Anda di halaman 1dari 5

Diagnosis gerd

Diagnosis gerd banyak dijumpai di tempat praktek dokter pelayanan primer dan
memberikan prevalensi tinggi pada populasi umum. Pada individu yang memiliki
gejala-gelaja , kualitas hidup tidak mengalami gangguan sampai akhirnya pasien
mencari pengobatan. Pasien dengan GERD lainnya melaporkan gejala yang secara
substansial mempengaruhi kebiasaan makan, olah raga atau tidur. Selain itu pasien
yang lainnya bisa menunjukan gejala refluks ekstraesofageal atau atipikal. Tujuan
dari chapter ini untuk mereview ketersediaan uji diagnostic untuk pasien yang
dicurigai mengalami GERD. Penggunaan dari berbagaimacam uji yang tepat sangat
tergantung pada manifestasi klinis. Seperti yang akan dijelaskan kemudian, pada
kebanyakan kasus dengan GERD, uji diagnostic yang melebihi perjalanan penyakit
dan uji empiris sangat tidak diperlukan. Akhirnya teknik yang baru dan baru muncul
dalam mendeteksi GERD akan segera didiskusikan

Manifestasi klinis

Teknologi modern telah memberikan banyak gambaran berbeda untuk


menginvestigasi kasus yang dicurigai GERD. Pada kebanyakan kasus,
bagaimanapun anamnesis yang baik dan terarah merupakan alat diagnostic yang
terbaik dan yang paling murah. Gejala yang paling khas yag berhubungan dengan
GERD adalah rasa terbakar di dada dan regurgitasi asam lambung. Rasa terbakar di
dada (heartburn) didefinisikan sebagai perasaan terbakar di retrosternal yang
menyebar sampai ke tenggorokan. Sedangkan regurgitasi asam lambung adalah
aliran balik dari isi lambung secara tiba-tiba sehingga menimbulkan rasa asam atau
pahit di mulut dan dapat menimbulkan rasa mual. Ketika gejala-gejala tersebut
menjadi gejala yang dominan,gejala tersebut memiliki spesifitas yang tinggi namun
memiliki sensitivitas yang rendah.

Kesalahan interpretasi dari penggunaan kata heartburn oleh pasien kerap kari
membuat diagnosis GERD menjadi tertunda. Pertanyaan terstruktur dengan
menggunakan bahasa deskriptif untuk mendiagnosis GERD telah ditemukan untuk
meningkatkan efektifitas dan sensitifitas untuk menilai gejala. Namun, questioner
ini belum mengalami validasi dalam penggunaannya di pelayanan kesehatan
primer.

Gejala lain yang biasanya berhubungan dengan GERD adalah water brash,
odinofagi, disfagi, dan sensasi pada globus. Gejala-gejala tersebut tidak mempunyai
tingkat spesifitas yang sama seperti heartburn dan regurgitasi. Water brash adalah
timbulnya sedikit air yang terasa asin atau pahit di mulut secara tiba-tiba. Hal ini
diperkirakan sebagai hipersekresi kelenjar saliva sekunder di dalam mulut sebagai
respon terhadap paparan asam intraesofageal. Odinofagi selalu menjadi tanda
adanya esofagitis ulseratif tetapi tidak spesifik untuk GERD, dan merupakan gejala
dominan untuk esofagitis yang dipicu oleh infeksi atau penggunaan obat-obatan.
Disfagia dapat terjadi akibat pembentukan striktur peptic atau neoplasia yang
merupakan komplikasi jangka panjang dari GERD tetapi dapat menjadi gejala GERD
dalam ketidakadaan proses striktur yang nyata. Globus sensation adalah perasaan
yang menetap adanya benjolan di tenggorokan. Sangat penting untuk dicatat jika
benjolan tersebut dapat muncul tanpa gejala disfagia. Manifestasi yang tidak khas
pada GERD meliputi astma, batuk, suara serak dan nyeri di dada nonkardial.
Walaupun seluruh kesatuan tersebut telah diuraikan secara menyeluruh pada bab
tersendiri, sangatlah penting untuk diketahui bahwa variasi keperluan yang berbeda
terhadap penilaian diagnosis pada pasien dengan curiga GERD adalah berdasarkan
manifestasi klinis. (gambar 1)

Peran dokter pelayanan primer terhadap pasien suspect GERD tidak hanya
menegakkan diagnosis tetapi juga menyingkirkan kemungkinan adanya berbagai
komplikasi. Komplikasi GERD diantaranya esofagitis erosive, striktur esofagitis,
Barrett’s esophagus, dan adenokarsinoma esofagus. Gejala peringatan klasik yang
memicu investigasi lebih lanjut adalah penurunan berat badan, disfagia, odinofagia,
melena dan hematemesis. Gejala yang terus-menerus dan bersifat kronis
meningkatkan kemungkinan berkembangnya adenokarsinoma esofagus, sehingga
diagnosis dengan menggunakan endoskopi pada pasien dengan Barrett esofagus
yang berkepanjangan perlu dipertimbangkan. Permasalahan seputar kepentingan
dalam penggunakan test diagnosis pada Barrett esophagus akan dijelaskan pada
bab lain. Jika dalam diagnosis dapat dibuktikan bahwa tidak ada gejala-gejala yang
perlu diwaspadai maka dapat dilakukan terapi empiris (lihat gambar 1). Kegagalan
respon dengan obat yang mensupressi asam lambung dengan golongan proton
pump inhibitor diindikasikan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya.

Uji diagnostic

Beberapa contoh alat tersedia untuk menilai pasien yang dicurigai GERD,
diantaranya barium esophagraphy , upper endoscopy, tes Bernstein, pemantauan
pH selama 24 jam, dan tes supressi asam lambung. Setiap tindakan mempunyai
keuntungan dan kekurangan masing-masing yag akan dijelaskan pada bab ini dan
diringkas pada table 1.

uji Radiologis

Uji radiologis meliputi barium esofagram dan pemeriksaan gastrointestinal superior


secara serial merupakan pemeriksaan yang secara umum dapat dilakukan dan
minimal invasive. Barium esofagram memberiksan keuntungan untuk mendeteksi
refluks gastroesofageal dan komplikasiya. Refluk radiografik adalah perpindahan
barium dari lambung menuju esofagus. Keterbatasan utama dari uji barium adalah
perbedaan antara refluks fisiologis dan refluks patologis. Uji barium telah
mendeteksi adanya refluks pada lebih dari 20% subjek sebagai kontrol, sedangkan
refluks yang terjadi spontan dan dan tidak diprovokasi hanya dialami oleh 26%
pasien yang ditunjukan dengan pemeriksaan pH untuk menentukan derajat
patologis dari refluks asam lambung. Sensitivitas dari uji ini meningkat dengan
penggunakan maneuver provokatif seberti manuver valsava, batuk dan penekanan
abdomen. “water siphon test” merupakan manuver provokasi lainnya yang
mengharuskan pasien meminum 60 ml air saat berbaring dengan posisi supine
kemudian berubah posisi menjadi posisi lateral kanan. Manuver ini meningkatkan
sensitivitas dari uji barium sebanyak 70 % dengan spesifitas 74% dan positive
predictive value sebesar 80%. Secara keseluruhan, walaupun dengan menggunakan
provokasi manuver, uji barium tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis GERD
tanpa komplikasi karena memberikan tingkat sensivitas dan spesifitas yang rendah.

Dalam hubungannya dengan komplikasi yang berkaitan dengan GERD, barium


esofagus telah digunakan untuk mendeteksi refluk esofagitis dan striktur. Struktur
abnormal radiograpi yang sering terlihat pada pasien dengan refluks esofagitis
meliputi pembentukan nodul mukosa, penebalan lipatan esofagus, erosi dan
ulserasi, penyempitan segmen akibat proses peradangan , striktur atau neoplasma.
Namun, hanya duapertiga pasien yang secara endoskopi terbukti mengalami refluks
esofagitis memiliki tanda radiografi esofagitis. Sensitivitas radiografi dalam
mendeteksi esofagitis meningkat seiring dengan peningkatan tingkat keparahan
esofagitis menurut pemeriksaan endoskopi. Pada sebuah penelitian, sensitivitas uji
barium untuk mendiagnosisi esofagitis sedang sebesar 26% dimana pada keadaan
esofagitis berat menjadi 100%. Deteksi adanya esofagitis dapat dioptimalkan
dengan kombinasi dari berbagaimacam tekhnik radiologis meliputi mucosal-relief
radiography, full-column dan double contrast. Selain itu uji barium mempunyai
sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi striktur peptic, adanya cincin mukosa
(Schatzki ring) dan adenokarsinoma dan juga dapat mendeteksi adanya pola
retikuler yang berhubungan dengan Barrett’s esophagus. Meskipun kemampuan
diagnostic dimiliki olehuji radiologis pada pasien dengan komplikasi GERD, namun
endoskopi memberikan keuntungan lebih yaitu biopsy jaringan dan dilatasi
terapetik. Sehingga, uji barium harus diberikan hanya untuk pasien GERD dengan
curiga komplikasi dan tidak dapat dilakukan endoskopi.

Uji Bernstein

Uji Bernstein selalu digunakan untuk mendeteksi adakah gejala tambahan refluks
pasien. Uji Bernstein meliputi pemberian cairan infus pada daerah distal esofagus
dengan masing-masing 0,1NHCl atau larutan salin dengan menggunakan single
blinded manner dengan penilaian respon pasien. Hasil uji postif didefinisikan
sebagai gejala pasien yaitu rasa terbakar bermanifes dengan pemberian infuse
asam dan membaik saat diberikan larutan salin. Pasien dengan GERD mungkin
mempunyai perubahan pada resistensi jaringan dan sehingga mempunyai
kemosensitivitas yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol subjek sehat.
Meskipun uji ini dapat dilakukan secara mudah dan masuk akal, uji Bernstein
mempunyai keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas sebagai alat uji diagnostic
pada pasien dengan curiga GERD. Dengan kata lain, nyeri dada yang tidak khas
atau keluhan somatic yang dianggap berasal dari refluks asam lambung mungkin
diproduksi selama dilakukan uji Bernstein. Pada pasien yang mempunyai keluhan
nyeri dada yang tidak khas (atypical), uji Bernstein merupakan uji rasional spesifik
untuk GEDR namun sekali lagi, mempunyai sensitivitas yang rendah. Oleh karena
itu, utilitas utama uji Bernstein adalah meningkatkan kecurigaan klinis bahwa
pasien dengan nyeri dada yang tidak khas adalah manifestasi dari GERD.

Manometri Esofagus

Manometri esofagus tidak memiliki peranan dalam melakukan penilaian diagnosis


awal pada pasien GERD. Walaupun penemuan manometrik akan rendahnya tekanan
basal dari spingter esophageal inferior dan relaksasi dari spingter esophageal
inferior secara sementara adalah kunci penemuan dari patofisiologi dari GERD,
penemuan kondisi tersebut sangat jarang mengubah manajemen klinis pada pasien
secara individu. Namun, manometri rutin digunakan untuk menentukan
penggantian tepat dari pemeriksaan pH selama 24-jam. Teknik ini juga dilakukan
untuk menyingkirkan gangguan perpindahan primer dan sekunder sebelumnya
untuk dilaksanakannya operasi anti refluk, walaupun penggunaan prosedur tersebut
masih controversial.

Upper Endoscopy: konvensional dan transnasal

Endoskopi sering dipertimbangkan sebagai test lini pertama untuk mendiagnosis


GERD dengan adanya erosi atau ulserasi pada bagian distal esofagus. Uji ini
mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk GERD. Penting diketahui bahwa beberapa
penelitian menunjukan bahwa abnormalitas pada endoskopi ditemukan hanya pada
kurang dari setengah pasien dengan GERD. Sehingga,kebanyakan pasien dengan
GERD tidak mempunyai kelainan pada endoskopi, meningkatkan terminology dari
penyakit refluk nonerosif atau NERD, untuk mendeskripsikan pasien-pasien
tersebut. Selain itu, penemuan endoskopi yang normal mungkin diasumsikan
sebagai penggunaan pemeriksaan diagnostik yang berlebihan dan mahal, dan
bahkan adanya asumsi salah mengenai kecurigaan telah ditemukannya pasien
dengan curiga GERD. Untuk permasalahan komplikasi yang lebih lanjut, beberapa
pasien dengan penemuan endoskopi awal negative akan berkembang menjadi lesi
mucosal selama pemeriksaan follow up terhadap pasien tersebut. Perubahan
mukosa seperti edem, kerapuhan mukosa, dan irregular squamocolumnar junction
yang dapat meningkatkan sensitivitas endoskopi adalah merupakan pengamatan
yang kurang akurat antar endoskopis dan sehingga tidak dapat didiagnosis sebagai
esofagitis. Kebanyakan kriteria diagnosis endoskopis pada GERD jarang didapatkan
erosi ataupun ulserasi.

Penggunaan biopsy esophageal dan analsis histologis pernah sekali


dipertimbangkan sebagai alat yang penting dalam mendiagnosis penyakit refluk.
Hiperplasia sel basal, penungkatan panjang papil pada epitel squamos dan infiltrasi
dari leukosit polimorfonuklear atau eosinofil merupakan penemuan daru biopsy
esophageal distal pada pasien dengan GERD. Penelitian baru-baru ini telah
menemukan perubahan histologist pada hanya 30-35% pada pasien GERD dan juga
meningkat lebih dari 21% pada subjek kontrol. Hal ini memberikan keterbatasan
dari sensitivitas baik untuk endoskopis kasar atau perubahan mikroskopis dari
GERD, endoskopi tidak seharusnya digunakan secara rutin untuk tujuan utama
dakam mendiagnosus GERD.

Upper endoscopy mempunyai peran penting dalam menilai komplikasi yang


potensial yang berhubungan dengan GERD. Pasien dengan gejala yang
mengkhawatirkan seperti disfagi, melena, hematemesis atau penurunan berat
badan harus dilakukan segera pemeriksaan endoskopi (gambar1). Dalam
ketersediaannya sebagai alat diagnostic, endoskopi mempunyai sensitivitas dan
spesifitas paling tinggi untuk mendeteksi esofagitis, striktur peptic, barrett’s
esofagus, dan adenokarsinoma. Penemuan stadium lanjut dari esofagitis atau bukti
adanya formasi striktur peptic dapat menjamin pemberian terapi agresif dengan
PPI. Selain itu, endoskopi menawarkan kemampuan untuk melakukan biopsy
jaringan untuk Barrett’s esofagus, disfagiam atau karsinoma. Intervensi terapetik
meliputi dilatasi striktur peptic atau terapi paliatif untuk kanker esofagus. Endoskopi
juga dapat dilakukan pada pasien yang merespon paling akhir terapi PPI untuk
melihat adanya bukti ternjadi refluk esofagitis yang dapat menjadi bias dari
diagnosis GERD, seperti eosinofilia, esofagitis infeksi atau esofagis yang dipicu oleh
penggunaan obat. Endoskopi juga sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan
gejala refluk kronis tanpa ada gejala mengkhawatirkan sebagai skrining untuk
barrett epitel, topic controversial ini akan dibahas di bab yang terpisah.

Transnasal upper endoscopy telah muncul sebagai metode potensial untuk menilai
mukosa esofagus secara cepat pada pasien rawat jalan. Prosedur teknik meliputi
penggunaan endsokopi supertipis yang dilewatkan melalui nasal tanpa penggunaan
pembiusan total. Penggunaan pembiusan selama prosedur ini menambah jumlah
waktu, personel, biaya dan resiko dari proses prosedur endoskopi. Saat ini,
meskipun demikian, prosedur ini tetap dilakukan dengan keadaan pasien tidak
sadar. Peningkatan insidensi adenokarsinoma esofagus meningkatkan rekomendari
untuk dilakukannya skrining pada pasien Barrett’s esofagus. Penggunaan prosedur
ini di tempat klinik dapat dilakukan. Sebagai catatan di beberapa Negara bagian di
Amerika Serikat, conventional upper endoscopy dilakukan tanpa menggunakan obat
bius.

Anda mungkin juga menyukai