Anda di halaman 1dari 4

GVC ANALYSIS PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) TENUN IKAT

DI NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)


(Refleksi perkuliahan Strategi Pembangunan dan Industrialiasi )

Disusun sebagai tugas pada Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
Strategi Pembangunan dan Industrialisasi (SPI)

Oleh

Nama : Ronald Philips Letor


NIM : 18/434217/06381

Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik


Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2018
GVC ANALYSIS PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) TENUN IKAT
DI NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)
(Refleksi perkuliahan Strategi Pembangunan dan Industrialiasi )

Kegagalan terbesar perumus kebijakan dalam proses kebijakan sesungguhnya adalah

keterbatasan pengetahuan akan masalah publik yang ingin diselesaikan. Salah satunya adalah
pengetahuan perumus kebijakan mengenai Global Value Chain (GVC) analisys dalam perumusan
kebijakan pembangunan dan industrialisasi. Saat mengikuti kuliah ini, saya memperoleh
informasi penting terkait strategi pengembangan industri dan pembangunan. Sebagai seorang
ASN tentunya pikiran saya langsung terhubung dengan berbagai kebijakan ekonomi yang telah
dijalankan oleh pemerintah daerah di NTT. Saya tergabung dalam kelompok yang membahas
industri manufaktur dan mengambil analisis GVC pada PT. Sritex yang meproduksi tekstil.
Melalui presentasi tersebut saya baru mengetahui bahwa benang yang digunakan dalam industri
tekstil di Indonesia, sebagian besar bahan bakunya berasal dari serat buatan baik itu organik
maupun anorganik. Sontak saya memikirkan mama-mama di kampung, yang melakukan aktivitas
menenun kain tradisional NTT. Bagaimana proses mata rantai pasarnya, sejauhmana ekspansi
pasarnya. Jika telah mengglobal, bagaimana bentuk GVC governance yang terpola dalam industri
tenun ini. Secara spesifik, benang apa yang mereka gunakan untuk menenun kain tersebut,
apakah masih ada kelompok penenun yang menggunakan benang alami.

Sebenarnya menenun adalah kegiatan turun-temurun kaum ibu di perdesaan NTT untuk
memenuhi kebutuhan akan pakaian dan keperluan adat, sebelum kemudian berkembang
menjadi industri kecil menengah. Saya sendiri sering bertanya sejak kapan alat tenun ini dikenal
dalam peradaban masyarakat NTT. Berdasarkan beberapa sumber, aktivitas menenun telah
dimulai di beberapa tempat di nusantara sejak 3000 tahun yang lalu atau pada zaman
neolitikum. Motif dan corak tenunan NTT sendiri memiliki ciri khas dan daya tarik yang sangat
berbeda jika dibandingkan dengan beberapa daerah di Indonesia yang juga memiliki tradisi
menenun. Bahkan motif dan corak tersebut ditenun oleh daerah lain seperti NTB dan bahkan
diprinting menjadi batik di beberapa daerah di Jawa. Hal tersebut sungguh semakin merugikan
penenun di NTT yang sampai hari ini masih menemukan kesulitan dalam hal pemasaran
tenunannya. Belakangan pemerintah daerah di NTT berusaha untuk mematenkan corak dan
motif tersebut, sebagai bentuk perlindungan akan warisan budaya yang dimiliki suku – suku di
NTT.

Dalam pasar lokal saja, tenunan NTT belum diserap dengan baik oleh konsumen. Sekalipun
Pemerintah daerah telah mewajibkan penggunaan tenunan sebagai salah satu bahan pakaian
pegawai di seluruh instansi pemerintah, BUMN/BUMD dan sekolah - sekolah di NTT. Secara
umum ada dua pola penyerapan hasil tenunan di pasar lokal yaitu pertama, konsumen bertemu
langsung dengan pengrajin atau kelompok tenunannya di desa, pengrajin/kelompok tenunan
memasarkan sendiri ke pasar – pasar tradisional. Kedua, menenun berdasarkan permintaan
beberapa butik atau galeri seni di ibukota provinsi/kabupaten maupun beberapa daerah
pariwisata, atau menggunakan pola jaringan koperasi tenunan yang dibentuk komunitas atau
star up. Kementerian Perindustrian dan Perdagangan bersama pemerintah daerah juga telah
berusaha membantu hambatan di pasar tenunan melalui penyelenggaraan Swarna Fest dan
pembinaan kelompok IKM yang dilakukan oleh Dekranas dan Dekranasda NTT. Hasil tenunan
tersebut masuk ke industri fesyen dan ditingkatkan menjadi produk penunjang seperti,
aksesoris, perhiasan, dan dekorasi rumah.

Selembar kain ditenun rata–rata tiga hingga sembilan bulan, tergantung tahapan pengerjaan dan
bahan yang digunakan. Cara pengerjaan yang sangat lama dan rumit tersebut, sebanding dengan
harga yang ditawarkan dikisaran 300 ribu hingga 500 ribu untuk tenunan yang menggunakan
benang dari serat buatan. Sementara untuk tenunan tertentu yang menggunakan benang dari
serat dan pewarna alami memiliki kisaran harga hingga jutaan rupiah. Kondisi tersebut membuat
tenunan memiliki pasar yang sangat terbatas di tingkat regional maupun global jika
dibandingkan dengan industri batik printing. Hasil IKM tenunan umumnya bisa masuk ke pasar
global melalui industri fasyen dan industri pariwisata. Belakangan banyak perancang mode
terkenal nasional yang mulai melirik tenunan NTT sebagai bahan busana mode yang
diperkenalkan hingga ke pentas dunia. Diantaranya butik JSL Levico yang berhasil membawa
tenun NTT ke ajang New York Fashion Week, Paris Fashion Week dan London Fashion Week.
Adapun koperasi kelompok tenun Indah Ndao Kreatif yang memanfaatkan digital social media,
untuk menembus pasar global, bahkan komunitas ini sering diundang ke eropa dan amerika
untuk memberikan materi teknik menenun.

Secara khusus sentra tenun ikat Lepo Lorun menggunakan GVC governance pola relational.
Sementara butik JSL Levico lebih cenderung diawal menggunakan pola Captive dan sedang
beralih ke pola relational. Sayangnya analisis GVC yang tidak memadai, membuat pemerintah
daerah di NTT melalui dinas terkait lebih memilih menjalankan program pembinaan dan
pelatihan bagi kelompok penenun dibanding melakukan intervensi dalam hal pemasaran ke
pasar regional maupun global.

Berdasarkan GVC analysis tersebut, minimal ada tiga strategi kolaboratif yang dapat dilakukan
oleh para mitra (pemerintah, pihak swasta, komunitas) di ruang solidaritas. Pertama, perlu
dikembangkan budidaya tanaman kapas di seluruh desa-desa yang merupakan sentra tenun ikat.
Melakukan upgrading pada tahap input dan proses tanpa mengurangi nilai tradisional yang khas
dalam proses menenun. Misalnya dengan memperbanyak pemberian bantuan mesin mekanis
sederhana untuk mempercepat pengolahan kapas menjadi benang. Dalam jangka panjang dapat
menghadirkan investor untuk mendirikan pabrik benang dari serat alami dan pewarna buatan.
Dengan demikian, minimal dapat menjawab persoalan produktivitas, standarisasi produk dari
sisi bahan baku yang digunakan, mengurangi waktu dan biaya produksi tanpa mengganti mesin
tenunan tradisionalnya. Kedua, pada hambatan pemasaran, para mitra yang terlibat dalam IKM
tenun hingga ke industri fasyen serta industri pariwisata dapat mengembangkan berbagai pola
kemitraan yang saling menguntungkan dan menguatkan. Misalnya pemerintah dapat
menguatkan pola GVC governance yang sedang digunakan oleh butik JSL Levico maupun oleh
komunitas sentra tenun ikat Lepo Lorun dengan memberikan kemudahan fasilitas tertentu di
pasar regional maupun global. Mengingat tenun itu sendiri telah memiliki potensi branding yang
sangat kuat, pemerintah dapat mendorong kehadiran star up pada IKM tenun untuk ikut bermain
di pasar nasional maupun global dengan insentif kemudahan akses pinjaman modal. Saat yang
bersamaan pemerintah daerah bersama mitra lainnya dapat mengembangkan konsep desa
wisata budaya berpadu dengan desa industri tenun ikat sebagai daya tarik unggulan daerah.
Ketiga, pada tingkatan ekstrim pemerintah provinsi dapat memberlakukan monopoli dagang
hasil tenunan dengan membatasi barang atau pakaian dari bahan tekstil atau batik masuk ke
wilayah NTT. Kebijakan tersebut dapat dipadukan dengan menggunakan konsep triple helix,
melibatkan perguruan tinggi dan sekolah kejuruan untuk membuka jurusan tenun ikat
tradisional. Serta memastikan pemerintah, komunitas dan lembaga koperasi maupun start up
mengunakan kajian dan menyerap tenaga kerja terampil yang dihasilkan demi perkembangan
IKM tenunan di masa depan.

Daftar Pustaka :
Subarsono A, ed. 2016. Kebijakan Publik dan Pemerintahan Kolaboratif Isu-isu Kontemporer. Yogyakarta :
Center For Policy & Management Studies Fisipol UGM.
Mas’udi W & Lay. C, 2018. Politik Kesejahteraan:Kontestasi Rezim Kesejahteraan di Indonesia. Yogyakarta :
Pustaka Obor Indonesia & Polgov UGM.
Sanabila.com “Sejarah Kain Tenun ”http://www.sanabila.com/2016/02/sejarah-kain-tenun.html
Kemenperin.go.id“Menperin Airlangga : Gunakan Bahan Baku Tenun Secara Swadaya”
http://www.kemenperin.go.id/artikel/15874/Menperin-Airlangga:-Gunakan-Bahan-Baku-Tenun
Kemenperin.go.id “Kemenperin Gelar Swarna Fest 2015 Road To Indonesia Ethical Fashion”
http://www.kemenperin.go.id/artikel/13499/Kemenperin-Gelar-Swarna-Fest-2015-
%E2%80%9CRoad-To-Indonesia-Ethical-Fashion%E2%80%9D
Kompas.com "AlfonsaHoreng,PelestariTenunIkatFlores", https://lifestyle.kompas.com/read/2013/05/04/13
500988/Alfonsa.Horeng..Pelestari.Tenun.Ikat.Flores.

Anda mungkin juga menyukai