Anda di halaman 1dari 2

Kejutan dari Pojokan Kyai Munawar

Tanggal 28 Oktober kemarin seharusnya saya pulang, Kyai Munawar rencananya akan resmi
berdiri pada tanggal itu. Bukan karena saya orang yang paling penting di sana—saya bahkan
bukan siapa-siapanya—tapi itu bakalan menjadi tanggal yang tak terlupakan buat kampung
saya. Terutama mas saya.

Oh iya, Kyai Munawar adalah nama sebuah perpustakaan di kampung saya. Berada di ruang
nganggur di pojokan masjid sederhana, Kyai Munawar memiliki mimpi, ihh, bukan mimpi, tapi
niat untuk menjadikan ruang kosong itu lebih bermanfaat. Beberapa pemuda yang dulu
pernah besar dan ngaji di sana, menjadi inisiatornya.

Terkait profil Kyai Munawar, saya kira saya tidak perlu menjabarkannya secara gamblang, toh
kawan-kawan bisa langsung berkunjung ke perpuskyaimunawar.blogspot.com

***

Beberapa hari yang lalu—tepatnya senin (5 November 2012) sore—saya kabur dari tempat saya
bekerja. Ada beberapa masalah di rumah yang harus diselesaikan segera. Selain itu, kabar-
kabar heroik dan euforia tiada tara Kyai Munawar menjadi salah satu alasan kenapa saya
pulang ke Lamongan sore itu.

Pagi saya sampai di rumah. Ngopi, pulang rumah, ganti baju, dapat sms disuruh ke masjid, ke
perpus lebih tepatnya.

Beberapa saat sebelumnya, saat masih di warung kopi, ada kabar bahagia, majalah Bobo yang
beberapa bulan yang lalu saya borong di loakan buku pasar Senen ternyata banya dibaca sama
anak-anak di perpustakan. Itu tandanya, untuk ke sekian kalinya saya harus ke Senen dan
harus dapat Bobo dengan jumlah yang lebih lagi.

Omongan kakakku saya buktikan saat berada di perpus menjelang siang itu. Dan kejutan-
kejutan itupun dimulai di situ.

Kira-kira waktu itu jam istirahan sekolahan madrasah. Beberapa anak yang kayaknya kelas
enam bermain bola di lapangan depan masjid. Yang lain bergerobol di bawah pohon
kedondong tua itu—yang sudah menjalani puluhan kali percobaan pembunuhan dari jamanku
dulu. Beberapa lagi, terlihat bergerombol dan hiruk di teras bagian utara masjid, tempat
perpus sederhana itu berada. Ada yang di dalam sedang memilah-milah buku terbaiknya,
sebagian lagi di luar bediskusi dengan temannya yang lain perihal buku yang lagi atau telah
dibaca.

Bagi beberapa orang, mungkin ini adalah hal yang biasa. Tidak ada yang istimewa sama sekali.
Anak-anak selalu suka dengan hal yang baru, ya semacam euforia begitu lah. Dan saya sakin
seyakin-yakinnya, beberapa saat lagi, sebentar atau lamae, mereka akan menemukan masa di
mana mereka benar-benar jenuh, dan tidak mau lagi bermain di perpus itu. Sepertinya itu
sudah hukum alam deh. Tapi itu lah yang akan menjadi PR bareng, bagaimana caranya, anak-
anak itu betah berlama-lama dan selalu bermain ke sana.

Eit, jadi ngelantur. Balik lagi sodara. Iya, bagi sebagian orang, itu adalah sesuatu yang sangat
biasa, tapi tidak bagi saya. Mungkin juga kakan saya. Kalau boleh jujur, saya sempat terdiam
beberapa detik sesaat setelah sampai di perpus Kyai Munawar. Secara tidak sadar, ini
menunjukkan bahwa bocah-bocah ingin membaca dan mengetahui hal-hal yang dianggapnya
baru. Dan buku-buku itu, bagi sebagian mereka, mungkin adalah sesuatu yang baru. Saya
berani taruhan, tidak semua orang berduit di kampung saya berpikiran untuk membelikan
bucu bacaan kepada anak-anaknya. Yakin. Sekali lagi, saya tidak lagi meninggikan perpus Kyai
Munawar, tapi saya lagi terharu dengan suasana itu. Bocah-bocah itu. Kegaduhan itu.
Keseronokan. Ahhhh, bocah-bocah itu seolah berteriak, “kami tidak butuh playstation, kami
tidak butuh gameboy, kami tidak minta Nintendo atau Saga. Kami tidak butuh itu...” Siapa
yang tidak terharu, coba?

Bagi saya, itu adalah kejutan di pagi menjelang sian itu di Kyai Munawar.
Saya tiba-tiba kerasan berlama-lama di perpus kecil biadab itu. Hehe... Setelah ngobrol
panjag dengan kakak saya dan dia pulang, saya tinggal ditemani oleh manusia yang mengklaim
dirinya sebagai ta’mir masjid sekarang. Jika tidak ada kakak saya atau Wahab—yang biasa
dipanggil Jenggot—maka dialah, si ta’mir, yang akan menjadi merbot sementara Kyai
Munawar. Dengan wajah humoris dan supel, anak-anak tidak terlalu segan dengannya, dan itu
memungkinkan anak-anak bisa masuk perpus laiknya rumah sendiri.

Saya ngobrol lumayan banyak dengan Qowim, si ta’mir, perihal bagaimana sambutan anak-
anak, ramai atau tidak, buku di rak mana saja yang sering dibaca, dan sebagainya, dan
sebagainya.

Oh iya, saya menemukan Bias Pandang Parkir di rak Kyai Munawar bagian utara. Ya, Bias
Pandang Parkir, majalah biadab yang dibuat dengan usaha yang tak kalah biadab itu. Sebuah
majalah yang pernah dibuat oleh salah satu lembaga pers mahasiswa terkeren seantero
Nusantaraa, EKSPRESI. Setahu saya ada dua eksemplar Ekspresi di rak itu, yang jujur tiba-tiba
membuat saya kangen dengan lantai 2 Student Centre, UNY. Jancuuukkkk...

Baiklah, sebentar lagi akan ada Sastra Anak, Perpustakaan, Universalitas Tinja, Pasar, Manusia
Diaspora, Sang Guru, Galeri Urban, Upacara, Ruang Kota, Ramalan, semuanya, di rak Kyai
Munawar. Hehehe... Pokoknya yang bisa bikin anak-anak di kampung saya tahu, bahwa ada
lembaga pers mahasiswa keren di kolong langit Yogyakarta.

Selepas salat dzuhur saya masih masghul di sana. Menunggu siapa lagi yang akan berkunjung
ke pojokan masjid itu. Sembari menunggu, mata saya tertuju dengan sebuah majalah
bersampul merah, kalau tidak salah itu gambar Ki Bagus Hadikusuma. Salah satu tokoh
pergerakan nasional dengan “darah” Muhammadiyah.

Saya ambil Matan edisi Oktober 2012 itu, saya buka halaman demi halaman. Editorialnya
perihal manfaat haji kalau tidak salah. Kajian Utamanya pengajuan tokoh pergerakan nasional
“berdarah” Muhammadiyah menjadi pahlawan nasional. Selebihnya rubrik-rubtrik biasa, yang
tak jauh dari tabiat media-media Muhammadiyah; laporan kegiatan, rangkaian hadist qudsi,
kumpulan kutbah jumat di tengah halaman, tokoh-tokoh Muhammadiyah kekinian yang
dianggap –sebenarnya saya benci menyebut istilah ini—inspiratif dan inovatif. Selebinya, tidak
ada yang baru.

Meski demikian, ada rubrik yang menyita perhatian saya; rubrik resensi buku. Kenapa? –Saya
mau pamer—karena, itu adalah pada rubrik itu terdapat resensi-buku pertama saya yang
pernah dimuat oleh media “lumayan” besar. Buku baru yang merupakan kumpulan tulisan
Prof. Munir Mulkhan yang terbit Juli lalu, iseng-iseng saya resensi dan saya kirim ke Matan dan
Suara Muhammadiyah sekira akhir September kemarin.

Sampai detik ini, dari keduanya tidak ada kabar, tapi tanpa sengaja saya memergoki tulisan
saya itu nangkring mengotori rubrik resensi majalah Matan edisi Oktober 2012. “Cuk, kok
tidak ada pemberitahuan ya...?”

Masa bodoh dengan itu semua, yang penting, tulisan biadab saya itu sukses menghiasi majalah
biadab Matan. Ya, meski tidak berbalas apa-apa. Saya jadi ingat obrolan singkat dengan Kyai
Dahlan di seberang alam barzah beberapa hari yang lalu, “le, hidupi organku ini, tapi jangan
mencari hidup darinya, ya...” Aih, pak Dahlan, andaikata semua orang seperti anda.

Tabik!

Kereta Api Gumarang-Kos Sedap Malam


Jumat, 9 Novemeber 2012

Anda mungkin juga menyukai