Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror.
Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat
berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun
kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari
satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian. Bencana merupakan
kombinasi antara ancaman (Hazard) dan kerentanan (Vulnerability). Ancaman
yaitu fenomena, bahaya atau resiko, baik alami maupun tidak alami yang dapat
(tetapi belum tentu menimbulkan bencana diantaranya banjir, tanah longsor,
kekeringan, wabah penyakit, konflik bersenjata dll. Sedangkan kerentanan adalah
keadaan didalam suatu komunitas yang membuat mereka mudah terkena akibat
buruk dari ancaman diantaranya kerentanan fisik, sosial, dan psikologi/sikap.

B. Strategi Penanggulangan Bencana


Penanggulangan bencana adalah salah satu strategi politik terpenting untuk
menjaga stabilitas ekonomi, sosial, dan fisik, untuk perkembangan dan juga untuk
melindungi nyawa warga Indonesia, di mana populasi padat, penggunaan lahan
yang tidak teratur, dan urbanisasi sering terjadi di lokasi yang rentan terhadap
bencana. Penanggulangan bencana dapat dibagi menjadi tiga tahap berdasarkan
urutan terjadinya yaitu: pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca-bencana. Upaya
dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lembaga pemerintah, perusahaan
swasta, dan penduduk dalam tiga tahapan berbeda akan membantu meringankan
kerusakan dan kerugian akibat bencana. Berikut penjelasan strategi dasar untuk
setiap tahapan dari proses penanggulangan bencana.
1. Persiapan dalam Periode Pra-Bencana
a. Peningkatan sistem transportasi utama dan fungsi komunikasi
merupakan hal terpenting agar Indonesia dan kota-kota di
dalamnya dapat bertahan dalam menghadapi bencana. Hal ini
dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah tindakan
pemeliharaan dan pembaharuan, sementara tindakan pengamanan
untuk mencegah bencana yang sifatnya tidak disengaja dapat di
maksimalkan dengan meningkatkan tingkat keamanan pada
bangunan dan fasilitas umum (perumahan, sekolah, dan rumah
sakit), dan semua sarana komunikasi.
b. Mempersiapkan sistem tanggap darurat,
fasilitas/peralatan/materi, penyimpanan makanan dan minuman
dan pelatihan untuk penanggulangan bencana akan berperan
dalam kecepatan dan kelancaran tanggapan selama terjadinya
bencana, serta tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi sesudahnya.
c. Melibatkan seluruh penduduk agar bisa ikut berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana membutuhkan pendekatan secara
menyeluruh, termasuk: mendistribusi gagasan dan informasi
kepada warga, pelatihan mengenai penanggulangan bencana bagi
individu, mendukung penambahan organisasi penanggulangan
bencana di masyarakat, menciptakan sarana untuk menampung
sukarelawan, mengajak korporasi-korporasi untuk berpartisipasi
dalam kegiatan penanggulangan bencana.
d. Tindakan penelitian yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana, termasuk prakiraan bencana, ilmu teknik dan sosial, dan
peningkatan jaringan observasi perlu di garisbawahi. Aplikasi dari
hasil penelitian juga sangatlah penting.
2. Pengoperasian Tanggap Drurat secara Cepat dan Lancar
a. Menyebarkan peringatan akan informasi kemungkinan terjadinya
bencana dan evakuasi penduduk serta aktivitas lain yang dapat
mencegah kerusakan dan kerugian dilakukan tepat sebelum
bencana itu terjadi.
b. Distribusi informasi bencana yang cepat pada saat bencana besar
melanda. Memahami dampak kerusakan pada tahap awal, cepat
dalam mengumpulkan dan membagi informasi mengenai
bencana, serta mengamankan sarana komunikasi yang dibutukan
untuk itu.
c. Mengembangkan sistem tanggap secara kelembagaan pada
instansi yang berkaitan agar dapat menanggapi bencana secara
efektif dan menyeluruh, serta mengembangkan sistem pendukung
melalui koordinasi dengan instansi lain.
d. Kegiatan termasuk pemadaman kebakaran dan perlindungan
tanggul, untuk meminimalisir penyebaran kerusakan.
