Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu
memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal
kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan
dan memerlukan pengobatan berupa, transplantasi ginjal, dialisis
peritoneal, hemodialisis dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama
(Black, 2014).
Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit
disembuhkan. Di dunia prevalensi gagal ginjal kronis menurut ESRD
Patients (End-Stage Renal Disease) pada tahun 2011 sebanyak 2,786,000
orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan tahun 2013 sebanyak
3.200.000 orang. Dari data tersebut disimpulkan adanya peningkatan
angka kesakitan pasien gagal ginjal kronis tiap tahunnya sebesar sebesar 6
(Fresenius Medical Care AG & Co., 2013)
Di Indonesia angka kejadian gagal ginjal kronis berdasarkan data dari
Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis 0,2% dari
penduduk Indonesia. Hanya 60% dari pasien gagal ginjal kronis tersebut
yang menjalani terapi dialisis). Di Provinsi Sumatera Barat prevalensi
penyakit gagal ginjal kronis 0,2% dari penduduk dari pasien gagal ginjal
kronis di Indonesia, yang mencakup pasien mengalami pengobatan, terapi
penggantian ginjal, dialysis peritoneal dan Hemodialisis pada tahun 2013
(Riskesas, 2013)

1
2

Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh


pasien penyakit ginjal kronik di seluruh dunia . HD adalah suatu prosedur
dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah
mesin di luar tubuh yang disebut dialiser. Frekuensi tindakan HD bervariasi
tergantung berapa banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, rata–rata penderita
menjalani HD dua kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan
hemodialisa paling sedikit tiga sampai empat jam tiap sekali tindakan terapi
(Melo, Ribeiro & Costa , 2015). Hemodialisis yang dilakukan oleh pasien
dapat mempertahankan kelangsungan hidup sekaligus akan merubah pola
hidup pasien. Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai
masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal ini menjadi
stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien
yang meliputi biologi, psikologi, sosial, spiritual (biopsikososial).
Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual, muntah, nyeri, lemah otot dan
edema merupakan sebagian dari manifestasi klinik dari pasien yang
menjalani hemodialisis (Arif & Kumala, 2011). Orang-orang yang
menjalani hemodialisa hidupnya menjadi tergantung pada teknologi dan
tenaga ahli yang profesional. Mereka hidup dengan pengalaman yang
berbeda dan banyak rasa sakit. Mereka hidup dengan ketakutan dan acaman
kematian. (Melo, Ribeiro & Costa , 2015). Proses hemodialisa
membutuhkan waktu 4-5 jam umumnya akan menimbulkan stress fisik,
pasien akan merasakan kelelahan, sakit kepala, dan keluar keringat dingin
akibat tekanan darah yang menurun (Galieni, 2008).
Sulit bagi seseorang untuk menerima kenyataan bahwa ia harus
menjalani hemodialisa seumur hidup. Selain biayanya yang mahal dan
merepotkan karena harus datang berulang kali dalam seminggu sehingga
membuat hidup tidak nyaman. Pasien yang menjalani hemodialisa juga
rentan terhadap masalah emosional seperti stress yang berkaitan dengan
pembatasan diet dan cairan, keterbatasan fisik, penyakit terkait, dan efek
samping obat, serta ketergantungan terhadap dialisis akan berdampak
terhadap menurunnya kualitas hidup pasien .
3

Dewi (2018) dalam penelitiannya menunjukan pasien hemodialisis


mengalami kualitas hidup pada domain fisik dan psikologi termasuk dalam
kategori sedang, sedangkan opada domain lingkungan social termasuk
dalam kategori baik. Penelitian yang dilakukan oleh Chelliah (2011) tentang
Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan
menunjukkan bahwa 58, 8% responden memiliki kualitas hidup yang buruk.
Penelitian lain dilakukan oleh Aroem ( 2011) menunjukkan bahwa sebagian
besar responden memiliki kualitas hidup baik yaitu 56,7% dan sisanya
memiliki kualitas buruk yaitu 43,3 %.
Beberapa penelitian diatas menunjukan bahwa pasien yang
menjalani hemodialisis memiliki kualitas hidup yang buruk dan cenderung
mengalami komplikasi seperti depresi, kekurangan gizi, dan peradangan.
Banyak dari mereka mengalami gangguan kognitif, seperti kehilangan
memori, konsentrasi rendah, gangguan fisik, mental, dan sosial yang
nantinya mengganggu aktifitas sehari – hari. Banyak peneliti menekankan
bahwa peningkatan kualitas hidup akan mengurangi komplikasi yang terkait
dengan penyakit ini.kualitas hidup diukur berdasarkan rasa subjektif
kesejahteraan umum yang dirasakan oleh pasien yang juga akan digunakan
sebagai ukuran klinis dalam hal perawatan medis yang menjalani
hemodialysis.
Hasil wawancara dengan dengan responden, reponden mengalami
gagal ginjal sejak tahun 2012 akibat dari hipertensi dan mulai menjalani
hemodialisa sejak tahun 2014. Selama 4 tahun menjalani hemodialisa,
responden jarang sekali mengalami keluhan yang biasa di keluhkan oleh
penderita gagal ginjal lainnya. Responden juga tetap menjalani aktivitas
layaknya orang pada normalnya misalnya tetap bekerja dan melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya. Selain itu selama menjalani hemodialisa pasien
tetap menjaga pola makan dan pola minum yang bebas tapi terbatas. Dari
segi psikologis , responden juga tidak merasa stress maupun merasa tertekan
dengan penyakit yang dideritanya. Responden selalu berfikir positif dan
4

menghindari hal-hal yang menyebabkan stress. Dalam menjalani


hemodialisa pasien selalu patuh dan semangat untuk selalu dating.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk menulis
judul penelitian “ Gambaran Kualitas Hidup Tn B Penderita Gagal Ginjal
Kronik ( GGK ) Stadium 5 Dalam Menjalani Hemodialisa di Ruang
Hemodialisa RS dr Saiful Anwar Malang”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
Bagaimana Gambaran Kualitas Hidup Tn B Penderita Gagal Ginjal
Kronik ( GGK ) Stadium 5 Dalam Menjalani Hemodialisa di Ruang
Hemodialisa RS dr Saiful Anwar Kota Malang?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang telah peneliti kemukakan diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Kualitas
Hidup Tn B Penderita Gagal Ginjal Kronik ( GGK ) Stadium 5 Dalam
Menjalani Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RS dr Saiful Anwar Kota
Malang.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Praktis
1. Bagi Pasien
Adanya laporan studi kasus ini, diharapkan dapat memberi gambaran
kualitas hidup penderita Gagal Ginjal Kronik ( GGK ) dan memberi
motivasi penderitalainnya dalam menjalani hemodialisa.
2. Bagi Penulis
Memperoleh pengetahuan dan pengalaman khusus dalam bidang
keperawatan.
1.4.2 Manfaat Teoritis
1. Bagi Peningkatan Kualitas Asuhan Keperawatan
5

Laporan studi kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
acuan dalam meningkatkan kualitas pelayanan asuhan keperawatan
dengan masalah Gagal Ginjal Kronik on Hemodialisa.
2. Bagi Pendidikan
Menyediakan informasi nyata dan aktual tentang kualitas hidup pasien
dengan Gagal Ginjal Kronik yang dapat digunakan oleh mahasiswa
sebagai salah satu literatur bagi pendidikan dan menunjang peningkatan
pengetahuan khususnya tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Gagal Ginjal Kronik.
1.5 Keaslian Penelitian
No Tahun Nama Penulis/ Metode dan Hasil Perbedaan dengan
Judul Variabel penelitian ini

1. 2018 Dewi Sari Mulya/ Deskriptif dengan menunjukan pasien Lokasi penelitian
pendekatan single hemodialisis mengalami berada di
Kualitas hidup cross sectional kualitas hidup pada domain Palangkaraya.
pasien Gagal Ginjal fisik dan psikologi termasuk
Kronik ( GGK ) Variabel : dalam kategori sedang, Metode penelitian
yang menjalani Kualitas hidup, sedangkan opada domain
hemodialysis di Gagal ginjal kronik lingkungan social termasuk
RSUD dr Doris ,hemodialisis dalam kategori baik
Sylvanus
Palangkaraya.

2. 2011 Suhashini Chelliah/ Metode penelitian menunjukkan bahwa 58, 8% Lokasi penelitian di
dengan deksriptif responden memiliki kualitas Medan dan variable
Gambaran tingkat menggunakan hidup yang buruk. penelitian.
depressi dan desain cross Penelitian lain dilakukan
kualitas hidup sectional oleh Aroem ( 2011)
pasien penyakit menunjukkan bahwa
gagal ginjal kronik Variabel : sebagian besar responden
yang menjalani Kualitas memiliki kualitas hidup
hemodialysis di hidup,depresi, baik yaitu 56,7% dan
RSUP H. Adam Gagal ginjal kronik sisanya memiliki kualitas
Malik Medan ,hemodialisis buruk yaitu 43,3 %.
Tahun 2011
6

3. 2018 Handi Rustandi/ Deskriptif dengan Dari penelitian ini dapat Lokasi penelitian
accidental sampling digambarkan bahwa berada di Kota
Faktor-Faktor yang dengan sampel 67 hampir sebagian dari Malang, tahun
mempengaruhi rang responden responden engalami penelitian, metode
kualitas hidup depresi berat , sebagian penelitian, sampel
pasien Cronic Variabel : besar memiliki kualitas penelitian.
Kidney Disease ( Kualitas hidup baik dalam
CKD ) yang hidup,insiden, dukungan keluarga .
menjalani CKD ,hemodialisis
hemodialisa

4 2015 Sufiana puspita Metode deskripsi Dari penelitian ini Lokasi penelitian
dewi kuantitatif dengan diketahui bahwa kategori
berada di Kota
Hubungan lamanya pendekata cross hemodialisa lama (>24
hemodialisa dengan sectional . bulan ) dan 75% responden Malang, tahun
kualitas hidup pengambilan berada pada kategori
penelitian, metode
pasien gagal ginjal sampel dengan kualitas hidup sedang.
di RS PKU accidental Hasil analisa data terdapat penelitian, sampel
Muhammadiyah sampling. Dengan hubungan yang lemah
penelitian.
Yogyakarta. sampel 60 antara lamanya
orangdengan hemodialisa dengan
kuisioner kualitas hidup.
Variable : lamanya
hemodialisa,
kualitas hidup,
CKD
5 2017 Siti Aminah Metode deskripsi Dari penelitian ini Lokasi penelitian
kuantitatif dengan diketahui bahwa sebagian
berada di Kota
Tingkat depresi dan pendekatan kolerasi responden yang berusia
kualitas hidup deskriptif. Dengan dewasatidak mengalami Malang, tahun
pasien gagal ginjal sampel 42 orang depresi (57.89%)
penelitian, metode
kronik ( GGK ) orangdengan sedangkan pada responden
Berdasarkan kuisioner dewasa muda mengalami penelitian, sampel
tingkatan usia di Variable : depresi, depresi (52.17%) .
penelitian serta
RSUD Dr H kualitas hidup, responden usia dewasa
Soewondo Kendal. CKD muda memiliki kualitas variabel penelitia,
hidup di bawah rata rata (
21.05%) bila dibandingkan
responden dewasa (
13.63%) serta ada
hubungan negative antara
tingkat depresi dengan
kualitas hidup responden
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik ( GGK )
2.1.1 Definisi
Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). Sedangkan menurut
Terry & Aurora, 2013 CKD merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal tidak mampu
mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga
menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir.CKD atau gagal ginjal
kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan
fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,
2009).
2.1.2 Klasifikasi
Menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012
yang mengacu pada National Kidney Foundation-KDQOL (NKF-KDQOL)
tahun 2002,PGK diklasifikasikan menjadi lima stadium atau kategori
berdasarkan penurunan
GFR, yaitu :

Dikutip dari: KDOQI 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease.
8

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin


Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

2.1.3 Etiologi
Menurut Price ( 2011 ) antara lain:
1) Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),
glomerulonefritis (penyakit peradangan).
Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang biasanya mulai di
renal pelvis, saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing
(ureter) dan parencyma ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis
disebabkan oleh salah satu dari banyak penyakit yang merusak baik
glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit berikutnya keseluruhan
kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang.
2) Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh
adanya peningkatan tekanan darah akut dan kronik.
3) Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif
Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam
membran basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan .
4) Penyakit peradangan kronik dimana sistem imun dalam tubuh menyerang
jaringan sehat, sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ.
5) Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal.
6) Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan
9

2.1.4 Manifestasi Klinis


1) Manifestasi klinis menurut Price ( 2011 ) antara lain :
 Gejala dini : Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
Sakit kepala awalnya pada penyakit CKD memang tidak akan
langsung terasa, namun jika terlalu sering terjadi maka akan mengganggu
aktifitas. Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak bisa mendapatkan
oksigen dalam jumlah cukup akibat kekurangan sel darah merah, bahkan
otak juga tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup.
Sakit kepala akan menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah
dengan anemia.
 Gejala yang lebih lanjut : anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu
makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau
tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah
Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa
kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap
makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut
yang kuat yang menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa
bertahan sepanjang waktu hingga sama sekali tidak bisa makan. Pada
nafsu makan turun disebabkan karena penurunan nafsu makan berlebihan,
ginjal yang buruk untuk menyaring semua racun menyebabkan ada banyak
racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi proses metabolisme dalam
tubuh.
2) Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2009) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin
– aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan
berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh
toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
10

3) Manifestasi klinik menurut Nahas &Levin (2010) adalah sebagai berikut:


 Sistem Kardiovaskular
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema.
Kondisi bengkak bisa terjadi pada bagian pergelangan kaki, tangan,
wajah, dan betis. Kondisi ini disebabkan ketika tubuh tidak bisa
mengeluarkan semua cairan yang menumpuk dalam tubuh, genjala ini juga
sering disertai dengan beberapa tanda seperti rambut yang rontok terus
menerus, berat badan yang turun meskipun terlihat lebih gemuk.
 Sistem Pulmonal
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
 Sistem Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia
 Sistem Muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas).
 Sistem Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
 Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
 Gangguan cairan elektrolit dan asam basa.
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
11

 Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi menurut Nahas dan Levin ( 2010 ) sebagai berikut :
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi,
nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal
kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus
spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan
mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada
penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan
progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena
etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih
memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya
nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur
autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi
sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme
kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan
dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria.
Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.
Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres
oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan
12

faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan


fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan
akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular
sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan
massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus
progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan
fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi
ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi
fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi
eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II
memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular.
Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan
merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent.
Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,
sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan
karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-
dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan
osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang
terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap
13

PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor,


sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak
mampu untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga
timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23,
growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini
digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka
sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap
vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi
peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan
menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan
pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia.
Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi
yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia,
adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na
akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila
GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini
akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya
kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan
kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.
Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada
tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin
dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada
CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan
anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik
pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu
asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan
osteodistrofi ginjal.
14

Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi


sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia,
basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin,
serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh
tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan
resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di
kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi
lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi
insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi
lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan gagal jantung.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1) Urin
- Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)
- Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkanoleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan
menunjukkkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
- Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
- Osmoalitas: kuran gdari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn
ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
- Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
- Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
- Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
2) Darah
- BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir
15

- Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl


- SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
- GDA:asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2
- Natrium serum : rendah
- Kalium: meningkat
- Magnesium;
- Meningkat
- Kalsium ; menurun
- Protein (albumin) : menurun
3) Osmolalitas serum: lebih dari 285 mOsm/kg
4) Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5) Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6) Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal,
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
7) Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa
8) EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
2.1.7 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut ta
Suwitra (2010) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
16

peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion


anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
2.1.8 Penatalaksaan
1) Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal


ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
17

2) Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.
18

3) Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Suwitra, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
19

melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti
ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program
transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil
alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan
hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan

2.2 Konsep Hemodialisa.


2.2.1 Definisi
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal,
dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis
merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi
ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada
pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan
HD kronik/regular (Daurgirdas et al., 2009).

2.2.2 Tujuan
1) membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat.
20

2) Membuang kelebihan air.


3) Mempertahankan sistem buffer tubuh
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5) Memperbaiki status kesehatan pasien
2.2.3 Proses hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari cara kerja hemodialisis menurut


Daurgirdas et al., (2009)., yaitu:

a. Difusi
Toksik dan limbah di dalam darah dialihkan melalui proses difusi. Melalui
cara bergeraknya darah yang berkosentrasi tinggi ke cairan dialisat yang
berkonsentrasi lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari elektrolit yang
penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit darah
dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat secara tepat.
b. Osmosis
Air yang berlebih dikeluarkan melalui proses osmosis. Keluarnya air dapat
diatur dengan menciptakan gradien tekanan. Air bergerak dari tekanan
yang lebih tinggi (tubuh) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).
c. Ultrafiltrasi
Peningkatan gradien tekanan dengan penambahan tekanan negatif yang
biasa disebut ultrafiltrasi pada mesin dialysis. Tekanan negatif diterapkan
pada alat ini. Untuk meningkatkan kekuatan penghisap pada membrane
dan memfasilitasi pengeluaran air. Kekuatan ini diperlukan hingga
mencapai isovolemia (keseimbangan cairan).
2.2.4 Indikasi dan kontraindikasi
a. Indikasi
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA
untuk sementara sampai fungsi ginjal kembali pulih.
2. Pasien dengan penurunan LFG yang diikuti gejala uremik, asidosis dll
3. BUN > 100 mg/dl
4. Kreatinin > 10 mg/dl
5. Hiperkalemia
21

6. Asidosis metabolic tak dapat diatasi


7. Anoreksia, nausea, muntah
8. Ensepalopati uremikum
9. Edema paru, refraktur dieresis
10. Perikarditis uremikum
11. Perdarahan uremik
b. Kontraindikasi
Akses vaskuler sulit, hemodinamik tidak stabil,gangguan kekentalan darah
penyakit alzaimer dan enselopati. ( PENEFRI,2012 ).
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik
1) Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah
gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser,
aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli
udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia.
2) Komplikasi Kronik.
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah
ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
22

Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)


Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease

2.3 Konsep Kualitas hidup


2.3.1 Definisi
Manurut Gill & Feinstein (dalam Rachmawati, 2013) mendefinisikan
kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan,
dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan
dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya, yang merupakan
pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun
pengobatan psikologis.
Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat tiga
konsep kualitas hidup yaitu menunjukan suatu konsep multidimensional, yang
berarti bahwa informasi yang dibutuhkan
mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kesejahteraan fisik,
kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau sosial, menilai celah antara
keinginan atau harapan dengan sesuai kemampuan untuk melakukan perubahan
dalam diri (Ware dalam Rachmawati, 2013).
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas hidup adalah penilaian individu terhadap posisi individu di
dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana individu
hidup berkaitan dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang
menjadi perhatian individu.
23

2.3.2 Dimensi Kualitas hidup


Dimensi-dimensi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
dimensi-dimensi kualitas hidup yang terdapat pada World Health Organization
Quality of Life Bref version (WHOQoL-BREF). Menurut WHOQoL-BREF
(Power dalam Lopez & Snyder, 2008) terdapat empat dimensi mengenai kualitas
hidup yang meliputi:
1) Dimensi Kesehatan Fisik, yaitu kesehatan fisik dapat mempengaruhi
kemampuan individu untuk melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan
individu akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang merupakan
modal perkembangan ke tahap selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup
aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-obatan, energi dan
kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat,
kapasitas kerja. Hal ini terkait dengan private self consciousness yaitu
mengarahkan tingkah laku ke perilaku covert, dimana individu lain tidak
dapat melihat apa yang dirasakan dan dipikirkan individu secara subjektif.
2) Dimensi Psikologis, yaitu terkait dengan keadaan mental individu.
Keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu
menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai
dengan kemampuannya, baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar
dirinya. Aspek psikologis juga terkait dengan aspek fisik, dimana individu
dapat melakukan suatu aktivitas dengan baik bila individu tersebut sehat
secara mental. Kesejahteraan psikologis mencakup bodily image dan
appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem, keyakinan
pribadi, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi, penampilan dan
gambaran jasmani. Apabila dihubungkan dengan private self
consciousness adalah individu merasakan sesuatu apa yang ada dalam
dirinya tanpa ada orang lain mengetahuinya, misalnya memikirkan apa
yang kurang dalam dirinya saat berpenampilan.
3) Dimensi Hubungan Sosial, yaitu hubungan antara dua individu atau ebih
dimana tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu lainnya. Mengingat
manusia adalah mahluk sosial maka dalam hubungan sosial ini, manusia
24

dapat merealisasikan kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia


seutuhnya. Hubungan sosial mencakup relasi personal, dukungan sosial;
aktivitas seksual. Hubungan sosial terkait akan public self consciousness
yaitu bagaimana individu dapat berkomunikasi dengan orang lain
4) Dimensi Lingkungan, yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya
keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas
kehidupan, termasuk di dalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat
menunjang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber
financial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan
kesehatan dan sosial termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan
rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun
ketrampilan; partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan
rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu luang; lingkungan
fisik termasuk polusi,kebisingan, lalu lintas, iklim; serta transportasi.
Berfokus pada public self consciousness dimana individu memiliki
kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


Faktor-faktor yang mempegaruhi kualitas hidup menurut Moons, Marquet, Budst,
& de Geest (dalam Salsabila, 2012) dalam konseptualisasi yang dikemukakannya,
sebagai berikut:
1) Jenis Kelamin
Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa gender
adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, adanya perbedaan
antara kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-
laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan.laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan dalam peran serta akses dan kendali terhadap
berbagai sumber sehingga kebutuhan atau hal-hal yang penting bagi laki-laki dan
perempuan juga akan berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan aspek-
aspek kehidupan dalam hubungannya dengan kualitas hidup pada laki-laki dan
perempuan.
25

2) Usia
Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) dan Dalkey (2009) mengatakan
bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian
yang dilakukan oleh Wagner, Abbot, & Lett (2008) menemukan adanya
perbedaan yang terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan yang penting
bagi individu.
3) Pendidikan
Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa tingkat
pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan
Kermani (2010) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap
kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.
4) Pekerjaan
Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa terdapat
perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar,
penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari
pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity
tertentu). Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa
status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun
wanita.
5) Status Pernikahan
Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa terdapat
perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai
ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi.
6) Penghasilan
Testa dan Simonson (2008) menjelaskan bahwa Bidang penelitian yang sedang
berkembang dan hasil penilaian teknologi kesehatan mengevaluasi manfaat,
efektivitas biaya, dan keuntungan bersih dari terapi. hal ini dilihat dari penilaian
perubahan kualitas hidup secara fisik, fungsional, mental, dan kesehatan sosial
dalam rangka untuk mengevaluasi biaya dan manfaat dari program baru dan
intervensi.
26

7) Hubungan dengan orang lain.


Myers (dalam Kahneman, Diener, & Schwarz, 2009) yang mengatakan bahwa
pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik
melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui
pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik baik secara
fisik maupun emosional. Penelitian yangdilakukan oleh Noghani, Asgharpour,
Safa, dan Kermani (2007) juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang
lain memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menjelaskan kualitas hidup
subjektif.
8) Standart Referensi
Cantika (2012) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standard
referensi yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai
persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan definisi
kualitas hidup bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan
standard dari masing-masing individu.
9) Kesehatan Fisik
Cantika (2012) mengatakan Penyakit psoriasis merupakan penyakit kronik residif
sehingga berdampak pada kualitas hidup penderita hingga menyebabkan penderita
merasa depresi bahkan bunuh diri. Bhosle M.J, dkk (2006), menyatakan psoriasis
berdampak negatif sedang hingga berat terhadap kualitas hidup penderita karena
terdapat perubahan aktivitas sehari-hari. Galloway (2005) menyatakan bahwa
kesehatan adalah tonggak penting dalam perkembangan kualitas hidup tentang
kepedulian terhadap kesehatan.WHO mendefinisikan kesehatan tidak hanya
sebagai sesuatu penyakit api dapat dilihat dari fisik, mental dan kesejahteraan
sosial.
27

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi
kasus tentang Gambaran Kualitas Hidup Tn B Penderita Gagal Ginjal Kronik
( GGK ) Stadium 5 Dalam Menjalani Hemodialisa di Ruang Hemodialisa
Rumah Sakit Malang yang meliputi pengkajian, wawancara, edukasi, dan
evaluasi.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Peneliti melakukan pengambilan data pada tanggal 3 Januari 2019
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan rumah Tn B selaku responden tepatnya di
Bugis, kecamatan pakis Malang.
3.3 Setting Penelitian
Penelitian ini terletak Desa Bugis Kecamatan Pakis Kabupaten
Malang tepatnya di kediaman Tn. B selaku responden dalam penelitian ini.
sarana dan prasarana yang ada di kediaman Tn. B meliputi sebuah rumah
permanen dengan ukuran 5x6 m. memiliki 3 ruang kamar tidur, dapur, ruang
tamu menjadi satu dengan ruang tv, dan memiliki Kamar mandi yang berada
didalam rumah. Partisipan tinggal dengan istri dan kedua anaknya. Sarana
kesehatan terdekat adalah sebuah praktek dokter yang menjadi tujuan dari
masyarakat sekitar karena lebih dekat. Di kediaman partisipan sendiri
sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian seperti yang peneliti lakukan.
3.4 Subjek Penelitian
Jumlah subyek penelitian adalah satu orang (usia 45 tahun) yang
berjenis kelamin laki-laki, beragama islam dan berpendidikan SMP.
3.5 Pengumpulan Data
Dalam penelitian studi kasus ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah :
28

1. Peneliti Sendiri
Peneliti sebagai instrumen utama dengan menggunakan panca indera
untuk menyaksikan dan mengamati subjek atau fenomena dalam
penelitian ini.
2. Pedoman Wawancara
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam. Peneliti melakukan wawancara pada Tn B
selaku responden dan keluarga /pendamping Tn B.
Wawancara mendalam (In-depth interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya
jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman (guide) wawancara dimana pewawancara dan informan
terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Keunggulannya
ialah memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah data yang banyak
(Hariwijaya 2007).
3. Catatan Lapangan ( Field Note )
Catatan ini merupakan hasil dari penelitian yang didengar, dilihat,
dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dalam penelitian kualitatif
(Sugiyono, 2014 )
3.6 Uji Keabsahan Data (uji triangulasi sumber)
Untuk mencapai kesimpulan yang valid, maka dilakukan uji
keabsahan data terhadap semua data yang terkumpul. Uji keabsahan data ini
dilakukan dengan menggunakan teknik trianggulasi yang dapat digunakan
untuk melakukan uji keabsahan data, yaitu:(1) teknik metode, (2) teknik
sumber,(3) teknik penelitian dan (4) teknik teori.
Pada penelitian ini untuk menguji keabsahan data yang telah diperoleh
peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai berikut:
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dapat dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini wawancara yang
29

dilakukan selain dengan pendamping pasien juga dengan keluarga


pasien (istri pasien).
2. Triangulasi Metode
a. Pedoman Wawancara (In-depth interview)
Pedoman wawancara yaitu serangkaian pertanyaan yang akan
ditanyakan pada responden yang mana hal ini digunakan sebagai
petunjuk saat melakukan wawancara.

3.7 Analisa data


Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi
dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya di interprestasikan
oleh peneliti dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan
rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam analisa data adalah :
3.7.1 Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi.
Kemudian hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian
disalin dalam bentuk transkrip.
3.7.2 Mereduksi data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkrip. Data obyektif analisis
berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic kemudian dibandingkan
nilai normal.
1. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel dan teks naratif,
kerahasiaan dari responden dijamin dengan jalan mengaburkan
identitas dari responden.
2. Kesimpulan
Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan
perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan
metode induksi.
30

3.8 Etika Penelitian


Dicantumkan etika yang mendasari suatu penelitian, terdiri dari :
1. Informed Consent (persetujuan menjadi responden)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan
informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, serta mengetahui dampaknya (Hidayat, 2011)
2. Anonimity (tanpa nama)
Merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek
penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama
responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2011).
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2011).
31

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini hasil penelitian yang telah dianalisis oleh peneliti dapat
disimpulkan dengan 3 tema yaitu:
4.1 Hasil
4.1.1 Gambaran Umum
Gambaran secara umum partisipan yang memenuhi kriteria dalam
penelitiian, dapat digambarkan sebagai berikut :
Partisipan adalah seorang penderita gagal ginjal kronik yang divonis
sejak tahun 2012. Partisipan berusia 48tahun,berjenis kelamin laki-laki dan
berpendidikan SMP. Partisipan merupakan seorang kepala rumah tangga
yang memiliki istri dan 3 orang anak. Selain itu partisipan juga menjadi
tulang punggung keluarga. Semenjak divonis gagal ginjal pada tahun 2012,
partisipan menjalani pengobatan alternative dan menolak cuci darah karena
tidak ada dukungan dari keluarganya. Keluarga partisipan beranggapan jika
cuci darah hanya menyambung umur sementara saja. Setelah 2 tahun
menjalani pengobatan alternatif kondisi partisipan menjadi semakin
memburuk dan menyebabkan partisipan sempat depresi karena penyakitnya.
selanjutnya partisipan dan keluarga menyetujui cuci darah. Setelah divonis
gagal ginjal partisipan kesulitan dalam beraktivitas karena sering mengalami
kelelahan dan sesak nafas, sehingga perannya menjadi seorang tulang
punggung menjadi terganggu.
Partisipan juga sempat mengalami depresi,selain akibat dari
penyakitnya juga karena pada saat partisipan menjalani terapi cuci darah
anak ketiganya mengalami peradangan otak sehingga harus menjalani
beberapa operasi. Selama masa-masa depresi partisipan mendapatkan
dukungan penuh dari istrinya. Dukungan istri partisipan berupa perhatian
dan semangat. Kemudian partisipan mencoba bangkit dengan semangat
hidup kembali. semangat partisipan timbul saat melihat anak ketiganya
sedang sakit. Partisipan mulai memikirkan tanggungjawabnya sebagai
suami dan ayah sehingga harus segera bangkit, semenjak inilah partisipan
32

mulai bekerja kembali dengan mempertimbangkan kondisi tubuhnya dan


merubah pola pikirnya menjadi pola pikir yang positif.
4.1.2 Tema 1 : Kesehatan Fisik
Pada tema pertama terkait dengan kesehatan fisik. Kesehatan fisik
dalam hal ini meliputi energy dan kelelahan, pola istirahat tidur, kapasitas
kerja, ketergantungan obat-obatan, sakit dan ketidaknyamanan serta
mobilitas..
Partisipan sering mengalami gangguan kesehatan fisik misalnya
kelelahan, pusing dan sesak. Hal ini didukung dari pernyataan partisipan
sebagai berikut :
“ lemes wes gak kuat apa apa”
Istri dari partisipan juga meyatakan jika suaminya kerap pusing,
dengan didukung pernyataan sebagai berikut :
“ lek habis hd pusing “
Sebelumnya partisipan menceritakan jika partisipan pernah membuka
usaha pangsit selama 1.5 tahun dan kemudian partisipan merasa dirinya
tidak sanggup karena kapasitas kerjanya yang mulai menurun.hal ini
didukung dengan pernyataan sebagai berikut :
“bangkit saya itu terus saya jual pangsit, trs jual pangsit dapat 1.5
udah gak kuat lagi sering ngedrop saya itu, terus berhenti”

Ketika partisipan ditanyakan alasan tidak kuat berjualan pangsit


adalah karena sering kelelahan, hal ini dapat dilihat dari pernyataan
partisipan sebagai berikut :
“kecapek an kan rame pangsit itu”
Selain itu istri partisipan juga menceritakan jika sebenarnya
partissipan hanya mengerjakan beberapa pekerjaan ringan saja tetapi sudah
tidak kuat. Hal ini dilihat dari pernyataan istri partisipan yaitu :
“gak kerjo mek ngewangi ndk omah tok, pak bambang mek ngedoli
ngene ngene tok mb( memperlihatkan gerakan mengaduk-aduk mie ), lek
pekoro umek sing ndik dapur yo aku dewe,engkuk mari dodol duik kekno
aku, korahan aku, ngringkesi aku, lek dibayangno dewe aku kuesel. Lek
dodol pangsit aku kesel dewe, kulakan aku nang blimbing isuk dewean, sing
33

ngrajang brambang sing nggoreng krupuk, nggawe krupuk maringunu,


waduh sing ngumek yo aku wes pokoke , lek onok wong tuku kopi yowes aku
mlebu metu nggodokno kopi, mejo wes ketoto kabeh, yo aku sing noto mas
supri pokok e wes ngerti di toto, bapak e mek ngedoli tok, sembarang wes
nyepak kabeh “

( “Tidak kerja, hanya membantu di rumah saja, pak bambang hanya


menjual gini gini tok ( memperlihatkan gerakan mengaduk aduk mie ) kalau
yang sibuk di dapur ya saya sendiri, nanti habis jualan ya uangnya dikasih
ke saya cuci piring ya aku, merapikan ya saya, kalau dibayangkan sendiri
ya saya yang capek, yang motong bawang,yang nggoreng krupuk, buat
krupuk terus, waduh yang ribet ya saya pokoknya, kalau ada orang beli
kopi ya saya yang keluar masuk buat kopi, meja sudah saya tata semua,
saya yang nata, mas supri pokoknya sudah tahu ketata, bapaknya hanya
melayani aja, semuanya udah siap semua “ ).

Setelah membuka usaha pangsit partisipan merasakan bahwa dirinya


tidak kuat kemudian partisipan membuka usaha lainnya yaitu tukang kunci
yang dijalani hingga saat ini,akan tetapi partisipan masih mengalami
gangguan kesehatan fisik Hal ini didukung oleh pernyataan istri partisipan
an sebagai berikut :
“tapi lek kate cuci darah lemes yo kadang gak gelem”
( Tapi kalau mau cuci darah lemas ya kadang tidak mau )
Dari pernyatan tersebut juga diketahui partisipan memahami
kapasitas kerjanya, dimana partisipan mulai dapat menilai sejauh mana
kapasitas kerjanya. Hal ini didukung oleh pernyataan istri partisipan antara
lain :
“pokok wayahe cuci darah kadang di panggil wong gak gelem
mbak, lek duplikat yo gelem, lek awak e gak penak yo digarap ae, lek awak
e penak gelem masio dipanggil “

( Pokok waktunya cuci darah kadang di panggil orang tidak mau


mbak, kalau duplikat yam au, kalau badannya gak enak ya di garap saja
kalau badannya enak yam au walaupun di panggil )
34

Selain dari segi penurunan kapasitas kerja, partisipan juga pernah


mengalami ketidaknyamanan yaitu pernah mengalami stress akibat
penyakitnya. Hal ini dilihat dari pernyataan partisipan sebagai berikut :
“stress iku , saya sakit anak saya kok sakit kok sampek kena
radang otak ya iku penyemangat saya”,

Ketika partisipan ditanya mengenai adanya nyeri, partisipan


menunjukkan nyerinya pada kepala, seperti pada pernyataan partisipan
berikut ini:

“:nyeri mbk disini ( menunjukkan kepala )”

Dari ketidaknyamanan tersebut partisipan juga sempat mengalami


gangguan pola tidur, hal ini diketahui dari pernyataannya sebagai berikut :

“biasanya awal awal itu, masih belum bisa nerima, mikir a. maleh
gak bisa tidur tapi skrg wes gak tak pikir pkoke lek k rumah sakit tak
anggep rekreasi bawa makanan minuman”

Ketika partisipan ditanya mengenai pola tidur sekarang partisipan


menyatakan jika dapat tidur enak. Hal ini dikemukakan partisipan pada saat
partisipan ditanya mengenai cara menghilangkan depresi, pernyataannya
adalah sebagai berikut :

“cara ngilangi yaiku, tak pikir-pikir lagi lek ginikan terus mikir ya
percuma terus bangkit yawes gak tak pikir gak tak reken terus depresine
ilang ilang dewe , tidur enak “

Dari beberapa gangguan kesehatan fisik terserbut, partisipan


menyatakan dapat menjalani aktifitas sehari-hari dengan baik walaupun
sempat sedikit mengganggu aktifitasnya. Hal ini diketahui dari pernyataan
partisipan sebagai berikut :

“nggeh nganggu itungane, tapi lek jual pangsit ini maleme bisa tidur
enak soale kecapek an”
35

Pernyatan partisipan yang menyatakan masih beraktifitas biasa


adalah sebagai berikut :

“tetep aktivitas biasa mbak”

Partisipan juga menyatakan jika dirinya memiliki keterbatasan dalam


beraktifitas, pernyataannya adalah sebagai berikut :

“kalo awak e kesel ya gak beraktifitas tapi kalo muasih sehat yo


aktivitas ngene biasa”

Selain partisipan dapat beraktifitas seperti biasanya, profesi


partisipan sebagai tukang kunci panggilan mengharuskan partisipan
bermobilitas. Dari pernyataan partisipan berikut ini diketahui jika partisipan
dapat bermobilisasi dengan baik,

“riwa riwi nginiki mbak” (kesana kemari seperti ini mbak )

Gangguan kesehatan yang dialami oleh partsisipan mengharuskan


partisipan ketergantungan obat, selain ketergantungan dengan cuci darah,
partisipan juga menyatakan jika ketergantungan obat dan harus selalu
minum obat. Pernyataan berikut yang menunjukkan bahwa partisipan
ketergantungan obat :

“langsung tak minumi obat fasorbid mbak”

Ketergantungan ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan saat


ditanya apakah pernah lupa tidak minum obat berikut ini :

“gak pernah, paling lupa jamnya tapi tetep tak minum”

Partisipan juga menyatakan jika dirnya ketergantungan dengan cuci


darah, hal ini dilihat dari pernyataan partisipan antara lain :

“saya mendingan cepet cepet ke hd, gak enak badan cepet hd dan
pulang pulang enak. Kadang kurang 1 hari kok suwe temen. Kayak orang
kecanduan”
36

Pada tema pertama sesuai dengan pernyataan partisipan diatas, dan


didukung oleh pernyataan dari istri partisipan dapat peneliti simpulkan
bahwa, Partisipan memiliki gangguan pada kesehatan fisiknya antara lain
sering pusing dan kelelahan,kesulitan menerima kenyataan yang
menyebabkan partisipan sempat stress dan depresi sehingga stirahat dan
tidurnya terganggu, kapasitas kerja yang mulai menurun. Hal ini
menyebabkan partisipan harus ketergantungan dengan terapi cuci darah dan
obat-obatan, akan tetapi hal tersebut tidak menjadikan partisipan
berhalangan dalam beraktifitas dan mobilisasi karena partisipan mengerti
kapasitas dan kondisi dirinya sendiri sehingga partisipan dapat mensiasati
gangguan kesehatan fisik yang timbul supaya dapat beraktifitas dengan
baik.

Energi dan Kelelahan

Istirahat Tidur

Kapasitas Kerja

Kesehatan fisik
Ketergantungan obat - obatan

Sakit dan ketidaknyamanan

Mobilitas

Aktivitas Sehari-hari

Gambar 4.1 : Kesehatan Fisik

4.1.3 Tema 2 : Psikologis


Pada tema kedua terkait dengan psikologis partisipan. Partisipan
yang dijelaskan pada tema ini menjelaskan mengenai kondisi prikologis
partisipan meliputi spiritual, cara berfikir positif, kenikmatan hidup,peran
diri, harga diri dan keyakinan.
37

Partisipan bercerita jika partisipan pernah mengalami depresi dan


stress setelah divonis menderita gagal ginjal kronis yang mengharuskan
partisipan cuci darah seumur hidupnya. Kemudian partisipan mencoba
bangkit dengan cara merubah pola pikir yang positif Hal tersebut didukung
dari pernyataan partisipan, sebagai berikut :
“kadang-kadang pusing itu kan masih belum bisa menerima
keadaan, sik mikir kok aku isok kenek penyakit gini, lama lama saya bangkit
itu wes gak tak pikir yowes gak tak pikir,ya tak anggep ke rumah sakit
rekresi, iyaa tanyao temen temen, tak anggep rekresi.”

Partisipan juga menyatakan selain berfikir positif juga menikmati


hidupnya. Menurut partisipan dengan berfikir positif dan menimati hidup
maka dirinya jarang mengalami keluhan-keluhan yang timbul, hal ini dilihat
dari pernyataan partisipan pada saat ditanya mengenai adanya keluhan
pusing antara lain:

“ya pernah aja, yaitu smbarang dari orangnya kalau gak dipikir
nemen ya gak tinggi tapi lek sakit dipikir ya tambah tingi. Sing penting
enjoy,enjoy saya itu. ke rumah sakit ae wes enjoy, didalam hati ya guyon-
guyon”

Partisipan juga menikmati hidup dengan cara membuat bahagia


keluarganya, hal ini didukung dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:
“Menikmati hidup saya, ingin makan warung ayo anak saja tak ajak,
ke restoran ayo, tak nikmati seenak-enaknya aku, jadi gak pingin duwe
duwek sak mene ate tuku ngene enggak, pokoknya saya ingin makan ya
mangan ingin minum ya minum, soale anak wes tak mapakno, mangkane
tetep ae anak sek butuh bapak, anak e butuh duwek yo pak, masio nduwe
putu yo putune pak, nginiki mari nukokno mantune pakean, nginiki yo
nukuokno gelang kalunge putu.putu pertama kan seneng-seneng e Tapi
punya kebahagiaan gitu lo, aku lo wes nukokno putu iso nukokno mantu,lo
aku sek loro tapi Alhamdulillah sek isok ngene, bukane sombong tapi ancen
alhamdulillah.mati gak tak bawa. Ini gini anak gak onok opo-opo ayok
golek mangan , tak ajak mangan mbak”
38

Maksutnya adalah, partisipan menikmati hidup misalnya ingin makan


diluar maka mengajak istri dan anak-anaknya. Menurutnya yang penting
anak sudah dimapankan dan tinggal menimati hidupnya. Selain menimati
hidup dengan membuat bahagia keluarganya, partisipan juga masih dapat
menjalankan perannya sebagai suami dan bapak. Hal ini didukung
pernyataan partisipan sebagai berikut ini :
“gini-gini Alhamdulillah sudah bisa buatkan rumah anaknya yang
besar,maksudnya anak 3 saya sudah tak toto wes tak buatkan rumah, ini
wes tak buatkan rumah, anak saya sek membutuhkan saya, kekurangan apa-
apa ya sek bapak”

Dari segi spiritual partisipan juga masih beribadah dengan baik, hal
ini ditunjukkan dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :

“ya biasanya kan ekonomi gak gini ya mikir yaiku tak buat sholat
mintak petunjuk pada tuhan tp Alhamdulillah masih dikasih rejeki dadi
punya keyakinan itu”

Partispan juga berusaha menyesuaikan diri supaya dapat beraktifitas


secara normal, hal ini dibuktikan dari beberapa pernyataan partisipan berikut
ini:
“biasanya dikasih suami saya itu mbak”

Selanjutnya dari aktifitas pasien sendiri, pasien tidak memiliki terlalu


banyak aktifitas saat berada dirumah, ditambah lagi dengan kondisi sakit
pasien yang membuat pasien tidak lagi dapat bekerja selama tiga tahun ini.
Pernyataan tersebut di jelaskan oleh partisipan sebagai berikut :

“saya berusaha patuh sama medis pokok saya manut hd ya hd,


dikasih obat ya tak minum. Saya udah habis segini ( menunjukkan 1 gelas
kcil ),saya itu tadi mintak es campur, saya suruh beli orson saya minum,
pokok rodok ndableg, lah dableg e enggak tak pikir opo maneh sebelum HD
39

saya balas dendam, biasanya dulu di comboran bakso semangkok, es


blewah kadang kopi kadang teh, terus timbang naik”

Maksudnya adalah partisipan berusaha menyesuaikan diri dengan


cara makan dan minum secara bebas jumlah dan jenisnya 1 hari sebelum
cuci darah. Hal ini juga didukung dengan pernyataan lain partisipan sebagai
berikut :

“ya alhamdulillah, resikone nnt kalau sesek besok kan mau cuci
mbak. Siasatku besok mau cuci kopi sak gelas teh, teh sak gelas masuk
semua.”

Selain mengenai pola makan dan minum, partisipan juga


menyesuaikan diri dengan membatasi aktivitasnya, hal ini didukung dengan
pernyataan istri partisipan sebagaiberikut :

“pokok wayahe cuci darah kadang di panggil wong gak gelem , lek
duplikat yo gelem, lek awak e gak penak yo digarap ae, lek awak e penak
gelem masio dipanggil”

Pada tema kedua sesuai dengan pernyataan partisipan diatas, dan


didukung oleh pernyataan dari istri pasien dapat peneliti simpulkan bahwa
keadaan psikologis partisipan masih baik, dimana masih berpikir positif
walaupun sempat depresi karena tidak dapat menerima kenyataan di vonis
gagal ginjal, dari segi spiritual partisipan masih beribadah sesuai dengan
keyakinannya. Selain itu partisipan juga masih memerankan peran diri
decara baik walaupun dalam keadaan sakit. dari segi kenikmatan hidup
partisipan sangat menikmatinya dan berusaha menyesuaikan diri baik secara
pola makan dan minum maupun penyesuaian diri beraktivitas.
40

Spiritual

Cara berfikir positif

Psikologis Kenikmatan hidup

Peran diri

Penyesuaian diri

Gambar 4.2 : Psikologi

4.1.4 Tema 3 : Lingkungan


Pada tema ketiga menjelaskan kualitas hidup dari segi lingkungan
antara lain penilaian kondisi tempat tinggal, hiburan/rekreasi, kepedulian
terhadap lingkungan sekitar, kebebasan dan keamanan dalam beraktifitas
serta status ekonomi partisipan.
Pada proses wawancara partisipan diberi pertanyaan mengenai
penilaian mengenai kondisi tempat tinggalnya sekarang, menurut partisipan
sudah puas dan bersyukur dengan tempat tinggalnya, menurutnya lebih
penting memapankan anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat pada pernyataan
partisipan sebagai berikut :
“pokoknya anak sudah mapan maksudnya yang ini sudah tak kasih
tempat sendiri, tinggal satunya sudah tak belikan tanah belum tahu kapan,
kan bakale tetep disini ambik momong adikke”

Partisipan juga menyatakan jika status ekonominya masih stabil


walaupun partisipan sebagai tulang punggung keluarga dan mengalami
gagal ginjal, hal ini dinyatakan dalam pernyataan sebagai berikut:
“tapi Alhamdulillah, ibuk ini kan diabet udah lama tapi kan sek
ketok seger, Alhamdulillah koyok ekonomi masih stabil. Rata-rata orang
dari ekonomi kacaunya. ”,
Selain pernyataan dari partisipan tersebut, istri partisipan juga
menyatakan jika anak-anaknya yang sudah bekerja turut membantu ekonomi
keluarga, seperti pernyataan berikut :
41

“anak e setor mbak setiap minggu, kan membantu pekerjaan sek


onok pemasukan tapi sek pun mbantu”

Selain itu partisipan masih memiliki rasa kepedulian terhadap


lingkungan sekitar dengan cara masih aktif mengikuti kegiatan di
masyarakat. Hal ini didukung dari pernyataan partisipan sebagai berikut :
“kalau kerja bakti saya datang kalau gak boleh kerja, kalau tahlil
saya tetep ikut. Ya orang orang tau sendiri gitu lo”

Dalam melakukan kegiatan di masyarakat partisipan menyatakan jika


partisipan merasa bebas dan aman. Hal ini dapat dilihat dari jawaban
partisipan saat ditanya mengenai apakah merasa aman bermobilisasi sebagai
berikut :
“gak duwe pikiran ngunuku”
Partisipan memiliki cara menghibur diri. Menurut partisipan
hiburannya adalah pada saat partisipan cuci darah dan bekerja. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan berikut ini :
“hiburane hd, tak rasakno lek hd tambah seneng aku, gumbul
konco, ayo ngopi-ngopi, tak jak ngopi saya yang sering ngajak ngopi,
orang-orang gamau saya yang ngajak ngopi dulu temenku 7 tak ajak ngopi
tak kasih rokok,rokok an gak kuat mati kabeh. (hahaha)”,

Ketika partisipan ditanyamengenai seberapa sering rekreasi, partisipan


menyatakan jika lebih suka bekerja, hal ini dilihat dari pernyaaan partisipan
antara lain:
“enggak mbk, seneng disini aku,dijak maen-maen jarang mau saya
itu, dijak mase rekreasi gamau, saya itu gamau, males, inginku time is
money iku lo, gatau dari dulu, ket bujang senenge time its money saya itu”

Pada tema ketiga sesuai dengan pernyataan partisipan diatas, dan


didukung oleh pernyataan dari istri pasien dapat peneliti simpulkan bahwa
keadaan status ekonomi partisipan masih stabil dan didukung oleh anak-
anaknya selain itu sistem hiburan partisipan adalah bekerja membuat
partisipan masih tetap semangat dalam memenuhi tanggung jawabnya
42

sebagai tukang punggung keluarga, penilaian terhadap kondisi tempat


tinggalnya partisipan merasa puas dan partisipan memprioritaskan masa
depan anaknya. Dalam segi lingkungan sekitar partisipan masih aktif dalam
kegiatan kemasyarakatan.
Penilaian kondisi tempat
tinggal

Hiburan/ rekreasi

Kepedulian dengan
lingkungan sekitar
lingkungan

Kebebasan dan keamanan


dalam beraktifitas

Status ekonomi

Gambar 4.3 : lingkungan

4.1.5 Tema 4 : Sosial


Pada tema keempat menjelaskan kualitas hidup dari segi social antara
lain dukungan keluarga, hubungan dengan sanak-saudara dan hubungan
dengan teman diruang cuci darah
Pada proses wawancara istri partisipan mengatakan jika awalnya
mendapat penolakan dari pihak keluarganya mengenai cuci darah, sehingga
partisipan menjalani pengobatan altenatif selama 2 tahun.. Hal ini dapat
dilihat pada pernyataan partisipan sebagai berikut :
“yo keluarga mbak,gak oleh cuci darah terus maringunu akhire
dokter gk tanggung trs di cuci darah langsung di gowo ng RSU langsung
cuci darah, terus lek gak cuci darah gimana dok, ya meninggal suaminya
ibuk, bapaknya itu lo mau cuci darah buk, ibunya kok gakmau, tadi katanya
keluarganya gak boleh cuci, terus tak telfon keluarganya , wes tanda tangan
ae cuci darah gapapa, akhire cuci darah.”
43

Maksudnya adalah keluarga partisipan melarang cuci darah karena


berpendapat cuci darah hanya menyambung umur sebentar saja, akhirnya
setelah mendapat penjelasan dokter mengenai cuci darah keluarga
menyetujui.

Selain dukungan keluarga mengenai cuci darah, istri partisipan juga


menyatakan turut memberi semangat saat partisipan mengalami depresi, hal
ini dinyatakan dalam pernyataan sebagai berikut:
“yo nyemangati mbak, sakjane gak gelem cuci darah, terus aku
nangis, samean lek gak gelem cuci darah wes engkuk pokok e oleh obat
tekan rumah sakit, samean gak nguasno anake a, anakku kan
berkebutuhan kusus mbak”,

Maksud dari pernyataan istri partisipan adalah memberi semngat


partisipan dengan cara mengingatkan partisipan dengan kondisi anaknya
yang mengalami kebutuhan khusus dan juga mengajak partisipan keluar
jalan jalan untuk mengurangi stresnya. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan berikut ini :

“nggeh anak e tak kengken kon ngejak medal, le bapakmu jak en


mlaku” jak en metu sepedaan nandi ben keslimur pikirane” ( iya anaknya
saya suruh ngajak keluat, le bapak ajak jalan jalan sepedaan biar lupa
dengan yang dipikirkan )

Dukungan keluarga juga dalam bentuk dukungan ekonomi seperti


pernyataan dari istri partisipan berikut :

“iyo mbak tak runding anak e saiki bapakmu gak kuat kerjo, terus
awakmu kerjo ndk blimbing, akhire bukak mriki, kulo buka pangsit…”

Selain dukungan keluarga , hubungan partisipan dengan sanak saudara


masih baik . Hal ini didukung dari pernyataan partisipan sebagai berikut :
“iya mbk saudara-saudara kesini, saya tetep k mbakyu mbkyune iki (
menunjuk keistri ), ke tetangga-tetangga silahturahmi”
44

Hubungan dengan teman teman sesama penderita gagal ginjal yang


menjalani cuci daah juga baik sebagai berikut :
“hiburane hd, tak rasakno lek hd tambah seneng aku, gumbul konco,
ayo ngopi-ngopi, tak jak ngopi saya yang sering ngajak ngopi, orang-orang
gamau saya yang ngajak ngopi dulu temenku 7 tak ajak ngopi tak kasih
rokok,rokok an gak kuat mati kabeh. (hahaha)”

Partisipan juga mengatakan sering memberi semangat kepada teman-


teman yang baru menjalani cuci darah. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan
berikut ini :
“saya sering ngasih motivator ke temen yang baru-baru”,

Pada tema keempat sesuai dengan pernyataan partisipan diatas, dan


didukung oleh pernyataan dari istri pasien dapat peneliti simpulkan bahwa
dari segi social diketahui bahwa dukungan keluarga sangat mempengaruhi
kondisi fisik maupun psikologi partisipan, selian itu dengan adanya semngat
hidup partisipan membuat partisipan dapat membina hubungan social yang
baik kepada sanak saudara, tetangga maupun teman teman sesame penderita
gagal ginjal yang menjalani hemodialisa.

Dukungan keluarga

Hubungan dengan sanak


sosial
keluarga dan tetangga

hubungan dengan teman


teman sesame cuci darah

Gambar 4.4 : lingkungan

4.2 Pembahasan
Dalam penelitian ini, Gambaran kualitas hidup Tn B penderita gagal
ginjal kronik stadium V dalam menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa
45

rumah sakit Kota Malang terjawab dalam 4 tema, yaitu : Kesehatan fisik,
psikologi, lingkungan dan social.
Tema-tema ini dapat disimpulkan dan dibahas sesuai dengan tinjauan
literatur dan hasil penelitian terdahulu yaitu :
4.2.1 Tema 1 : Kesehatan fisik.
Dalam segi kesehatan fisik, partisipan sering mengalami gangguan
fisik misalnya pusing dan kelelahan. Pada awal-awal partisipandi vonis
gagal ginjal sempat mengalami kesulitan menerima kenyataan yang
menyebabkan partisipan sempat stress dan depresi sehingga stirahat dan
tidurnya terganggu.Selain itu seringnya mengalami pusing dan kelelahan
menyebabkan kapasitas kerjanya menurun. Hal ini menyebabkan partisipan
harus ketergantungan dengan terapi cuci darah dan obat-obatan,
ketergantungan obat misalnya obat hipertensi dimana partisipan menyatakan
jika tidak pernah lupa untuk minum obat. akan tetapi hal tersebut tidak
menjadikan partisipan berhalangan dalam beraktifitas dan mobilisasi,
partisipan masih bekerja sebagai tukang kunci dan kerap menerima
panggilan kunci ke tenpat pelanggannya.Partisipan mengerti kapasitas dan
kondisi dirinya sendiri sehingga partisipan dapat mensiasati gangguan
kesehatan fisik yang timbul supaya dapat beraktifitas dengan baik.

Menurut WHOQoL-BREF (Power dalam Lopez & Snyder, 2008)


Dimensi Kesehatan Fisik, yaitu kesehatan fisik dapat mempengaruhi
kemampuan individu untuk melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan
individu akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang merupakan
modal perkembangan ke tahap selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup
aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-obatan, energi dan
kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat,
kapasitas kerja. Hal ini terkait dengan private self consciousness yaitu
mengarahkan tingkah laku ke perilaku covert, dimana individu lain tidak
dapat melihat apa yang dirasakan dan dipikirkan individu secara subjektif.
Penderita gagal ginjal dalam dimensi kesehatan fisik akan terganggu,
gangguan yang sering muncul biasanya adalah sering kelelahan,pusing,
sesak nafas, hipertensi, gangguan kondisi kulit misalnya kering dan gatal-
46

gatal, dan lain-lain. Dalam kondisi tersebut, penderita gagal ginjal akan
mengalami kesulitan dalam beraktifitas fisik karena akan mempengaruhi
kapasitas kerja dan menurunnya energy yang dipergunakan dalam
beraktivitas. Selain menurunkan kapasitas kerja dan energy, banyaknya
gangguan yang sering muncul pada penderita gagal ginjal juga
menyebabkan gangguan istirahat dan tidur, ganguan ini selain akibat dari
gangguan fisik juga dapat terjadi akibat gangguan secara psikologis. Seperti
yang diceritakan oleh partisipan,pada awal-awal divonis mengalami gagal
ginjal sempat stress dan depresi karena tidak dapat menerima kenyataan
sehingga menyebabkan partisipan tidak dapat tidur dan istirahat karena terus
memikirkan kondisinya. Dalam kondisi seperti ini penderita gagal ginjal
akan mengalami kondisi kesehatan fisik yang menurun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh dewi (2018),Hasil penelitian
menunjukkan bahwa domain fisik dan psikologis pasien termasuk dalam
kategori kualitas hidup sedang, sedangkan untuk domain sosial dan
lingkungan termasuk dalam kategori kualitas hidup baik.
Berdasarkan teori kulitas hidup pasien dapat dilihat dari aspek fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual. Kulitas hidup pasien yang baik dari segi
fisik dapat dilihat dari sedikitnya keluhan fisik yang dialami seperti lelah,
sesak, kesulitan beraktivitas, pusing, mual, odema, dan lain-lain. Menurut
partisipan, dirinya jarang mengalami keluhan fisik yang berarti. Dilihat dari
segi fisik partisipan juga tidak mengalami oedem, kulit tidak mengalami
kering dan gatal-gatal, terlihat segar dan terlihat beraktivitas layaknya orang
yang sehat, bahkan pada saat wawancara partisipan juga sempat mendapat
panggilan kunci ke tempat pelanggan dengan membawa motornya
sendiri.partisipan memiliki cara untuk mesiasati apabila dirinya mengalami
gangguan kesehatan fisik yaitu partisipan dapat memperkiraan kondisi
fisiknya misalnya dalam pola minum, partisipan menyatakan jika minum
secara bebas tetapi jika sudah merasa mulai sesak maka akan berhenti
minum. Partisipan juga menyatakan jika sebelum cuci darah partisipan
minum dan makan secara bebas tanpa takut bengkak maupun sesak nafas.
47

Selain pola makan dan minum, partisipan juga membatasi aktivitasnya ika
menurutnya kondisi fisiknya mulai lelah.
Pendapat tersebut berbanding terbalik dengan penelitian yang
dilakukan oleh Apriandini (2017) yang menyebutkan bahwa Menurut
peneliti, aspek fisik merupakan aspek yang paling terkena dampak dari
prognosis penyakit pasien. Berdasarkan literature review yang peneliti
lakukan, hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan aspek fisik kualitas
hidup pasien cenderung berada pada kualitas rendah atau kurang baik
dibandingkan dengan aspek psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.
Selain karena prognosis penyakit langsung berdampak pada kondisi pasien,
penurunan kemampuan fisik yang dirasakan pasien seperti nyeri, kelemahan
otot, pucat, pusing, edema, serta pruritus turut mempengaruhi ketiga aspek
lain sehingga kualitas hidup secara keseluruhan ikut terpengaruh.

4.2.2 Tema 2 : Psikologi


Partisipan pernah mengalami stress hingga depresi pada masa-masa
awal divonis gagal ginjal,selain itu partisipan sempat tidak mendapat
dukungan dari keluarga untuk melakukan cuci darah karena keluarga
beranggapan jika cuci darah hanya menyambung umur sementara. Hal
inilah yang menambah stressor partisipan.setelah mengalami depresi
partisipan berusaha bangkit dengan semangat hidup lagi, melihat keadaan
anak bungsunya yang mengalami radang otak hingga menjadi anak
berkebutuhan khusus. Partisipan memulai berpikir positif, merubah
stressor menjadi suatu penyemangat misalnya partisipan mengganggap
waku cuci darah sebagai waktu rekreasi dan bertemu dengan teman-teman
sesame cucidarah. Selain itu partisipan juga mengatakan jika tidak takut
dengan ketentuan Tuhan mengenai umur manusia, dari segi spiritual
partisipan masih beribadah sesuai dengan keyakinannya. Salah satu cara
partisipan menghilangkan depresinya adalah menenangkan diri dan
beribadah dan berdoa. Selain itu partisipan juga masih memerankan peran
diri decara baik walaupun dalam keadaan sakit, peran yang dimaksud
adalah peran sebagai suami dan ayah. Hal ini ditunjukkan dengan
tanggung jawabnya sebagai orang tua yaitu menafkahi dan sanggup
48

membuatkan rumah anaknya. Dari segi kenikmatan hidup partisipan


sangat menikmatinya, partisipan mengatakan jika dirinya jarang
mengalami stress maupun cemas karena menurut partisipan dari pola pikir
yang positif maka akan berpengaruh terhadap fisik dan tekanan fikiran.
Partisipan juga berusaha menyesuaikan diri baik secara pola makan dan
minum maupun penyesuaian diri beraktivitas.

Keadaan partisipan tersebut bertentangan dengan hasil penelitian


yang dilakukan oleh Cahyani, Tyaswati dan Rachmawati (2016) tentang
hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien
Chronic Kidney Disease (CKD) yang menjalani hemodialisis di RSD dr.
Soebandi Jember dengan jumlah responden 30 orang. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut didapatkan bahwa pasien CKD yang menjalani
hemodialisis sebanyak 25 responden (83,33%) memiliki tingkat
kecemasan sedang hingga berat, sementara sebanyak 24 responden (80%)
memiliki kualitas hidup yang buruk. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
terdapat korelasi kearah negatif antara kecemasan dengan kualitas hidup,
yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan maka kualitas hidup
pasien akan semakin buruk.
Partisipan dapat merubah stressor sebagai suatu semangat hidup pada
saat mengalami depresi sesuai dengan penjelasan Rasmun (2014), ada
beberapa faktor yang memengaruhi respons terhadap stressor, yaitu
bagaimana individu mempersepsikan stressor, bagaimana intensitasnya
terhadap stimulus, jumlah stressor yang harus dihadapi dalam waktu yang
sama, lamanya pemaparan stressor, pengalaman masa lalu, serta tingkat
perkembangan.
Kualitas hidup merupakan kondisi dimana pasien kendati penyakit
yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosial
maupun spiritual. Depresi berkaitan erat dengan kulitas hidup pasien.
Berdasarkan teori kulitas hidup pasien dapat dilihat dari aspek fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual. Kulitas hidup pasien yang baik dari segi
fisik dapat dilihat dari sedikitnya keluhan fisik yang dialami seperti lelah,
sesak, kesulitan beraktivitas, pusing, mual, odema, dan lain-lain. Sedangkan
49

untuk masalah sosial dapat dilihat dari dukungan keluarga yang baik,
dukungan dari lingkungan, tenaga kesehatan, dan dukungan dari pasangan.
Jika keluhan-keluhan fisik, psikologis, dan spiritual ini tidak dialami pasien
dan pasien merasa nyaman dengan keadaan maka dapat dikatakan kualitas
hidup pasien baik. Sehingga dapat mengurangi tingkat depresi pada pasien,
dikarenakan stresor yang diperoleh oleh pasien merupakan stresor yang
positif.( Supriyadi,2011)
4.2.3 Tema 3 : Lingkungan
Dalam segi lingkungan dari keadaan status ekonomi partisipan masih
stabil,hal ini karena partispan masih bekerja secara aktif sebagai tukang
kunci dan menerima panggilan kunci ke tempat pelanggan,selain itu
partisipan juga didukung oleh anak-anaknya yang sudah bekerja dengan
cara mereka memberi sebagian penghasilannya untuk membayar tagihan
jaminan kesehatan.Keadaan status ekonomi partisipan juga dapat diketahui
bahwa partisipan masih dapat membuatkan rumah anak sulungnya yang
sudah berkeluarga dan masih sering memberi hadiah untuk cucu seperti
perhiasan dan pakaian.Partisipan juga menilai kondisi tempat tinggalnya
cukup nyaman dan puas, menurut partisipan yang diprioritaskan saat ini
adalah masa depan anak-anaknya.
Sistem hiburan partisipan adalah bekerja membuat partisipan masih
tetap semangat dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai tulang
punggung keluarga, menurut partisipan waktu adalah uang,hal ini mulai
tumbuh sejak partisipan masih muda dan tidak berubah pada saat partisipan
divonis gagal ginjal. Sistem hiburan partisipan selain bekerja juga pada saat
cuci darah, menurutnya pada saat cuci darah partisipan dapat berkumpul
dengan teman-temannya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa partisipan masih dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan semangat bekerja sebagai
media hiburan, hal ini didukung oleh Soemarwoto (2011), kebutuhan hidup
yang esensial, disebut sebagai kebutuhan hidup dasar. Persepsi orang
tentang kebutuhan dasar berbeda beda, karena dipangaruhi pula oleh faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan waktu, serta pertimbangan kebutuhan jangka
50

pendek dan jangka panjang. Kualitas hidup pada dasarnya tergantung pada
pemenuhan kebutuhan dasar masing masing individu. Semakin baik
kebutuhan dasarnya dipenuhi maka semakin baik pula mutu hidupnya.Mutu
hidupnya itu sering dapat diperbaiki lagi apabila kebutuhan hidup yang
tidak esensial dapat pula dipenuhi. Akan tetapi apabila kebutuhan dasar
tidak dapat dipenuhi, pemenuhan kebutuhan yang tidak esensial tidaklah
banyak artinya.
Hal ini juga didukung oleh Apriandini (2017), Menurut peneliti,
aspek lingkungan turut mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisis.
Kondisi tempat tinggal yang aman serta lingkungan tetangga yang baik akan
membuat perasaan lebih tenang dan nyaman. Berkumpul dan menghabiskan
waktu berlibur bersama keluarga mampu menjadi distraksi yang baik bagi
pasien untuk beralih fokus dari kondisi sakit yang dialami. Ketersediaan
fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan juga biaya pengobatan turut
mempengaruhi. Kualitas hidup pasien hemodialisis regular antara pasien
yang dekat dan jauh dengan fasilitas kesehatan tentu akan berbeda jika
dibandingkan. Pasien yang tinggal jauh dari fasilitas kesehatan akan
memiliki beban yang lebih, belum lagi jika harus menggunakan transpotasi
umum. Biaya pengobatan yang tidak murah untuk setiap kali prosedur juga
menjadi beban bagi pasien jika tidak dibantu dengan adanya asuransi
kesehatan.

4.2.4 Tema 4: Sosial


Segi sosial diketahui bahwa dukungan keluarga sangat mempengaruhi
kondisi fisik maupun psikologi partisipan, hal ini dilihat pada saat partisipan
mengalami depresi hal yang membuat partisipan semangat adalah melihat
keadaan anak bungsunya yang mengalami radang otak dan berkebutuhan
khusus, dukungan keluarga juga berupa mengajak jalan-jalan partisipan
ketika partisipan stress memikirkan kondisi penyakitnya. dari segi ekonomi
partisipan juga didukung oleh keluarganya dengan cara anak-anaknya
menyisihkan penghasilannya untuk membayar jaminan kesehatan partisipan.
Selain semangat hidup yang dimiliki partisipan membuat partisipan dapat
51

membina hubungan social yang baik kepada sanak saudara, tetangga


maupun teman teman sesame penderita gagal ginjal yang menjalani
hemodialisa. Pada awal-awal partisipan sempat mendapat penolakan
keluarga terhadap cuci darah, pada saat itu kondisi partisipan semakin
menurun baik fisik maupun mental. Setelah keluarga mendapat pengarahan
dari dokter dan menyetujui cuci darah lambat laun partisipan mulai
memiliki semangat hidup kembali. Dari hal ini dapat diketahui jika
dukungan keluarga sangatlah penting bagi partisipan. Semangat hidup
partisipan muncul dari rasa tanggungjawabnya terhadap keluarganya.
Dukungan keluarga yang positif akan memberi kontribusi semangat hidup
yang positif begitu pula jika tidak ada dukungan maka akan menurunkan
semanat hidup penderita gagal ginjal.
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukriswati
(2016) tentang hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Moewardi
Surakarta dengan jumlah responden 87 orang. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut didapatkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 47
responden (54%) mendapatkan dukungan keluarga, dan sebanyak 59
responden (68%) memiliki kualitas hidup yang baik. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa terdapat korelasi positif antara dukungan keluarga dengan
kualitas hidup, yang berarti bahwa dukungan dari keluarga sangat berperan
dalam kualitas hidup pasien.
Menurut Apriandini (2017), aspek hubungan sosial turut
mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisis. Berdasarkan literature
review yang peneliti lakukan, hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi
dukungan sosial yang diterima oleh pasien maka kualitas hidupnya akan
semakin baik. Dukungan keluarga dan teman terhadap pasien dengan cara
mengeksplor perasaan, empati, memberikan kehangatan, serta menemani
dan mendukung pasien saat melakukan terapi, akan berdampak pada
peningkatan kualitas hidup pasien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang peneliti dapatkan bahwa sebanyak 53 orang (81,5%) pasien berstatus
52

menikah dan sebagian besar didampingi oleh pasangan maupun keluarga


saat melakukan hemodialisis rutin 2 kali seminggu.
Selain dari dukungan keluarga,hubungan partisipan dengan sanak
keluarga, tetangga dan teman-teman yang cuci darah sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup partisipan. Dengan membina hubungan dengan
orang lain partisipan akan lebih sering berinteraksi dan bertukar pikiran
dengan orang lain sehingga dapat mengembangkan pengetahuan dan
wawasannya. Partisipan juga dapat hidup bersosial seperti orang sehat pada
umumnya sehingga akan meminimalisir perasaan harga diri rendah terhadap
penyakitnya, hal ini juga menjadi wadah hiburan partisipan dengan
bersosialisai dengan orang lain.
Hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi
(2011) dimana setelah menjalani HD sebagian besar pasien berada pada
tingkat kualitas hidup tinggi. Responden bisa mengungkapkan semua ide
ataupun berpendapat tentang segala sesuatu kepada perawat sehingga
tercipta kelompok sosial yang diharapkan responden. Peneliti menilai bahwa
keadaan tersebut juga tergantung dari dukungan dari keluarga yang besar.
Dimana disetiap pasangan selalu mendampingi responden saat pelaksanaan
HD. Perawat dan tenaga medis merupakan manifestasi ketergantungan
responden pada kelompok sosial yang akan memberikan pertolongan
langsung pada saat responden membutuhkan bantuan.
53

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan analisis data maka dapat disimpulkan


bahwa kualits hidup partisipan masih dalam keadaan baik dari segi kesehatan
fisik, psikologi, lingkungan dan social. Dari segi kesehatan fisik partisipan jarang
mengalami keluhan kesehatan misalnya pusing, kelelahan, oedem,sesak nafas,
gatal-gatal.Keadaan partisipan seacara kasat mata terlihat segar dan seperti orang
sehat pada umumnya. Hal ini karena partisipan mensiasati dengan cara mencegah
terjadi keluhan tersebut dengan cara memperkirakan batas kemampuan dan
kondisi dirinya. Dari segi psikologi partisipan sempat mengalami depresi pada
awal divonis gagal ginjal, akan tetapi partisipan dapat bangkit kembali dengan
semnagat hidup dan kehidupan spiritual yang baik. Partisipan juga dapat
menyesuaikan keadaan dirinya sehingga masih mampu memerankan peran
dirinya sebagai kepala keluarga.

Dari segi lingkungan partisipan masih memiliki kepedualian dengan


lingkungan msyarakat dilihat dari partisipan masih aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan. Media hiburan partisipan adalah bekerja sehingga sampai
saatini status ekonomi keluarga partisipan masih stabil. Partisipan juga masih
merasa bebas dan aman dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Penilaian
partisipan mengenai kondisi tempat tinggal menurutnya puas karena partisipan
memprioritaskan masa depan anak-anaknya.dari segi social partisipan mendapat
dukungan keluarga yang baik walaupun sempat mendapat penolakan keluarga
mengenai cuci darah. dukungan keluarga berupa semangat hidup dan dukungan
secara materil yaitu turut membantu membayar jaminan kesehatan untuk
pengobatan partisipan. Dukungan juga muncul dari sanak saudara dan tetangga.
Partisipan juga memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman sesame cuci
darah bahkan partisipan masih memberi motivasi kepada penderita gagal ginjal
yang baru melakukan cuci darah.
54

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Peneliti

Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya dapat mengembangkan penelitian

tentang Kualitas hidup penderita gagal ginjal secara spesifik dalam

bidang keperawatan.

5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan

Sebaiknya bagi pelayanan bidang kesehatan dapat memberikan asuhan

keperawatan secara komprehensif baik dari segi pelayanan kesehatan

secara jasmani maupun rohani karena penderita gagal ginjal selain

memiliki gangguaan pada kesehatan fisiknya juga mudah rentan

terganggu dari psikisnya.

5.2.3 Bagi Keluarga

Diharapakan keluarga memberi dukungan yang positif terhadap

penderita gagal ginjal.dukungan keluarga sangat penting terhadap

semangat hidup penderita gagal ginjal dan semangat dalam menjalani

hemodialisa seumur hidupnya.


55

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal,R., And Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension Is A Marker Of Volume


Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10):3355-61

Apriandini, Rizki. 2017. Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Stadium Akhir Yang
Menjalani Hemodialisis.Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Bhosley MJ. 2006. Quality Of Life in Patiente With Psoriasis. Health an Quality of
Life Outcomes.

Bieber, S.D. &Himmelfarb, J.2013. Haemodialysis. In: Schrier’s Disease of the


Kidney, 9th Edition, Coffman, T.M., Falk,R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. Editors, Lippincott Williams& Wilkins. Philadelphia:2473-505.

Black.2014. Medical Surgical Nursing Clinical Management For Positive Outcomes (


ed7). St.Louis: Missouri Elsevier Saunders.

Cahyani, N. D., Tyaswati, J. E., & Rachmawati, D. A. (2016). Hubungan Antara


Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Hidup pada Pasien CKD yang menjalani
Hemodialisis di RSD dr.Soebandi Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(2): 210-
2017.

Cantika,A.S., 2012. Hubungan Derajat Keparahan Psioriasis Vulgaris Terhadap


Kualitas Hidup Penderita. Universitas Diponegoro Semarang.

Daugirdas, J. T., Blake, P,G.,&Ing, T,S.,2009. Handbook Of Dialysis 4th Edition.


Philadelphia. Lippincott Williams&Wilkins.

Dewi, Sari Mulya.2018. Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani
Hemodialisa di RSUD Dr Doris Sylvanus Palangkaraya.Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya.

Fresenius Medical Care. 2012. ESRD Patients in 2011, A Global Perspective.


Retrieved from: http://www.vision-fmc.com/files/ diakses 25 desember 2018.

Galieni, M., Butti, A. Guassi, M., Gallassi. Impaired Brachial Aetery Endothelial
Flow Medical Dilation And Orthostatic Stress in Hemidialysis Patient.
International Journal Of Artil Cial Organs.

Galloway.D. 2005. School and Persistents Absentess.USA:Pergamon Press.

Hariwijaya, M. 2007. Metodologi dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi,
Elmatera Publishing. Yogyakarta.

Hidayat, A. 2011. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta.


56

Indonesian Renal Registry. (2012). 7th Report of Indonesian Renal Registry. Jakarta:
PERNEFRI.

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical-Surgical Nursing: Critical


Thinking for Colaborative Care. St.Louis: Elsevier Inc.

Kahneman, D.2009. Objective Happiness. In D. Kahneman,E Diener& Schwars (


Eds),Well-Beings : The Foundations of Hedonic Psikologis. NewYork.

Lopez, A.A., Snyder.2008. Screening for depression in hemodialysis patients:


Associations with diagnosis, treatment, and outcomes in the DOPPS. Kidney
International.

Melo OS, Ribeiro LRR, Costa ALRC et Al 2015. Community Impact of Integritas
Therapy For Renal Patients People During Session Haemodialysis. ISSN 2175-
5361.

Moons, P., Marquet K., Budts W., Gesst, Sabina.2004.. Validity, Realibility and
Responsiveness of the schedule for the Evaluation of Individual Quality of Life-
Direct Weighting ( SEIQOL-DW) in 176 Congenital Heart Disease. USA:
Biomed Ltd.

Muttaqin, Arif&Kumala Sari.2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta. Salemba Medika.

Nahas, Mequid El & Adeera Levin.2010. Chronic Kidney Disease : A pratical Guide
to Understanding and Management. USA: Oxford University Press.

Noghani,M., Asgharpour A., Safa,S., Kermani., M.2007. Quality Of Life in Social


Capital in Masshad City In Iran.Articel 1-5.

Price.2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta. EGC.

Rachmawati, Fuji. 2013. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kualitas Hidup


Pasien Diabetes Mellitus tipe 2.Jakarta

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Salsabila, Mustamira Sofa.2012. Kualitas Hidup Pasien Epilepsi ( Studi Kasus Pasien
Epilepsi Dewasa Awal di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2009). Keperawatan Medikal Bedah : Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC

Soemarwoto.2011. Kualitas hidup Dimensi Lingkungan. Jakarta: Salemba.


57

Son,Y.,J.,Choi,K.,Y., Park,Y.,R.,Bae,J.,L.,(2009).Depression, Symptoms and the


quality of life patients on hemodialysis for end stage renal disease. American
Journal Nephrology,29,36-42.DOI:10.1159/000150599

Sugiyono.2014.Metode Penelitian Kuantitatif Kualtatif Dan R & D.Bandung:


Alfabeta.

Sukandar, E. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah ( PII ) Bagian FIK UNPAD/ Rs Hasan Sadikin.

Sukriswati, I. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien


Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa di RSUD Moewardi Surakarta.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Supriyadi., Wagiyo., & Widowati, S. R. (2011). Tingkat Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronik Terapi Hemodialisis di RSUD Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6(2): 107-112

Suwitra, Ketut.2010. Penyakit Ginjal Kronik.In: Aru W Sudoyo, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid2. Edisi 5. Jakarta:Interna Publishing.

Terry, C, L.,& Aurora, W. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha Publishing.


Testa M.A & Simonson D.C.2008. Assesment Of Quality Life Outcomes. New
England Journal of Medicine.

Wagner, Julie A., Abbott,Gina., Lett, Syretta.2008. Age Related Differences in


Individual Quality of Life Domains inYouth With Type 1 Diabetes, SoM Articles.

WHOQOL-BREF.1996.Introduction,Adminidtration, Scoring and Generic Version of


The Assesment.GENEVA.WHO.

Anda mungkin juga menyukai