Anda di halaman 1dari 11

29

Tinjauan Perspektif Teori Genetika terhadap


Grading-up Kuda Lokal Indonesia oleh Kuda
Thoroughbred

Abstrak
Salah satu upaya yang telah dilakukan PP PORDASI untuk
meningkatkan mutu genetik kuda pacu Indonesia adalah dengan
melakukan persilangan (grading-up) kuda lokal dengan kuda
Thoroughbred, salah satu kuda pacu yang paling cepat di bumi untuk
membentuk “Kuda Pacu Indonesia”. Grading-up yang telah dilakukan
selama ini sudah mencapai generasi ke-4 (G4). Secara genetis, ini
berarti bahwa kuda hasil persilangan (G4) mempunyai rata-rata gen
kuda Thoroughbred sebesar 93.75%, sesuai dengan rumus [1 - (1/2)t],
dimana t adalah jumlah generasi grading-up. Dengan proporsi gen
Thoroughbred sebesar itu, maka kuda lokal hasil grading-up hampir
menyerupai kuda Thoroughbred. Selama ini, kapan grading-up harus
dihentikan, selalu menjadi kontroversi. Akan tetapi, apabila kita
mengetahui hakikat dan tujuan dari grading-up tersebut, maka
kontroversi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Tujuan program
grading-up adalah memperoleh proporsi gen Thoroughbred setinggi
mungkin dengan tetap mempertahankan proporsi gen kuda lokal yang
biasanya mempunyai kemampuan adaptif terhadap lingkungan
Indonesia. Apabila grading-up terus dilanjutkan (G4 dan seterusnya),
maka semua gen lokal yang sebenarnya sangat adaptif terhadap
lingkungan Indonesia akan hilang. Sehingga hasil akhir yang dicapai
tidak lebih dari replika kuda Thoroughbred yang hidup 20 sampai 30


Disajikan pada Seminar Perkudaan di Hotel Santika, Jakarta 4 September 2003 dan
ditulis bersama Beben Benyamin

1
tahun yang lalu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa grading-up cukup
dilakukan sampai G4 dan peningkatan mutu genetik selanjutnya
dilakukan dengan melakukan program seleksi terhadap kuda-kuda
terbaik hasil grading-up tersebut. Pemilihan kuda-kuda terbaik yang
akan digunakan sebagai bibit pada program seleksi dapat dilakukan
dengan menggunakan informasi performans kuda-kuda yang akan
dijadikan bibit, informasi performans dari orangtuanya maupun
kerabat-kerabatnya, ataupun gabungan keduanya. Suatu metode
statistik modern, BLUP (Best Linear Unbiased Prediction) bahkan bisa
menggabungkan seluruh informasi yang ada, baik performans kuda,
maupun informasi-informasi seperti lingkungan dan musim untuk
memilih kuda-kuda terbaik yang akan digunakan sebagai bibit. Selain
itu, dengan perkembangan biologi molekuler yang menakjubkan
dalam dua dasawarsa terakhir, pemilihan kuda-kuda terbaik dapat
dilakukan dengan menganalisa DNA-nya saja melalui Marker Assisted
Selection (MAS).

Pendahuluan
Indonesia mempunyai beberapa bangsa kuda lokal yang
potensial untuk dikembangkan sebagai kuda pacu. Seperti yang
tercantum dalam Encyclopedia Americana, beberapa diantaranya
adalah kuda Batak, kuda Jawa, kuda Sandelwood, kuda Sumbawa
dan kuda Timor. Kuda lokal tersebut tersebar di berbagai daerah,
seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur dan daerah-daerah lainnya (Anonymous, 2000). Walaupun
secara umum performansnya masih di bawah bangsa-bangsa kuda
pacu asing, kuda lokal Indonesia mempunyai kemampuan adaptif
terhadap lingkungan Indonesia, seperti tahan terhadap cuaca panas
dan keterbatasan pakan.
Salah satu upaya yang telah dilakukan PP PORDASI untuk
membentuk “Kuda Pacu Indonesia” adalah dengan melakukan
grading-up kuda lokal dengan kuda Thoroughbred (Anonymous,
2000). Ini merupakan salah satu bentuk persilangan (crossing) yang
bertujuan untuk mengintroduksikan keunggulan-keunggulan suatu
bangsa ternak pada bangsa lainnya (Nicholas, 1996). Kuda
Thoroughbred digunakan dalam program grading-up ini dengan
pertimbangan bahwa bangsa kuda ini merupakan kuda yang terkenal
sebagai kuda pacu tercepat di dunia, sehingga hampir di semua arena
balapan kuda, kuda Thoroughbred selalu menjadi juara (Kidd, 1995).
Sesuai dengan SK Dirjen Peternakan No. 105/TN
220/Kpts/DJP/Deptan/95, maka grading-up untuk pembentukan
Kuda Pacu Indonesia dihentikan sampai pada generasi ke-4 (G4).
Secara teoritis, komposisi gen rata-rata yang terkandung pada G4
adalah 93.75% gen kuda Thoroughbred dan 6.25% gen kuda lokal.
Dengan komposisi gen seperti ini, berbagai peningkatan dalam
performans kuda pacu, seperti tinggi badan, lebar dada, panjang
badan dan kecepatan telah hampir menyamai performans kuda
Thoroughbred dengan tetap mempertahankan kemampuan adaptif
terhadap lingkungan alam Indonesia.
Akan tetapi ada kontroversi mengenai langkah selanjutnya
yang harus diambil untuk terus meningkatkan performans kuda pacu
lokal Indonesia. Satu pihak menginginkan grading-up dilanjutkan ke
generasi berikutnya, dengan alasan untuk mendapatkan kuda pacu
yang lebih bagus performansnya karena lebih mirip ke kuda
Thoroughbred. Sedangkan pihak PP PORDASI sesuai dengan SK
Dirjen Peternakan menghentikan program grading-up dengan alasan
tidak ada landasan teori yang mendukung kegiatan tersebut.
Makalah ini disusun untuk berusaha menjawab kontroversi
tersebut dan memberikan alternatif solusi tentang bagaimana
program peningkatan mutu genetik Kuda Pacu Indonesia. Makalah
ini disusun berdasarkan hasil pemikiran dan studi literatur terhadap
teori-teori genetika kuantitatif dan pemuliaan. Pada bagian akhir dari
makalah ini, peluang penggunaan teknologi biologi/genetika
molekuler yang berkembang sangat pesat dua dasawarsa terakhir ini
dalam usaha peningkatan mutu genetik kuda pacu Indonesia juga
dibahas. Selain itu, penggunaan penciri teknologi DNA untuk
pendeteksian penyakit, silsilah, keturunan, analisa kekerabatan dan
keragaman untuk tujuan konservasi juga dibahas secara singkat.

Program Grading-Up
Grading-up adalah salah satu bentuk persilangan yang
dilakukan beberapa kali terhadap salah satu tetuanya sampai pada
tahapan yang diinginkan. Sebenarnya ada dua tujuan berbeda dari
grading-up. Pertama, grading-up bertujuan untuk memasukkan gen baru
ke dalam suatu populasi atau bangsa. Tujuan yang kedua adalah untuk
menggantikan suatu bangsa dengan bangsa lain (substitusi) (Nicholas,
1996). Walaupun kedua tujuan tersebut berbeda, prinsip pelaksanaan
dan metodologi yang digunakan adalah sama.

3
Pada kasus pembentukan Kuda Pacu Indonesia, grading-up
yang dilakukan dapat dikategorikan ke dalam tujuan yang kedua,
yaitu untuk menggantikan kuda lokal dengan kuda Thoroughbred.
Kuda Thoroughbred merupakan kuda yang berasal dari Inggris yang
telah diseleksi selama 300 tahun untuk kuda pacu. Saat ini, prestasi
kuda Thoroughbred sebagai kuda pacu yang pacu tidak ada yang
menandingi. Kuda lokal Indonesia, di lain pihak, merupakan kuda
yang telah ratusan tahun beradaptasi dengan lingkungan alam
Indonesia. Walaupun performans pacunya masih jauh dibawah kuda
Thoroughbred, ketahanannya terhadap iklim tropis Indonesia dan
pakan yang terbatas, merupakan keunggulan yang tidak didapatkan
kuda Thoroughbred bila dipelihara di lingkungan tropis Indonesia.
Sehingga untuk mendapatkan keunggulan pacu kuda Thoroughbred
yang mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan tropis
Indonesia, grading-up kuda lokal Indonesia dengan kuda
Thoroughbred untuk mendapatkan Kuda Pacu Indonesia merupakan
langkah yang sangat tepat.
Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang grading-up,
Tabel 1 dibawah ini dapat dijadikan sebagai panduan.

Tabel 1. Grading-up kuda lokal (L) ke bangsa Thoroughbred (T)


Ge Penandaan Proporsi gen
Program (grade) kuda Thoroughbred pada kuda
ner
perkawinan hasil grading-up
asi
Min.1 Rataan. Max.1
0 LT
1 [LT]  T 1/2 T 1/2 1/2 1/2
2 [(LT)T]  T 3/4 T 1/2 3/4 1

3 [((LT)T)T]  T 7/8 T 1/2 7/8 1


4 [(((LT)T)T)T]  15/16 T 1/2 15/16 1
T
5 dst. 31/32 T 1/2 31/32 1

1 Dengan asumsi tidak ada pindah silang (crossing-over) (Dimodifikasi


dari Nicholas (1996))
Pada generasi 0 (G0), kuda betina lokal dikawinkan dengan
pejantan Thoroughbred. Anak yang dihasilkan dari perkawinan
tersebut disebut dengan generasi 1 (G1), yang mempunyai proporsi
gen ½ Thoroughbred dan ½ lokal. Ketika G1 betina dikawinkan
kembali dengan pejantan Thoroughbred, tentunya kuda yang berbeda
dengan bapaknya (untuk menghindari inbreeding/silang dalam),
anak yang dihasilkan disebut dengan G2, dengan rataan proporsi gen
¾ Thoroughbred dan ¼ lokal. Kemudian, ketika G2 betina
dikawinkan dengan pejantan Thoroughbred yang berbeda, anak yang
dihasilkan adalah G3, dengan rataan proporsi gen 7/8 Thoroughbred
dan 1/8 lokal. Dan begitu seterusnya.
Untuk menyatakan proporsi gen yang terdapat pada kuda
hasil grading-up, biasanya yang kita sebutkan adalah proporsi rata-
rata. Ini dikarenakan anak-anak kuda hasil grading-up tidak
mempunyai proporsi gen yang sama, yang berkisar antara ½ dan 1,
kecuali untuk G1 yang mempunyai proporsi gen migran persis ½.
Sebagai contoh, pada G4, yang mempunyai rataan proporsi gen
Thoroughbred sebesar 15/16 atau 93.75%, mungkin hanya
mempunyai proporsi gen Thoroughbred sebesar ½. Atau bahkan
kuda tersebut memiliki proporsi gen Thoroughbred yang mendekati
1.
Hal tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Pembentukan
gamet dalam half-bred dan pada semua persilangan berikutnya
menghasilkan tipe gamet/anak yang berbeda. Ini berkisar dari gamet
yang hanya mengandung gen lokal, sampai pada gamet yang
semuanya berisi gen migran. Jadi, seperti ditunjukkan pada Tabel 1,
proporsi gen migran pada G2 dan semua persilangan berikutnya dapat
berkisar dari ½ sampai 1 (Nicholas, 1996).
Untuk memaksimalkan program grading-up, maka pemulia
kuda harus melakukan seleksi untuk memilih kuda yang menunjukkan
penampilan seperti bangsa Thoroughbred selama program grading-up-
nya. Sehingga proporsi gen dari kuda hasil grading-up tersebut bisa
melebihi rataan proporsi gen Thoroughbred. Sebagai contoh, pada saat
program grading-up telah mencapai G3, secara teoritis rataan proporsi
gen thoroughbrednya telah mencapai 7/8. Akan tetapi, apabila seleksi
juga dilakukan selama program grading-up, maka proporsi gen
Thoroughbred-nya bisa jauh lebih besar daripada 7/8, dan mungkin
lebih tinggi dari 31/32 (Nicholas, 1996). Sehingga dari contoh di atas,

5
kita dapat menyimpulkan bahwa grading-up yang dilakukan setelah G4
tidak akan banyak bermakna.
Selain itu, grading-up yang dilakukan secara terus menerus akan
menghilangkan semua gen lokal, yang sebenarnya sangat penting
untuk kemampuan adaptif terhadap lingkungan lokal Indonesia,
karena grading-up yang dilakukan setelah G4 akan menghasilkan kuda
yang hampir sama persis dengan kuda Thoroughbred. Sehingga, tidak
akan ada bedanya dengan mengimpor kuda Thoroughbred saja.
Padahal performans kuda Thoroughbred yang nantinya kita hasilkan
tidak lebih dari performans kuda Thoroughbred yang kita impor 25
tahun yang lalu. Sungguh suatu pemborosan waktu dan biaya yang
tidak sedikit !

Program Seleksi/Pemuliaan Setelah Grading-Up


Terus, pertanyaannya kemudian adalah apa yang harus
dilakukan untuk terus meningkatkan mutu genetik kuda pacu
Indonesia, setelah program grading-up dihentikan? Jawabannya adalah
program seleksi atau pemuliaan G4. Dimana kuda-kuda G4 betina
terbaik dikawinkan dengan pejantan-pejantan G4 terbaik untuk
menghasilkan kuda-kuda pacu terbaik.
Program seleksi dilakukan terhadap sifat-sifat yang
diinginkan dari seekor kuda pacu, seperti tinggi gumba, kecepatan,
panjang dan berat badan. Dengan memilih kuda-kuda G4 terbaik
sebagai tetua, sesuai dengan kriteria sifat-sifat yang diinginkan, maka
keturunan yang dihasilkan dapat lebih baik dari tetuanya, dan begitu
seterusnya.
Pemilihan kuda terbaik untuk dijadikan tetua dapat
didasarkan pada performans kuda-kuda yang akan diseleksi ataupun
informasi penampilan dari kerabat ataupun orangtuanya. Informasi-
informasi tersebut dapat digunakan secara terpisah ataupun
merupakan gabungan dari semua informasi yang tersedia melalui
pembentukan indeks seleksi. Kuda-kuda yang mempunyai nilai
pemuliaan tertinggi berdasarkan indeks seleksi yang dihasilkan itulah
yang kemudian dijadikan sebagai tetua dalam program seleksi.
Sebuah metode statistik mutakhir, BLUP (Best Linear Unbiased
Prediction) sangat populer digunakan dalam program seleksi ternak di
beberapa negara maju. BLUP merupakan sebuah teknik untuk
menduga nilai pemulian seekor ternak yang mengkombinasikan
semua informasi yang tersedia, baik informasi genetik maupun non-
genetik, seperti musim dan kelompok ternak. BLUP juga dapat
meng-handle kerumitan pendugaan karena perkawinan tidak random,
pejantan yang berasal dari kelompok yang berbeda, dan lain
sebagainya (Nicholas, 1996).

Penggunaan Teknologi DNA (Penciri DNA/DNA Marker)


Perkembangan ilmu dan teknologi yang berbasiskan DNA
sebagai bahan kajian utamanya terus saja berlangsung dengan
kecepatan yang sangat menakjubkan. Perkembangan tersebut
membawa implikasi yang tidak sedikit, termasuk pada bidang
pemuliaan ternak kuda. Salah satu teknologi DNA yang pengaruhnya
sangat signifikan terhadap perkembangan teknik pemuliaan ternak
adalah penemuan berbagai segmen DNA yang dapat dijadikan
sebagai penanda genetik, yang kemudian disebut sebagai DNA
marker. Segmen DNA tersebut bisa terdapat di dalam gen atau diluar
gen yang letaknya terdistribusi diseluruh genom. Selain dapat
digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemuliaan ternak, DNA
marker juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti studi
populasi, pemetaan gen, deteksi penyakit, studi filogeni, dan banyak
lagi aplikasi-aplikasi lainnya.
Yang menjadikan DNA marker dapat digunakan sebagai
penanda genetik adalah terdapatnya variasi antar individu di dalam
segmen DNA tersebut. Variasi itu dapat berupa perbedaan urutan
basa, ataupun ukuran sekuens berulang, yang dapat dideteksi melalui
berbagai teknik dasar teknologi DNA, seperti pemotongan dengan
enzym restriksi, polymerase chain reaction (PCR), atau sekuensing.
Generasi awal dari DNA marker adalah RFLP (Restriction
Fragments Lengths Polymorphisms), dimana variasi panjang pendeknya
fragmen DNA ternak yang telah dipotong dengan enzym restriksi,
menjadikannya sebagai penanda genetik. Beberapa tahun kemudian,
mikrosatelit, yaitu segmen DNA yang mempunyai motif berulang
(tandem repeats) antara 2 sampai 5 pasang basa, dikukuhkan sebagai
DNA marker. Ini terjadi karena tiap individu (mungkin) mempunyai
jumlah sekuens berulang yang berbeda, dan perbedaan tersebut dapat
dideteksi dengan memanfaatkan teknologi PCR. Baik RFLP maupun
mikrosatelit telah berjasa banyak dalam pembentukan peta genetik
ternak. Hampir semua ternak domestik, seperti sapi, domba, babi dan
ayam, telah mempunyai peta genetik yang cukup lengkap dan detail,
yang sebagian besar berkat jasa RFLP dan mikrosatelit.
Beberapa tahun belakangan ini, sebuah generasi baru DNA
marker telah ditemukan, yakni Single Nucleotide Polymorphisms (SNP).

7
Perbedaan satu nukleotida pada SNP dapat dideteksi dengan cara
mensekuens-nya ataupun dengan menggunakan DNA chip technology
yang berdasarkan teknologi hibridisasi. Saat ini, SNP diharapkan
menjadi DNA marker andalan, karena beberapa keunggulannya
dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Salah satunya adalah
jumlahnya yang sangat banyak dan tersebar diseluruh genom. Selain
itu, pendeteksian SNP dapat dilakukan dalam skala besar. Sehingga
pembuatan peta genetik ternak yang sangat rapat dan detail sangat
dimungkinkan.

Marker Assited Selection (MAS)/Seleksi dengan Bantuan Marker


Selama berpuluh-puluh tahun, pemuliaan konvensional telah
berhasil meningkatkan performans kuda. Berbagai peningkatan,
mulai dari tinggi dan panjang badan, efesiensi pakan, resistensi
terhadap penyakit, sampai pada kecepatan kuda yang makin tinggi,
telah berhasil dilakukan. Seleksi kuda unggul yang dilakukan selama
ini, hanya berdasarkan pada penampilan luar atau fenotipenya saja.
Terlepas dari fakta bahwa sistem seleksi ini telah berhasil
meningkatkan performans kuda, beberapa asumsi dan teori yang
mendasarinya sudah tidak realistis lagi. Salah satunya adalah model
infinitesimal yang mengatakan bahwa sifat-sifat kuantitatif (berat
badan, panjang badan, tinggi badan, resisten terhadap penyakit,
kecepatan, dll) dipengaruhi oleh jumlah gen/lokus yang tidak
terbatas. Teori ini terbukti tidak sepenuhnya benar dalam
menjelaskan arsitektur genetik sifat-sifat kuantitatif. Perkembangan
teknologi biologi molekuler pada dua dasawarsa belakangan ini, telah
membuktikan bahwa jumlah gen/loci tersebut jumlahnya banyak,
tapi terbatas. Ilmuan, kemudian menyebutnya sebagai Quantitative
Trait Loci (QTL), yaitu lokus-lokus/segmen DNA yang
mempengaruhi sifat-sifat quantitatif.
Sekarang ini, dengan bantuan berbagai DNA marker, seperti
yang telah disebutkan di atas, QTL untuk berbagai sifat kuantitatif
yang menguntungkan sedang diidentifikasi dan dipetakan oleh
berbagai laboratorium genetika di berbagai belahan dunia. QTL
diidentifikasi dengan memanfaatkan fenomena bahwa jika suatu QTL
terpaut pada suatu DNA marker, maka akan terdapat perbedaan
pada nilai fenotipe antar kelas genotype marker tersebut. Sehingga,
keberadaan QTL yang menguntungkan pada suatu individu dapat
dideteksi dengan bantuan DNA marker tadi. Ketika QTL tersebut
sudah teridentifikasi (jumlah, lokasi, aksi gen dan efeknya), maka
informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas
pemuliaan konvensional. Sistem pemuliaan yang menggabungkan
informasi QTL dalam pemuliaan konvensional tersebut disebut
dengan Marker Assisted Selection (MAS).
Hasil berbagai penelitian dan simulasi, menunjukkan bahwa
MAS menghasilkan respon seleksi per tahun yang lebih tinggi
daripada pemuliaan konvensional. Hal ini disebabkan karena MAS
tidak hanya menggunakan informasi fenotipe tapi juga informasi
genotipe (QTL/gen utama).
Bagaimana MAS meningkatkan efesiensi pemuliaan ternak
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, karena DNA marker
menyediakan informasi tambahan mengenai genotipe seekor ternak,
maka ia dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi seleksi.
Dengan meningkatnya akurasi seleksi, maka respon seleksipun
menjadi meningkat. Kedua, DNA marker dapat digunakan untuk
menurunkan interval generasi dengan cara menseleksi ternak pada
umur yang lebih muda. Penurunan interval generasi tersebut
menyebabkan respons seleksi per tahun menjadi semakin meningkat.
Ketiga, DNA marker dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas
seleksi, karena DNA marker dapat digunakan untuk menseleksi lebih
banyak ternak daripada menggunakan informasi fenotipe saja.
Karena intensitas seleksi berbanding lurus dengan respon seleksi,
maka peningkatan intensitas seleksi akan diikuti dengan peningkatan
respons seleksi. Maka secara umum, dengan memanfaatkan informasi
DNA marker, maka MAS menghasilkan respon seleksi yang lebih
cepat dibandingkan dengan pemuliaan konvensional yang hanya
mengandalkan informasi fenotipe saja. Sebagai gambaran, sebuah
hasil simulasi komputer menunjukkan bahwa peningkatan respon
seleksi sampai 30%, dapat dihasilkan dari pelaksanaan MAS pada
pemuliaan ternak.

Aplikasi Lain dari DNA Marker


Selain dapat digunakan untuk meningkatkan efesiensi
pemulian/seleksi seperti yang telah disebutkan di atas, DNA marker
juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti identifikasi
kuda, identifikasi pedigree, analisa keragaman genetik dan
kekerabatan kuda lokal untuk keperluan konservasi, dan lain-lain.
Informasi pedigree pada kuda pacu merupakan informasi
yang sangat penting. Kuda yang mempunyai orang tua yang terkenal
akan sangat mahal sekali harganya. Akan tetapi, kadangkala, terjadi

9
manipulasi atau kesalahan dalam penentuan pedigree seekor kuda,
untuk itu, suatu metode yang dapat mendeteksi kebenaran pedigree
seekor kuda sangat dibutuhkan. Selama ini metode yang digunakan
adalah test golongan darah. Walaupun telah berjasa untuk
mengidentifikasi pedigree selama 30 tahun terakhir, metode ini
mempunyai banyak kelemahan, seperti ketergantungan test terhadap
darah segar dan terbatasnya variasi dalam golongan darah (Bowling,
2001).
Untungnya, kelemahan metode golongan darah dapat diatasi
oleh perkembangan penciri DNA seperti yang telah dibahas di atas.
Saat ini, penanda mikrosetelit merupakan salah penciri DNA yang
telah digunakan untuk identifikasi pedigree. Dengan menggunakan
satu set mikrosatelit marker khusus untuk kuda, laboratorium
genetika di seluruh dunia sudah mampu membuktikan hasil yang
konsisten. Dan hasil ini jauh lebih akurat dari hanya sekedar test
golongan darah (Bowling, 2001).

Kesimpulan dan Rekomendasi


Beberapa point penting yang dapat disimpulkan dari
pembahasan di atas adalah:
1. Langkah yang telah di ambil PB PORDASI untuk menciptakan
Kuda Pacu Indonesia dengan melakukan grading-up kuda
lokal Indonesia dengan kuda Throughbred merupakan
keputusan yang sangat tepat dan patut dihargai.
2. Grading-up lanjutan setelah mencapai G4 tidak mempunyai
nilai tambah, bahkan merugikan ditinjau dari segi teori
genetika maupun waktu dan biaya yang dikeluarkan.
3. Langkah peningkatan mutu genetik kuda pacu Indonesia
setelah tercapainya G4 adalah melakukan program
seleksi/pemuliaan dengan cara memilih kuda-kuda jantan
dan betina terbaik sesuai dengan kriteria kuda pacu untuk
digunakan sebagai tetua/induk pada program perkawinan.
4. Perkembangan teknologi DNA dewasa ini (penciri
DNA/DNA marker) memberikan harapan untuk peningkatan
efisiensi seleksi melalui Marker Assisted Selection (MAS).
5. DNA marker juga dapat digunakan untuk keperluan-
keperluan genetika kuda lainnya, seperti identifikasi individu,
identifikasi pedigree, dan analisa kekerabatan dan keragaman
kuda lokal untuk keperluan konservasi.
Daftar Pustaka
Anonymous. 2000. Kumpulan dokumen PORDASI (Komisi Peternakan
dan Kesehatan Veteriner PP. PORDASI 1966 – 2000). Jakarta.

Bowling, A. T. 2001. Historical development and application of


moleculer genetic tests for horse identification and parentage
control. Liv. Prod. Sci. 72: 111-116.

Kidd, J. 1995. Horses and ponies of the world. Ward Lock, Wellington
House. London.

Nicholas, F. W. 1996. Introductory to veterinary genetics. Oxford


University Press.

11

Anda mungkin juga menyukai