e. Penyelamatan dan bantuan pertama bagi korban dan perawatan
medis yang cepat dan tepat bagi para korban yang terluka.
f. Pengaturan lalu lintas, rehabilitasi sarana vital, mengembalikan
fungsi transportasi dengan memindahkan penghalang dan
memprioritaskan transportasi darurat guna mendukung kelancaran
penyelamatan serta bantuan darurat, perawatan medis dan
pemadaman kebakaran, serta pembagian bantuan berupa barang
bagi para korban
g. Mengantarkan korban ke area yang aman, pengaturan lokasi
evakuasi yang tepat, dan kegiatan yang berkaitan dengan
akomodasi di lokasi evakuasi, termasuk perlengkapan tempat
tinggal sementara.
h. Mengadakan dan membagikan makanan, air, dan barang-barang
yang membantu berlangsungnya kehidupan korban.
i. Memahami dan mengatasi aspek kesehatan para korban dengan
mendirikan klinik perawatan di lokasi, WC sementara, sistem
pembuangan sampah, kegiatan pencegahan wabah, serta
penanganan jenazah secara cepat.
j. Menjaga keamanan sosial melalui kegiatan pencegahan tindak
kejahatan dan menerapkan kebijakan untuk menstabilkan harga &
persediaan barang.
k. Pemulihan sementara pada fasilitas dan sarana, termasuk fasilitas
transportasi dan komunikasi untuk menjamin kehidupan korban.
l. Membagikan informasi yang tepat bagi para korban untuk
mencegah terjadinya kerusuhan akibat isu-isu dengan
memberikan keputusan dan tindakan yang tepat
m. Memimpin evakuasi dan menyediakan kebutuhan tanggap darurat
bagi para penduduk berdasarkan adanya risiko bencana susulan.
n. Menerima sukarelawan dan donasi berupa uang dan barang
sebagaimana mestinya.
3. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana
a. Memberikan arahan dasar tentang rehabilitasi dan rekonstruksi
bagi area yang tertimpa bencana dan mempromosikan proyek
yang ada dalam perencanaan. Rehabilitasi secepatnya bagi
bangunan dan fasilitas yang terkena bencana. Mengembangkan
kota dengan meminimalisir risiko kerusakan akibat bencana di
masa mendatang dan menciptakan lingkungan perkotaan yang
lebih nyaman.
b. Penanganan puing-puing secara cepat dan tepat.
c. Membantu korban agar dapat hidup mandiri dengan menyediakan
dana, tempat tinggal, dan lapangan pekerjaan.
d. Menyokong pemulihan ekonomi daerah secara mandiri melalui
tindakan seperti merekonstruksi UKM yang terkena imbas
bencana.
Pemerintah pusat dan daerah, serta lembaga pemerintah wajib ikut serta
dalam mendukung elemen dasar sebagaimana terdaftar dalam rangka pengurangan
bencana dan secara sinergi berbagi informasi berkaitan dengan penanggulangan
bencana di dalam dan antara perwakilan yang menangani penanggulangan
bencana, penduduk, dan pemerintah.
C. Hak Anak dalam Masa Tanggap Darurat
1. Hak Sipil dan Kemerdekaan
Ada dua hak dasar anak yang harus diperhatikan terkait dengan hak sipil
dan kemerdekaan dalam tanggap darurat, yaitu:
a. Hak atas pencatatan kelahiran dan identitas (KHA pasal 7, UUPA pasal 5).
Dalam situasi pasca bencana, kehancuran infrastruktur dan kelumpuhan
sistem administrasi negara sampai di tingkat RT/ RW, membuat anak-anak
yang lahir pasca gempa tidak tercatat. Hal ini menempatkan anak-anak
dalam situasi kehilangan hak akibat tidak tercatat dalam mekanisme
pencatatan kelahiran ataupun pencatatan darurat menyangkut bantuan
darurat. Di samping itu, situasi darurat saat bencana mengakibatkan 6
Menurut cara pembagian yang dirumuskan oleh Komite Hak Anak PBB
yang mengelompokkan Konvensi Hak Anak menjadi delapan Kategori
sebagai berikut : (1) langkah-langkah implementasi umum; (2) defenisi
anak; (3) prinsipprinsip umum; (4) hak sipil dan kemerdekaan; (5)
lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (6) kesehatan dan
kesejahteraan dasar; (7) pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya; (8)
langkah-langkah perlindungan khusus (berkaitan dengan hak anak untuk
mendapatkan perlindungan khusus. Masyarakat tidak dapat mengamankan
harta benda dan dokumen-dokumen berharga seperti akte kelahiran
sehingga ketika bencana datang akte kelahiran tersebut menjadi ikut rusak.
