Tren Dan Issue Keperawatan
Tren Dan Issue Keperawatan
PENGERTIAN
A. Definisi Trend
Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan analisa, tren juga
dapat di definisikan salah satu gambaran ataupun informasi yang terjadi pada saat ini yang
biasanya sedang popular di kalangan masyarakat.
Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya
berdasarkan fakta
B. Definisi Issu.
Issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak
terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum,
pembangunan nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, ataupun tentang krisis.
Issu adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas
faktannya atau buktinya
1. Penyebab Aborsi
Penyebab abortus spontan bervariasi meliputi infeksi, faktor hormonal, kelainan bentuk
rahim,faktor imunologi (kekebalan tubuh), dan penyakit dari ibu. Penyebab abortus pada
umumnya terbagi atas faktor janin dan faktor ibu :
a. Faktor Janin
Pada umumnya abortus spontan yang terjadi karena faktor janin disebabkan karena
terdapatnyakelainan pada perkembangan janin [seperti kelainan kromosom (genetik)],
gangguan pada ari-ari maupun kecelakaan pada janin. Frekuensi terjadinya kelainan
kromosom (genetik) pada triwulanpertama berkisar sebesar 60%.
b. Faktor Ibu
Beberapa hal yang berkaitan dengan faktor ibu yang dapat menyebabkan abortus spontan
adalahfaktor genetik orangtua yang berperan sebagai carrier (pembawa) di dalam kelainan
genetik;infeksi pada kehamilan seperti herpes simpleks virus, cytomegalovirus, sifilis,
gonorrhea;kelainan hormonal seperti hipertiroid, kencing manis yang tidak terkontrol;
kelainan jantung;kelainan bawaan dari rahim, seperti rahimbikornu(rahim yang bertanduk),
rahim yang bersepta(memiliki selaput pembatas di dalamnya) maupun parut rahim akibat
riwayat kuret atau operasirahim sebelumnya.Miomapada rahim juga berkaitan dengan angka
kejadian aborsi spontan. Selain itu, ada beberapa diantara orang tua yang tidak menginginkan
kehadiran janin tersebut dengan alasan yang bervariasi.
EUTHANASIA
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai
kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian
tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern,
kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia
memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan,
ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena
faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah
menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan
vegetatif (koma).
Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan
persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan
untuk melanjutkan perawatan ditolak.
Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini
terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya
sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut.
Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal
di Britania Raya dan Indonesia.
Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan
medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator
b.Definisi :
b.1. Telenursing (pelayanan Asuhan keperawatan jarak jauh) adalah penggunaan tehnologi
komunikasi dalam keperawatan untuk memenuhi asuhan keperawatan kepada klien. Yang
menggunakan saluran elektromagnetik (gelombang magnetik, radio dan optik) dalam
menstransmisikan signal komunikasi suara, data dan video. Atau dapat pula di definisikan
sebagai komunikasi jarak jauh, menggunakan transmisi elektrik dan optik, antar manusia dan
atau komputer 4)
b.2 Telenursing (pelayanan asuhan keperawatan jarak jauh) adalah upaya penggunaan
tehnologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan
kesehatan dimana ada jarak secara fisik yang jauh antara perawat dan pasien, atau antara
beberapa perawat. Sebagai bagian dari telehealth, dan beberapa bagian terkait dengan aplikasi
bidang medis dan non-medis, seperti telediagnosis, telekonsultasi dan telemonitoring. 5)
b.3. Telenursing is defined as the practice of nursing over distance using
telecommunications technology (National Council of State Boards of Nursing). 6)
b.4. Telenursing diartikan sebagai pemakaian telekomunikasi untuk memberikan informasi
dan pelayanan keperawatan jarak-jauh. Aplikasinya saat ini, menggunakan teknologi satelit
untuk menyiarkan konsultasi antara fasilitas-fasilitas kesehatan di dua negara dan memakai
peralatan video conference (bagian integral dari telemedicine atau telehealth)7)
ISSUE DAN TREN KEPERAWATAN MATERNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASA
POST PARTUM / NIFAS
Pengertian
•Nifas / puerperium: periode waktu / masa dimana organ-organ reproduksi kembali ke
keadaan sebelum hamil.
• Dimulai setelah kelahiran placenta, berakhir saat alat kandungan kembali ke keadaan
sebelum hamil. Sekitar 6 minggu
• Involusi: proses perubahan organ repro.
• Masa nifas normal: involusi uterus, pengeluaran lokia, pengeluaran ASI dan perubahan
sistem tubuh termasuk keadaan psikologis normal.
Periode nifas, dibagi 3:
1. Immediate puerperium (Segera setelah persalinan sampai 24 jam setelah persalinan.)
2. Early puerperium (1 hari – 7 hari setelah melahirkan.)
3. Later puerperium (Waktu 1 minggu – 6 minggu setelah melahirkan.)
Perubahan / adaptasi masa nifas :
• Uterus
• Lochea
• Serviks
• Vulva dan vagina
• Perineum
• Kembalinya ovulasi dan menstruasi
• Dinding perut dan peritonium
• Laktasi
• Sistem gastrointestinal
• Traktus urinarius
• Sistem kardiovaskuler
• Tanda vital
• Darah
• Berat badan
• Menggigil
• Post partum
• Diaphoresis
• Afterpains
Berat badan
• Segera setelah melahirkan BB turun 5-6 kg karena pengeluaran bayi, plasenta, air ketuban.
• Masa nifas dini BB menurun ± 2,5 kg, karena puerpera diuresis.
• 6-8 mg PP BB akan normal
Afterpains (mules setelah persalinan)
• terjadi selama 2-3 hari PP
• karena kontraksi uterus, nyeri bertambah pada saat menyusui.
• Nyeri timbul bila masih terdapat sisa-sisa selaput ketuban, sisa plasenta atau gumpalan
darah dalam kavum uteri.
Perubahan Psikologis
• Karena adanya perubahan hormonal, terkurasnya cadangan fisik untuk hamil dan
melahirkan, keadaan kurang tidur, lingkungan yang asing, kecemasan akan bayi, suami atau
anak yang lain.
• Setelah bayi lahir → masa transisi bayi + orangtua untuk membin hubungan.
Masa transisi yang harus diperhatikan pada masa PP :
• Phase honeymoon
Phase setelah anak lahir, terjadi intimasi dan kontak yang lama antara ibu – ayah – anak →
“psikis honeymoon” masing-masing saling memperhatikan anaknya dan menciptakan
hubungan yang baru.
• Bonding and Attachment (ikatan kasih)
Terjadi pada kala IV, diadakan kontak antara ibu – ayah – anak dan tetap dalam ikatan kasih.
Partisipasi suami dalam proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk proses ikatan
kasih.
• Phase pada masa nifas
Rubin (1963), mengidentifikasi 3 tahap perilaku ♀ ketika beradaptasi dengan perannya:
o Phase “Taking In”
o Phase “Taking Hold”
o Phase “Letting Go”
gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Secara umum menjelaskan kondisi anak-
Hubungan efektif dan proaktif antara orang tua dan sekolah adalah vital bagi
keberhasilan menyeluruh dalam menghadapi siswa ADHD. Umumnya, orang tua mencoba
untuk bertindak demi kepentingan anak sepanjang waktu. Tindakan mereka biasanya
berdasarkan informasi yang dapat mereka peroleh pada waktu itu. Jika ternyata ada
kontradiksi antara apa yang disebut nasihat professional dan atas apa yang orang tua lakukan,
biasanya ada alasan kuat untuk ini. Orang tua harus menemukan cara mereka sendiri dalam
yang satu dan yang lainnya. Misalnya, si Bapak menyalahkan si ibu karena tidak mengawasi
si anak. Si ibu menjelaskan, bahwa segala yang di usahakannya tidak berhasil. Sementara si
bapak, meskipun ada potensiuntuk membantu situasi tersebut, namun dapat member reaksi
dengan cara tidak membantu, seperti menghindari pulang ke rumah sampai si anak tidur atau
Beberapa cara membantu orang tua adalah mencoba menempatkan mereka ke dalam cara
pandang depan yang meskipun menjengkelkan, namun tidak mengancam jiwa, serta
mendorong mereka agar proaktif dan tidak reaktif. Nasihat tau saran yang paling penting
adalah agar mereka memiliki kesabaran luar biasa. Kontak telepon, saling berkirim sms, atau
mengirim faks, rapat orang tua dengan guru secara periodic, dan penyediaan buku
kesalapahaman antara orang tua dan sekolah. Komunikasi yang baik akan menjamin setiap
manipulasi dari situasi anak khusus dapat di hindari dengan kontak yang erat dan proaktif.
