Anda di halaman 1dari 14

Topik: Epistaksis Anterior

Tanggal (kasus): 28 januari 2019 Presenter: dr. Arif Maulana


Tanggal (Presentasi): 8 Januari 2019 Pendamping : 1. dr. Tajul Keumalahayati
2. dr. Leni Afriani
Tempat presentasi : Ruang Auditorium RSUD Kota Langsa
Obyektif Presentasi
 Keilmuan Keterampilan Penyelenggaraan Tujuan pustaka
 Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja  Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Pasien rujukan dari rumah sakit Aceh tamiang mengeluh keluar darah
dari hidung sebelah kanan dan kiri + 2 jam SMRS, yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah
darah yang keluar sebanyak + ¼ gelas aqua gelas, berwarna merah segar. Perdarahan juga
terjadi tadi pagi dirumah sakit aceh tamiang dan sekrang mulai berdarah lagi. Keluhan
dirasakan saat sedang istirahat di rumah. Pasien sudah memencet hidung tetapi darah tidak
kunjung berhenti. Pasien menyangkal riwayat trauma ringan dan berat sebelumnya, pasien
juga menyangkal adanya benda asing yang masuk ke dalam hidung. Pasien mengatakan jika
ada luka dan keluar darah, darah cepat berhenti dengan sendirinya. Demam (-), trauma (-),
mual (+) muntah (+) 1x.
Tujuan : Menegakkan diagnosis dan pengobatan yang tepat bagi pasien Epistaksis Anterior
Bahan Bahasan Tinjauan pustaka Riset  Kasus Audit
Cara Diskusi  Presentasi dan Email Pos
Membahas diskusi
Data Pasien: Nama : Ny. H, Perempuan , 28 tahun No. RM : 0-65-52-62
Nama Klinik: Telp : 0852-7073-6672 Terdaftar sejak 28 januari
RSUD Langsa 2019
Data utama untuk bahan diskusi
Diagnosis/ Gambaran Klinis : Epistaksis Anterior/ Keluar darah dari hidung kanan dan
kiri(+) Mual(+) muntah (+) Lemas (+)
Riwayat pengobatan : ada, injeksi kalnex dan injeksi vit k
Riwayat Keluarga :Tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan dan Pasien
tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya

Daftar Pustaka
1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease Aproblem-
Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,
1998: 127 – 31.
3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.
Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.
4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli
bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27,112 – 6.
5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 – 60.
6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common
bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90.
7. Thuesen AD, Jacobsen J, Nepper- Rasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager.
2005. Vol. 167 (34): 3163 – 6.
8. Tiwari D, Plater M, Partridge R, Weston- Simons J. Primary malignan melanoma of nose:
a rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.
9. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-Osler- Weber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005.
Vol. 112 (9): 336 – 9.
10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff
WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 1831
– 41.
11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.
12. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.
Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 – 37.
13. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3.
14. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30 (2):
209 – 10.
15. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine artery as a
primary management of severe posterior epistaxis in patiens with coagulopathy. Ear Nose
Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 – 7.

Hasil Pembelajaran
Defenisi Epistaksis Anterior
Etiologi Epistaksis Anterior
Patofisiologi Epistaksis Anterior
Tatalaksana Epistaksis Anterior
RANGKUMAN

1. Subjektif

Pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kanan dan kiri + 2 jam SMRS,
yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak + ¼ gelas
aqua gelas, berwarna merah segar. Perdarahan juga terjadi tadi pagi dirumah sakit
aceh tamiang dan sekrang mulai berdarah lagi. Keluhan dirasakan saat sedang
istirahat di rumah. Pasien sudah memencet hidung tetapi darah tidak kunjung
berhenti. Demam (-), trauma (-), mual (+) muntah (+).

2. Objektif
Status Present
Kondisi Umum : Sedang
Status Vital : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
HR : 82 x/ menit, regular
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36,6 0C, suhu axila
Berat Badan : 53 Kg
Panjang Badan : 155 cm
Status Gizi : Baik

Status General
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : Sekret (-), perdarahan (-), tanda peradangan (-),
Hidung : Dilihat status lokalis
Mulut : Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-), tonsil
membesar (-), pharing hiperemis (-).
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar tiroid (-).

Thorak Anterior
 Inspeksi : Simetris, retraksi intercostal (-)
 Palpasi : stem fremitus (N/N)
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)

Thorak Posterior
 Inspeksi : simetris, retraksi intercostal (-)
 Palpasi : stem fremitus (N/N)
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)

Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V LMCS 1 jari ke lateral
 Perkusi : batas batas jantung
Atas : ICS II
Kanan : 2 jari lateral Linea parasternal dextra
Kiri : Linea midclavicula sinistra 1 jari lateral
 Auskultasi : BJ1 > BJ2

Abdomen
Inspeksi : soepel, distensi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-), ballotment (-)
Perkusi : timpani (+)

Ektremitas
Udem : tidak ditemukan
Deformitas : tidak di temukan

Status Lokalis
Hidung dan Sinus Paranasal
Inspeksi, Palpasi :
- Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)
- Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)

Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung Edema (-), berwarna pucat, Edema (-), berwarna pucat,
darah(+). darah (+).
Septum Deviasi (-), dislokasi (-). Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior Membesar (-). Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-). Sekret (-), polip (-).
media

Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan pemeriksaan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Laboratorium darah (28-01-2019)

Profil Lab Hasil

Hb 12,8 gr/dl

Leukosit 6,16 x103/ul

Trombosit 299 x103/ul

Hematokrit 39,8%

Eritrosit 4,40 x106/ul

Kgds mg/dl

3. Assasment (Penalaran klinis)


Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung yaitu
pleksus Kiesselbach dan pleksus Woodruff
1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada dinding
anterior-inferior septum yang memberikan lebih dari 90% episode perdarahan.
Dibentuk oleh pleksus dari arteri sphenopalatina, palatina mayor, labialis superior,
dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan
perdarahan anterior lebih mudah untuk dikontrol.
2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior, arteri
sphenopalatina dan pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini
sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari bagian
posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sphenopalatina.

Gambar 1. Perdarahan Hidung


Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 %
dapat berhenti sendiri.1,2
Epidemiologi

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Etiologi

Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus


dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti
kecelakaan lalu lintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang
merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan
lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor
seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.2,3,7
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis
yang tidak biasa.8 Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai
pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause,
kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam
berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital
yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler- Weber disease. Disamping
itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan
atmosfer.2,3,9
Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi
jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area
yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma.3
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.2 Perdarahan pada lokasi ini bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah
di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. 1,4
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.1 Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi
ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan
perdarahan .4
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.2 Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari
dinding nasal lateral.6
Gambar 2. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit
infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat pembekuan
darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.5
Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan


perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2 Pasien yang
datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila
sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit.
Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.2 Pada penanganan epistaksisipertensi, arteriosklerosis, fraktur
atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan
jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan
darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus
segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan
pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT),
sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila
terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi
sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.10
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan
penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama
5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. 5 Kauterisasi
secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau
dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam
triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi
dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat
terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum,
karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser.5 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus
epistaksis yang ditelitinya.11
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan
tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. 2,10
Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik
spektrum luas.12 Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s nose clip untuk
penanggulangan epistaksis anterior.13

B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. 2 Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade ,
ligasi arteri dan embolisasi.10
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke
nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama
sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan
tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring,
kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat
diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan
jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan
ini.4,5 Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring
tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien.
Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.2
2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon
balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan
asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung
sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan
tampon posterior.1,6,14
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan
dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi
arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.12
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. 12
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar
dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah
menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.3
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk
melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan
ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator
clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. Maksila
interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon
yang telah diberi salapantibiotik selama 24 jam. 2 Maceri (1984) menjelaskan
pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki
melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan
m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksitumpul pada daerah
ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau
diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan
oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi
ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral
sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama
pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama
tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk
mengatasi epistaksis posterior.15
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm
posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4
- 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. 10 Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura
pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan
rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma. 10
d. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan
pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk
epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan
angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan
penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter,
epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit
pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis
tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila
interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi
mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga
sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi
absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun
tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan
epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk
operasi.10

4. Plan
Diagnosis :
Epistaksis Anterior
Pengobatan :
a. Medikamentosa
 Tampon epidefrin + transamin.
 IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit
 Inj transamin 1 amp / 8 jam
 Inj Vit K 1 amp/24 jam
 Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
b. Non medikamentosa
 Istirahat
 Edukasi kepada pasien beserta keluarganya tentang penyakit yang diderita
pasien

Pendidikan :
Dilakukan pada pasien dan keluarga untuk menbantu mengobati penyakit pasien
semaksimal mungkin dan menghindari keluhan yang sama kambuh kembali.
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien dan
kemungkinan perkembangan penyakit dan pentingnya kerjasama keluarga dalam
pelaksanaan tindakan medis dan pengobatan.

Konsultasi :

Konsultasi ke dokter spesialis THT yang nantinya akan diberikan


tatalaksana untuk mengobati penyakit dan mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh
penyakit.
Mengetahui,
Pendamping Pendamping

dr. Tajul Keumalahayati dr. Leni Afriani

NIP. 19771109 200701 2 004 NIP. 19780829 200604 2 010

Anda mungkin juga menyukai