Oleh karena itu, perlu mengembangkan program khusus dari pemangku
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan anak akan hak identitas mereka.
Selama ini, karena dianggap tidak terlalu mendesak program yang
mencoba menjawab kebutuhan ini belum banyak dilakukan dalam masa
tanggap darurat.
b. Hak atas Kebebasan Beragama (KHA pasal 27). Dalam situasi pasca
bencana, bantuan kemanuasiaan baik fisik maupun bersifat dukungan
psikologis harus ditujukan kepada semua anak/orang dewasa tanpa
memandang keyakinan dan agama. Situasi pasca bencana, sangat mudah
dijumpai pemberian bantuan dan dukungan kemanusiaan yang lain
dimanfaatkan baik secara langsung maupun terselubung untuk
memaksakan keyakinan agama pada korban, termasuk anak-anak. Oleh
karena itu, setiap program yang dilaksanakan haruslah menghormati
keyakinan dan agama yang dianut oleh penerima manfaat program
sehingga program yang dilaksanakan tidak dijadikan media untuk
mengubah keyakinan anak. Dalam konteks ini, peran masyarakat dan
pemerintah menjadi penting sekali untuk memantau setiap program yang
mempunyai maksud dan tujuan tersembunyi untuk mengubah agama para
penerima manfaat.
2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif
a. Hak atas bimbingan orang tua (KHA pasal 5). Dalam situasi pasca
bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua
kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-anak
mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral dan
sosial anak, sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap
kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan dan perdagangan.
Perhatian dari orang tua mengambil peran penting dalam membantu anak
melewati masa-masa krisis setelah bencana. Oleh karena itu, menjadi
penting untuk setiap stakeholder melibatkan peran orang tua dalam
melakukan pendampingan terhadap anak-anak mereka sesuai dengan
kapasitas yang bisa diperankan oleh mereka. Peran paling sederhana yang
bisa diperankan oleh orang tua adalah bersikap tenang karena anakanak
secara psikologis melihat tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang tua
mereka. Mereka akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua
mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua dan
pemangku kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan
meyakinkan mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan
mereka dan keadaan akan kembali normal. Disamping itu, orang tua
adalah teman anak yang dapat mendorong anak untuk mengungkapkan
perasaan dan perhatian mereka terkait dengan bencana. Kemampuan
mendengarkan dan berempati dari orang tua menjadi kekuatan yang luar
bisaa dalam membantu anak melewati masa-masa krisis akibat bencana.
b. Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua
(KHA pasal 9 dan 10, UUPA pasal 7). Dalam situasi pasca bencana, anak-
anak dapat terpisahkan dari orangtua mereka. Kemungkinan situasi
keterpisahan bersifat permanen (orangtua meninggal atau tidak pernah
ditemukan) atau temporer hingga orangtua kelak ditemukan. Pengalaman
dari bencana Gempa dan Tsunami di Aceh menunjukkan bahwasanya
banyak sekali anak-anak yang dibawa keluar dari Aceh terpisah dengan
orang tuanya. Meskipun bertujuan baik untuk mengadopsi misalnya
terkadang hal tersebut dapat merampas hak anak untuk mendapatkan
pengasuhan langsung dari orang tua mereka. Oleh karena itu, prioritas
utama program yang dapat dilakukan adalah program reunifikasi atau
mempertemukan anak dengan orang tua dan keluarganya.
3. Kesehatan dan kesejahteraan dasar
a. Hak khusus anak difabel/orang dengan kecacatan (KHA pasal 23). Pada
saat dan pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam kerentanan
khusus karena situasi kecacatan mereka. Saat terjadi bencana mereka
mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri. Di samping itu, peristiwa
bencana dapat mengakibatkan anak menjadi difabel baru. Saat pasca
bencana kebutuhan khusus mereka seringkali terabaikan oleh bantuan
masa tanggap darurat yang disalurkan. Oleh karena itu menjadi penting
untuk merancang program yang memperhatikan kebutuhan khususdari
anak-anak difabel baik karena bencana atau tidak.
b. Hak atas layanan kesehatan (KHA pasal 6 dan 24, UUPA pasal 8). Pada
saat dan pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi yang dapat
mengancam tingkat kesehatan mereka. Hancur dan rusaknya fasilitas
sanitasi, luka-luka akibat bencana alam ataupun lingkungan buruk pasca
bencana alam menyebabkan dapat menurunkan tingkat kesehatan anak. Di
sisi lain, hilangnya kemampuan orang tua memberikan asupan gizi yang
layak dalam jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan
kesehatan anak. Oleh karena itu, program yang memberikan layanan
kesehatan gratis bagi korban anak sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
darurat. Pengalaman penanganan bencana selama ini menunjukan banyak
sekali program-program layanan kesehatan yang disediakan untuk korban
bencana baik anak-anak maupun orang dewasa baik dari unsur pemerintah
dan non-pemerintah.
c. Hak atas standar penghidupan yang layak (KHA pasal 27). Dalam situasi
pasca bencana, standar kehidupan yang layak bagi perkembangan jasmani,
mental, spiritual, moral and sosial
d. anak yang dalam situasi normal disediakan oleh orangtua/wali tidak
terpenuhi akibat kerusakan sarana prasarana. Stakeholder khususnya
Negara wajib memberikan bantuan material serta program dukungan,
khususnya menyangkut nutrisi, pakaian dan penampungan sementara.
Menyangkut bantuan tersebut, anakanak memilki kebutuhan sangat khusus
terutama berkaitan dengan tingkat usia mereka. Pemenuhan hak dasar
inilah dalam konteks tangap darurat melului bantuan logistic mendominasi
model dan bentuk bantuan kemanusian yang diberikan oleh hampir semua
stakeholder.
4. Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
a. Hak atas pendidikan termasuk pelatihan dan bimbingan keterampilan
(KHA pasal 28, UUPA pasal 9). Dalam situasi pasca bencana, kerusakan
sarana dan prasarana pendidikan termasuk prasarana perhubungan serta
situasi-situasi seperti kehidupan keluarga anak dan keluarga guru yang
tidak normal dapat menyebabkan proses belajar-mengajar reguler terhenti.
Terganggunya perekonomian akibat bencana juga menempatkan anak-
anak dalam posisi rawan putus sekolah. Berdasarkan kondisi ini, program-
program pendidikan alternatif yang diberikan para pemangku kepentingan
akan sangat membantu para korban anak. Program sekolah darurat,
program menggambar, bercerita, Taman Pendidikan Al-Qur’an adalah
program yang sering dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan dan hak
anak atas pendidikan dalam masa tanggap darurat.
b. Hak atas waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya (KHA pasal 31).
Dalam situasi darurat pasca bencana, aktifitas sosialbudaya menjadi
terganggu. Ruang fisik dan ruang sosial untuk bermain dan bersosialisasi
secara normal menjadi hilang. Keadaan ini dapat berlangsung lama hingga
masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Begitu pula, kehidupan perekonomian
yang belum pulih membuat anak-anak rawan untuk kehilangan waktu
beristirahat dan mendapatkan waktu luang yang cukup. Untuk menjawab
kebutuhan dan hak anak akan waktu luang, rekreasi dan budaya, banyak
program yang bisa ditawarkan seperti program bermain, rekreasi, pelatihan
seni seperti menari, menyanyi dll.
5. Perlindungan khusus
a. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi (KHA pasal 32). Kerusakan
sarana & prasarana ekonomi serta situasi tidak normal yang dialami oleh
keluarga-keluarga mengancam kelangsungan pendapatan keluarga baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tantangan pemenuhan
kebutuhan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga menempatkan anak-anak
dalam posisi rawan mengalami eksploitasi ekonomi, baik oleh
orangtua/keluarga sendiri maupun oleh orang/pihak lainnya. Dalam
kondisi tersebut, tidak jarang anak bekerja dalam bentukbentuk pekerjaan
terburuk untuk anak seperti menjadi pekerja rumah tangga dll.7
b. Hak untuk dilindngi dari Eksploitasi dan kekerasan seksual (KHA pasl
34). Pada situasi pasca bencana, terutama dalam situasi pemukiman
kolektif di barak-barak pengungsian, tidak memberi ruang privasi dan
pemenuhan kebutuhan seksual orang dewasa sehingga menempatkan
anak-anak dalam posisi rawan mengalami kekerasan atau eksploitasi
seksual.
c. Hak untuk mendapat perlindungan dari penculikan dan perdagangan anak
(KHA pasal 35). Dalam situasi pasca bencana, keterpisahan dari orangtua,
atau orangtua yang kehilangan kontrol efektif terhadap anak-anak mereka,
orangtua yang kehilangan kemampuan finansial untuk mengasuh anak-
anak mereka, atau terdesak oleh kebutuhan finansial yang nyata dan
ketiadaan perlindungan sosial yang memadai, menempatkan anak-anak
dalam posisi rawan untuk menjadi korban penculikan dan perdagangan.
Berdasarakan kondisi inilah maka, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
mensinyalir bahwa praktek perdagangan anak meningkat pasca bencana
alam di daerah. 7 UU No. 1 Tahun 2000 tentang ratifikasi Konvensi ILO
182 mengenai tindakan segera untuk penghapusan BPTA (Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Anak) mengatur tentang bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak yaitu:
a) Segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan
perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, perbudakan
akibat hutang dan penghambaan dan kerja paksa atau kerja wajib,
termasuk rekrutmen wajib atau rekrutmen paksa, terhadap anak-anak
untuk digunakan dalam konflik bersenjata;
b) Pemakaian, pengadaan atau penawaran anak untuk prostitusi, produksi
pornografi atau pertunjukan pornografi;
c) Pemakaian, pengadaan atau penawaran seorang anak untuk
kegiatankegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan
narkoba sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian
internasional terkait
d) Pekerjaan yang sifat atau lingkungan di mana pekerjaan tersebut
dilakukan dapat membahayakan,keselamatan atau moral anak-anak.
Korbannya adalah anak-anak yang kehilangan orang tua akibat
bencana tsunami dan gempa bumi di NAD, Jawa Tengah dan DIY.
2.2 Trauma Pasca Bencana
A. Pengertian Trauma
Trauma berasal dari bahasa Yunani “tramatos” yang artinya luka. Dalam
kamus konseling, traumatik adalah pengalaman dengan tiba-tiba mengejutkan
yang meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa seseorang sehingga
dapat merusak fisik maupun psikologis. Trauma adalah kejadian jiwa atau
tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan atau cedera
jasmani. Selain itu, trauma juga dapat diartikan sebagai luka yang
ditimbulkan oleh faktor eksternal, jiwa yang timbul akibat peristiwa
traumatik. Peristiwa traumatik bisa sekali terjadi, bertahan dalam jangka lama
atau berulang-ulang dialami oleh penderita. Para psikolog juga menyatakan
trauma sebagai istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian
yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas, biasanya bersifat negatif.
Dalam istilah psikologi disebut Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD).
Trauma juga diartikan sebagai respon secara emosional akibat sebuah
kejadian, seperti kekerasan, bully, atau bencana alam. Reaksi jangka pendek
yang biasa terjadi pada seorang yang mengalami trauma adalah shock dan
penolakan. Sedangkan reaksi jangka panjang pada penderita trauma meliputi
emosi yang tak terduga. Misalnya selalu teringat kejadian yang terjadi pada
masa lalu, hubungan yang tegang, bahkan gejala-gejala fisik, seperti pusing
dan mual.
B. Ciri-ciri PeristiwaTrauma
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
1. Terjadi secara tiba-tiba.
2. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
3. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
4. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku
yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang
menyaksikan.
C. Faktor Penyebab Trauma
Faktor penyebab trauma terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Faktor internal (psikologis)
Secara sederhana, trauma dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan
akibat ketidakmampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang
harus dijalaninya, sehingga yang bersangkutan bertingkah secara
kurang wajar. Berikut ini penyebab yang mendasari timbulnya trauma
pada diri seseorang:
a) Kepribadian yang lemah dan kurangnya percaya diri sehingga
menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri
b) Terjadi konflik sosial budaya akibat adanya norma yang berbeda
antara dirinya dengan lingkungan masyarakat
c) Pemahaman yang salah sehingga memberikan reaksi berlebihan
terhadap kehidupan sosial dan juga sebaliknya terlalu rendah.
Proses-proses yang diambil oleh seseorang dalam menghadapi
kekalutan mental, sehingga mendorongnya kearah positif.
2. Faktor eksternal (fisik)
Adapun faktor eksternal tersebut, ialah:
a) Faktor orangtua dalam bersosialisasi dalam kehidupan keluarga,
terjadinya penganiayaan yang menjadikan luka atau trauma fisik
b) Kejahatan atau perbuatan yang tidak bertanggungjawab yang
mengakibatkan trauma fisik dalam bentuk luka pada badan dan
organ pada tubuh korban.
Selain itu, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh
berbagai situasi dan kondisi, diantaranya:
1. Peristiwa atau kejadian alamiah (bencana alam), seperti gempa bumi,
tsunami, banjir, tanah longsor, angin topan, dan sebagainya.
2. Pengalaman dikehidupan sosial (psiko-sosial), seperti pola asuh yang
salah, ketidakadilan, penyiksaan/penganiayaan (secara fisik atau psikis),
teror, kekerasan, perang, dan sebagainya.
3. Pengalaman langsung atau tidak langsung, seperti melihat sendiri,
mengalami sendiri (secara langsung) dan pengalaman orang lain (tidak
langsung), dan sebagainya.
D. Jenis-jenis Trauma
Dalam kajian psikologi dikenal beberapa jenis trauma sesuai dengan
penyebab dan sifat terjadinya trauma, yaitu trauma psikologis, trauma
neurosis, trauma psikosis, dan trauma diseases.
1. Trauma Psikologis
Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang
luar biasa, yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa
berkemampuan untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan
merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Ekses dari jenis
trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis).
2. Trauma Neurosis
Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat
(otak) individu, akibat benturan-benturan benda keras atau pemukulan di
kepala. Implikasinya, kondisi otak individu mengalami pendarahan, iritasi,
dan sebagainya. Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan
diri, hilang kesadaran, dan lain-lain yang sifatnya sementara.
3. Trauma Psychosis
Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari
kondisi atau problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah
satu anggota tubuh dan sebagainya yang menimbulkan shock dan
gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya
terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman/peristiwa
yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.
4. Trauma Diseases
Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis
dianggap sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus
luar yang dialami individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti
keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman, dan sebagainya.
E. Karakteristik Korban Bencana
Adapun karakteristik yang ada atau yang dialami oleh seseorang yang
menderita traumatik, ialah :
1. Mengalami kejadian yang buruk dan mengerikan
2. Sulit tidur dan mudah terbangun
3. Mimpi buruk terhadap hal kejadian yang mengerikan
4. Seperti mengalami kembali peristiwa buruk dan mengerikan
5. Menghindari tempat, orang, situasi dan hal-hal yang mengingatkan pada
peristiwa buruk dan mengerikan.
6. Mudah Terkejut
7. Mudah tersinggung dan marah
8. Sering teringat pengalaman atau kejadian buruk dan mengerikan
9. Merasa tidak bersemangat dan putus asa
10. Takut memikirkan masa depan
11. Pemurung
12. Sulit berkonsentrasi
13. Khawatir berlebihan
14. Perubahan perilaku dari sebelumnya.
F. Proses Pemulihan Trauma
1. Pertolongan pertama pada trauma
Pertolongan pertama pada trauma adalah tindak pertolongan yang
dilakukan atau di berikan pertama kali kepada korban trauma dan dilakukan
segera setelah seorang mengalami trauma.
Langkah-langkah pertolongan pertama pada trauma adalah:
a) Secapat mungkin jauhkan korban dari peristiwa traumatik
b) Buat fisik korban trauma merasa nyaman
c) Pertemukan segera dengan orang-orang terdekat korban
2. Pemulihan stres paska trauma
a) Pemulihan fisik
Membuat fisik konseli menjadi nyaman akan memudahkan untuk
memulihkan traumanya. Apabila konseli tidak nyaman misalnya nafas
tersenggal-senggal berkeringat dingin gemetaran dan sebagainya maka
bisa dilakukan setidaknya ada beberapa hal berikut ini: (a) mengatur
pernafasan; (b) segeralah dibawa ke dokter atau balai pengobatan jika
klien mengalami cedera fisik; (c) penuhilah kebutuhan fisik dengan
segera misalnya, jika telah tiba waktunya makan diperlukan makan, jika
perlu minum, dan lain-lain.
b) Pemulihan Emosi
Pemulihan emosi dapat dilakukan dengan cara: (a) segera cari informasi
tentang orang-orang terdekat; (b) ekspresikan perasaan; (c) berbicara
dengan orang lain yang dipercaya tentang perasaan dan apa yang
terjadi; (d) jangan mengisolasi diri; (e) relaksasi.
c) Pemulihan Kognitif
Dalam pemulihan kognitif, hal yang dapat dilakukan berupa : (a) terus
mengaktifkan otak; (b) tangan menjauhkan diri dari situasi, orang dan
tempat yang mengingatkan pada trauma terjadi; (c) berfikir positif; (d)
selalu memiliki harapan; (e) belajar tentang trauma.
Selain itu, pemulihan trauma yang biasa dilakukan untuk anak-anak, ialah:
1. Pemulihan fisik anak
Teknik pemulihan fisik untuk anak-anak, hampir sama dengan yang
lainnya, yaitu: (a) menenangkan dan membuat nyaman kondisi fisik anak-
anak; (b) segera bawalah ke dokter atau balai pengobatan jika anak
mengalami cedera fisik; (c) penuhi kebutuhan fisik anak dengan segera;
(d) Perhatikan tidurnya.
2. Pemulihan emosi anak
Kenali perasaan anak-anak. Pada prinsipnya jangan hawatir untuk
membiarkan anak-anak membicarakan bencana yang terjadi sebelum anak
siap. Dengarkan dan pahami sudut pandang anak terhadap bencana yang
terjadi dan peristiwa yang mengikutinya. Bertanyalah mengenai
perasaannya tentang bencana itu dengan pertannyaan terbuka tertutup
sehingga ia betul-betul bisa mengekspresikan perasaannya.
G. Konseling Korban Trauma
Proses konseling yang dilakukan untuk menangani korban traumatik
dikenal dengan istilah konseling traumatik. Konseling traumatik merupakan
konseling yang diselenggarakan dalam rangka membantu konseli yang
mengalami peristiwa traumatik, agar konseli dapat keluar dari peristiwa
traumatik yang pernah dialaminya dan dapat mengambil hikmah dari
peristiwa trauma tersebut.
Tujuan konseling pada korban trauma adalah untuk mendengarkan
pengalaman trauma mereka dan memberikan bantuan yang mereka perlukan
dalam situasi stres pasca trauma, dan dapat membantu para korban bencana
menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup
sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling traumatik
juga sangat bermanfaat untuk membantu para korban untuk lebih mampu
mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistik. Adapun konseling
yang akan diterapkan dalam kasus ini adalah harus dilakukan secara continue,
penuh kesabaran, penuh keikhlasan dan betul-betul ada kesadaran dari para
profesional (orang-orang yang terlatih) untuk menanganinya secara baik.
Dalam hal ini, peran konselor yang dapat dilakukan dengan segera adalah:
a) Meredakan perasaan-perasaan (cemas/ gagal/ bodoh/ putus asa/ tidak
berguna/ malu/ tidak mampu/ rasa bersalah) dengan menunjukkan
sikap menerima situasi krisis, menciptakan keseimbangan pribadi dan
penguasaan diri serta tanggungjawab terhadap diri konseli (mampu
menyesuaikan diri dengan situasi yang baru (situasi krisis).
b) Agar konseli dapat menerima kesedihan secara wajar.
c) Memberikan intervensi langsung dalam upaya mengatasi situasi krisis.
d) Memberikan dukungan kadar tinggi kepada konseling.
Dalam melakukan proses konseling traumatik pada konseli, konselor
sangat memerlukan keterampilan dasar, yaitu:
1. Keterampilan Membangun Hubunga Dengan Korban (Konseli)
Keberhasilan konseling akan sangat ditentukan oleh sejauh mana
hubungan konselor dengan konseli (korban trauma) berhasil dijalani.
Korban biasanya akan memberikan respons baik jika konselor melakukan
hal-hal berikut ini:
a) Konselor memberikan empati.
b) Konselor tenang dalam menghadapi mereka.
c) Konselor bisa mendengarkan mereka dengan perhatian total
2. Keterampilan Bertanya Dengan Tepat
Bercerita tentang pengalaman dan perasaan yang dialami pada saat
bencana atau peristiwa traumatik lain, diketahui sangat membantu proses
pemulihan trauma. Tugas konselor adalah membantu korban untuk bercerita
atau mengekspresikan pengalaman dan perasaan mereka sebaik-baiknya.
Untuk itu diperlukan kemampuan bertanya yang tepat. Pertanyaan yang
tepat dalam kondisi ini adalah pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan
pertanyaan tertutup yang memungkinkan korban menjawab “ya” atau
“tidak”.
3. Keterampilan Mendengarka Secara Aktif
Mendengarkan secara aktif berarti memberikan perhatian total pada
korban, konselor harus mendengar dengan seksama apa yang dikatakannya
dan mampu menangkap informasi dari bahasa tubuhnya.
Gunakan bahasa nonverbal sebaik mungkin. Berikan kontak mata yang
teduh, tatapan yang penuh kasih, anggukkan kepala, ekspresikan kata-kata
seperti, ya.. ya..”,hmm..” dan lainnya buat klien tau bahwa konselor betul-
betul memperhatikan.
4. Keterampilan Penyelesaian Masalah
Kenali masalah-masalah yang dialami korban pastikan fokus pada salah
satu masalah yang dihadapi korban yang menurut konselor dapat
diselesaikan sendiri oleh konseli. Amatilah kondisi korban dalam
menyelesaikan masalah itu. Tunjukan kepada korban, kepada siapa mereka
bisa mendapat berbagai akses untuk membantu mereka. Seperti contoh, jika
korban merasa takut masuk rumah setelah peristiwa, tunjukan bahwa tidak
ada masalah masuk rumah dengan membiarkan dia melihat konselor
memasuki rumahnya.
5. Keterampilan Memberdayakan Korban
Tugas konselor adalah membuat koonseli merasa mampu mengontrol,
lebih percaya diri lebih mampu, jadi lakukan secukupnya saja peran ini.
Berikut hal-hal yang bisa diinformasikan pada konseli agar ia merasa lebih
berdaya:
a) Trauma bisa terjadi pada siapa saja. Tidak ada seorangpun mampu
melindungi diri mereka secara sempurna dari pengalaman traumatik
b) Mengalami gejala-gejala khusus setelah trauma bukan merupakan
penanda kelemahan diri.
c) Seseorang tidak akan hancur gara-gara trauma yang dialaminya.
d) Jika seorang bisa memahami dengan baik seluk-beluk trauma dan
gejala-gejala stres maka ketakutan orang tersebut akan turun dan akan
merasa lebih mampu menanganinya.
e) Orang lain banyak juga yang belum bisa pulih dalam waktu yang lama
setelah mengalami trauma.
DAFTAR PUSTAKA

Winkel dan Sri Hastuti. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Yoyakarta: Media Abadi
Mendatu, Achmanto. 2010. Pemulihan Trauma: Strategi Penyembuhan Trauma
Untuk Diri Sendiri, Anak, dan Orang Lain di Sekitar Anda. Yogyakarta:
Pandua
Abu Ahmadi dan Ahmad Rohani. 1991. Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
Jakarta: PT Rineka Cipta
Sukardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
Konseling di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai