Anda di halaman 1dari 4

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan hadis di Indonesia


Dikalangan ulama hadis ditemukan dua kecenderungan, pemahaman terhadap
kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut adalah representasi dalam dua kelompok
yang cukup dominan di kalangan umat Islam. Yaitu restriction of traditionalist and modernis
scriptularism.pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri pada trades yang
diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan relaitas sosial. Sedangkan
pemahaman kelompok modernis scriptularism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi
mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks. Produk pemahaman
hadis yang dihasilkan dari ke dua kelompok tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman,
yakni pemahaman tekstual/literal, dan pemahaman kontekstual. Pada zaman dahulu para
ulama sudah puas dengan menyatakan wa Allah a’lam (Allah yang mengetahui makdunya).
Akan tetapi, tatkala problem social dan ilmu pengetahuan semakin kompleks sepeti sekarang
ini, maka literalisme seringkali tidak memuaskan pemikiran banyak pihak. Bahkan pada
gilirannya berpotensi memunculkan sifat keraguan dari sebagian orang terhadap otensitas
hadi Nabi SAW, karena isinya secara literal bertentangan dengan sains, logika, atau nalar
manusia. Padahal hadis tersebut diriwayatkan oleh para perawi hadis yang diakui
kredibilitasnya dalam eriwayatkan hadis.
Pengkaji Hadis di Indonesia berusaha merekonstuksikan metode pemahaman hadis
sehingga hadis NABI Muhammad SAW dapat diterima pada masa sekarang khususnya oleh
masyarakat di Indonesia. Diantara pengkaji hadis yang mencoba unuk merekonstruksikn
metode pemahaman hadis yaitu dari tamatan Timur Tengah Said Aqil Munawwar, Ali
Mustafa Ya’qub, Daud Rasyid Sitorus, dan Lutfi Fathullah. Dari tamatan Barat yaitu:
Kamarudin Amin, dan dari Indonesia yaitu Muhammad Syuhudi Ismail, Daniel
Djuned,Buchari M dan lain-lainnya.berdasarkan sejarah perkembangan ilmu hadis, secara
umum sejak abad ke- 10 H sampai abad ke-14 H, ijtihad dalam masalah tersebut diatas
terhenti dan tidak ada usha untuk mengembangkannya, kecuali ada beberapa kitab ilmu-ilmu
hadis dalam bentuk syair yang merupakan susunan ulang dan syarahan tanpa ada
pengembangan. Kemudian pada awal abad ke-14 H, para ualam hadis mulai bangkit
membahas ilmu-ilmu hadis dan mengaitkannya dengan perkembangan pengetahuan modern
sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dan dunia Barat. Perlunya kajian ulang
terhadap proses pembakuan hadis, tanpa perlu menghilangkan otentitas spritualitas oleh
2

perubahan kehidupan masyarakat modern dalam era tekhnologi dan informasi yang begitu
cepat. Ulama Timur Tengah yang tergolong tanggap dengan masalah ini antara lain al-
Qasimi, Mahmud al Thahan, Abu Suhbah, Subhi al Salin, Muhammad ‘Ajjaj al Khatib,
Muhammad Mustafa Azami, Mustafa al Siba’i, Nur al Din ‘Itr, dan Nasiruddin Al-Albani.
Hadis menempati posisi yang sangat sentral dalam agam Islam. Karena posisinya
yang sangat penting tersebut, kajian hadis mendapat perhatian besar dalam dunia Islam.
Tidak kurang dari 500.000 orang terlibat dalam periwayatan hadis. Ratusan buku telah ditulis
ulama dalam bidang hadis ini. Bahkan pada abad ke 15, ilmu hadis bahkan terbagi dalam 74
cabang ilmu.1 Pada abad ke 17 Abdur Rauf ash-Sinkili telah menulis kitab hadis yang
berjudul Hidayat Al Habib fi al Tarhib. Dalam kitab yang berbahasa melayu tersebut, Ash-
Sinkili menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat Al Qur’an untuk mendukung argument-
argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut. Hanya saja setelah karya Ash-Shinkili ini,
tidak diketahui adanya karya ulama Indonesia di bidang hadis. Baru setelah akhir abad ke 19
dan memasuki awal abad ke 20 ditemukan lagi kitab yang disusun oleh ulama Indonesia
yaitu kitab Manhaj Zawi al-Nadhar, karya Kyai Mahfud Termas. Hanya saja kitab ini
berbahasa arab dan diperkirakan tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekkah.

Kajian hadis di Indonesia kemudian semakin mendapat tempat seiring dengan


munculnya gerakan purifikasi yang menekankan pada “ kembali kepada Qur’an dan Sunnah”.
Gerakan purifikasi ini lebih menekankan pada hadis daripada mazhab fiqih. Setelah itu karya-
karya di bidang hadis yang ditulis oleh ulama Indonesia mulai muncul, baik dalam bentuk
buku ataupun artikelmaupun majalah.2 Kemudian pada abad ke XVIII-XIX terjadi proses
ortodoksi atau penekanan terhadap Syari’ah. Telaah-telaah hadis bagi para ulama merupakan
subjek paling penting dalam keahlian mereka. Al-Kurani mempunyai isnad hadis melaui
‘Abd Allah Al-Lahuri (w. 1083/1672), yang menghubungkannya dengan Quthb al-Din Al-
Nahrawali, yang pada puncaknya sampai pada Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Mengingat betapa
pentingnya kajian hadis, Al-Kurani bahkan menegaskan, ” Aku tidak menyimpan keraguan
bahwa ia (hadis) akan abadi di atas bumi.”, Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
adalah tokoh paling penting bagi tarekat, sebab beliau adalah sumber syari’at setelah Tuhan.
Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang
mengembangkan Islam di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah
Ahmad Khatib (Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’I

1
Agung Danarta,Jurnal Tarjih Edisi 7, Perkembangan Hadis di Indonesia,Januari 2004, hlm, 73
2
Op. Cit , hlm 75
3

(Jawa Tengah) Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh ulama
tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama berpengaruh abad XIX
tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat tipikal pada saat itu, meski kemudian
ada yang buah fikirannya diakui secara nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil
kriteria-kriteria tertentu, seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan
keperduliannya terhadap problema umat Islam. Sebagaimana jaringan ulama pada abad
sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran
timur tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang
erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara
yang belajar di wilayah tersebut. Jaringan ulama di nusantara pada abad ke 19, tak pelak lagi
memiliki keterkaitan dengan ulama ulama di luar negeri utamanya adalah ulama timur tengah
sebagai gudang ilmu pengetahuan islam pada masanya.
Ulama ulama pada abad 19 seperti Imam Nawawi, Pangeran Diponegoro, Kiai Maja,
Imam Bonjol, Ulama ulama gerakan paderi, Ahmad Rifa’I, Imam Syekh Nawawi Al Bantani,
Arsyad Al Banjari adalah sebagian dari ulama ulama utama pada abad ke 19. Hal yang
menonjol dari peranan ulama pada abad 19 adalah mulai dikenalnya istilah pembaharuan
dalam dunia islam dimana sebagian dari para ulama itu mengambil peran sebagai ulama
pembaharu dalam dunia islam di nusantara. Selain itu peranan ulama pada abad ini tak bisa
dilepaskan dalam upaya untuk membebaskan negeri dari penjajahan, maka para ulama
memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai ulama pengajar, pendidikan, pemikir maupun
pembaharu juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme barat. Peran-
peran inilah yang menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama pada sekitar abad ke 19.3
Pasca mereka muncullah para ulama yang berusaha menghabiskan waktu mereka
dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang terkodifikasi untuk merumuskan
sebuah bentuk pemikiran metodologis dalam melakukan pengkajian hadis sehingga bentuk
peristilahan yang dipergunakan tidak mengalami kekalutan dan ketidakpastian, diantara
mereka yang melakukan kajian untuk menentukan rumusan metodologis adalah Ar-
Ramahurmudzi, al-Hakim an-Naisabury, al-Bagdady, al-Qadhy ‘Iyadh dan generasi-generasi
ulama setelah mereka. Namun perkembangan pengkajian Hadis dan kaedahnya di Indonesia
semakin mendapatkan tempatnya dan bahkan semakin pesat adalah pada awal abad ke-20

3
http://penyejukhatipenguatiman.blogspot.co.id/2013/06/transformasi-pemikiran-
hadist-abad-ke.html, internet diakses pada tanggal 1 maret 2018, 20.30
4

dimana bermunculan para tokoh yang secara latarbelakang intelektual mereka tidak berasal
dari pendidikan hadis, hanya karena disebabkan mereka adalah pengajar-pengajar hadis dan
kaedahnya atau karena kajian-kajian mereka tentang permasalahan ke-Indonesia-an
bersinggungan langsung dengan hadis-hadis Nabi Saw, sehingga mereka secara tidak
langsung harus melakukan kajian terhadap hadis dan kaedahnya baik secara parsial maupun
komprehensif.
Namun meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa studi hadis dan kaedahnya
di indonesia dapat dikatakan baru disebabkan karena sangat sedikitnya karya-karya dibidang
hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia.Adapun karya-karya Hadis dan
kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia di awali oleh karya Syekh Muhammad
Mahfudh al-Tirmisi dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Dzawi An-Nazhar merupakan
penjelasan dari kitab karya Imam as-Syuthy Manzhumah Ilmu al-Atsar, kemudian karya
Mahmud Yunus (1899-1983) dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Mushthalah al-hadits
kedua karya ulama Indonesia ini ditulis dalam Bahasa Arab, kemudian lahirlah karya T.M
Hasbi Ash-Shiddiqie (1904-1975) dalam bidang Hadis dan Ilmunya yang sangat banyak
diantaranya adalah Koleksi Hadis-Hadis Hukum (9 volume), Mutiara Hadis (6 Volume),
Beberapa Rangkuman Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis (2 Volume), Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Rijalul
Hadis, Sejarah perkembangan Hadis. Selain itu beliau juga memiliki sebuah karya yang
merupakan keritik terhadap hadap hadis-hadis yang terdapat dalam karya monumental Imam
al-Ghazaly yang berjudul Ihya’ulum al-Din. Selain beliau terdapat pula ulama indonesia
lainnya yang memiliki karya-karya dalam hadis dan ilmunya seperti Muhammad Syuhudi
Ismail (1943-1997) dengan karya beliau dalam ilmu hadis seperti; Pengantar Ilmu Hadis,
Metodologi Penelitian Hadis, Kaidah Keshahihan Sanad, Hadis Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, Kemudian Fatchir Rahman dengan karyanya ikhtishar
Mushthalahul Hadis.4

4
Hasep Saputra, Geanalogi Perkembangan Hadsi di Indonesia, Al Quds Jurnal Studi Al Qur’an dan
Hadis, Vol 1, No 1, 2017, hlm 41

Anda mungkin juga menyukai