A. Windarto
Demikian salah satu ungkapan yang keluar dari mulut Ahok yang difilmkan dengan judul
"A Man Called Ahok" oleh sineas muda bernama Putrama Tuta. Dari ungkapan itu tampak bahwa
antara kalah dan salah memiliki perbedaan yang signifikan dalam dunia hidup sehari-hari. Itu
artinya, keduanya tak bisa disamakan secara gampangan bahwa yang kalah pasti salah misalnya.
Itulah mengapa kalah tidak serta merta menunjukkan nilai/kualitas dari hidup seseorang. Dengan
kata lain, kalah hanyalah saat dan tempat yang bersifat sementara dan bermakna tidak kekal,
apalagi abadi. Maka memang tak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah kekalahan sebab
dengan menentukan pilihan tepat dan bermanfaat di antara berbagai kemungkinan. Pilihan Ahok
untuk menjadi Bupati di Bangka Belitung mungkin tepat secara politis, namun manfaat secara
ekonomis bisa jadi justru menjadi "batu sandungan" bagi banyak pihak, khususnya para cukong
(timah) lokal. Inilah yang membuat Ahok dicina-cinakan untuk menciptakan ketakutan yang
sudah dihadirkan sejak abad ke-17 akhir dan awal abad ke18 di Hindia Belanda. Penciptaan
ketakutan yang membuat "Cina" bukan hanya menjadi musuh, namun sekaligus "Liyan" atau
Maka masuk akal jika Ahok selalu dibuat seolah-olah bersalah, meski tak ada kesalahan
yang patut ditanggungkan. Salahnya adalah Ahok seakan-akan jarang merasa bersalah. Apalagi
diketahui bahwa kesalahan yang ditimpakan pada Ahok nyaris tidak mudah untuk dibuktikan.
Maka semakin gencarlah pihak-pihak yang berupaya menyalahkannya agar segera kalah. Jadi,
1
salah yang dibuat-buat untuk mengalahkannya adalah bagian dari politik identitas yang kerap
dimainkan demi meraih kekuasaan. Dalam konteks ini, Ahok terlalu "lurus" alias "hantam
kromo" terhadap apapun, bahkan siapapun, yang dipandangnya salah. Sebab, seperti
diungkapkan di atas, dirinya tidak takut kalah, tetapi justru takut salah.
Di sini film ini memberi pelajaran penting bahwa "takut salah" itu baik, tapi adalah enak
dan perlu untuk melawan jika disalah-salahkan tanpa alasan yang jelas dan tepat. Dalam arti ini,
film berdurasi 102 menit itu masih belum mampu memperlihatkan perlawanan yang dikerjakan
Ahok untuk menghadapi berbagai pihak yang sesungguhnya takut dipersalahkannya. Karena itu,
adegan-adegan saat Ahok menjadi Wagub (Wakil Gubernur) dan Gubernur DKI Jakarta hingga
Pilkada 2017 adalah momen-momen yang dalam bahasa semiotik Roland Barthes (Camera
Itulah saat dan tempat yang tepat di mana "takut salah"-nya Ahok sedang dipertaruhkan.
Artinya, Ahok yang "takut salah" itu sesungguhnya tengah dicobai untuk menjadi “inosen” atau
"tanpa salah" dalam Pilkada 2017 misalnya, meski dirinya dapat saja menang dengan cara-cara
seperti yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Namun, Ahok tetap "takut salah" dan kalah.
Dinamika inilah yang luput atau mungkin dipandang terlalu "politis". Karena film ini, menurut
sutradara, dibuat dengan aroma "apolitis". Maka bukan kebetulan jika film ini seakan-akan perlu
Agak disayangkan memang. Sebab perlawanan Ahok bukan sekadar untuk menang,
melainkan hanya semata-mata "takut salah”. Namun, patut dihargai dan diapresiasi pula bahwa
film ini dipandang mampu memberi inspirasi. Tanpa terlalu peduli dengan berapa jumlah
penontonnya, film “apolitis” ini justru memberi suatu peringatan bahwa berpolitik tanpa “takut
salah” adalah sama dengan, sebagaimana dirumuskan Mahatma Gandhi, “politik tanpa prinsip”.
2
Dan hal itu termasuk sebagai bagian dari tujuh dosa sosial yang telah merusak peradaban hidup
bersama dari masa ke masa. Masih penasaran dengan cerita dan cita-cita yang tersembunyi
A. Windarto