Daftar Pustaka
1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease Aproblem-
Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam:
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI,
1998: 127 – 31.
3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology.
Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.
4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli
bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27,112 – 6.
5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 – 60.
6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of common
bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115 (4): 588 – 90.
7. Thuesen AD, Jacobsen J, Nepper- Rasmussen J. Juvenile angofobroma. Ugeskr Leager.
2005. Vol. 167 (34): 3163 – 6.
8. Tiwari D, Plater M, Partridge R, Weston- Simons J. Primary malignan melanoma of nose:
a rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.
9. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-Osler- Weber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd. 2005.
Vol. 112 (9): 336 – 9.
10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff
WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 1831
– 41.
11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH. Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.
12. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.
Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224 – 37.
13. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005, Vol. 13 (4): 261 – 3.
14. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30 (2):
209 – 10.
15. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH. Endoscopic ligation of the sphenopalatine artery as a
primary management of severe posterior epistaxis in patiens with coagulopathy. Ear Nose
Throat J. 2005. Vol. 84 (5): 296 – 7.
Hasil Pembelajaran
Defenisi Epistaksis Anterior
Etiologi Epistaksis Anterior
Patofisiologi Epistaksis Anterior
Tatalaksana Epistaksis Anterior
RANGKUMAN
1. Subjektif
Pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kanan dan kiri + 2 jam SMRS,
yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak + ¼ gelas
aqua gelas, berwarna merah segar. Perdarahan juga terjadi tadi pagi dirumah sakit
aceh tamiang dan sekrang mulai berdarah lagi. Keluhan dirasakan saat sedang
istirahat di rumah. Pasien sudah memencet hidung tetapi darah tidak kunjung
berhenti. Demam (-), trauma (-), mual (+) muntah (+).
2. Objektif
Status Present
Kondisi Umum : Sedang
Status Vital : Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
HR : 82 x/ menit, regular
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36,6 0C, suhu axila
Berat Badan : 53 Kg
Panjang Badan : 155 cm
Status Gizi : Baik
Status General
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : Sekret (-), perdarahan (-), tanda peradangan (-),
Hidung : Dilihat status lokalis
Mulut : Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-), tonsil
membesar (-), pharing hiperemis (-).
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thorak Anterior
Inspeksi : Simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi : stem fremitus (N/N)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Thorak Posterior
Inspeksi : simetris, retraksi intercostal (-)
Palpasi : stem fremitus (N/N)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V LMCS 1 jari ke lateral
Perkusi : batas batas jantung
Atas : ICS II
Kanan : 2 jari lateral Linea parasternal dextra
Kiri : Linea midclavicula sinistra 1 jari lateral
Auskultasi : BJ1 > BJ2
Abdomen
Inspeksi : soepel, distensi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-), organomegali (-), ballotment (-)
Perkusi : timpani (+)
Ektremitas
Udem : tidak ditemukan
Deformitas : tidak di temukan
Status Lokalis
Hidung dan Sinus Paranasal
Inspeksi, Palpasi :
- Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)
- Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)
Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung Edema (-), berwarna pucat, Edema (-), berwarna pucat,
darah(+). darah (+).
Septum Deviasi (-), dislokasi (-). Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior Membesar (-). Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-). Sekret (-), polip (-).
media
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Laboratorium darah (28-01-2019)
Hb 12,8 gr/dl
Hematokrit 39,8%
Kgds mg/dl
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 %
dapat berhenti sendiri.1,2
Epidemiologi
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis
dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan
wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Etiologi
Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit
infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat pembekuan
darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.5
Penatalaksanaan
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. 2 Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade ,
ligasi arteri dan embolisasi.10
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke
nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama
sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan
tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring,
kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat
diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan
jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan
ini.4,5 Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring
tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien.
Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.2
2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol
epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon
balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan
asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung
sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan
tampon posterior.1,6,14
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan
meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan
dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi
arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.12
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. 12
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar
dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
Sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah
menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.3
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi
Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila,
secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret
atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk
melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan
ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator
clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. Maksila
interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon
yang telah diberi salapantibiotik selama 24 jam. 2 Maceri (1984) menjelaskan
pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki
melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan
m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksitumpul pada daerah
ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau
diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan
oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi
ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral
sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama
pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama
tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk
mengatasi epistaksis posterior.15
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan
pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang
berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm
posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4
- 7 mm. Sebelah anterior n. optikus. 10 Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura
pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. Etmoidalis anterior, dan
rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma. 10
d. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan
pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk
epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan
angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan
penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter,
epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit
pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis
tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi a. maksila
interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi
mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga
sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi
absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun
tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan
epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk
operasi.10
4. Plan
Diagnosis :
Epistaksis Anterior
Pengobatan :
a. Medikamentosa
Tampon epidefrin + transamin.
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/menit
Inj transamin 1 amp / 8 jam
Inj Vit K 1 amp/24 jam
Inj Ranitidin 1 amp/ 12 jam
b. Non medikamentosa
Istirahat
Edukasi kepada pasien beserta keluarganya tentang penyakit yang diderita
pasien
Pendidikan :
Dilakukan pada pasien dan keluarga untuk menbantu mengobati penyakit pasien
semaksimal mungkin dan menghindari keluhan yang sama kambuh kembali.
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien dan
kemungkinan perkembangan penyakit dan pentingnya kerjasama keluarga dalam
pelaksanaan tindakan medis dan pengobatan.
Konsultasi :