Anda di halaman 1dari 6

I.

Sejarah Masuknya Islam Di Jawa

Jawa adalah sebuah pulau kecil di semenanjung malaya. Pulau ini dulunya bernama

Jawa Dwipa dan terkenal di arab karena adanya kerajaan besar yang berdiri di sini oleh

karena itu para khalifah di timur tengah berniat mengislamkan kerajaan ini.

Diantara teori-teori tersebut adalah : (1) teori cina, (2) teori gujarat, (3) teori mekah, (4)

teori benggala dan (5) teori persia.

(1) teori cina

Islam disebarkan dari Cina telah dibahas oleh SQ Fatimi.1[2] Beliau mendasarkan

teorinya ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar

tahun 876. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga

150.000 muslim.

Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah

ditemukannya : batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah

tertanggal 903 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur tertanggal 1082 M.

(2) teori gujarat

Teori ini mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali

dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan

perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang

Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke

Asia Tenggara. Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang

memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal
17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam

Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk

yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya

berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut di impor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh

orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya

adalah kesamaan mahzab Syaf’i yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

(3) teori mekah

Teori ini di utarakan oleh Hamka. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada

peranan bangsa arab sebagai pembawa agama islam ke Indonesia. Menurutnya, motivasi awal

kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nila-nilai ekonomi, melainkan di dorong oleh

motivasi spirit penyebaran agama Islam. Jadi masuknya agama islam ke Nusantara terjadi

jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7.2[7]

Dalam pandangan HAMKA, orang-Horang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari

(4) teori benggali

Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali

(Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa

kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan,

Islam muncul pertama kali di semenanjung Malaya dari arah pantai Timur, bukan dari Barat

(Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia

beralasan bahwa doktrin Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang,

Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di

Leran.
(5) teori persia.

Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Teori Persia lebih

menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam

Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.3[12]

Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain :

Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian

syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan

Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat

Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau

ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab. Kedua,

adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj,

sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus

dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16

dapat mempelajarinya. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab,

untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran tingkat awal. Dalam bahasa Persi

Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer, dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang

tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab. Keempat, nisan

pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari

Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi

sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson.4[13] Kelima, pengakuan umat Islam
Indonesia terhadap madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang paling utama di daerah Malabar.

Peranan Walisongo
Ulama sangat berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam kepada penduduk
pribumi sehingga Islam dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia. Istilah wali berasal dari
bahasa Arab yaitu aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena
ketaqwaannya.
Jumlah wali dianggap Sembilan (songo) meskipun sebenarnya lebih dari itu, karena
jumlah Sembilan orang itu untuk menyebarkan nilai-nilai moral ke segala penjuru.
Sembilan wali tersebut ialah sebagai berikut:5[7]
1. Sunan Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim)
Syeikh Maulana Malik Ibrahim lahir pada tahun 1350 M. Ada yang berpendapat bahwa
nasabnya bertalian dengan seorang sayyid dari Hadramaut. Di samping itu, ada yang
mengatakan bahwa Sunan Gresik berasal dari Gujarat dan merupakan pedagang yang dating
ke Pulau Jawa kemudian menyebarkan ajaran Islam.
Setelah dewasa, ia menikah dengan Dewi Candra Wulan, putrid pertama Putri Campa
yang telah menganut Islam. Adapun Putri Campa merupakan istri dari raja Majapahit,
Brawijaya.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden rahmat adalah putra Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Dewi Candra Wulan. Ia
memulai dakwahnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya.
Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya dari
kalangan istana. Dengan demikian ia tidak mendapatkan hambatan yang berarti dalam
berdakwah. Ia juga merupakan penyokong Kesultanan Demak dan ikut mendirikan Masjid
Agung Demak pada tahun 1497 M bersama wali-wali yang lain.
Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni.
Sebaliknya, Sunan Kalijaga mrngusulkan agar adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Sunan
Ampel setuju, walaupun ia tetap menginginkan adat-istiadat tersebut dihilangkan, karena
merupakan bagian dari bid’ah. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M di Ampel dan
dimakamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang merupakan sepupu Sunan Kalijaga. Setelah belajar Islam di Pasai (Aceh),
ia ke Tuban (Jawa Timur) untuk mendirikan pondok pesantren. Dalam berdakwah, Sunan
Bonang menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun menyisipkan
ajaran-ajaran Islam ke dalam cerita wayang dan music gamelan.
Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di Tuban dan menjadikan pesantren sebagai
wadah pendidikan kader dakwah. Sunan boning memberikan pendidikan Islam secara
mendalam kepada murid-muridnya, termasuk Raden Fatah. Sunan Bonang wafat pada tahun
1525 M dan dimakamkan di Tuban.
4. Sunan Giri (Raden Paku)
Raden Paku berdakwah di Giri dengan mendirikan pesantren. Para santrinya banyak yang
berasal dari rakyat jelata. Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia
juga merupakan orang yang berpengaruh dalam Kesultanan Demak. Hal ini terlihat ketika
muncul suatu masalah, wali-wali yang lain selalu menantikan pertimbangannya. Sunan Giri
wafat pada awal pertengahan abad XVI M dan dimakamkan di Bukit Gresik, Jawa Timur.
5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat terkenal mempunyai jiwa social dan tema-tema dakwahnya selalu
berorientasi pada gotong-royong. Ia selalu menolong orang-orang yang membutuhkan,
mengasihi anak yatim, dan menyantuni fakir miskin. Sunan Drajat wafat pada pertengahan
abad XVI M dan dimakamkan di Panciran, Lamongan, Jawa Timur.
6. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Wilayah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas. Ia suka berkeliling dan memperhatikan
keadaan masyarakat. Oleh sebab itu, semua lapisan masyarakat sangat simpati kepadanya.
Begitu pula dengan Raden Fatah. Ia sangat menghormatinya.
Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan berbagai media seni, seperti pertunjukkan
wayang kulit, seni gamelan, seni suara, seni ukir, seni pahat, busana, dan kesusastraan. Ia
wafat pada pertengahan abad XV M dan dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
7. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus adalah putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji adalah orang yang
menyebarkan agama Islam di Jipang Panolan, Blora. Sunan kudus menyebarkan agama Islam
di Kudus. Ia ahli dibidang ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, hadits, dan logika. Untuk kepentingan
dakwah, ia menciptakan cerita keagamaan yang berjudul Gending Maskumambang dan Mijil.
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di pemakaman Masjid Menara
Kudus.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di Gunung Muria dan di
desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwahnya adalah pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Ia
juga menciptakan tembang yang berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan Muria wafat pada abad
XVI M dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati dihormati oleh para sultan Demak
dan Pajang. Di samping itu, ia diberi gelar Raja Pandita. Dakwahnya dilakukan melalui
pendekatan structural. Ia mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten. Di
samping itu, ia juga mendirikan pesantren Gunung Jati di Cirebon. Sunan Gunung Jati wafat
pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati, desa Astana, Cirebon.
Wali-wali tersebut adalah penyebar agama Islam yang terus menerus berjuang dan
mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama Islam dengan berbagai caranya masing-
masing. Gerakan Islamisasi oleh para wali tersebut dipusatkan di daerah pantai utara Jawa
dengan mendirikan pusat-pusat pengembangan Islam. Secara garis besar, peranan wali adalah
sebagai berikut:
1. Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren,
berdakwah, ataupun dengan media seni
2. Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan
kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya Islam
3. Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam
maupun sebagai penasehat raja-raja.

Anda mungkin juga menyukai