1) Anak ADHD dapat merasakan banyak tekanan atas hubungan keluarga, khususnya anak
2) Dalam situasi yang selalu sulit, kemungkinan ADHD dan ODD, juga orangtua yang tidak di
Ada banyakprogaram yang bagus di rancang untuk membantu orang tua mengenali
masalah antara yang satu dan yang lainnya. Dalam hal ini, hubungan mereka dengan si anak
melalui permainan peran dan sampai batas tertentu dengan terapi kelompok. Keberhasilan
program-program ini sebagian besar bergantung pada mutu konsultan dan keterbukaan semua
dan tidak rumit. Mereka perlu mengarahkan pada satu atau dua masalah khusus dan
mengembangkan strategi untuk membantu orang tua menolong diri mereka sendiri di
kemudian hari.
4) Mengurangi ketegangan
6) Keterampilan berkomunikasi.
8) Psikoterapi individual.
Di Indonesia menurut data yang ada terdapat kecenderungan autisme ini meningkat,
merujuk pada prevalensi di dunia, saat ini terdapat 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15%-
0,20%. Jika kelahiran di Indonesia enam juta per tahun maka jumlah penyandang autis di
Indonesia bertambah 0,15% atau sekitar 6900 anak pertahun dengan perbandingan anak laki-
Autisme tidak dapat disembuhkan (not curable) namun dapat di terapi (treatable).
Maksudnya adalah kelainan yang ada di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-
gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal mungkin. Sehingga anak tersebut bisa berbaur
dengan anak lain secara normal. Secara umum anak-anak dengan gangguan perkembangan
ini minimal memerlukan terapi intesif awal selama 2 tahun. Dengan merujuk pada data maka
akan ada 1000 anak setiap tahun yang tidak dapat mengikuti terapi tersebut.
Tujuh puluh lima persen anak autis yang tidak tertangani akhirnya menjadi tuna grahita.3
Salah satu metode yang sering digunakan karena terbukti efektif adalah terapi metoda Lovaas,
yaitu terapi yang dikembangkan dari terapi applied behaviour application (ABA). Di dalam
terapi Lovaas salah satu pelatihannya adalah pelatihan komunikasi melalui gambar-gambar,
tujuannya selain untuk melatih daya ingat juga untuk mengenal benda-benda sekitar. Ini
dikarenakan anak autis secara umum memiliki kemampuan yang menonjol di bidang visual.
Mereka lebih mudah untuk mengingat dan belajar, bila diperlihatkan gambar atau tulisan dari
benda-benda, kejadian, tingkah laku maupun konsep-konsep abstrak. Dengan melihat gambar
atau tulisan, anak autis akan membentuk gambaran mental atau mental image yang jelas dan
Bila materi tersebut hanya diucapkan saja mereka akan mudah melupakannya karena
daya ingat mereka amat terbatas. Karena itu dalam melakukan terapi digunakan sebanyak
mungkin kartu-kartu bergambar dan alat bantu visual lain untuk membantu mereka
mengingat, hal ini juga berlaku untuk anak autis yang hanya mengalami gangguan di bidang
verbal.
Untuk melatih penderita agar bisa berkomunikasi, kita harus menyesuaikan diri dengan
gaya komunikasi mereka. Orang tua dan pendidik bisa menggunakan ekspresi wajah, gerak
isyarat, mengubah nada suara, menunjuk gambar, menunjuk tulisan, menggunakan papan
secara tersendiri, tetapi juga dapat digabungkan sehingga membentuk pesan yang lebih kuat.
Masalah yang timbul adalah di Indonesia belum ada alat yang secara terintegrasi dengan
unsur-unsur tersebut diatas. Yang ada adalah alat-alat yang harus didatangkan dari luar negeri
atau dibuat sendiri, ini jelas tidak praktis. Melihat dengan meningkatnya jumlah penderita
autis, maka dibutuhkan sebuah alat yang mampu mengintegrasikan unsur-unsur visual dan
audio yang dapat berinteraksi untuk menunjang pelatihan komunikasi pada anak autis.
unsur visual dan audio secara interaktif untuk mendidik anak autis, karena CD-ROM yang
merupakan bagian dari teknologi itu mampu menampung data yang setara dengan 11.000
tumpukan kertas ukuran A4, bahkan lebih dengan menggunakan teknik kompresi data. 4
Arh,“Meningkatkan komunikasi pada anak autis”, artikel pada harian Kompas (21-04- 2002)
21/3.
Selain itu dengan aplikasi multimedia interaktif ini dimungkinkan pemilihan materi yang
hendak dipelajari secara bebas, misalnya pada hari ini pengenalan warna yang akan dipelajari,
esok hari mungkin pengenalan huruf, atau kombinasi keduanya dalam satu hari, tergantung
dari minat anak tersebut, dan ini semua dikemas dalam sebuah CD-ROM. Dengan
menggunakan printer, kartu bergambar obyek dapat dicetak sehingga dapat digunakan tiap
waktu, anak autis dalam metoda tatalaksana membutuhkan suasana belajar yang kontinyu,
Tetapi dengan dengan begitu banyak fitur aplikasi multimedia interaktif ini tidak
ditujukan untuk menjadi one stop solution, karena dalam pelatihan anak autis tetap
diperlukan media lain, aplikasi multimedia interaktif ini membatasi diri hanya untuk menjadi
pelengkap.
Dalam aplikasi multimedia interaktif ini terdapat isi atau content yang akan
Dalam aplikasi multimedia interaktif wahana yang menjembatani agar isi atau content ini
dapat tersampaikan adalah graphical user interface atau antar muka grafis.
Graphical user interface (GUI) adalah sarana untuk berinteraksi dengan isi atau content
yang hendak disampaikan, bila desain GUI tidak dapat dimengerti sudah dapat dipastikan
aplikasi tersebut menjadi mubazir karena isi atau content tidak dapat dimengerti oleh
komunikan.
Pada anak autis, dengan mengikuti aturan yang telah menjadi standar di dunia maka GUI
akan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak mengabaikan unsur komunikasinya sehingga
suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian
dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu
mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung
gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang
sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada
definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam
khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses
berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah
serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap
American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan negosiasi
yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat, mendefinisikan
istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat
merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam
batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan
menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau
ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi
profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam
interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka
menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan
direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Bekerja bersama
dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk
menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi di balik issue
kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud jika individu yang
terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah lebih
mengingat bahwa kerjasama antara dokter-perawat merupakan salah satu faktor sangat
penting untuk mencapai keberhasilan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien.
a) Trend dan Issue yang Terjadi
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama
dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam
dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologis keilmuan dan individual, factor
sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya
kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika
Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan
dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada hasil
yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan korelasi positif
antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan
institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian
yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari
tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim
dan kondisi sosial masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat
dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara
Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter.
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis
yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang
meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan
beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak
kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang
Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat
menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa
profesi.
b) Pembahasan
1) Pemahaman kolaborasi
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya
dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru
menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang
arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang
sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa
pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk
sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola
berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga
diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat
medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis
sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu
seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak
formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi
memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana
pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan
kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien,
sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang
dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien.
Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah
sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan
pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan
menginternalisasi peran.
direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien.
Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik
bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek
pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan
berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi
mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik
jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan
terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial,
ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki
komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim.
Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari
praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien
penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat
dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu
dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin
bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab,
mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam
membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas
pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan
permasalahan.
kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan
pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam team dari
jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia
mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-
orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota.
Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa
pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan
profesional.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan dengan
profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter
menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk
keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai
tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat
juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam
lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator demi
terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang
mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan
pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan
pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar
informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan
sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan
proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu
ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara
komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien
keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau