Anda di halaman 1dari 18

1

1. LOKASI DAN WAKTU KERJA PRAKTIK


Tempat : PT. Lotte Chemical Titan Nusantara
Alamat : Jalan Raya Merak KM 116 Desa Rawa Arum Cilegon-Banten 42436
Waktu : 1 Agustus 2016 – 31 Agustus 2016
2. PROFIL SINGKAT PERUSAHAAN
Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sumber daya alam yang
cukup besar dan beragam. Hal ini merupakan modal dasar bagi pembangunan Indonesia.
Di antara kekayaan alam masih memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap
devisa negara sampai saat ini adalah minyak dan gas bumi, baik dalam bentuk mentah,
bentuk setengah jadi, ataupun dalam bentuk bahan jadi.
Dengan pengolahan lebih lanjut melalui industri petrokimia, misalnya: industri
pupuk, industri polietilen, industri insektisida, dll maka dapat dihasilkan produk-produk
yang mempunyai nilai tambah dan manfaat yang lebih besar. Salah satu industri
petrokimia dengan bahan baku etilen yang merupakan hasil pengolahan minyak bumi
yaitu industri polietilen. Manfaat dari polietilen tersebut adalah dapat digunakan dalam
pembuatan alat-alat rumah tangga dan pengemasan barang konsumsi sehari-hari.
Kebutuhan polietilen untuk pasar dalam negeri di Indonesia pada tahun 1986 adalah
207.000 ton yang semuanya harus dipenuhi dengan impor. Polietilen tersebut banyak
diimpor dari beberapa negara di Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Afrika. Proyeksi
kebutuhan polietilen yang terus meningkat serta meningkatnya pula jumlah yang harus
diimpor untuk memenuhi kabutuhan pasaran dalam negeri sehingga mendorong untuk
didirikannya pabrik polietilen di Indonesia. Dengan adanya alasan tersebut, didirikannya
salah satu pabrik polietilen di Indonesia atas peranan penting dari gabungan 4 badan
usaha besar yaitu:
1. British Petroleum (BP)
British Petroleum (BP), merupakan salah satu produsen Petroleum dan Petrokimia
Internasional yang beroperasi dibeberapa negara dengan investasi pasar modal sekitar
216 milyar. BP mampu menghasilkan bahan-bahan kimia, plastik dan berbagai produk
khusus dalam skala besar dan memasarkannya ke berbagai negara lain dengan penerepan
teknologi maju dalam produksi polyethylene, akrilonitril, PTA dan asam asetat.
2. Sumitomo Corporation
Sumitomo Corporation, merupakan perusahanan dagang utama dunia dan distributor
komuditas bahan-bahan perindustrian, serta produk-produk konsumen dalam skala besar.
3. Mitsui & Co.Ltd
Mitsui & Co.Ltd, merupakan sogo soho atau perusahaan gabungan tertua di Jepang
yang telah berdiri sejak tahun 1876. peranan Mitsui & Co.Ltd sebagai perantara telah
memberi keuntungan bagi produsen dan konsumen terhadap perkembangan industri
petrokimia.
4. PT. Arseto Petrokimia
PT. Arseto Petrokimia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang
industri kimia dan teknik dalam pembuatan polietilen sehingga PT. Arseto Petrokimia
berani menanamkan saham di PT. PENI.
Maka dengan didirikannya kerja sama antara PT. Arseto Petrokimia (Indonesia)
dengan beberapa perusahaan, yaitu BP Chemical (Inggris), Mitsui & Co. Ltd (Jepang)

Universitas Indonesia
2

dan Sumitomo Co (Jepang) untuk mendirikan pabrik polietilen pertama di Indonesia


dengan nama PT. Petrokimia Nusantara Interindo disingkat menjadi PT.PENI.
Perusahaan ini merupakan bentuk investasi Penanaman Modal Asing dengan pemilikan
saham awal sebagai berikut :
1. PT Arseto Petrokimia = 12.5 %
2. BP Chemical = 50 %
3. Mitsui & Co.Ltd = 25 %
4. Sumitomo Co = 12.5 %
Rencana pembangunan pertama kali ada pada pertengahan tahun 1988 dengan
menggunakan luas area sekitar 47 hektar yang berada pada sepanjang laut Jawa bagian
barat tepatnya antara Kota Cilegon dengan Merak. Kemudian dilanjutkan dengan tahap
pembangunan konstruksi pabrik mulai awal tahun 1990 yang ditangani langsung oleh BP
Chemical dengan menunjuk UBE Industries Ltd dari Jepang sebagai kontraktor utama,
dan berakhir pada tahun 1992. Setelah itu dilakukan trail produksi sejumlah 50.000
ton/tahun selama 1 tahun. Pada tanggal 18 Februari 1993, PT. PENI diresmikan oleh
Presiden kedua RI yaitu Presiden Soeharto sekaligus dimulainya produksi polietilena
pertama di Indonesia dengan kapasitas produksi sebanyak 200.000 ton/tahun.
Proses Pendirian PT Titan Petrokimia Nusantara dimulai pada tahun 1990 -1992,
dimana dilakukan plant construction. Kemudian pada bulan Feb - April1993 dilakukan
start up Train 1 dan Train 2. Pada Juni 1993 kapasitas produksi pabrik mencapai 200.000
ton/tahun. Pada pertengahan 2004 pada Train 2 memulai digunakan Chromium katalis.
Pada tahun 1995 dilakukan study kelayakan untuk Train 3 sehingga dapat mulai
dioperasikan pada Juni 1998. Dari tahun 1999 sampai sekarang kapasitas produksi pabrik
sudah mencapai 450.000 ton/tahun.Pada bulan Mei 2003 BP Chemical memutuskan
untuk menjual saham kepada PT. Indika, sehingga kepemilikan PT.PENI dipegang oleh
Indika Group. Dikarenakan PT.Indika bukanlah perusahaan yang bergerak pada bidang
petrokimia, oleh sebab itu pada 26 maret 2006 terjadi penjualan saham kembali PT.PENI
kepada Titan Chemical yang berasal dari Malaysia dan namanya berubah menjadi PT.
Titan Petrokimia Nusantara.

Gambar.2.1. Logo Perusahaan PT. Titan Petrokimia Nusantara


Sumber:PT.Lotte Chemical Titan Nusantara
Namun, pada tahun 2010 kepemilikan saham PT. Titan Petrokimia Nusantara dibeli
oleh HONAM Chemical yang berasal dari Korea Selatan, sehingga berubaha nama
menjadi PT. Lotte Chemical Titan Nusantara, yang masih digunakan hingga sekarang.

Universitas Indonesia
3

Gambar.2.2. Logo Perusahaan PT.Lotte Chemical Titan Nusantara


Sumber:PT.Lotte Chemical Titan Nusantara
3. ALUR PRODUKSI
Tahapan Proses Pembuatan Polyethylene
3.2.1. Unit Penanganan Bahan Baku
3.2.1.1. Jetty
Jetty adalah pelabuhan kecil di pabrik yang sering dipergunakan untuk bersandarnya
kapal yang membawa bahan baku seperti Etilen dan Butene-1. Laju air pemindahan etilen
dari kapal adalah 350 ton/jam, sedangkan untuk butane-1 145 ton/jam dengan tekanan
maksimal 6 barg. Jetty PT. Lotte Chemical Titan Nusantara dilengkapi beberapa fasilitas,
yaitu:
 Loading Arm adalah suatu sarana untuk mengambil muatan dari kapal ke pabrik
dengan menghubungkan loading arm ke ship manifold. Loading arm ini digerakan
oleh dua buah pompa hidrolik. Loading arm kini sudah tidak digunakan lagi, sekarang
yang digunakan adalah Flexible House.
 Dua unit fire monitor yang berfungsi memadamkan kapal-kapal jika keadaan darurat.
 Dua unit mooring dolphin yang dilengkapi quick release hook dan electric motor
capstan yang berfungsi untuk menambatkan tali kapal.
 Breasthing Dolphin berfungsi sebagai tempat merapatnya kapal.
 Jetty Head Control Cabin sebagai pusat pengontrolan selama off loading.
 Approach Way Spray Water System adalah jembatan yang menghubungkan kapal dan
daratan untuk megevakuasi pada saat darurat.
 TV Camera untuk memonitoring loading arm dari DCS (Digital Control System)
selama off loading.
3.2.1.2.Unit Penyimpanan Etilen (Ethylene Storage Unit)
Etilen cair yang dialirkan dari kapal, disimpan di ethylene storage unit (7-T-350)
danan kondisi temperature -103 ºC dan tekanan 40-80 mbarg dan kapasitas dari tangki
penyimpanan ini adalah 12.000 ton. Tangki penyimpanan ini dilengkapi dengan fasilitas
fire water spray, yang berfungsi untuk mendinginkan tangki tersebut bila terjadi kebakaran
dan ethylene vaporizer (7-E-350) yang berfungsi untuk merubah fasa etilen menjadi gas
yang siap dipindahkan ke area proses. Tekanan dalam tangki etilen selalu mengalami
fluktuasi, hal ini disebabkan:
 Temperatur udara luar
 Aliran minimum dari jetty
 Gesekan pompa etilen
Untuk mengatasi fluktuasi tersebut, maka pada tangki diberikan fasilitas boil off gas
compressor. BOG ini berfungsi untuk menstabilkan tekanan didalam tangki etilen. BOG
compressor terdiri dari dua buah, yaitu:

Universitas Indonesia
4

 BOG liquefier/ BOG recovery compressor yang berfungsi untuk merubah Ethylene
Vapor menjadi Ethylene Liquid untuk dikembalikan kedalam ethylene storage tank (7-
T-350). Keberadaan etilen uap didalam tangki sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang
tekanan tangki.
 BOG Feed Compressor yang digunakan apabila ada penarikan etilen dari Train dan
pompa etilen tidak mampu melayani penarikan etilen dari Train dengan menggunakan
evaporasi 7-E-350 dan 7-C-352.
3.2.1.3.Unit Penyimpanan Butene (Butene Sphere)
Tangki tempat menyimpan butane ini berbentuk bulat Didalam Butene Sphere (7-
T-240), butene mempunyai temperature 30ºC dengan tekanan 3 barg. Butane sphere ini
dilengkapi dua buah pompa untuk memindahkan butene ke area proses. Butane Storage
Pump (7-P-240 A/B) dilengkapi Cooler dengan tujuan mendinginkan temperature butene.
Tangki ini dilengkapi dengan pipa-pipa fire water dan bagian luar tangki diselimuti oleh
fire protection.
3.2.1.4. Feed Purification Unit (FPU)
Di unit pemurnian bahan baku, bahan baku utama etilen dan butene dibebaskan dan
dikeringkan dari kandungan karbon monoksida, asetilen, senyawa sulfur, dan air sebelum
masuk reaktor polimerisasi. Karena kemurnian bahan baku sangat berpengaruh terhadap
reaksi polimerisasi dan produk yang dihasilkan
Sebelum etilen ditransfer untuk proses, terlebih dahulu dihilangkan impuritisnya
(berupa sulfur) didalam sulfur adsorber dengan menggunakan Zinc Oxide. Absorbsi sulfur
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya poisoning pada katalis. Tahapan selanjutnya
adalah menghilangkan acetylene (C2H2) yang terkandung didalam ethylene. Proses ini
dilakukan di Acetylene Hydrogenator dengan meraksikan Acetylene yang ada dalam etilen
dengan H2 sehingga menghasilkan etilen. Kemudian untuk menghilangkan impurities
berupa CO, yaitu didalam CO treater menggunakan katalis Copper Oxide (CuO). Proses
purifikasi butene untuk menghilangkan kandungan H2O nya dengan menggunakan katalis
molecular sieve yang dilakukan di Buthene Commonomer Dryer.
4.1) Penghilangan Sulfur dari Ethylene
Sulfur dihilangkan karena sifat racun bagi katalis Cu dan Palladium
sehingga mempersingkat waktu katalis. Penghilangan sulfur dilakukan dalam
Sulphur Absorber menggunakan pereaksi Zinc Oxide (ZnO). Reaksi terjadi
pada suhu 40C. Kandungan H2S diharapkan kurang dari 0,01 ppm. Reaksinya
yang terjadi adalah sebagai berikut:
H2S(g) + ZnO  ZnS(g) + H2O(l)
4.2) Penghilangan Acetylene dari Ethylene
Acetylene (C2H2) dihilangkan di dalam Acetylene Hydrogenator dengan
mereaksikan acetylene yang ada dalam etilen dengan H2 sehingga
menghasilkan etilen. Suhu terjadinya reaksinya 50C. Reaksi yang terjadi
adalah:
C2H2 (g) + H2 (g)  C2H4 (g)
4.3) Penghilangan Carbon Monoksida dari Ethylene

Universitas Indonesia
5

Pengurangan CO dilakukan dengan melakukan reaksi oksidasi antara


CO dan CuO menghasilkan CO2. Kandungan CO maupun O2 mudah teracuni
oleh sulfur dan acetylene, sehingga pengurangan sulfur dan acetylene dilakukan
terlebih dahulu.
Sebelum masuk ke dalam Ethylene Treater (R-930), Ethylene
dipanaskan terlebih dahulu menggunakan steam bertekanan rendah hingga
suhunya 90-120C. Reaksi yang terjadi adalah:
CO + CuO  CO2 + Cu
4.4) Penghilangan H2O dan Carbon Dioksida dari Ethylene
Air dihilangkan dari ethylene di dalam Ethylene Dryer (R-935) dengan
menggunakan katalis Molecular Sieve. Sedangkan penghilangan CO2 dari etilen
terjadi dalam CO2 Absorber Treater (R-950) dengan menggunakan katalis Sodium
Oxide atau sering disebut dengan katalis ALCOA. Rekasi yang terjadi abagai
berikut:
Na2O + CO2  Na2CO3
Ethylene yang akan dihilangkan kandungan airnya masuk ke Ethylene
Dryer dari bagian bawah dan kemudian etilen yang telah bebas dari H2O keluar
pada bagian atas, selanjutnya etilen tersebut masuk ke CO2 absorber pada bagian
atas dan etilen yang terbebas dari kandungan karbon dioksida keluar pada bagian
bawah absorber. Penghilangan air dilakukan sebelum penghilangan CO2 karena
katalis ALCOA lebih mudah menyerap air daripada CO2 sehingga dikhawatirkan
terjadi penyerapan CO2 yang kurang sempurna. Kandungan CO2 diharapkan
kurang dari 2 ppm.
3.3. Proses Pembuatan Polyetilene
3.3.1. Proses Produksi HDPE di Train 1
3.3.1.1. Catalyst Preparation Unit (CPU)
Catalyst Preparation Unit (CPU), adalah unit pembuatan katalis. Katalis yang
dibuat oleh PT. Lotte Chemical Titan Nusantara adalah Ziegler-Natta. Katalis Ziegler-
Natta M10 digunakan dalam pembuatan LLDPE (Linear Low Density Polyethylene),
sedangakan M11 digunakan dalam proses pembuatan HDPE (High Density Polyethylene).
Proses pembuatan katalis Ziegler-Natta M10 sama dengan pembuatan katalis M11,
perbedaan keduanya adalah jumlah electron yang dimiliki. Katalis M11 mendapatkan
donor electron dari DMF (Dimetil Formamide). Namun saat ini di PT. Lotte Chemical
Titan Nusantara hanya membuat katalis Ziegler-Natta M11 pada Train 1.
Katalis Ziegler-natta (M10, M11) tebuat dari pereduksian TiCl4 dan Ti(OR)4 oleh
senyawa organomagnesium, yang dibentuk dari pereaksian Mg sebagai metal dengan BuCl.
Mg mempunyai pelapis yang kuat sehingga akan susah bereaksi untuk memecahkan pelapis
dari Mg yaitu MgO maka Mg direaksikan terlebih dahulu dengan Iodine dan kemudian Mg
dapat bereaksi dangan BuCl membentuk senyawa organomagnesium. Bentuk dari
campuran organomagnesium dan reduksi dari garam-garam titanium adalah larutan yang
diproses dalam reaktor batch yang menggunakan normal heksana sebagai pelarut.
Semua reaksi yang terjadi, dilakukan dalam reaktor dengan suhu 80 ºC. setelah
terjadi reaksi seperti diatas dalam reaktor maka dihasilkan katalis Ziegler-natta dengan

Universitas Indonesia
6

ukuran yang masih belum seragam. Setelah pereaksian selesai, maka ditambahkan sedikit
air kedalam reactor yang berfungsi untuk menurunkan aktifitas dari katalis sehingga mudah
untuk mengontrolnya. Setelah itu, untuk menghasilkan katalis Ziegler-natta M11 maka
ditambahkan DMF kedalam reaktor.
Katalis yang terbentuk, dicuci dengan pelarut heksana. Proses ini bertujuan untuk
menghilangkan sisa BuCl yang dapat membentuk fines. Keberadaan fines ini akan
meningkatkan aktifitas katalis sehingga mempersulit pengontrolan laju reaksi. Sebelum
tahap hydrocyclone, juga dimasukan TnOA yang berfungsi sebagai surfactan untuk
mencegah pemampatan jalur yang dilalui oleh slurry katalis. Kemudian slurry katalis ini
dihomogensikan atau diseragamkan ukurannya sesuai dengan ketentuan didalam
hydrocyclone. Datri hydrocyclone, katalis yang ukurannya sesuai dimasukkan kedalam
tangki penampung katalis dan siap dikirim ke unit prepolimerisasi Train 1. Sedangkan
katalis dengan ukuran partikel kecil (fines), digunakan untuk membantu di proses
penghilangan BuCl di solvent.

3.3.1.2. Pembuatan Katalis Ziegler-Natta


Bahan baku yang digunakan untuk katalis Ziegler antara lain : Solvent (n-Hexane),
Ti(OR)4 (Titanium n-propoxide), I-BuOH (Isobutanol), BuCl (Butil Chloride), TiCl4
(Titanium Tetrachloride), Iodin dan magnesium.
Pembuatan katalis Ziegler-Natta terjadi di dalam Catalyst Reactor yang dilengkapi
dengan pengaduk tipe blade dengan kecepatan 35 rpm, urutan prosesnya yaitu:
memasukkan solvent (Hexane) sebanyak 4700 liter dan Iodine sebanyak 5,5 kg dalam
reaktor lalu diagitasi selama 1 jam. Kemudian memasukkan MgO kedalam reaktor
sebanyak 76,7 gram dan diagitasi selama 8 jam. Fungsi Iodine ini adalah untuk membuka
lapisan Magnesium Oxide yang menyelubungi Magnesium. Selanjutnya memasukkan
Isobutanol sebanyak 2,7 liter, Ti(OR)4 sebanyak 15,5 liter dan memasukkan BuCl sebanyak
6 liter lalu diagitasi selama 30 menit. Selama proses, suhu reaktor selama proses akan naik
sampai 85C dan kemudian suhu turun menjadi 80C setelah proses inisiasi selesai.
Selanjutnya mereaksikan titanium yaitu dengan memasukkan Ti(OR)4 sebanyak
109,3 liter dan TiCl4 sebanyak 43,8 liter lalu diagitasi selama 15 menit dimana Ti(OR)4 dan
TiCl4 akan direduksi oleh senyawa organomagnesium. Kemudian memasukkan BuCl
dengan volume total 504,2 liter secara kontinyu dalam jangka waktu 4 jam untuk reaksi
klorinasi organomagnesium. Setelah terjadi reaksi seperti diatas di dalam reaktor maka
dihasilkan katalis ZieglerNatta yang berbentuk slurry. Katalis yang kecil (fines) dinon-
aktifkan dengan menggunakan air. Pada akhir proses pembentukan katalis, raw catalyst
dicuci dengan menggunakan fresh solvent hingga kandungan sisa BuCl kurang dari 200
ppm. BuCl ini harus dihilangkan karena dapat menyebabkan terbentuknya fines yang tidak
diinginkan dalam katalis maupun prepolimer. Solvent ini kemudian akan dimurnikan lagi
di unit pemurnian solvent untuk digunakan lagi di unit penyiapan katalis maupun unit
prepolimerisasi.
Katalis yang didapat dari reaksi di atas disebut dengan raw katalis. Raw katalis
yang dihasilkan dari reaksi belum memiliki ukuran seragam sehingga harus dipisahkan dari

Universitas Indonesia
7

finesnya. Fines adalah partikel katalis dengan ukuran kurang dari 80. Fines harus
dipisahkan dari raw katalis karena fines dapat meningkatkan activity sehingga dengan
activity yang tidak terkontrol akan menyebabkan agglomerisasi di reaktor prepolimerasi
maupun polimerisasi.
Pemisahan raw katalis dengan fines menggunakan hydrocyclone. Raw katalis yang
sesuai ukurannya akan dimasukkan ke dalam tangki penampungan katalis (D-140) untuk
digunakan di unit prepolimerisasi, sedangkan fines akan digunakan untuk mendestruksi
BuCl di unit pemurnian solvent area 1. Aktifitas dan morfologi dari katalis ditentukan oleh
rasio Cl/Ti dan Mg/Ti. Reaksi penyiapan katalis ini akan menghasilkan raw katalis dan C4
sebagai produk samping.
Tahapan reaksi yang terjadi dalam pembuatan katalis Ziegler-Natta adalah sebagai
berikut:
1. Pembentukan campuran organomagnesium
Pembentukan campuran organomagnesium ini adalah dengan mereaksikan Magnesium
dan Butyl Chloride.
Mg + BuCl  BuMgCl
2. Reduksi dari Tetravalent Titanium
Untuk mereduksi tetravalent ini adalah dengan menggunakan campuran
organomagnesium.
½Ti(OR)4 + ½Ti(OR)4 + BuMgCl  Ti(OR)Cl2 + Mg(OR)Cl + Bu
3. Chlorinasi campuran organomagnesium
Chlorinasi ini dilakukan dengan mereaksikan campuran organomagnesium dan Butyl
Chloride yang menghasilkan MgCl2.
BuMgCl + BuCl  MgCl2 + 2Bu
4. Kombinasi dari Butyl radikal (Buo) sebagai indikator terjadinya reaksi (butena, butana,
octane)
Bu  Butena, Butana, Octane

3.3.1.3. Co-Katalis
Co-katalis merupakan bahan yang membantu mecegah partikel katalis dari
impuritas yang berasal dari reagen atau penyerapan di reaktor atau dari dinding pipa. Co-
katalis yang digunakan adalah Tri Ethyl Alumina (TEA) dan Tri-n Octyl-Alumunium
(TnOA) co-katalis yang ditambahkan pada pembuatan prepolimerisasi.

3.3.1.4. Zat Additive


Zat additive merupakan bahan pembantu yang menentukan spesifikasi polimer
yang dihasilkan. Penambahan additive ini dilakukan sebelum polyethylene dibentuk
menjadi pellet di extruder. Macam-macam additive yang digunakan yaitu:
- Anti Blocking untuk polyethylene jenis film agar mudah dipisahkan atau mudah
dibuka
- Antioxidant untuk melindungi polimer dari degradasi selama proses melting,
menjadikan prouk yang dihasilkan lebih tahan lama.

