Anda di halaman 1dari 7

1.

Anatomi genital pria1


Organ genitalia pria dibedakan menjadi organ genitalia interna dan organ genitalia
eksterna. Organ genitalia interna terdiri dari testis, epididimis, duktus deferen, funiculus
spermaticus, dan kelenjar seks tambahan. Organ genitalia eksterna terdiri dari penis,
uretra, dan skrotum.

a. Organ Genitalia Interna


1. Testis
Testis berbentuk seperti telur yang berukuran 4x3 cm yang dikelilingi oleh
jaringan ikat kolagen (tunika albuginea). Tunika albuginea akan memberikan septa ke
dalam parenkim testis dan membagi menjadi beberapa lobulus. Setiap lobulus
mengandung 1-4 tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus merupakan tempat
produksi sperma. Pada ujung tubulus seminiferus ini terdapat tubulus rektus yang
menghubungkan tubulus seminiferus dengan rete testis. Rete testis terdapat dalam
jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan oleh 10-20 duktus eferen yang ke distal
menyatu pada duktus epididimis.
2. Epididimis
Epididimis adalah saluran yang berkelok-kelok dengan panjang sekitar 4-6
meter yang terdiri dari caput, corpus, dan cauda. Di dalam epididimis, spermatozoa
akan matang sehingga menjadi mortil dan fertil. Setelah melalui epididimis yang
merupakan tempat penyimpanan sperma sementara, sperma akan menuju duktus
deferen.

3. Duktus Deferen dan Funiculus Spermaticus


Duktus deferen/vas deferen adalah suatu saluran lurus berdinding tebal yang
akan menuju uretra pars prostatika. Duktus deferen bersama pembuluh darah dan
saraf, dalam selubung jaringan ikat disebut funiculus spermaticus yang akan melalui
kanalis inguinalis.

4. Kelenjar Seks Tambahan


Kelenjar seks tambahan terdiri dari sepasang vesikula seminalis, prostat, dan
sepasang kelenjar bulbouretral. Vesikula seminalis terletak di bagian dorsal vesika
urinaria dan menghasilkan sekitar 60% dari volume cairan semen. Sekresi dari
vesikula seminalis mengandung fruktosa, prostaglandin, fibrinogen, dan vitamin C.
Fruktosa memiliki fungsi sebagai sumber energi primer untuk sperma, sedangkan
prostaglandin memiliki fungsi merangsang kontraksi otot polos sehingga
memudahkan transfer sperma Saluran dari masing-masing vesikula seminalis
bergabung dengan duktus deferens pada sisi yang sama untuk membentuk duktus
ejakulatorius. Dengan demikian, sperma dan cairan semen masuk uretra bersama
selama ejakulasi. Kelenjar prostat terletak di bawah dasar vesika urinaria. Kelenjar
prostat mengeluarkan cairan basa yang menetralkan sekresi vagina yang asam, enzim
pembekuan, dan fibrinolisin. Kelenjar bulbouretral terletak di dalam otot perineal dan
menghasilkan cairan mukoid untuk pelumas.
b. Organ Genitalia Eksterna
1. Penis
Penis terbagi menjadi radix, corpus, dan glans penis. Penis terdiri dari 3
massa silindris yaitu dua corpora cavernosa yang dipisahkan oleh septum dan
terletak di dorsal serta satu corpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan terletak
di ventral. Glans penis adalah ujung terminal dari corpus spongiosum yang membesar
dan menutupi ujung bebas kedua corpora cavernosa penis. Preputium adalah lipatan
kulit yang retraktil pada glans penis yang akan dipotong dalam sirkumsisi.

2. Uretra
Uretra terdiri dari 3 bagian yaitu uretra prostatika, uretra membranosa, dan
uretra spongiosa.

3. Skrotum
Skrotum adalah kantung kulit yang menggantung di luar rongga perut, antara
kaki dan dorsal penis. Terdiri dari 2 kantung yang masing-masing diisi oleh testis,
epididimis, dan bagian caudal funiculus spermaticus. Dalam kondisi normal, suhu
skrotum 3°C lebih rendah dari suhu tubuh agar dapat memproduksi sperma yang
sehat.

2. Klasifikasi hyperplasia prostat jinak2

World Health Organization (WHO) membuat pedoman untuk melakukan


pemantauan berkala derajat gangguan berkemih dan sekaligus menentukan terapi yang
disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Terapi non bedah dianjurkan bila
selama pengamatan WHO PSS tetap di bawah 15. Apabila dalam pemantauan didapatkan
WHO PSS lebih dari 25 atau bila timbul gejala obstruksi, maka dianjurkan untuk
melakukan terapi pembedahan.

Di dalam praktik, klasifikasi derajat hipeplasia prostat digunakan untuk


menentukan terapi. Hyperplasia prostat derajat I biasanya belum memerlukan tindakan
bedah dan dapat diberikan terapi konservatif misalnya dengan penghambat
adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, dan terazosin.

Hiperplasia prostat derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan.


Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (transurethral resection of prostat
= TURP). Namun, kadangkala, pada derajat ini dapat dicoba dengan terapi konservatif
dulu.

Pada hyperplasia prostat derajat III, tindakan TURP dapat dikerjakan oleh ahli
bedah yang cukup berpengalaman. Namun, apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan operasi
terbuka, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.

Pada hyperplasia prostat derajat IV, tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter
atau sistosomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian dilakukan terapi definitive dengan TURP atau pembedahan terbuka.

3. Diagnosis hyperplasia prostat jinak2

Diagnosis hyperplasia prostat benigna ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan colok dubur), dan pemeriksaan penunjang yang
meliputi pemeriksaan laboratorium, urodinamik, maupun ultrasonografi.

Evaluasi dengan menggunakan American Urological Assosiation Symptoms Score


Questionnaire (BPH Index) juga diperlukan.

a. Riwayat penyakit
Riwayat perjalanan penyakit biasanya merupakan dasar untuk mendiagnosis
penyakit hyperplasia prostat, seperti mulai dan lamanya gejala timbul, riwayat
seksual, kebugaran karena intervesi pembedahan, beratnya gejala atau bagaimana
mereka mempertahankan kualitas hidupnya, pengobatan, dan usaha pengobatan
sebelumnya. Gejala penyakit lain yang memberikan gambaran mirip hyperplasia
prostat juga penting untuk diketahui, untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala
traktus urinarius bagian bawah. Bila sudah terjadi pembesaran prostat tentu akan
menyebabkan gejala klinis yang nyata antara lain: peningkatan frekuensi berkemih.
Urinary urgency, hesitancy, incomplete bladder emptying, straining, decreased force
steam dan dribbling. Riwayat
b. Colok dubur (Digital Rectal Examination)
Prosedur pemeriksaan colok dubur biasanya dilakukan dokter dengan
memasukkan jari yang terbungkus sarung tangan dan dioles gel ke dalam rectum
untuk meraba permukaan kelenjar prostat melalui dinding rectum, menentukan
ukuran, bentuk, dan konsistensi kelenjar. Prostat normal akan teraba lunak, sedangkan
pada keganasan akan teraba keras, kadang seperti batu dan sering tak teratur. Bila
prostat teraba membesar dan terasa tak normal, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
yang lain.

c. American Urological Assosiation Symptoms Score Questionnaire (AUA Symptoms


Index)
Penderita harus jujur menjawab pertanyaan yang ada pada AUA Syptom
Index. Skor 0-7 menunjukkan gejala ringan, 8-19 menunjukkan gejala sedang, dan
20-35 menunjukkan gejala berat.

d. Pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA) dan Prostatic Acid Phosphatase (PAP)
Tes ini dilakukan dengan menentukan kadar PSA dalam darah, dan PAP pada
penderita BPH.
PSA adalah antigen spesifik yang dihasilkan oleh sel kapsul prostat
(membrane yang meliputi prostat) dan kelenjar periuretral. Peningkatan kadar PSA
menunjukkan pembesaran kelenjar prostat atau prostatitis, dan juga dapat menentukan
perkiraan ukuran dan besar prostat. Kadar PSA normal adalah kurang dari 4 ng/ml.
Kadar PSA 4-10 ng/ml menunjukkan pembesaran ringan, kadar 10-20 ng/ml
menunjukkan pembesaran sedang dan 20-35 ng/ml menunjukkan pembesaran berat.
Seseorang yang mempunyai kadar PSA ringan biasanya masih normal atau bukan
keganasan. Bila kadarnya sedang dan berat biasanya keganasan prostat.
Hasil pemeriksaan PSA dapat menghasilkan positif palsu bila kadar PSA naik
tapi tak ada gejala keganasan, sedangkan hasil negatif palsu terjadi bila kadar PSA
normal tetapi terdapat keganasan prostat. Pada keadaan tersebut di atas, maka harus
dilakukan biopsi. Dalam darah, terdapat 2 macam PSA, yaitu yang bebas dan yang
terikat dengan protein. Beberapa studi menunjukkan bahwa beberapa sel ganas
banyak menghasilkan PSA terikat protein, karenanya bila dalam darah PSA bebas
lebih sedikit berarti ada keganasan sedangkan bila kadar PSA bebas yang tinggi
menunjukkan BPH atau prostatitis. Berdasarkan called age-spesific PSA. PSA sampai
dengan 2,5 ng/nl pada laki-laki umur 40-49, 3,5 ng/ml pada laki-laki umur 50-59, 4,5
ng/ml untuk umur 60-69 dan 6,5 ng/ml untuk umur 70 tahun atau lebih masih
dianggap kelenjar prostat normal.

e. Pemeriksaan Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik digunakan untuk mengukur volume dan tekanan urin
di dalam kandung kemih dan untuk mengevaluasi aliran urin. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mendiagnosis gangguan sfingter intrinsic dan menentukan tipe
inkontinensia seperti overflow, urgency, atau inkontinensia total.

f. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan sederhana untuk mencatat aliran urin,
menentukan kecepatan dan kesempurnaan kandung kemih dalam mengosongkan urin
dan untuk mengevaluasi obstruksi. Penurunan kecepatan aliran menunjukkan adanya
hyperplasia prostat.

g. Ultrasonografi Rectal
Pemeriksaan USG rektal sering dilakukan untuk menentukan keganasan maupun
kelainan lainnya dari kelenjar prostat. Caranya dengan memasukkan langsung probe
USG ke dalam rectum dan melihat gambaran prostat di layar monitor.
Daftar Pustaka

1. Tortora. Principles Of anatomy and Physiology. USA; 2006.


2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.

Anda mungkin juga menyukai