Universitas Indonesia
8

- UV Stabilizer merupakan bahan kimia yang dapat mengurangi degradasi akibat efek
dari sinar ultraviolet selama berada di bawah terik sinar matahari dan sebagainya.

3.3.1.5. Unit Pre Polimerisasi (PPU)


Prepolimerisasi dengan katalis Ziegler digunakan untuk membentuk powder
prepolimer aktif jenis High Density Polyethylene (HDPE) dengan katalis yang digunakan
yaitu katalis M11. Tujuan dari prepolimerisasi ini adalah mengatur aktivitas partikel katalis
agar tidak terlalu tinggi, serta mengatur ukuran partikel prepolimer agar dapat terdistribusi
secara merata saat masuk ke fluidized bed reactor karena dapat mengakibatkan local hot
spot, (sehingga memindahkan resiko dari pembangkitan panas), pembentukan gel dan
untuk mengatur distribusi penyebaran katalis dalam reaktor fluidized bed menjadi lebih
baik. Efek lain adalah untuk membatasi kecepatan akses monomer ke katalis selama
polimerisasi di reaktor. Partikel prepolimer rata-rata berukuran 250-300m dari 100m
untuk katalis dengan 800-1000m untuk partikel polimer.
Reaksi prepolimerisasi ini dilakukan secara batch di dalam reaktor R-200. Tahap
pertama dalam proses prepolimerisasi menggunakan katalis Ziegler-Natta adalah
memasukkan semua raw material ke dalam reaktor prepolimerisasi (R-200) yang
dilengkapi pengaduk tipe angker berdiameter 1,2 m, tahap ini disebut dengan charging.
Pada awal charging, agitator bergerak dengan speed rendah dengan kecepatan sekitar 20
rpm. Solvent terlebih dahulu dipanaskan di Heat Excharger (E-200) dari suhu 40C hingga
suhunya 60C kemudian diumpankan ke reaktor R-200. Heksane (solvent) dimasukkan
pertama kali pada reaktor prepolimerisasi (R-200) dengan volume awal 3,8 m3 yang diukur
dengan menggunakan Solvent Pipette Tank. Kemudian dimasukkan katalis Ziegler-Natta
dengan volume 3 m3 yang diukur dengan menggunakan Catalyst Pipette Tank. Sesudah
katalis Ziegler-Natta dimasukkan, maka co-katalis berupa Tri n-Octyl Aluminium (TnOA)
dimasukkan dengan volume yang diukur dari semua bahan yang msuk dan dikalkulasi
berdasarkan banyaknya prepolimer yang akan dibuat dalam reaktor prepolimerisasi (R-
200) dan tinggi rendahnya aktifitas (Al/Ti). Volume diukur dengan menggunakan TnOA
2nd Pipette Tank. Co-katalis ini berfungsi mengaktifkan katalis, walaupun secara teori
Titanium dari katalis telah aktif tapi Titanium ini perlu diaktifkan oleh Co-katalis
Organoaluminium. Selama charging berlangsung, solvent tetap ditambahkan secara
kontinyu ke dalam reaktor prepolimerisasi (R-200) sampai volume 7 m3 yang diukur
dengan menggunakan Solvent Pipette Tank. Setelah volume solvent mencapai 10,8 m3,
maka agitator akan bergerak dengan kecepatan tinggi sekitar 150 rpm. Perubahan
kecepatan agitator bertujuan untuk menghomogenisasikan larutan dan mempercepat reaksi
prepolimerisasi.
Reaktor R-200 ini merupakan reaktor berpengaduk yang dilengkapi dengan jaket
pendingin dan internal candle menggunakan air untuk memindahkan panas dari reaksi
polimerisasi. Tahap pereaksian dimulai dengan pemanasan awal (heating up) reaktor
dengan steam bertekanan sedang (steam medium) dengan tekanan 7 barg menggunakan jet
ejector (J 200). Pemanasan awal berlangsung sampai temperatur reaktor 70oC. Pemanasan
awal ini bertujuan agar pada saat reaksi, laju reaksi dapat optimum sehingga hasil yang
diperoleh maksimal. Kemudian ethylene diumpankan secara kontinyu dengan megatur alat

Universitas Indonesia
9

kontrol kecepatan yang dikalibrasi selama  7,5 jam. Selama ethylene dimasukkan,
hidrogen (H2) juga dimasukkan dengan tujuan untuk menghentikan reaksi polimerisasi
dengan pemutusan rantai polimer dengan mengatur alat kontrol kecepatan yang dikalibrasi
1,5 m3/jam selama  6 jam dan diharapkan reaksi sudah sempurna. Ethylene dan hidrogen
masuk melalui submarge dip pipe. Tekanan awal reaksi 0,2 barg dan temperatur inisiasi
50C. Ketika ethylene mulai dimasukkan, temperatur reaktor mulai naik. Untuk menjaga
temperatur tetap stabil, disuplai cooling water yang dipompa ke dalam jaket reaktor
menggunakan pompa (P-200). Reaksi berlangsung pada suhu 70C dan tekanan kurang dari
5 barg untuk menghindari pembentukan polimer berlebih.
Reaksi dalam reaktor ini berjalan selama 6-12 jam dan prepolimer yang terbentuk
mengandung 10gr prepoli/gram katalis. Karena reaksinya eksotermis maka dibutuhkan
aliran Cooling Water Supply berbentuk jaket dengan suhu masuk 26C dan suhu keluar
52C untuk menjaga temperatur reaksi agar tetap 68C. Suhu reaksi ini dijaga karena jika
suhu > 68C akan menimbulkan flow ability yang buruk dan jika suhu < 68C menyebabkan
kecepatan reaksi lambat. Tekanan reaksi sekitar 1-1,5 barg. Reaktor ini dihasilkan
prepolimer dalam bentuk slurry dan selanjutnya dikeringkan Prepolymer Dryer (R-300).
Prepolimer slurry kemudian dialirkan ke Prepolymer Dryer (R-300) dengan
membuka blow down reaktor prepolimerisasi (R-200) sehingga prepolimer slurry akan
mengalir secara gravitasi dengan perbedaan tekanan. Pengubahan prepolimer dari slurry
menjadi powder akan membuat prepolimer menjadi efisien dalam pemasukan ke dalam
sistem dan mudah dalam pengontrolan ratio prepolimer yang akan digunakan di reaktor
utama untuk mengatur aktivitas katalis.
Prepolymer Dryer (R-300) ini merupakan reaktor dengan tipe fluid bed dryer yang
berpengaduk tipe hellical dengan dilengkapi jaket. Prepolymer Dryer (R-300) berfungsi
untuk menguapkan kandungan solvent yang relatif sedikit dengan cara dikontakkan
langsung dengan gas panas (adiabatis). Jaket pada dinding prepolymer dryer (R-300) ini
berfungsi sebagai pendingin jika proses pengeringan sedang berlangsung maupun ketika
pengeringan sudah selesai.
Proses pengeringan prepolimer di Prepolymer Dryer (R-300) dimulai dengan
pemanasan prepolimer slurry, dengan cara memasukkan sirkulasi nitrogen panas dalam
suatu sistem rangkaian yang tertutup (closed loop), sehingga solvent menguap dan terbawa
keluar bersama nitrogen. Prepolimer sangat sensitif dengan air dan O2 sehingga digunakan
nitrogen dalam sistem transportasinya.
Nitrogen panas masuk dari bagian bawah reaktor pada suhu 75C dan tekanan 0,7
barg dengan flow rate 960 m3/jam. Lewatnya nitrogen panas pada slurry prepolymer
menyebabkan solvent menguap dan akan terbawa keluar dengan nitrogen pada suhu 52C
dari bagian atas Prepolymer Dryer (R-300), kemudian akan dikompresi oleh Drying Loop
Compressor (C-300) dengan tekanan 10 barg menuju Separator Drum (D-301) dimana
sebagian nitrogen panas akan menuju Solvent Condensor (E-304), yang akan didinginkan
dengan suhu air masuk 32C dan suhu air keluar 49C. Dimana vapor solvent yang terbawa
akan terkondensasi dan akan terpisah di Cyclone Separator (S-304). Nitrogen akan
digunakan kembali sebagai nitrogen panas dalam dryer yang sebelumnya melewati
Nitrogen Heater (E-307) sebelum masuk ke dalam Prepolymer Dryer (R-300), sedangkan

Universitas Indonesia
10

solvent akan tertampung dalam Cyclone Separator (S-304) dan mengalir secara gravitasi
ke Cyclone Separator (S-210). Vapour solvent yang terpisah daari Separator Drum (D-
301) akan dipompa dengan pompa (P-301) tipe sentrifugal menuju Cyclone Separator (S-
201) bercampur dengan kondensat solvent, setelah itu dipompa dengan pompa (P-201) tipe
sentrifugal menuju Solvent Recovery Unit.
Proses pengeringan ini dijaga suhunya di 80oC dengan kandungan solvent awal 10,5
m3 dan berakhir dengan kandungan solvent 0,00013 m3. Proses pengeringan ini selesai
ditandai dengan penurunan ampere dari agitator. Powder yang dihasilkan memiliki bulk
density 0,28 gr/cm3. Untuk mengecek derajat kekeringannya maka dilakukan pengambilan
sample yang dianalisa di laboratorium.
Setelah ± 8 jam pengeringan selesai dan menghasilkan prepolimer powder yang
kemudian ditransfer oleh Blower (C-310) dengan tekanan 0,5 bar menuju Prepolymer Silo
Cyclone (S-310) untuk memisahkan nitrogen dari prepolimer powder. Selanjutnya
prepolimer powder masuk ke Prepolimer Silo (D-310). Dari Prepolimer Silo (D-310)
ditansfer oleh Blower (C-320) dengan tekanan 0,37 barg menuju Vibrating Screen (S-320)
yang mempunyai multi screen dengan 3 buah screen dengan ukuran 32 mesh, 64 mesh, dan
100 mesh. Yang berfungsi untuk memisahkan powder dengan fines dan agglom. Fines dan
aggloom akan dikirim ke waste hopper selanjutnya powder mengalami pemisahan dengan
gas pada Cyclone Separator (S-330). Dari Cyclone Separator (S-330) powder ditransfer
menuju Powder Receiver (D-330) dan kemudian ditransfer menuju Intermediate Hopper
(D-340) dan selanjutnya ke Powder Feeder Hopper (D-345) kemudian meuju line injeksi
Secondary Feed Hopper (D-350) ke reaktor utama (R-400). Prepolimer diinjeksikan
menuju reaktor utama dengan bantuan Nitrogen High Pressure (NHP) dan Booster Drum
(D-360) dengan bertekanan 30 barg yang berfungsi sebagai gas carrier.

3.3.1.6. Unit Polimerisasi (PU)


Proses polimerisasi terjadi dalam Fluidized Bed Reactor (R-400) pada suhu 90C
dan tekanan 20 barg. Fluidized Bed Reactor ini dibuat dari carbon steel dan mempunyai 3
bagian, yaitu :
 Bagian bawah digunakan sebagai distributor gas untuk memastikan fluidisasi homogen.
 Bagian silinder terdiri dari Fluidized Bed yang dilengkapi dengan fasilitas injeksi
prepolimer dan withdrawal.
 Bagian atas (conical bulb top) dimana terjadi penurunan kecepatan gas sehingga fines
dapat kembali ke Fluidized Bed.
Kecepatan reaksi dan kualitas polimer yang dihasilkan dipengaruhi oleh komposisi
gas dan suhu di reaktor. Komposisi gas yang masuk ke dalam reaktor adalah Etilen
(monomer), Hidrogen, Nitrogen, dan Butene-1 (comonomer). Bahan-bahan tersebut
diinjeksikan oleh kompresor utama (C-400) dengan tekanan 20 barg dari bawah Fluidized
Bed Reactor (R-400) untuk mempermudah pengontrolan laju reaksi. Akan tetapi, sebelum
masuk reaktor bahan-bahan tersebut didinginkan di Heat Excharger (E-400) dari suhu
70C menjadi 62C, untuk menjaga agar temperatur di dalam reaktor agar dapat
meminimalkan resiko dari pembangkitan panas (local hot spot). Prepolimer powder
diinjeksikan secara bertahap dari Secondary Feed Hopper (D-350) dengan bantuan

Universitas Indonesia
11

Nitrogen High Pressure (NHP) dengan tekanan 30 barg yang berfungsi sebagai gas carrier.
Prepolimer powder dengan yield 25-49 grPE/mmol Ti akan diinjeksi ke reaktor Fluidized
Bed dimana campuran etilen akan bercampur dengan prepolimer menghasilkan polimer
dengan yield 3000 grPE/mmol Ti. Prepolimer diinjeksikan dari samping reaktor dengan
jumlah yang kecil untuk mendapatkan kontrol yang baik pada reaksi Fluidized Bed.
Proses injeksi bahan perlu dijaga flow rate dan tekanan parsial dari tiap bahan reaksi
yang masuk ke dalam reaktor sehingga dapat menghasilkan rate produk yang baik dan
kualitas produk sesuai dengan grade yang diinginkan. Tekanan injeksi bahan ke dalam
reaktor ini minimal lebih besar 5 barg dari tekanan reaktor, untuk mencegah terjadinya feed
back dari reaktor. Reaksi yang terjadi melalui 3 tahap yaitu sebagai berikut :
 Proses Pemicuan (Inisiasi)
Sisi aktif ini dibangun melalui alkilasi Titanium oleh senyawa Organoaluminium.
 Proses Perambatan (propagasi).
Polimerisasi ethylene pada sisi aktif: propagasi dengan absorbsi etilen pada sisi aktif.
Penggabungan 2 monomer yang mempunyai radikal bebas dan sangat reaktif atau dapat
cepat bereaksi dengan monomer (ethylene) sehingga membentuk rantai yang lebih
panjang dan radikal baru setiap tahapnya. Kehadiran OR membuat katalis kehilangan
pengikat sehingga mereduksi aktivitas katalis.
 Proses Pengakhiran (Terminasi)
Penghentian dari reaksi polimerisasi pada tahap ini H2 sebagai terminator karena radikal
bebas lebih reaktif terhadap H.
Reaksi polimerisasi terjadi secara eksotermal, sehingga untuk menjaga temperatur
reaktor yang konstan diperlukan penghilangan panas dari reaksi, yaitu dengan
menggunakan 2 buah heat excharger pada gas loop yang berfungsi menjaga suhu Fluidized
Bed Reactor (R-400) supaya tidak lebih dari 90C, yaitu Primary Gas Cooler (E-400) dan
Final Gas Cooler (E-401). Selain itu dapat juga memanfaatkan pendinginan gas etilen dan
gas butene yang meninggalkan reaktor dari bagian atas sebagai pendingin reaksi. Campuran
gas etilen, gas butene, dan fines yang keluar dari reaktor akan dipisahkan dalam separator
utama (S-400), fines yang terbawa oleh gas akan dikembalikan ke dalam reaktor melalui
Recycle Ejector (J-400) dari suhu 91C. Gas sisa didinginkan di Primary Gas Cooler (E-
400) dari suhu 92C menjadi 62C. Gas yang telah dingin akan dikembalikan ke reaktor
bersama dengan feed gas (etilen, butene, hidrogen, dan gas inert) melalui compressor utama
(C-400) dengan tekanan 30 barg. Feed gas tersebut didinginkan lagi dari suhu 70C menjadi
57C pada Final gas cooler (E-401) sebelum masuk ke dalam reaktor fluidized bed.
Setelah  4-5 jam, reaksi polimerisasi diharapkan optimum. Polietilen diambil
melalui Lateral Withdrawal Lock Hopper (D-425) dari bagian samping reaktor dengan
memanfaatkan Rotating Full Bar Valve pada bagian atas dan bawah hopper ini yang
bekerja secara berlawanan. Dari Lock Hopper, powder polimer mengalir ke Primary
Degassing (S-425) berdasarkan perbedaan tekanan yang diatur 0,2-0,5 barg. Pada Primary
Degassing (S-425) terjadi pemisahan powder polimer dengan gas etilen dan gas butene
yang tidak bereaksi. Gas tersebut di recycle ke reaktor oleh Recycle Gas Compressor (C-
470) setelah terjadi pemisahan fines pada Recycle Gas Filter (F-426) dan oligomer (Octane
dan Heptane) dalam sistem kompresor.

Universitas Indonesia
12

Polimer powder dari Primary Degasser (S-425) mengalir ke Secondary Degasser


(D-430) melalui Rotary Valve (V-425) yang berfungsi mengatur level pada Degasser.
Powder polimer dalam Secondary Degasser (D-430) di flushing menggunakan Nitrogen
low dengan tekanan 3 barg untuk menghilangkan gas proses hidrokarbon yang masih
tersisa. Gas tersebut meninggalkan Secondary Degasser (D-430) melalui bagian-bagian
atasnya kemudian dibuang melewati Polymer Cyclone Filter (S-430) untuk memisahkan
fines.
Powder polimer dari Secondary Degasser ditransfer oleh Blower (C-430) yang
bertekanan 0,7 barg dengan media Nitrogen sebagai media transport ke Ricycle Filter (S-
435). Gas dari Ricycle Filter (S-435) mengalir kembali ke Blower (C-430) dan untuk
menjaga tekanannya terdapat make up nitrogen low dan venting ke flire. Powder polimer
mengalir secara gravitasi ke Polymer Screen (S-440) dengan ukuran 8 mesh, 12 mesh, dan
48 mesh untuk pemisahan agglom dan dibuang ke pembuangan. Powder polymer dalam
ukuran normal (800-1000 m) ditransfer ke Final Degasser (D-440) melalui Rotary Valve
(V-441). Dalam Final Degasser (D-440) terjadi penghilangan yang terakhir dari gas etilen
maupun butene yang tidak bereaksi yang terakhir dan deaktivasi sisa/residu katalis dengan
menggunakan fluidisasi powder polimer dengan aliran udara yang disupply Fluidisasi Air
Fan (C-440). Gas fluidisasi tersebut keluar dari bagian atas degasser dan masuk ke Cyclone
Separator (S-445) sebelum ke atmosfer. Polimer yang telah diolah dari Final Degassing
(D-440) mengalir ke Storage Bin (D-460) melalui Rotary Valve (V-441). Level di Final
Degasser diatur oleh weir di keluaran final degasser drum.

3.3.1.7. Unit Additive dan Pelletizing (APU)


Powder dengan kualitas on-grade dari Storange Bin (D-460) langsung masuk ke
Virgin Powder Bin (H-810) dengan bantuan Blower Air Booster (C-460) bertekanan 0,5
barg yang menggunakan udara tekan sebagai media conveying-nya, sedangkan powder
kualitas off-grade terlebih dulu disimpan dalam Powder Surge Silo (H-800) yang
selanjutnya baru dialirkan ke Virgin Powder Bin (H-810) dengan menggunakan Blower (C-
800) bertekanan 0,5 barg.
Pemindahan powder polimer ke Virgin Powder Bin (H-810) atau ke Powder Surge
Silo (H-800) terbagi mejadi 3, yaitu :

1. Normal Feeding
Rute : Storage Bin (D-460)  Virgin Powder Bin (H-810)
Apabila powder polimer yang dihasilkan on-grade, maka powder langsung masuk ke
Virgin Powder Bin (H-810) dengan bantuan Blower Air Booster (C-460) bertekanan
0,5 barg.
2. Tween Feeding
Rute : Storage Bin (D-460)  Powder Surge Silo (H-800) ditambah Powder Surge
Silo (H-800)
Bila ada sebagian powder polimer yang off-grade, maka powder ditampung terlebih
dahulu di Powder Surge Silo (H-800). Powder polimer kualitas off-grade secara Tween
Feeding dicampur sedikit demi sedikit dengan powder kualitas on-grade.

Universitas Indonesia
13

3. Consecutive Feeding
Rute : Storage Bin (D-460)  Powder Surge Silo (H-800)  Virgin Powder Bin (H-
810)
Consecutive Feeding dilakukan apabila terjadi penggantian grade powder polimer.
Powder polimer ditampung terlebih dahulu di Powder Surge Silo (H-800), kemudian
baru dimasukkan ke Virgin Powder Bin (H-810).
Powder dari Virgin Powder Bin (H-810) sebagian akan dimasukkan ke Master Batch
Blander (M-825 A/B) untuk dicampur dengan additive yang sebelumnya ditimbang
terlebih dahulu di Secondary Virgin Powder Weight Feeder (W-821) dan sebagian lagi ke
Primary Virgin Powder Weight Feeder (W-810). Jika powder yang masuk ke Master Batch
Blander (M-825 A/B) telah sesuai target maka pengisian berhenti secara otomatis. Tahap
berikutnya, blender dioperasikan agar percampuran homogen antara powder polimer
dengan additive. Penambahan additive ini bertujuan untuk menjaga kualitas pellet yang
dihasilkan dari kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh temperatur, anti slip, anti oksidan
dan oksidasi. Zat additive ini dapat berupa:
1. Yasorbs yang digunakan sebagai light screen, ultra violet absorber, dan quenching
agent.
2. Silo Block-ASA yang digunakan sebagai anti static agent yang sering ditambahkan
untuk mencegah pengumpulan debu-debu ke permukaan plastic film-film dan pada
pembuatan proses pembuatan kantong, mencegah penempelan satu sama lain.
Penempelan dapat dilakukan dengan cara dioleskan, disemprot, atau dicelup.
3. Azodicarbonamide yang digunakan untuk aplikasi blowing agent yang ditambahkan
untuk membuat plastic berbentuk cellular sehingga menurunkan sifat konstanta
dielektrik.
4. Calcium stearat dan zinc stearat yang digunakan untuk aplikasi lubricating yang
sering ditambahkan untuk mengurangi gesekan antar polimer dengan peralatan dan
polimer dengan polimer selama diproses.
Dalam Master Batch Blender (M-825 A/B) powder polimer dan additive akan dicampur
dengan menggunakan agitator dengan kecepatan 50 rpm selama 2 jam. Master Batch
Blender dijaga temperaturnya agar tidak melebihi 60C, maka dialirkan Cooling Water di
dinding jaketnya dengan suhu masuk 32C dan suhu keluar 51C. Tujuan pendinginan
tersebut agar powder tidak melebihi melt point additive sehingga saat percampuran tidak
meleleh. Selanjutnya powder dan additive yang sudah tercampur akan dialirkan ke Master
Batch Silo (H-830 A/B) kemudian menuju ke Primary Master Batch Weight Feeder (W-
830 A/B) dan langsung menuju ke Secondary Master Batch Feeder (W-835).
Powder polietilen dari Virgin Powder Weight Feeder (W-810), powder dari Master
Batch Silo (H-830 A/B) dan pellet dari Rerun Pellet Feeder (W-855) secara bersama-sama
masuk ke Feed Hopper Extruder (H-840) dengan menggunakan screw conveying untuk
menjaga kontinyuitas feed yang masuk ke extruder. Powder dari Feed Hopper Exstruder
(H-840) akan masuk ke Extruder (X-840) dengan tipe twin screw yang berputar secara co-
current dengan kecepatan 224 rpm. Pada extruder terdapat 4 barel. Di dalam extruder
sendiri akan terjadi proses homogenisasi dan pembentukan adonan selama bergerak
sepanjang extruder dengan dilelehkan pada suhu 150-220 C. Kemudian powder yang

Universitas Indonesia
14

sudah meleleh dialirkan ke gear pump yang menekan molten ke die plate yang berlubang
sehingga molten yang keluar berbentuk seperti spagheti, lalu dipotong oleh cutter yang
mempunyai 12 atau 14 mata pisau yang diputar motor dengan kecepatan 1050 rpm sehingga
memotong molten menjadi bentuk pellet. Pisau tersebut berada dalam air (under water
cutter) yang bersuhu 60C dengan flow rate 220 m3/jam. Air tersebut berasal dari Pellet
Cooling Water Cooler (E-847). Air selain sebagai pendingin pellet air tersebut juga sebagai
media transport pellet yang sudah dipotong masuk ke Pellet Filter (S-846) untuk
dipisahkan airnya, lalu air tersebut kembalikan lagi ke Pelletizing Water Tank (T-848).
Dengan bantuan Pelletizing Water Pump (P-848), air tersebut didinginkan lagi di Pellet
Cooling Water Cooler (E-847). Selanjutnya pellet masuk ke Spin Dryer (R-847) untuk
menghilangkan air yang masih terkandung dalam pellet.
Pellet yang sudah kering masuk ke Vibrating Classifier (S-847) yang mempunyai
ukuran 12 mesh dan 32 mesh. Pada Classifier ini terjadi pemisahan pellet menurut
ukurannya, yaitu over size (4 – 4,75 mm) dan normal size (2,5 – 4 mm). Pellet dengan
ukuran normal akan masuk ke Silo (H-850), sedangkan pellet over size akan ditampung di
surge bag sebagai pellet berkualitas rendah.

3.3.1.8. Unit Bagging (PBU)


Produk dari Silo (H-850) menuju ke Rotary Valve (V-101) kemudian produk yang
masuk dalam rentang prime atau blending limit akan dipindahkan ke Homogenisasi Silo
(H-101 A/B) atau ke Transition Silo (H-102) dengan bantuan udara yang disuplai dari
Blower (C-101), sedangkan pellet yang tidak masuk rentang akan dipindahkan ke Rerun
Pellet (H-855) untuk dimasukkan kembali ke dalam Extruder (X-840) bersama dengan
powder yang baru.
Proses pencampuran pellet dilakukan di homogenisasi silo (H-101 A/B), tujuannya
untuk menyeragamkan dan memperbaiki kualitas pellet. Pencampuran dilakukan dengan
cara mensirkulasi pellet dari dan ke homogenisasi dengan menggunakan udara sebagai
media pembawa yang disuplai dari Blower (C-102).
Pellet dari Unit Additive dan Pelletisasi (APU) ditransfer ke Homogenisasi Silo (H-
101) dengan menggunakan Blower (C-101) bertekanan 0,5 bar. Dalam Homogenisasi Silo
(H-101 A/B) pellet diblending selama 3 jam dengan menggunakan Blower (C-102) dengan
tekanan 1 barg yang bertujuan untuk mencampur grade dari pellet. Pellet yang telah
dihomogenisasi kemudian akan ditampung di Transition Silo (H-102). Pada transition Silo
(H-102) pellet yang tidak masuk rentang akan dikembalikan ke Rerun Pellet (H-855) baru
kemudian ditransfer ke Bagging Silo (H-103 A/B) dengan menggunakan Blower (C-104)
dengan tekanan 0,5 barg, selanjutnya pellet ditransfer ke Bagging machine package.
Bagging machine akan mengepak pellet dalam kantong-kantong plastik yang setiap
kantongnya berisi 25 kg polietilen sesuai dengan jenisnya masing-masing. Polietilen yang
over grade juga akan di bag off tiap 25 kg dan dijual dalam harga di bawah polietilen yang
on-grade.
Kantong-kantong yang berisi polietilen tersebut diangkut dengan menggunakan belt
conveyor menuju warehouse setelah proses bagging selesai. Polietilen ini siap dipasarkan
atau dikirim ke konsumen dengan menggunakan truk.

Universitas Indonesia
15

4. TUGAS KHUSUS
EVALUASI KINERJA ETHYLENE VAPORIZER (3-E-350)
4.1 Pendahuluan
4.1.1 Latar Belakang
Regasifikasi merupakan proses perubahan fase LNG dari fase cair menjadi fase gas
kembali, yang mana pada proses awal natural gas didinginkan hingga suhu -161 oC dan tekanan
1 atm menjadi bentuk cair berupa LNG. Tujuan dari perubahan bentuk fase dari gas menjadi
fase cair ini ialah untuk memudahkan dalam proses transportasi atau proses shipping dan proses
penyimpanannya dikarenakan storage volume yang dibutuhkan untuk fase cair 600 kali lebih
kecil dibandingkan dalam fase gas. Untuk proses transportasinya sendiri menggunakan proses
shipping dikarenakan feed gas untuk LNG diproduksi di offshore . Dalam unit regasifikasi pada
umumnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.1 yaitu terdiri dari pompa untuk
mengalirkan LNG dari tanki storage ke vaporizer yang menggunakan pemanas ambient air
ataupun air laut. Setelah proses penguapan, selanjutnya masuk dalam odorizer untuk
penambahan merkaptan yang memberikan bau khas pada gas yang berfungsi sebagai
keselamatan dan untuk memfasilitasi deteksi kebocoran. Setelah itu gas alam yang telah
diregasifikasi dari fase cair dialirkan ke konsumen melalui jalur pipeline gas

Gambar 5.1 Proses regasifikasi secara umum


(Sumber:Dananto dkk,2014)

.
4.1.2 Tujuan Tugas Khusus
Evaluasi Ethylene Vaporizer 3-E-350 bertujuan untuk:
 Mengetahui nilai LMTD dari heat exchanger
 Mengetahui factor kekotoran dari heat exchanger
 Mengevaluasi apakah heat exchanger masih berfungsi dengan baik

4.2 Pembahasan Tugas Khusus


Dalam menganalisa kinerja atau perfomance heat exchanger diperlukan beberapa
parameter, yaitu

1. Heat Balance
Bila panas yang diterima oleh fluida dingin jauh lebih kecil daripada panas yang dilepas
oleh fluida panas, maka hal ini berarti terdapat kehilangan panas yang besar dan tentu
akan mengurangi performa suatu heat exchanger
Q  W .C(T1  T2 )  w.c(t 2  t1 )

Universitas Indonesia
16

2. Clean Overall Coefficient (Uc)


Uc adalah koefisien perpindahan panas menyeluruh pada awal heat exchanger dipakai
(masih bersih), besarnya ditentukan oleh tahanan konveksi ho dan hio, sedangkan
tahanan konduksi diabaikan karena sangat kecil apabila dibandingkan dengan tahanan
konveksi.
hio  ho
Uc 
hio  ho
3. Dirty Overall Coefficient (Ud)
Ud adalah koefisien perpindahan panas menyeluruh setelah terjadi pengotoran pada
heat exchanger.Besarnya Ud lebih kecil dari pada Uc.
Q
Ud 
A * t

4. Fouling factor (Rd)


Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, permukaan perpindahan panas suatu
alat penukar panas kemungkinan besar terlapisi oleh kerak-kerak yang ditimbulkan oleh
fluida yang mengalirkan di dalam alat tersebut.Kerak-kerak tersebut dapat
menyebabkan korosi terhadap permukaan alat tersebut. Terbentuknya korosi dapat
menimbulkan tahanan tambahan yang dapat mengurangi kinerja dari alat perpindahan
panas tersebut. Pengaruh tahanan tambahan itulah yang dinyatakan sebagai factor
pengotoran (fouling factor) atau tahanan pengotoran (Rd) yang harus diperhitungkan
bersama tahanan thermal lainnya dalam perhitungan koefisien perpindahan panas
secara menyeluruh. Fouling factor didapatkan dari percobaan dengan menentukan Uc
dan Ud. Nilai Rd dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Uc  Ud
Rd 
Uc  Ud
Keterangan:
Rd = Fouling factor
Uc = Koefisien perpindahan panas bersih
Ud = Koefisien perpindahan panas kotor

5.7 Peritiwa Fouling


Fouling adalah peristiwa terakumulasinya padatan yang tidak dikehendaki di
permukaan Heat Exchanger yang berkontak dengan fluida kerja, termasuk permukaan heat
transfer. Bahan atau senyawa itu berupa kristal, sedimen, senyawa biologi, produk reaksi kimia,
ataupun korosi. Pembentukan lapisan deposit ini akan terus berkembang selama alat penukar
kalor dioperasikan. Dikarenakan terdapat endapan atau deposit pada permukaan perpindahan
panas, maka dibutuhkan luas perpindahan panas yang lebih agar perpindahan panas yang
diinginkan dapat tercapai. Selain itu akumulasi deposit pada permukaan alat penukar kalor
menimbulkan kenaikan pressure drop sehingga dibutuhkan energi ekstra untuk pemompaan.
serta menurunkan efisiensi perpindahan panas.
Pada shell & tube heat exchanger, fouling dapat terjadi baik pada bagian dalam (inner
tube) maupun luar tube (outside tube) dan dapat terjadi pula pada bagian dalam shell tetapi

Universitas Indonesia
17

yang paling banyak ditemukan adalah pada dalam tube. Hal ini dikarenakan temperature yang
tinggi dan kecepatan yang rendah merupakan sebab terjadinya fouling. Fouling dapat terjadi
apabila fluida yang mengalir berada pada kecepatan yang rendah,dimana kecepatan yang
rendah akan menyebabkan terjadinya pengendapan sedangkan dengan suhu yang tinggi akan
mempercepat terjadinya reaksi. Akan tetapi secara di lapangan proses pembentukan lapisan
fouling merupakan fenomena yang sangat kompleks sehingga sukar sekali dianalisa secara
analitik. Mekanisme pembentukannya sangat beragam, dan metode-metode pendekatannya
juga berbeda-beda.
Maka dari itu fouling ini dapat ditunjukkan menggunakan angka fouling factor yang
menyatakan hambatan akibat adanya kotoran yang terbawa oleh fluida yang mengalir di dalam
heat exchanger yang melapisi bagian dalam dan luar tube. Perhitungan fouling factor berguna
untuk mengetahui apakah terdapat kotoran di dalam alat dan kapan harus dilakukan
pemberihan. Nilai fouling factor ditentukan berdasarkan harga koefisien perpindahan panas
menyeluruh untuk kondisi kotor maupun bersih pada alat penukar panas yang digunakan..
5. KESIMPULAN
E-1 E-2 Rata-rata
η 34,5 % 26,7 % 30,6%
LMTD 16,5 oC 42,6 oC 29,55
Rd 0,12 hr. ft 2 . F/Btu 0,26 hr. ft 2 . F/Btu 0,19 hr. ft 2 . F/Btu
Uc 38,37 BTU/hr ft^2 F 19,97 BTU/hr ft^2 F 29,17 BTU/hr ft^2 F
Ud 6,63 BTU/hr ft^2 F 3,22 BTU/hr ft^2 F 4,92 BTU/hr ft^2 F

Analisa Kinerja Heat Exchanger 3-E-350


Dari data yang diperoleh dapat di simpulkan bahwa nilai efisiensi tergolong rendah. Hal ini di
karenakan beberapa hal yaitu :
- Banyaknya pengotor yang ada di Heat Exchanger
- Kurangnya senyawa propylene yang ada di Heat Exchanger, hal ini di dukung dengan
data ketinggian propylene yang ada di DCS hanya 8mm sedangkan dari data sheet
seharusnya tinggi propylene 950mm
- Flow actual yang masuk lebih rendah dari flow desain
Selanjutnya untuk nilai LMTD dari Heat Exchanger bernilai cukup tinggi karena ketika LMTD
bernilai lebih besar dari 10 celsius, maka heat loss dari alat HE itu cukup besar. LMTD bernilai
cukup besar di karenakan pebedaan suhu yang masuk dan yang keluar cukup berbeda.
Koefisien perpindahan panas
Koefisien perpindahan panas dapat dibandingkan dengan cara melihat nilai Koefisien
Clean Overall (Uc) dan Koefisien Dirt Overall (Ud). Koefisien Clean Overall adalah hantaran
perpindahan heat exchanger dalam keadaan bersih, sedangkan Koefisien Dirt Overall adalah
hantaran perpindahan heat exchanger dalam keadaan kotor. Secara teorirtis, nilai Uc harus
lebih besar daripada Ud. Hal ini dikarenakan perpindahan panas saat heat exchanger dalam
keadaan bersih lebih baik daripada dalam keadaan kotor karena masih sedikitnya hambatan
yang mengganggu saat proses perpindahan panas terjadi.

Universitas Indonesia
18

Hasil perhitungan Heat Exchanger 3-E-350 pada tanggal 21 Agustus 2016 didapatkan
nilai rata-rata Uc sebsesar 29,17 BTU/hr ft2 F dan Ud sebesar 4,92 BTU/hr ft2 F. Perhitungan
ini sesuai dengan teori, yaitu nilai Uc lebih besar daripada Ud.

Fouling factor
Fouling merupakan peristiwa terakumulasinya padatan yang tidak dikehendaki di
permukaan heat exchanger yang berkontak dengan fluida kerja, termasuk permukaan heat
transfer. Besarnya fouling ini dapat ditunjukkan dengan fouling factor (Rd) yang dapat
dijadikan sebagai dijadikan sebagai suatu parameter untuk menunjukkan besarnya faktor
pengotor pada heat exchanger yang diakibatkan terbentuknya lapisan yang memberikan
tahanan tambahan terhadap aliran panas. Lapisan ini dapat terjadi karena banyak hal, seperti
adanya korosi pada bahan konstruksi heat exchanger atau endapan yang terdapat di dalam
fluida setelah dipakai dalam waktu yang lama. Adanya fouling ini tentu akan menurunkan
efisiensi panas pada alat heat exchanger.
Dari hasil pengolahan data, didapatkan nilai Rd aktual sebesar 0,19 hr. ft 2 . F/Btu,
sedangkan Rd desain adalah 0.0001 hr. ft 2 . F/Btu. Dari hasil perhitungan ini, dapat dilihat
bahwa nilai Rd aktual lebih besar dari nilai Rd desain. Hal ini berarti bahwa kinerja heat
exchanger 34-E-101 sudah mengalami penurunan akibat fouling yang terjadi di heat exchanger.
Hal ini disebabkan akumulasi endapan atau korosi yang selalu bertambah setiap harinya
sehingga memungkinkan nilai Rd aktual yang sedikit demi sedikit akan meningkat. Maka,
dapat dikatakan bahwa kinerja heat exchanger mengalami penurunan akibat adanya fouling
sehingga perlu adanya upaya pembersihan.

6. FASILITAS KERJA RAKTIK YANG DIPINJAMKAN


a. Kacamata safety (google)
b. Jas Laboratorium
c. Safety Shoes
7. FASILITAS UNTUK MEMBUAT LAPORAN
a. Literatur
b. Laboratorium
c. Internet
d. ATK
e. Printer
8. PEMBIMBING KERJA PRAKTIK LAPANGAN
Galih Satrio
9. PESERTA KERJA PRAKTIK
Nama : Muhammad Luthfansyah
NPM : 1306449220

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai