Anda di halaman 1dari 104

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN

ESOFAGOGASTRODUODENOSKOPI PADA PENDERITA SINDROM


DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM SANTO ANTONIUS
PONTIANAK TAHUN 2015-2016

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada
Program Studi Pendidikan Dokter

LIA PRAMITA
I1011151026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-
Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
sebagai salah satu syarat untuk mengambil gelar Sarjana Kedokteran. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan apresiasi sebesar-
besarnya kepada :
1. Yang Terhormat, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, dr.
Arif Wicaksono, M.Biomed telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas yang dipimpinnya.
2. Yang Terhormat, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Universitas
Tanjungpura, dr. Wiwik Windarti, Sp.A telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Pendidikan
Dokter.
3. Yang Terhormat, dr. Rozalina, Sp.KJ yang telah bersedia menjadi
pembimbing pertama dan telah memberikan banyak ilmu, bimbingan,
dukungan serta pelajaran yang berharga sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ini.
4. Yang Terhormat, dr. Muhammad Ibnu Kahtan, M.Biomed yang telah
bersedia menjadi pembimbing kedua dan telah memberikan banyak
bimbingan, ilmu, serta dukungan yang memacu penulis sehingga dapat
menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
5. Yang Terhormat, dr. Wilson, Sp.KJ, M.Kes sebagai penguji pertama yang
telah memberikan masukan serta saran dalam penulisan karya tulis ilmiah
ini sehingga menjadi lebih baik.
6. Yang Terhormat, dr. Mistika Zakiah sebagai penguji kedua yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini
sehingga menjadi lebih baik.
7. Yang penulis kasihi dan cintai, kedua orang tua saya, Sudijanto Sugandi dan
Tjeng Ju atas doa, cinta kasih, dan dukungan baik moral dan material, serta
didikan yang tidak berhenti dari beliau. Serta saudara-saudara penulis, Erica

iii
Sugandi, Caroline Sugandi, dan Michael Sugandi yang telah mendukung
secara moral dan material.
8. Yang penulis banggakan, kepada Regina Grace dan Vini Apriyanti yang
telah bekerja sama dalam satu tim penelitian dengan baik.
9. Yang penulis kasihi, sahabat saya, Vica Vionita Rosalim, Suato Wijaya, dan
Yuni Audina yang telah mendukung saya baik dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini.
10. Yang penulis banggakan, NEURON 2015, teman-teman seperjuangan
penulis yang telah banyak membantu dan mendukung, serta memberikan
masukan dan saran dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
11. Terima kasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada Rumah Sakit Jiwa
Daerah Sungai Bangkong Kota Pontianak yang telah bersedia untuk menjadi
tempat penelitian karya tulis ilmiah ini serta kepala ruangan, para perawat,
dan para staf yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian.
12. Terima kasih khususnya kepada orang-orang yang namanya tidak bisa
disebutkan satu-satu yang telah mendukung penulis dalam pembuatan karya
tulis ilmiah ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas kekurangan yang
terdapat dalam karya tulis ilmiah ini karena penulis jugalah manusia biasa yang
tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca untuk menambah ilmu mengenai skizofrenia itu sendiri.

Pontianak, Februari 2018


Penulis

Catherine Sugandi

iv
PERBEDAAN SKOR POSITIVE AND NEGATIVE SYNDROME SCALE
(PANSS) AWAL DAN AKHIR TERHADAP STATUS KEKAMBUHAN
GANGGUAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RUMAH
SAKIT JIWA DAERAH SUNGAI BANGKONG KOTA PONTIANAK

Catherine Sugandi1, Rozalina2, Muhammad Ibnu Kahtan3

Intisari

Latar Belakang: Skizofrenia adalah gangguan jiwa kronik dengan distorsi


pikiran, persepsi, emosi, berbicara, dan berperilaku. Sekitar 33% penderita
skizofrenia mengalami kekambuhan dan 12,1% kembali dirawat inap. Status
kekambuhan saat awal dan akhir perawatan dapat diukur dengan skor
PANSS.Tujuan: Mengetahui perbedaan antara skor PANSS awal dan akhir
terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia yang dirawat inap
di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak. Metodologi: Penelitian ini
merupakan jenis penelitian analitik komparatif kategorik berpasangan dengan
desain penelitian cross sectional. Total sampel yang ikut dalam penelitian ini
sebanyak 35 orang. Variabel bebas pada penelitian ini adalah status kekambuhan
gangguan pada pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota
Pontianak sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil skor PANSS
(Positive and Negative Syndrome Scale) awal dan akhir. Data akan dianalisis
dengan menggunakan uji T-Berpasangan dan akan dihitung menggunakan SPSS
23. Hasil: Hasil Uji T-Berpasangan menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna antara skor PANSS awal dan akhir terhadap status kekambuhan
gangguan pada pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong
Kota Pontianak (p≤0,05). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna
antara skor PANSS awal dan akhir terhadap status kekambuhan gangguan pada
pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.

Kata Kunci: skizofrenia, pasien rawat inap, PANSS, status kekambuhan

1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
2
Departemen Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Kota
Pontianak, Kalimantan Barat.
3
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kalimantan Barat.

v
DIFFERENCE BETWEEN INITIAL AND FINAL SCORE OF POSITIVE
AND NEGATIVE SYNDROME SCALE (PANSS) TO THE RELAPSE
STATUS OF DISORDER IN HOSPITALIZED SCHIZOPHRENIC
PATIENTS OF SUNGAI BANGKONG PSYCHIATRIC HOSPITAL IN
PONTIANAK CITY

Catherine Sugandi1, Rozalina2, Muhammad Ibnu Kahtan3

Abstract
Background: Schizophrenia is a chronic mental disorder with distortion of
thinking, perception, emotion, speech, and behaviour. 33% of schizophrenic
patients relapses and 12,1% be hospitalized. Relapse status from initial to final
treatment could be measured by PANSS. Purpose: Aiming to know the difference
between initial and final PANSS score towards relapse status of disorder in
hospitalized schizophrenic patients of Sungai Bangkong Psychiatric Hospital in
Pontianak City. Methodology: Paired categorical comparative analytic study was
used in the research with cross sectional approach. The total sample involved was
35 people. The independent variable was relapse status of disorder in hospitalized
schizophrenic patient of Sungai Bangkong Psychiatric Hospital and dependent
variable were initial and final PANSS score values. The data were analyzed using
Paired Samples T-Test with SPSS 23. Result: The result of Paired Samples T test
showed a meaningful difference initial and final score of PANSS to the relapse
status of disorder in hospitalized schizophrenic patients of Sungai Bangkong
Psychiatric Hospital. Conclusion: There was a meaningful difference initial and
final score of Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS) to the relapse
status of disorder in hospitalized schizophrenic patients of Sungai Bangkong
Psychiatric Hospital in Pontianak City.

Keywords : schizophrenia, hospitalized patients, PANSS, relapse status

1
Medical Education, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West Borneo.
2
Department of Psychiatry, Sungai Bangkong Psychiatric Hospital, West Borneo.
3
Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West
Borneo.

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 3
1.5. Keaslian Penelitian................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fase Remisi dan/atau Eksaserbasi ........................................................ 5
2.2. Fase Residual ...................................................................................... 10
2.3. Fase Aktif ............................................................................................ 11
2.4. Fase Prodromal ................................................................................... 11
2.5. Fase Premorbid ................................................................................... 11
2.6. Skizofrenia
2.6.1. Definisi ...................................................................................... 11
2.6.2. Sejarah....................................................................................... 11
2.6.3. Epidemiologi ............................................................................. 13
2.6.4. Etiologi ...................................................................................... 14
2.6.5. Klasifikasi ................................................................................. 22
2.6.6. Gejala Klinis ............................................................................. 24
2.6.7. Kriteria Diagnostik.................................................................... 25
2.6.8. Kriteria Diagnostik Lainnya ..................................................... 32

vii
2.6.9. Prognosis ................................................................................... 34
2.6.10. Diagnosis Banding .................................................................. 35
2.6.11. Tata Laksana ........................................................................... 37
2.7. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) ............................... 41
2.8. Kerangka Teori ................................................................................... 47
2.9. Kerangka Konsep ................................................................................ 47
2.10. Hipotesis ............................................................................................. 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian ................................................................................ 48
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 48
3.3. Jadwal Penelitian ................................................................................ 48
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi Penelitian .................................................................... 49
3.4.2. Besar Sampel Penelitian ........................................................... 49
3.4.3. Cara Pengambilan Sampel Penelitian ....................................... 49
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi .......................................................................... 50
3.5.2. Kriteria Eksklusi ....................................................................... 50
3.6. Identifikasi Variabel Penelitian
3.6.1. Variabel Bebas .......................................................................... 50
3.6.2. Variabel Terikat ........................................................................ 50
3.7. Definisi Operasional ........................................................................... 51
3.8. Rencana Manajemen dan Analisis Data
3.8.1. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 51
3.8.2. Metode Pengolahan Data .......................................................... 51
3.8.3. Metode Analisis Data ................................................................ 53
3.9. Alur Penelitian .................................................................................... 53
3.10. Etika Penelitian ................................................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Responden Penelitian .................................................... 54
4.1.1. Jenis Kelamin ............................................................................ 56

viii
4.1.2. Usia ........................................................................................... 58
4.1.3. Diagnosis Psikiatri .................................................................... 59
4.1.4. Status Kekambuhan dan Jumlah Kekambuhan ......................... 59
4.1.5. Terapi ........................................................................................ 60
4.2. Hasil Uji Statistik ................................................................................ 60
4.2.1. Perbedaan Skor PANSS Awal dan Akhir Terhadap
Status Kekambuhan .................................................................. 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 63
5.2. Saran ................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 64
LAMPIRAN 1 .................................................................................................. 70
LAMPIRAN 2 .................................................................................................. 71
LAMPIRAN 3 .................................................................................................. 72
LAMPIRAN 4 .................................................................................................. 74
LAMPIRAN 5 .................................................................................................. 77
LAMPIRAN 6 .................................................................................................. 78

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Clinical pathway remisi dalam skizofrenia .................................... 5


Gambar 2.2. Model Diatesis Stress ................................................................... 15
Gambar 2.3.MRI scan pada kembar monozigot. .............................................. 34
Gambar 2.4. Penatalaksanaan Skizofrenia Akut ............................................... 40
Gambar 4.1. Siklus menstruasi dan regulasi hormonal ..................................... 57
Gambar 4.2. Ilustrasi estrogen dan dopamin pathway ...................................... 57

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian............................................................................. 4


Tabel 2.1. 8 gejala PANSS yang digunakan untuk mengukur remisi ................. 5
Tabel 2.2. Neuropeptida yang berpengaruh dalam skizofrenia......................... 18
Tabel 2.3. Ciri untuk mempertimbangkan prognosis
baik hingga buruk pada skizofrenia ................................................. 34
Tabel 2.4. Obat antipsikotik yang umum digunakan ........................................ 38
Tabel 2.5. Pilihan pengobatan skizofrenia fase akut ......................................... 39
Tabel 2.6. Bobot nilai dan interpretasi PANSS................................................. 41
Tabel 2.7. Deskripsi skala positif, negatif, psikopatologi
umum pada PANSS ......................................................................... 43
Tabel 3.1. Jadwal Penelitian.............................................................................. 48
Tabel 3.2. Definisi Operasional ........................................................................ 51
Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian ................................................. 55
Tabel 4.2. Hasil Uji T-Berpasangan .................................................................. 62

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah kesehatan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang dihadapi
dunia. Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 20% anak-anak maupun remaja
memiliki masalah kesehatan jiwa. Sekitar setengah dari masalah kesehatan jiwa
dimulai sebelum usia 14 tahun. Masalah neuropsikiatrik menjadi sebab utama
masalah kesehatan jiwa.1Tidak hanya di dunia, masalah kesehatan jiwa juga
menjadi momok masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Prevalensi penyakit jiwa di Indonesia masih cukup besar. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan mental yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan(ansietas) adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar
14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia
adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.2Gangguan jiwa berat
adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai
realitas. Gangguan jiwa berat dikenal dengan istilah psikosis dan salah satu contoh
psikosis adalah skizofrenia.3
Skizofrenia adalah gangguan jiwa kronik yang mempengaruhi bagaimana
seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku.4 Sekitar lebih dari 21 juta orang di
dunia mengidap skizofrenia. Skizofrenia ditandai dengan distorsi cara berpikir,
persepsi, emosi, bahasa, dan perilaku. Ciri umum dari skizofrenia yaitu adanya
halusinasi, delusi, dan perilaku yang abnormal seperti penampilan yang aneh,
pengabaian diri, bicara yang ngawur, berkeliaran tanpa tujuan, bergumam atau
tertawa sendiri.5 Skizofrenia terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan kriteria
diagnostik DSM-V yaitu tipe paranoid, tipe hebefrenik (terdisorganisasi), tipe
katatonik, tipe tidak tergolongkan (simpleks), dan tipe residual (kronis).6
Prevalensi penyakit skizofrenia di dunia diperkirakan berkisar 0,5%-1%. Usia
pada saat episode pertama skizofrenia biasanya khas lebih muda pada laki-laki
(sekitar 21 tahun) dibandingkan perempuan (27 tahun).7 Hampir 90% pasien yang

1
2

menjalani pengobatan skizofrenia berusia antara 15 sampai dengan 55 tahun.8


Penelitian yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan bahwa prevalensi skizofrenia seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira
0,025%-0,05% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam setahun.6 Di
Kalimantan Barat, hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi
skizofrenia adalah 0,7 per 1000 penduduk dan merupakan provinsi paling rendah
dibandingkan dengan provinsi lain.3
Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) adalah skala medis yang
digunakan untuk mengukur kepelikan gejala pasien skizofrenia. PANSS
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1987 dan dikembangkan khususnya untuk
pembatasan psikometrik. PANSS terdiri dari 30 pertanyaan berdasarkan 3 gejala,
yaitu 7 butir soal gejala positif, 7 butir soal gejalanegatif, dan 16 butir soal gejala
psikopatologi umum.9Jika nilai PANSS pasien awal hingga akhir terapi terus
menurun, maka terapi tersebut dapat dikatakan berhasil.10 PANSS menjadi salah
satu instrument klinis yang sering digunakan untuk mendefinisikan status
kekambuhan skizofrenia.
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama
seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat
kembali.11Kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia adalah munculnya kembali
gejala skizofrenia yang nyata.12Sekitar 33% penderita skizofrenia mengalami
kekambuhan dan sekitar 12,1% kembali dirawat inap.13Dikarenakan banyaknya
penderita skizofrenia kambuhan, peneliti ingin melihat perbedaan antara skor
Positive And Negative Syndrome Scale (PANSS) awal dan akhir terhadap status
kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Sungai Bangkong Kota Pontianak.

1.2. Rumusan Masalah


Apakah terdapatperbedaanskor Positive and Negative Syndrome Scale
(PANSS) awal dan akhir terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien
skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Kota
Pontianak?
3

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan antara skor PANSS awal dan akhir terhadap status
kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD
Sungai Bangkong Kota Pontianak.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi pasien di RSJD Sungai Bangkong Kota
Pontianak meliputi jenis kelamin, umur, diagnosis, dan status
kekambuhan.
b. Mengetahui nilai PANSS sebelum tatalaksana dan sesudah tatalaksana
pada pasien skizofrenia kambuhan yang dirawat inap.
c. Mengetahui perbedaan antara skor PANSS awal dan akhir terhadap
status kekambuhan pasien skizofrenia yang dirawat inap di RSJD
Sungai Bangkong Kota Pontianak.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Masyarakat
a. Penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat untuk
meningkatkan kepedulian terhadap skizofrenia.
b. Penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi keluarga penderita
skizofrenia baik baru ataupun kambuhan agar dapat membantu dalam
penatalaksanaan skizofrenia.
1.4.2. Bagi Klinisi
a. Penelitian ini dapat menjadi pengetahuan tambahan dalam
penatalaksanaan pasien skizofrenia.
b. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian skizofrenia yang
akan dilakukan oleh klinisi.
1.4.3. Bagi Institusi
a. Penelitian ini dapat digunakan untuk menjadi acuan penelitian
selanjutnya.
4

b. Penelitian ini dibuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,


terutama ilmu psikiatri.
1.4.4. Bagi Peneliti
a. Penelitian ini dibuat agar peneliti bisa mendalami ilmu psikiatri.
b. Penelitian ini dibuat sebagai tugas akhir untuk mengambil gelar
Sarjana Kedokteran.
c. Penelitian ini dapat berguna sebagai acuan untuk penelitian-penelitian
mengenai skizofrenia selanjutnya.

1.5. Keaslian Penelitian


Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
No. Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Perbedaan dengan penelitian ini
1. Rizky Ramadhani Pengaruh Kunjungan  Variabel bebas adalah status kekambuhan gangguan pada
Arisyandi (2015) Keluarga terhadap Skor pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota
Positive and Negative Pontianak.
Syndrome Scale (PANSS)  Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional.
pada Pasien Skizofrenia
yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Jiwa Daerah
Sungai Bangkong.

2. Duma Melva Perbedaan Nilai Positive  Variabel bebas adalah status kekambuhan gangguan pada
Ratnawati (2012) and Negative Syndrome pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota
Scale (PANSS) Total Pontianak.
Sebelum dan Sesudah  Jenis penelitian adalah analitik komparatif kategorik
Pemberian Aripipazol berpasangan.
Pada Pasien Skizofrenik  Sampel penelitian adalah pasien skizofrenia kambuhan yang
dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.
3 Ratna Dewi, Carla Riwayat Gangguan Jiwa  Variabel bebas adalah status kekambuhan pasien skizofrenia
R Marchira pada Keluarga dengan rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.
(2009) Kekambuhan Pasien  Jenis penelitian adalah analitik komparatif kategorik
Skizofrenia di RSUP dr berpasangan..
Sardjito Yogyakarta  Instrumen penelitian yang digunakan adalah skor PANSS.
 Sampel penelitian adalah pasien skizofrenia kambuhan yang
dirawat inap di RSJD Sui Bangkong Kota Pontianak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fase Remisi dan/atau Eksaserbasi


Remisi adalah resolusi akhir dari gejala dan tanda suatu gangguan atau bisa
disebut sebagai perbaikan. Jika seseorang dengan skizofrenia tidak mengalami
gejala maupun tanda, berarti mereka semakin membaik. Seseorang dengan
skizofrenia yang telah mengalami remisi akan menunjukkan status kesehatan yang
membaik. Penelitian menunjukkan bahwa remisi bisa dicapai oleh 20-60% pasien
skizofrenia. Seseorang dianggap mengalami remisi jika skala PANSS (Positive
and Negative Syndrome Scale) dengan 8 gejala utama harus berada pada nilai ≤ 3
dengan periode selama 6 bulan. (Tabel 2.1)14
Gejala Domain
Delusi Gejala positif
Pikiran kacau Gejala positif
Halusinasi Gejala positif
Disorganisasi konseptual Disorganisasi
Mannerisme Disorganisasi
Afek datar/tumpul Gejala negatif
Penarikan diri Gejala negatif
Kurangnya spontanitas Gejala negatif
Tabel 2.1. 8 gejala PANSS yang digunakan untuk mengukur remisi15

Gambar 2.1. Clinical pathway remisi dalam skizofrenia14

5
6

Kekambuhan/eksaserbasi merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala


yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat
kembali.11 Kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia adalah munculnya kembali
gejala skizofrenia yang nyata.12 Kekambuhan atau eksaserbasi menunjukkan
kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup parah dan mengganggu
aktivitas sehari-hari dan memerlukan perawatan inap dan rawat jalan yang tidak
terjadwal.16
Fase remisi dan fase eksaserbasi adalah fase terakhir dari perjalanan penyakit
skizofrenia. Seseorang dapat mengalami remisi baik secara parsial ataupun
keseluruhan atau dapat pula mengalami eksaserbasi akut. Dalam penelitian Robin
et al mengenai eksaserbasi pada pasien skizofrenia, hasil yang didapat adalah
sebagai berikut :
a. Angka eksaserbasi sangat tinggi setelah terjadi putus pengobatan.
b. Pengobatan yang lebih lama sebelum penghentian pengobatan tidak
mengurangi resiko eksaserbasi.
c. Banyak pasien mengalami eksaserbasi yang segera setelah penghentian
pengobatan.
d. Perpindahan dari remisi menuju eksaserbasi mungkin akan sangat mendadak,
dengan beberapa gejala awal eksaserbasi.
e. Ketika mengalami eksaserbasi, maka gejala-gejala yang dialami akan dengan
cepat menyamai gejala-gejala yang mirip dengan episode awal psikotik.
f. Kebanyakan pasien eksaserbasi akan kembali menggunakan pengobatan
antipsikotik, waktu respon terhadap pengobatan tersebut menjadi bervariasi
dan kegagalan pengobatan juga dapat muncul pada beberapa pasien.17

Terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi eksaserbasi pada pasien


skizofrenia yaitu :
1. Neurokimia
Eksaserbasi adalah munculnya kembali gejala skizofrenia yang nyata. Dalam
neurokimia ini, terdapat neurotransmiter maupun endokrin yang akan mengalami
7

perubahan sehingga dapat mengakibatkan eksaserbasi. Beberapa neurotransmiter


yang akan mengalami perubahan pada saat terjadinya eksaserbasi yaitu:
a. Dopamin
Eksaserbasi dapat timbul akibat terjadi kembali abnormalitas dopamin pada
mesolimbik dan otak prefrontal. Hal ini ditunjukkan dengan gejala positif yang
dihubungkan dengan peningkatan pelepasan dopamin dan gejala negatif yang
diakibatkan oleh menurunnya aktivasi reseptor D1.8,18,19
b. Serotonin
Salah satu teori yang terkenal mengenai neurotransmiter yang mengalami
perubahan pada saat eksaserbasi skizofrenia adalah serotonin. Serotonin adalah
substansi vasokonstriksi yang berfungsi sebagai regulasi, salah satunya adalah
regulasi kecemasan, agresi, dan mood. Terjadinya eksaserbasi diakibatkan oleh
defisiensi aktivitas serotonin yang terdapat di otak. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan dalam hal mood, yang dikenal dengan afek datar.8,19
c. Norepinefrin
Dalam teori ini, norepinefrin menjadi salah satu neurotransmiter yang
mengalami abnormalitas sehingga menyebabkan eksaserbasi dengan salah satu
gejala positif yaitu paranoia. Sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopaminergik sehingga abnormalitas sistem noradrenergik
mempredisposisikan pasien untuk mengalami eksaserbasi yang lebih sering.8,20
d. GABA (ɤ-Aminobutyric Acid)
GABA adalah neurotransmiter yang berhubungan defisit kognitif yang
terjadi pada saat eksaserbasi. Hipotesis ini mengatakan bahwa abnormalitas
pada neuron GABAnergik mengakibatkan kerusakan pada cortical gamma
synchrony dan hal ini berhubungan dengan fungsi kognitif. Secara teoritis,
hilangnya neuron GABAnergik dapat menyebabkan hiperaktivitas dari neuron
dopaminergik dan noradrenergik. Untuk mengetahui terdapat defisit fungsi
kognitif atau tidak, dapat digunakan uji MMSE (Mini Mental State
Examination).8,21
8

e. Glutamat
Gangguan pada neurotransmiter glutamat akan semakin meningkat jika
terjadi pada pasien eksaserbasi akut skizofrenia. Gangguan pada reseptor N-
methyl aspartate (NMDAR) mengakibatkan dapat timbulnya gejala positif dan
negatif pada pasien eksaserbasi.8,22
Beberapa endokrin yang akan berubah dalam keadaan eksaserbasi yaitu :
a. Estrogen
Hormon seks dapat berperan pula dalam etiologi eksaserbasi dikarenakan
terdapat perbedaan onset antara laki-laki dan perempuan, simptom yang
dialami, dan hasil akhir dari eksaserbasi akut. Hipotesis estrogen ini
menyatakan estrogen memiliki efek protektif terhadap skizofrenia. Wanita
dengan puncak onset skizofrenia setelah usia 40 tahun yang dihubungkan
dengan menopause sehingga menurunkan kadar hormon seks, termasuk
estrogen. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan kadar
hormon seks yang rendah, seperti saat fase folikular awal dari siklus
menstruasi, postpartum, dan postmenopause meningkatkan eksaserbasi.23
b. Kortisol
Kadar serum kortisol dapat meningkat pada eksaserbasi. Kortisol
mengalami peningkatan diakibatkan oleh adanya abnormalitas HPA
(Hypothalamic-pituitary-adrenal) axis. Abnormalitas yang terjadi pada HPA
axis disebabkan oleh stressor yang dialami oleh pasien eksaserbasi yang
semakin memperburuk eksaserbasi yang dialami oleh pasien. Pada penelitian,
ditemukan bahwa pasien eksaserbasi dengan treatment berupa antipsikotik
terbukti menurunkan kadar serum kortisol. Hal ini menunjukkan pula
terjadinya penurunan skor total PANSS.24
c. Tiroid
Peningkatan tiroid (hipertiroid) dapat mengakibatkan psikosis dan
penurunan tiroid (hipotiroid) dapat mengakibatkan perburukan mood, seperti
motivasi yang menurun dan meningkatkan simptom depresif, gejala-gejala
yang hampir mirip dengan gejala negatif. Hormon tiroid juga meregulasi kadar
9

reseptor dopamin, serotonin, glutamat, dan GABA yang jika mengalami


perubahan, maka hormon tiroid akan mengalami perubahan juga.25

2. Genetika
Genetika dapat berperan dalam meningkatkan peluang mengalami
eksaserbasi. Resiko eksaserbasi yang didapat lebih besar terjadi jika terdapat
gen yang mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Kromosom yang dikaitkan
dengan skizofrenia yaitu kromosom lengan pendek 19, kromosom kaki pendek
21, kromosom X, lengan panjang 5, 11, 18.8

3. Faktor lingkungan
Terdapat beberapa aspek yang menerangkan pengaruh lingkungan terhadap
peluang eksaserbasi seperti:
a. Keluarga
Studi mengindikasikan jika orang tua atau keluarga berperilaku
emosional yang berlebihan (Expressed Emotion/EE) seperti marah, otoriter,
kurang menerima pasien skizofrenia, maka akan semakin meningkatkan
peluang untuk mengalami eksaserbasi pada pasien skizofrenia. Hal ini
dikarenakan perilaku seperti itu akan menjadi stressor bagi pasien
skizofrenia sehingga mengakibatkan eksaserbasi berulang. Keluarga
mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan pasien
agar adaptasi dapat berjalan dengan baik. Dukungan keluarga juga
membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan
pasien semakin membaik.8,26
b. Sosial dan ekonomi
Skizofrenia sampai sekarang masih dianggap stigma oleh masyarakat dan
biasanya dijumpai pada masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke
bawah, meskipun tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan juga pasien
dengan sosial dan ekonomi menengah ke atas. Setelah mengalami remisi,
pasien akan keluar dari rumah sakit, tetapi karena stigma dan adaptasi
10

sosial pasien yang buruk, maka pasien dapat mengalami eksaserbasi hingga
berulang-ulang kali.8,27
Gejala-gejala eksaserbasi yang perlu diidentifikasi oleh pasien dan keluarga
yaitu pasien menjadi ragu-ragu, tidak ada nafsu makan, depresi, menarik diri, sulit
tidur, dan tidak ada minat.28
Pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga maupun pasien agar tidak
terjadi eksaserbasi adalah sebagai berikut.
a. Psikoedukasi
Pemberian informasi kepada keluarga mengenai tanda dan gejala dini
eksaserbasiskizofrenia dapat membantu keluarga dalam mengarahkan gejala
dini eksaserbasidan mencari pertolongan yang pertama saat terjadi eksaserbasi.
b. Sikap yang tepat adalah SAFE (Sense of humor, Accepting the Illness, Family
Balance, Expectations which are realistic).
c. Support group
Beban akan berkurang bila keluarga yang memiliki anggota skizofrenia
saling menguatkan, saling berbagi informasi dan saling membantu.
d. Family therapy
Keluarga dengan skizofrenia perlu diterapi dengan tujuan agar keluarga
mampu menghadapi pasien yang mengalami skizofrenia. Keluarga harus
membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri pasien seperti melibatkan
dalam kegiatan sehari-hari dan mereka harus sabar, serta menerima
kenyataan.14
Secara definisi, eksaserbasi adalah keadaan pasien dimana muncul gejala
seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali.
Pemeriksaan yang dapat digunakan dalam eksaserbasi akut adalah skor PANSS
(Positive and Negative Syndrome Scale). Jika terindikasi skor PANSS pada pasien
meningkat, maka dilakukan pengobatan skizofrenia.

2.2. Fase Residual


Fase residual adalah gejala yang terjadi sama dengan gejala fase prodromal
dengan gejala psikotik yang jelas berkurang.29
11

2.3. Fase Aktif


Fase aktif adalah gejala psikotik menjadi jelas seperti perilaku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Pada fase ini, pasien
datang berobat. Bila tidak mendapat pengobatan, gejala tersebut dapat hilang
spontan, tetapi suatu saat akan mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.29

2.4. Fase Prodromal


Fase prodromal merupakan fase dimana timbul gejala non spesifik yang
lamanya bervariasi sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi
hendaya/penurunan fungsi pekerjaan, sosial, penggunaan waktu luang, dan
perawatan diri. Semakin lama fase prodromal, semakin buruk prognosisnya.29

2.5. Fase Premorbid


Fase premorbid merupakan fase sebelum munculnya suatu penyakit.

2.6. Skizofrenia
2.6.1. Definisi
Skizofrenia berasal dari dua kata yaitu “skizo” yang berarti retak atau
pecah dan “frenia” yang berarti jiwa. Menurut NIMH, skizofrenia adalah
gangguan mental kronik yang mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir,
merasa, dan berperilaku.4 Menurut APA (American Psychological Association),
skizofrenia adalah gangguan mental serius yang digolongkan dengan pemikiran
yang tidak logis, kebiasaan dan bicara yang aneh, serta delusi atau halusinasi
seperti mendengar suara. Skizofrenia biasanya mulai pada saat masa dewasa
awal.30 Menurut WHO, skizofrenia adalah gangguan mental yang
dikarakteristikkan dengan kekacauan dalam berpikir, berbahasa, persepsi, dan
berperilaku.31

2.6.2. Sejarah
Dalam sejarah psikiatrik, besarnya masalah skizofrenia menjadi
ketertarikan bagi para peneliti. Dua tokoh utama yang paling berpengaruh dalam
12

sejarah skizofrenia adalah Emil Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler


(1857-1939). Selain itu, tokoh lain yang berpengaruh lain adalah Benedict Morel
(1809-1873) dari Prancis yang menggunakan istilah “démence précoce” pada
pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami
perburukan. Karl Ludwig Kahlbaum (1843-1909) menggambarkan gejala
katatonia dan Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh
(bizarre) pada pasien skizofrenia hebefrenik.
Emil Kraepelin menjelaskan istilah “dementia precox”, sebuah istilah
yang menekankan proses kognitif yang jelas (dementia) dan awitan dini atau
onset yang awal (precox) yang nyata pada gangguan. Istilah ini diterjemahkan
dari istilah yang digunakan Morel yaitu démence précoce. Kraepelin
membedakan pasien demensia prekoks dengan pasien psikosis manik-depresif.
Pasien dengan demensia prekoks digambarkan memiliki perjalanan penyakit
yang buruk dengan gejala utama yaitu waham dan halusinasi serta berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, sedangkan pasien dengan psikosis manik-
depresif mengalami waham kejar persisten sebagai gejala utamanya tetapi tidak
mempunyai perjalanan demensia prekoks yang memburuk atau gejala psikosis
manik-depresif yang intermiten. Kraepelin mengetahui kira-kira 4% pasiennya
mengalami sembuh sempurna dan 13% mengalami remisi yang signifikan, tetapi
para peneliti di kemudian hari sering kali salah menginterpretasikan pandangan
Kraepelin yang menyatakan bahwa demensia prekoks memiliki perjalanan
penyakit yang memburuk.
Eugene Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia yang menggantikan kata
demensia prekoks di dalam literature. Bleuler memilih istilah ini untuk
menandakan adanya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku
pasien dengan gangguan ini. Tidak seperti konsep Kraepelin, skizofrenia tidak
harus memiliki perjalanan penyakit yang memburuk. Istilah skizofrenia yang
dicetuskan Bleuler sering disalahartikan, khususnya oleh orang awam sebagai
kepribadian yang terbelah (split personality), padahal kepribadian ganda atau
yang dikenal dengan gangguan identitas disosiatif dikategorikan sebagai
gangguan disosiatif dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
13

Disorder(DSM), yang sangat berbeda dari skizofrenia. Istilah skizofrenia dari


Bleuler diterima oleh international dan dipakai sejak DSM-III walaupun konsep
yang dipakai condong pada konsep Kraepelin.
Bleuler mengidentifikasi gejala fundamental atau primer skizofrenia
spesifik yang dikenal dengan Empat A, yaitu gangguan asosiasi (asosiatif
longgar dimana pikiran atau gagasan yang terpecah-pecah), afek (afek datar dan
tumpul dimana ekspresi wajah datar tanpa adanya emosi ataupun mood), autism,
dan ambivalensi (mempertahankan keyakinan atau perasaan yang kontradiktif
mengenai individu, peristiwa, atau situasi yang sama). Bleuler juga
menambahkan istilah asesoris (gejala sekunder), yang termasuk halusinasi dan
waham sehingga menambah pemahaman mengenai gejala skizofrenia.6,8

2.6.3. Epidemiologi
Sekitar 21 juta orang di dunia mengalami skizofrenia.31 Di Amerika
Serikat, prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi
terentang dari 1 sampai dengan 1,5%. Penelitian Epidemiological Catchment
Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira 0,025 sampai
dengan 0,5% populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun.8
Di Indonesia, prevalensi penyakit jiwa masih cukup besar. Dalam Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan (ansietas) adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau
sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat seperti
skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.2Gangguan
jiwa berat dikenal dengan istilah psikosis adalah gangguan jiwa yang ditandai
dengan terganggunya kemampuan menilai realitas. Salah satu contoh psikosis
adalah skizofrenia. Sementara di Kalimantan Barat, hasil Riskesdas tahun 2013
menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia sebesar 0,7 per 1000 penduduk.
Berdasarkan hasil tersebut, Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan
14

prevalensi skizofrenia terendah. Provinsi dengan prevalensi skizofrenia tertinggi


adalah DI Yogyakarta dan Aceh (2,7 per 1000 penduduk).3
Skizofrenia terdiagnosis 1,4 kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan dan umumnya muncul lebih awal pada laki-laki sekitar usia
20-28 tahun. Pada perempuan, onset kemunculan skizofrenia adalah usia 26-32
tahun. Laki-laki cenderung mengalami gangguan yang lebih serius dengan gejala
negatif, kesempatan yang lebih sedikit untuk sembuh total, dan umumnya hasil
akhir akan memburuk. Hampir 90% pasien yang menjalani pengobatan
skizofrenia berusia antara 15 sampai dengan 55 tahun.8 Penelitian menunjukkan
bahwa kebanyakan pasien skizofrenia adalah pasien yang lahir di perkotaan.
Semakin lama pasien tinggal di kota tersebut, maka semakin besar resiko
mengalami skizofrenia.32

2.6.4. Etiologi
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu gangguan dengan penyebab
yang berbeda dan pasien memiliki gambaran klinis, respon pengobatan, dan
perjalanan penyakit yang bervariasi. Skizofrenia seakan-akan adalah penyakit
tunggal, padahal karakteristik diagnostiknya sendiri dapat termasuk berbagai
macam gangguan yang tampak dengan perilaku maupun gejala yang hampir
mirip. Sadock (2010) mengatakan bahwa ada beberapa etiologi dari skizofrenia
seperti stress yang dikenal dengan model diatesis-stres, faktor biologis, genetika,
dan faktor psikososial.
a. Model Diatesis-Stress
Pada model diatesis stress, seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan
spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress (stressor) memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia.
Ketika diberi stressor yang sama, akan ada orang yang akan mengalami gejala
skizofrenia dikarenakan adanya diatesis, tetapi ada orang yang mampu
menahan stressor itu sehingga tidak muncul gejala skizofrenia itu. Diatesis
yang paling umum dapat berupa stress biologis, lingkungan, atau bisa
keduanya.
15

Komponen lingkungan dapat bersifat biologis atau psikologis. Selain itu,


biologis diatesis dapat terbentuk lebih lanjut diakibatkan oleh
penyalahgunaan zat, stress psikososial, maupun adanya trauma.8 Untuk
memicu gejala skizofrenia, satu jenis stressor biasanya tidak cukup untuk
memicunya, tetapi ketika stressor itu menjadi kronik, maka orang itu akan
mengalami gejala skizofrenia. Model diatesis stress juga disebut sebagai
interaksi gen-lingkungan.33

Gambar 2.2. Model Diatesis Stress33


b. Faktor Biologis
Penyebab dari skizofrenia masih belum diketahui. Tetapi, penelitian-
penelitian yang dilakukan mengindikasikan bahwa adanya peran
patofisiologis dalam area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks
frontal, serebelum, dan ganglia basalis yang saling terhubung sehingga jika
terjadi kondisi patologis pada satu area, maka akan mengakibatkan kondisi
patologis pada area lain. Adanya pencitraan dan pemeriksaan otak manusia
memperlihatkan bahwa sistem limbik adalah lokasi potensial proses patologis
primer pada sebagian besar pasien skizofrenia.
Terdapat beberapa neurotransmiter yang diteliti dan terindikasi sebagai
penyebab dari penyakit skizofrenia.
1. Hipotesis Dopamin
Teori mengenai etiologi skizofrenia yang paling sederhana adalah
hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat
abnormalitas dopamin pada mesolimbik dan otak prefrontal yang
16

menyebabkan skizofrenia. Dopamin adalah neurotransmiter inhibitor yang


berpengaruh terhadap patologi skizofrenia. Dopamin, adrenalin, dan
noradrenalin adalah neurotransmiter famili katekolamin. Dopamin
diproduksi dalam substansia nigra dan ventral tegmental area di otak.
Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama,
kemanjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik yaitu antagonis
reseptor dopamin berkorelasi dengan kemampuannya bertindak sebagai
antagonis reseptor D2. Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas
dopaminergik, salah satunya adalah amfetamin yang bersifat
psikotomimetik (dyshoria, paranoid, halusinasi). Gejala positif pada
skizofrenia yang termasuk waham dan halusinasi dipandang sebagai hasil
dari meningkatnya pelepasan dopamin, yang akan meningkatkan aktivasi
reseptor D2 dan meningkatkan stimulasi dopaminrgic di jaras mesolimbik
dalam nukleus akumbens. Gejala negatif dikaitkan dengan menurunnya
aktivasi reseptor D1 di korteks prefrontal dan stimulasi dopaminergik pada
jaras mesokortikal dan aktivitas nukleus kaudatus. Perubahan reseptor D3
juga berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia.8,18,19
2. Serotonin
Serotonin adalah substansi vasokonstriksi yang diisolasi pada tahun
1940-an. Nama kimianya adalah 5-hydroxytryptamine (5-HT). Fungsi
serotonin dalam SSP adalah regulasi dalam nafsu makan, nosiseptif, tidur,
irama sirkardian, perilaku reproduktif, kecemasan, agresi, dan mood.
Hipotesis serotonin ini muncul ketika teori toksikologi gangguan jiwa
yang dikenal pada tahun 1950. Teori ini menyatakan bahwa gangguan jiwa
disebabkan dari pengaruh langsung atau tidak langsung toksin terhadap
sistem saraf.
Hipotesis serotonin menyatakan bahwa gangguan mental diakibatkan
oleh defisiensi aktivitas serotonin di otak. Terjadinya gangguan pada
serotonin mengakibatkan perubahan gambaran SSP yang disebabkan oleh
kurangnya serotonin.8,19
17

3. Norepinefrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa norepinefrin sebagai salah satu
etiologi dari skizofrenia. Peningkatan transmisi sinaptik dari norepinefrin
yang disebabkan antara lain oleh meningkatnya konsentrasi sinaptik
norepinefrin atau meningkatnya sensitivitas dari reseptor
postsynapticnorepinefrin. Kemungkinan norepinefrin menyebabkan
skizofrenia dilihat dari munculnya salah satu gejala positif yaitu paranoia,
yang bisa jadi juga dialami oleh gangguan neuropsikiatrik lainnya. Selain
itu terjadi peningkatan data bahwa sistem noradrenergik memodulasi
sistem dopaminergik sehingga abnormalitas sistem noradrenergik
mempredisposisikan pasien untuk mengalami eksaserbasi yang sering.8,20
4. GABA (ɤ-Aminobutyric Acid)
GABA, neurotransmiter inhibitorik primer di otak telah menjadi
perhatian para peneliti dalam defisit kognitif yang terjadi pada skizofrenia
selain dopamin dan glutamat. Disfungsi kognitif yang dianggap sebagai
gejala utama dari skizofrenia tidak hanya berpengaruh pada kualitas hidup
pasien, tetapi juga dapat memprediksi hasil fungsional jangka panjang dari
pasien ini. Hipotesis GABA ini memprediksikan bahwa abnormalitas pada
neuron GABAnergik mengakibatkan kerusakan pada cortical gamma
synchronydan hal ini berhubungan dengan kontrol kognitif pada
skizofrenia. Beberapa data menunjukkan bahwa sejumlah pasien
skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di hipokampus.
Secara teoritis, hilangnya neuron tersebut dapat menyebabkan
hiperaktivitas dari neuron dopaminergik dan noradrenergik.8,21
5. Glutamat
Glutamat adalah neurotransmiter eksitatorik primer di otak. Gangguan
pada neurotransmisi glutamat semakin meningkat terjadi pada gangguan
neuropsikiatrik seperti skizofrenia, gangguan mood, Alzheimer, dan
gangguan spektrum autisme. Teori glutamatergic pada skizofrenia
berdasarkan pada kemampuan antagonis reseptor N-methyl
18

asparatate(NMDAR), contohnya fensiklidin untuk menyebabkan gejala


mirip skizofrenia.8,22
6. Neuropeptida
Beberapa neuropeptida dapat terlibat dalam skizofrenia maupun
beberapa gangguan neuropsikiatrik lainnya (Tabel2.2).34
Peptide Related peptides Identified Agonists Antagonists
(number of aa) receptors
CCK Prepro-CCK CCKA Cerulein (CCKA, CCKB) Proglumide (CCKA)
(4,8,22,33,39,58) CCKB Gastrin (CCKB) Dexloxiglumide
(CCKA)
Devazepide (CCKA)
1,365,260 (CCKB)
CRF CRF (41) CRF1 Urocortins (CRF2) GSK 876008 (CRF1)
Urocortin I, II, III CRF2 R121919 (CRF1)
(40,38,38) (sCRF2α,
Urotensin I, II, III sCRF2β,
(41,11,29) sCRF2ɤ)
Sauvagine (40)
Dysnorphins Prodynorphin κ Receptor Ethylketocyclazocine Norbinaltorphimine (κ)
Dynorphin A (8,17) (κ)
Dynorphin B (13) U50, 488H (κ)
U69, 593 (κ)
Endorphins POMC µ Receptor Morphine (µ) Naloxone (µ, κ, δ)
-β-endorphin (30) Fentanyl (µ) Naltrexone (µ, κ, δ)
-ACTH (39) Levorphanol (µ) Cyprodime (µ)
-α-MSH (13) Dermorphin (µ)
-α, -β, -ɤ endorphins
Enkephalins Proenkephalin δ Receptor Deltorphin (δ) Naloxone (µ, κ, δ)
-Leu-enkephalin (5) Naltrexone (µ, κ, δ)
-Met-enkephalin (5) ICI 174864 (δ)
Gastrin Gastrin (6) CCKB JB93242 (CCKB) JB93182 (CCKB)
NT Prepro-NT/Neuromedin NT1-NT4 NT69L (NT1) SR 48692 (NT1)
N Eisai compound (NT1) SR 142948A (NT1
-Neurotensin (13) JMV 449 (NT1) NT2)
-Neuromedin N (6) PD149163 (NT1)
NPY Pro-NPY NPY1-NPY5 Pancreatic polypeptide H-409/22 (NPY1)
-NPY (36) Peptide YY 1229U91 (NPY1)
Somatostatin Prosomatostatin SST1-SST5 Octeotride (SST2) CYN 154806 (SST2)
-Somatostatin (14,28) Seglitide (SST2) PRL-2903 (SST2)
Lanreotide (SST2) BIM-23056 (SST5)
Cortistatin (SST1- SST5)

Tachykinins Preprotachykinin I NK1 GR73632 (NK1) Vestipitant (NK1)


-Subtance P (11) NK2 Saredutant (NK2)
-Neurokinin A (10) NK3 Osanetant (NK3)
-Neurokinin B (10) Talnetant (NK3)
Preprotachykinin II SSR 146977 (NK3)
-Neurokinin B (10)
TRH Pro-TRH TRH-R1 TA-0910 -
-TRH (3) TRH-R2 DN-1417
VIP Prepro-VIP VPAC1 Ro 25-1553 (VPAC2) PG 97-269 (VPAC1)
VPAC2 VIP 6-28
34
Tabel 2.2. Neuropeptida yang berpengaruh dalam skizofrenia
7. Neuropatologis
Selain itu, neuropatologis berpengaruh terhadap skizofrenia ini. Dua
daerah otak yang mendapatkan paling banyak perhatian adalah sistem
19

limbik dan ganglia basalis, meskipun bisa juga terjadi patologis di area
lain.
a. Sistem Limbik
Sistem limbik berperan dalam mengendalikan emosi. Sistem limbik
dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis dari skizofrenia.
Sistem limbik menjadi daerah yang paling subur dalam penelitian
neuropatologis skizofrenia. Berkurangnya volume otak yang
dilaporkan terdapat pada pasien skizofrenia merupakan akibat
berkurangnya kepadatan akson, dendrit, dan sinaps yang memerantarai
fungsi asosiatif otak. Selain itu ada teori yang menyatakan bahwa
pasien sering menunjukkan gejala skizofrenik selama masa remaja
akibat pemangkasan sinaps yang berlebihan selama fase perkembangan
ini.
b. Ganglia Basalis
Ganglia basalis menjadi daerah yang sering dijadikan subjek studi
neuropatologis untuk skizofrenia. Hal ini dikarenakan banyak pasien
skizofrenia menunjukkan gerakan aneh bahkan saat tidak ada gangguan
pergerakan terinduksi obat. Gerakan aneh tersebut dapat mencakup cara
berjalan yang ganjil, stereotipik, dan seringai wajah. Karena ganglia
basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan, maka dari itu patologi
pada ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi skizofrenia.
Selain itu, dari semua gangguan neurologis yang memiliki psikosis
sebagai suatu gejala penyerta, gangguan pergerakan yang diatur ganglia
basalis adalah salah satu yang paling sering berhubungan dengan
psikosis pada pasien yang terkena. Faktor lain yang melibatkan ganglia
basalis adalah ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus
frontalis, dengan demikian meningkatkan kemungkinan bahwa kelainan
pada fungsi lobus frontalis yang terlihat pada beberapa pemeriksaan
pencitraan otak mungkin disebabkan oleh patologi di dalam ganglia
basalis, bukan di dalam lobus frontalis.6,8
20

c. Faktor Genetik
Studi genetik yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa adanya
komponen genetik yang berperan sebagai etiologi dari skizofrenia. Studi
mengenai skizofrenia yang diadakan tahun 1930-an menunjukkan bahwa
seseorang memiliki kecenderungan menderita skizofrenia apabila terdapat
anggota keluarga yang mengidap skizofrenia. Pada studi mengenai kembar
monozigotik, mereka memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi
yang menunjukkan bahwa pengaruh genetik memiliki peran yang sangat
besar. Hal ini didapatkan dari skizofrenia yang dialami oleh kembar
monozigotik yang diadopsi dan skizofrenia yang dialami oleh kembar
monozigotik lain yang tidak diadopsi memiliki jumlah yang sama. Selain itu,
studi lain juga mengungkapkan bahwa semakin parah skizofrenia, maka
semakin besar kemungkinan kembaran yang lain dapat mengalami gangguan
yang sama.8
Skizofrenia termasuk ke dalam grup patologis yang dikenal dengan
gangguan genetik kompleks (complex genetic disorder). Sampai sekarang,
belum ada penelitian mengenai arsitektur gen spesifik seperti apa yang
mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Tapi, terdapat beberapa yang
dikaitkan dengan berbagai studi seperti lengan panjang kromosom 5,11,18,
lengan pendek kromosom 19, dan kromosom X. Pada penelitian kembar
monozigotik, didapatkan bahwa kemungkinan peran genetik adalah pada
perubahan fenotipnya.35
d. Faktor Psikososial
1. Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan bahwa skizofrenia merupakan akibat
fiksasi pertumbuhan berat yang terjadi pada masa-masa awal kehidupan.
Freud mendalilkan juga bahwa adanya defek ego yang juga berperan
dalam gejala skizofrenia.
2. Teori Pembelajaran
Menurut para ahli, teori ini menunjukkan bahwa anak yang menderita
skizofrenia di kemudian hari meniru reaksi dan cara berpikir irasional dari
21

orang tuanya yang memiliki masalah emosional signifikan. Hubungan


interpersonal yang buruk pada orang dengan skizofrenia akan berkembang
karena pembelajaran pada model yang buruk selama kanak-kanak.
3. Dinamika Keluarga
Teori-teori yang berkenaan dengan keluarga belum divalidasi dengan
penelitian. Namun, ada beberapa hal yang mendasari faktor keluarga dapat
menjadi salah satu etiologi dari skizofrenia, yaitu :
a. Ikatan ganda
Konsep yang dirumuskan Gregory Bateson dan Donald Jackson
menggambarkan sebuah keluarga dengan anak yang menerima pesan
yang saling bertentangan dari kedua orang tua mengenai perilaku,
sikap, dan perasaan. Pada konsep ini, anak mengalami kebingungan
akan ikatan ganda ini sehingga mengalami kemunduran hingga pada
keadaan psikotik. Sayangnya, teori ini hanya bersifat deskriptif saja dan
tidak dapat digunakan sebagai penjelasan etiologi skizofrenia.
b. Skisme (perpecahan) dan keluarga yang menyimpang
Theodore Litz mendeskripsikan dua pola perilaku keluarga yang
abnormal. Pada satu tipe keluarga, dengan skisme terhadap orang tua,
salah satu orang tua sangat dekat dengan anak dengan jenis kelamin
berbeda. Pada tipe keluarga lainnya, terjadi penyimpangan hubungan
antar anak dan orang tua sehingga mengakibatkan dominansi salah satu
orang tua yang dapat berupa perebutan kekuasaan.
c. Keluarga pengertian semu dan permusuhan semu
Ada beberapa keluarga yang menekankan komunikasi dengan
ekspresi emosional dengan cara menggunakan komunikasi verbal
secara terus menerus seperti pengertian semu atau permusuhan semu
sehingga ketika anak berinteraksi dengan dunia luar, maka akan
menimbulkan masalah karena komunikasi yang telah terbiasa
dilakukannya tidak dapat dipahami orang luar.
22

d. Emosi yang diekspresikan (Expressed Emotion/EE)


Studi telah mengindikasi jika orang tua atau pengasuh berperilaku
emosional terlalu berlebihan seperti marah, kurang sabar, kritis, otoriter,
dll terhadap penderita skizofrenia (Expressed Emotion/EE), maka
semakin tinggi peluang eksaserbasi pada penderita skizofrenia.8
4. Teori Sosial
Beberapa ahli menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi, serta
status sosial ekonomi yang rendah sangat berhubungan dengan skizofrenia.
Banyak dijumpai penderita dengan ekonomi golongan menengah ke bawah.
Hal ini ditunjukkan dalam penelitian bahwa pasien seperti ini menjalani
perawatan rumah sakit yang lebih lama. Dalam masyarakat, mereka tidak
banyak diterima untuk bekerja, menunjukkan penyesuaian sosial yang buruk,
serta mendapatkan stigma yang lebih tinggi terjadi pada masyarakat
menengah ke bawah.8,27

2.6.5. Klasifikasi
DSM-V mengklasifikasikan subtipe skizofrenia sebagai paranoid,
hebefrenik, katatonik, tak terdiferensiasi, dan residual.8
a. Tipe Paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi (keasikan) terhadap satu
atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering dan tidak adanya
perilaku spesifik yang mengarahkan pada tipe hebefrenik atau katatonik.
Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai dengan adanya
waham kejar atau kebesaran. Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang
paling umum dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pasien
dengan skizofrenia paranoid biasanya memiliki umur yang lebih tua
dibandingkan dengan skizofrenia tipe lainnya jika mereka mengalami episode
pertama penyakitnya.
Pasien dengan skizofrenia tipe paranoid menunjukkan regresi
kemampuan mental, respons emosional, dan perilakunya lebih ringan
dibandingkan dengan skizofrenia tipe lainnya. Pasien skizofrenia tipe ini
23

biasanya telah mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu mengatasi


penyakitnya dan sumber egonya lebih besar dari pasien skizofrenia tipe
lainnya.8,36
b. Tipe Hebefrenik
Skizofrenia tipe hebefrenik (disorganized) ditandai dengan regresi yang
nyata ke perilaku primitif, terdisinhibisi, dan kacau serta tidak adanya gejala
yang memenuhi kriteria skizofrenia tipe katatonik. Onset/awitan biasanya
awal, sebelum usia 25 tahun. Pasien tipe ini biasanya aktif, tapi dengan cara
yang tidak bertujuan dan nonkonstruktif. Gangguan pikir menonjol dan
kontak dengan realitas buruk.
Respon emosional tidak jelas dan sering tertawa tanpa alasan yang jelas.
Penampilan pribadi dan perilaku berantakan. Seringai atau meringis yang tak
pantas lazim dijumpai pada pasien ini, yang perilakunya sering digambarkan
sebagai perilaku kekanak-kanakan atau konyol. Ada kecenderungan untuk
tetap menyendiri dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.
Prognosis buruk akibat berkembangnya secara cepat gejala “negatif”,
terutama mendatarnya afek dan semakin berkurangnya dorongan kehendak.
Halusinasi dan waham mungkin ada, tetapi biasanya tidak menonjol.8,20
c. Tipe Katatonik
Skizofrenia tipe katatonik ini lazim ditemukan selama beberapa dekade
lalu, tetapi kini telah jarang ditemui. Ciri klasik tipe katatonik adalah
gangguan nyata fungsi motorik (imobilisasi motorik/katalepsia) yang
mungkin dapat berupa stupor, negativisme, rigiditas, atau eksitasi. Kadang-
kadang pasien menunjukkan perubahan antara kegembiraan dan stupor yang
sangat cepat. Ciri penyerta adalah stereotipik, manerisme, dan fleksibiltas
serea (waxy flexibility), serta echolalia (menirukan pembicaraan). Mutisme
adalah sering ditemukan. Perlu pengawasan yang ketat agar pasien tipe ini
tidak melukai diri sendiri maupun orang lain saat mengalami stupor atau
kegembiraan katatonik.
24

d. Tipe Tak Terdiferensiasi


Seringkali, pasien-pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan
mudah dimasukkan atau digolongkan ke dalam tipe skizofrenia yang spesifik.
DSM-V mengklasifikasi pasien ini sebagai skizofrenia tidak terdiferensiasi.
e. Tipe Residual
Menurut DSM-V, skizofrenia tipe residual ditandai dengan bukti kontinu
adanya gangguan skizofrenik tanpa serangkaian lengkap gejala aktif untuk
memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Penumpulan emosi, penarikan
sosial, perilaku eksentrik, pemikiran tidak logis, dan terjadi waham atau
halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek yang kuat.8

2.6.6. Gejala Klinis


Tahun 1931, Hughlings Jackson mengklasifikasikan gejala-gejala pada
skizofrenia menjadi dua, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Sedangkan pada
tahun 1980, T.J.Crow mengajukan klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I
dan II, berdasarkan ada atau tidaknya gejala positif (atau produktif) dan negatif
(atau defisit). Pada skizofrenia tipe I, gejala yang dominan adalah gejala positif.
Sedangkan pada skizofrenia tipe II, gejala yang dialami didominasi oleh gejala
negatif. Pada tahun 1985, Bilder et al menambahkan satu klasifikasi lagi, yaitu
gejala terdisorganisasi.
1. Gejala-gejala positif
Gejala positif meliputi distorsi perilaku normal seperti delusi, halusinasi,
kekacauan proses berpikir, waham, agitasi, dan permusuhan.
2. Gejala-gejala negatif
Gejala negatif melibatkan adanya defisit dalam perilaku abnormal,
seperti afek tumpul, penarikan diri secara emosional dan sosial, kurangnya
spontanitas, apatis, dan miskin dalam pembicaraan dan pemikiran.
3. Gejala terdisorganisasi
Gejala terdisorganisasi mencakup sejumlah gangguan kognitif seperti
gangguan pada perhatian selektif, kerja memori, kontrol eksekutif, memori
episodik, pemahaman bahasa, dan proses sosial-emosional sehingga tampak
25

adanya pembicaraan yang tidak teratur, perilaku kacau, defek kognitif, dan
defisit atensi.8,37

2.6.7. Kriteria Diagnostik


Kriteria diagnostik DSM-V Skizofrenia
a. Gejala karakteristik : Dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi
dalam waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila telah
berhasil diobati). Sekurang-kurangnya satu dari gejala ini harus no (1), (2),
atau (3):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara kacau
4. Perilaku yang sangat kacau (katatonik)
5. Gejala negatif
b. Disfungsi sosial/okupasional : Selama suatu porsi waktu yang signifikan
sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di
bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan.
c. Durasi : tanda kontinyu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang
bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria (a) dan mencakup periode
gejala prodromal atau residual.
d. Eksklusi gangguan mooddan skizoafektif : gangguan skizoafektif dan
gangguan mooddengan ciri psikotik dapat disingkirkan baik karena tidak ada
episode depresif, manik, atau campuran mayor yang terjadi bersamaan
dengan gejala fase aktif maupun jika episode mood terjadi selama fase aktif,
durasi totalnya relatif singkat dibanding durasi periode aktif dan residual.
e. Eksklusi kondisi medis/umum : gangguan tersebut tidak disebabkan efek
fisiologis langsung suatu zat atau kondisi umum.
f. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : jika terdapat riwayat
gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis
26

tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi prominen juga
terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil
diobati).

Kriteria diagnostik DSM-V subtipe skizofrenia


a. Tipe Paranoid
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut.
A. Preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang
sering.
B. Tidak ada hal berikut ini yang prominen seperti bicara kacau, perilaku
kacau, atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
b. Tipe Hebefrenik (disorganized)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut:
A. Semua hal di bawah ini prominen:
1. Bicara kacau
2. Perilaku kacau
3. Afek datar atau tidak sesuai
B. Tidak memenuhi kriteria tipe katatonik
c. Tipe Katatonik
Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal
berikut.
A. Imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (terutama
fleksibilitas serea/waxy flexibility) atau stupor.
B. Aktivitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan
dan tidak dipengaruhi stimulus eksternal).
C. Negativism ekstrim (resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap
semua instruksi atau dipertahankannya suatu positif rigid dari usaha
menggerakkan) atau mutisme.
D. Keanehan gerakan volunteer sebagaimana diperlihatkan oleh
pembentukan postur yang tidak sesuai atau bizari, gerakan stereotipi,
manerisme prominen, atau menyeringai secara prominen.
27

E. Ekolalia atau ekopraksia.


d. Tipe Tak Terdiferensiasi
Tipe skizofrenia yang gejalanya memenuhi Kriteria (a), namun tidak
memenuhi kriteria tipe paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
e. Tipe Residual
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut
A. Tidak ada waham, halusinasi, bicara kacau yang prominen, serta perilaku
sangat kacau atau katatonik.
B. Terdapat bukti kontinyu adanya gangguan, sebagaimana diindikasikan
oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada
kriteria diagnostik DSM V (a) untuk skizofrenia, yang tampak dalam
bentuk yang lebih lemah (contoh keyakinan aneh, pengalaman perseptual
tak lazim).
f. Subtipe lain
Terdapat beberapa pembagian subtipe skizofrenia yaitu :
1. Bouffée délirante(Psikosis Delusional Akut)
Konsep diagnostik skizofrenia ini berkembang di Prancis yang hampir
serupa dengan gangguan skizofreniform.
2. Skizofrenia laten
Skizofrenia ini dulunya dinamakan skizofrenia ambang dan sekarang
dikenal dengan gangguan kepribadian skizoid dan skizotipal.
3. Skizofrenia oneiroid
Skizofrenia jenis ini merujuk pada suatu keadaan halusinasi yang hingga
membuat pasien mencapai eksklusi keterlibatannya di dunia nyata.
4. Skizofrenia pseudoneurotik
Pasien awalnya mengalami gangguan jiwa lainnya seperti ansietas, fobia,
OCD yang kemudian menunjukkan gejala gangguan pikir dan psikosis
yang hampir menyerupai skizofrenia.
28

5. Skizofrenia simpleks (gangguan deterioratif simpleks)


Skizofrenia jenis ini ditandai dengan hilangnya hasrat dan ambisi secara
perlahan dan bertahap, tetapi pasien tidak menjadi sangat psikotik serta
tidak mengalami halusinasi atau waham persisten.
6. Gangguan depresi pascapsikotik pada skizofrenia
Beberapa pasien akan menjadi depresi setelah mengalami skizofrenia
akut. Gejala ini menyerupai gejala skizofrenia fase residual atau efe
samping dari antipsikotik yang digunakan. Keadaan ini terjadi pada 25%
pasien skizofrenia yang dikaitkan dengan peningkatan resiko bunuh diri.
7. Skizofrenia awitan dini
Pasien skizofrenia ini menunjukkan manifestasi skizofrenia pada anak-
anak. Diagnosis skizofrenia ini sama dengan skizofrenia pada orang
dewasa.
8. Skizofrenia awitan lambat
Skizofrenia jenis ini dialami oleh pasien di atas umur 45 tahun dan biasa
cenderung sering tampak pada wanita.8,37,38

Kriteria diagnostik atau pedoman diagnostik skizofrenia dari PPDGJ III:


F20 Skizofrenia
Secara umum, pedoman diagnostik skizofrenia yang sering digunakan
dalam PPDGJ III adalah :
a. “thought echo” yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dalam
kepalanya dan kualitas yang berbeda, “thought insertion atau withdrawal”
yaitu isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar dari luar dirinya (withdrawal), dan “thought
broadcasting” yaitu isi pikrannya yang tersiar keluar sehingga orang lain
mengetahuinya.
b. Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar (delusion
of control), waham dipengaruhi (delusion of influence), waham tentang
dirinya yang tidak berdaya atau pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
(passivity), yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan
29

anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus;


persepsi delusional.
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak
wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas
keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super”
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide yang berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak
wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada
sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah
30

satu dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua
gejala dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas selama
kurun waktu satu bulan atau lebih. Jika kondisi sudah memenuhi tetapi kurun
waktu kurang dari sebulan, harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan
psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasi ulang kalau gejala
menetap dalam kurun waktu yang lama.

F20.0 Skizofrenia Paranoid


Kriteria umum diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Sebagai tambahan,
halusinasi dan/atau waham harus menonjol, sedangkan gangguan afektif,
dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik relatif tidak nyata.
Halusinasi biasanya diuraikan pada poin (b) dan (c). Waham dapat berupa
hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi, atau “passivity”,
dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik


Kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia harus dipenuhi. Biasanya
diagnosis hebefrenik untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda. Kepribadian premorbid secara khas, tetapi tidak selalu
pemalu dan menyendiri. Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan
umumnya diperlukan pengamatan kontinyu selama 2 atau 3 bulan lamanya
untuk memastikan bahwa perilaku yang khas memang benar bertahan.

F20.2 Skizofrenia Katatonik


Kriteria umum skizofrenia harus dipenuhi. Gejala katatonik terpisah yang
bersifat sementara dapat terjadi pada setiap subtipe skizofrenia, tetapi untuk
diagnosis skizofrenia katatonik satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus
mendominasi gambaran klinisnya.
a. Stupor atau mutisme (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan).
31

b. Kegelisahan (aktivitas motor yang tampak tak bertujuan yang tidak


dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c. Berpose (secara sukarela mengambil dan mempertahankan sikap tubuh
tertentu yang tidak wajar).
d. Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap semua instruksi
atau upaya untuk bergerak berlawanan arah).
e. Rigiditas (mempertahankan sikap tubuh yang kaku).
f. “waxy flexibility” fleksibilitas serea (mempertahankan posisi anggota gerak
yang digerakkan dari luar).
g. Gejala-gejala lain seperti otomatisme terhadap perintah (ketaatan yang secara
otomatis).

F20.3 Skizofrenia Tak Terdiferensiasi


Kriteria diagnostik yang harus disediakan untuk skizofrenia tak
terdiferensiasi, seperti gangguan yang :
a. Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
b. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia.

F20.5 Skizofrenia Residual


Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi:
a. Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotor,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan
sikap tubuh, perawatan diri, dan kinerja sosial yang buruk.
32

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun di mana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” skizofrenia.
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi
kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan hendaya negatif
tersebut.20

2.6.8. Kriteria Diagnostik Lainnya


Beberapa klinisi peneliti telah menyusun kriteria sendiri untuk
mendeskripsikan gambaran skizofrenia. Tetapi, gold standard kreteria
diagnostik skizofrenia adalah DSM V. Beberapa uji kriteria diagnostik lain yang
digunakan untuk mendeteksi gambaran skizofrenia adalah sebagai berikut.
1. Pengujian psikologis
Pasien skizofrenia seringkali tampil mirip seperti pasien gangguan
mental yang diakibatkan oleh gangguan neurologis. Pasien skizofrenia
biasanya menunjukkan hasil yang buruk pada serangkaian uji
neuropskiologis. Kewaspadaan, ingatan, dan formasi konsep paling
terpengaruh serta konsisten dengan keterlibatan patologi di korteks
frontotemporal.
Beberapa uji objektif kinerja neuropsikologis seperti rangkaian Halstead-
Reitan dan rangkaian Luria-Nebraska sering menunjukkan temuan abnormal
pada pasien skizofrenia seperti disfungsi lobus temporal dan frontal bilateral,
termasuk hendaya atensi, waktu retensi, dan kemampuan memecahkan
masalah. Kemampuan motorik juga terganggu, kemungkinan berkaitan
dengan asimetris otak.8
2. Uji intelegensi
Pasien skizofrenia cenderung mendapat skor uji intelegensi yang lebih
rendah dibandingkan dengan pasien nonskizofrenik. Intelegensi rendah sering
ditemukan terus memburuk seiring dengan perjalanan gangguan.8
33

3. Uji proyektif dan kepribadian


Uji proyektif seperti Uji Rorschach dan Uji Apersepsi Tematik (Thematic
Apperception Test/TAT) dapat mengindikasikan adanya ide bizar. Uji
kepribadian seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)
sering menunjukkan hasil abnormal pada skizofrenia, namun hasil yang
didapat tidak berkontribusi terlalu banyak terhadap diagnosis dan
perencanaan penanganan skizofrenia.8
4. Uji skala
Terdapat tiga skala yang digunakan dalam penelitian dan ketepatan obat
antipsikotik, yaitu Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), Clinical Global
Impression (CGI), dan Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS).
a. Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS)
Skor BPRS adalah skor dengan 16-18 butir soal yang dikembangkan
selama lebih dari 40 tahun. Skala ini menilai gejala afektif dan psikotik yang
dilihat dari observasi pasien dan laporan dari pasien itu sendiri. Tujuan utama
dari BPRS adalah evaluasi cepat terhadap remisi maupun respon pengobatan
dari pasien gangguan jiwa secara keseluruhan, tidak hanya pasien skizofrenia.
b. Clinical Global Impression (CGI)
Clinical Global Impression (CGI) adalah skala standar yang digunakan
untuk menilai suatu penyakit/gangguan secara global. CGI banyak digunakan
sebagai penilaian klinis untuk pengobatan depresi, skizofrenia, dll. Akan
tetapi, CGI dianggap terlalu luas dalam menggali informasi mengenai status
pasien ataupun respon pengobatan.
c. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)dikembangkan sebagai
instrumen klinisyang menspesifikkan gejala positif dan negatif skizofrenia,
serta psikopatologi. PANSS adalah instrument gabungan dari 18 itemBrief
Psychiatric Rating Scale (BPRS) dan 12 itemPsychopatology Rating
Schedule. Semua itemdalam PANSS telah diberi definisi secara mendetail.
Tetapi, implikasi klinis dari PANSS tidak terlalu jelas.39
34

5. Pencitraan
Abnormalitas yang dapat dilihat dalam radiologi pada pasien skizofrenia
dapat dilihat seperti cavum septum pellucidum yang besar, ventrikulomegali, dan
atropi kortikal. Sekitar 30% pasien skizofrenia dilaporkan memiliki abnormalitas
pada pencitraannya.40

Gambar 2.3. MRI scan pada kembar monozigot. Kembar sehat (kiri) dan
kembar dengan skizofrenia (kanan).40
2.6.9. Prognosis
Penderita skizofrenia kebanyakan memiliki gejala sisa dengan keparahan
bervariasi walaupun yang remisi penuh atau sembuh total itu ada. Sejumlah studi
telah menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah rawat inap
psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10 sampai 20% pasien
yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien
memiliki hasil yang buruk dengan rawat inap berulang, eksaserbasi, episode
gangguan moodmayor hingga percobaan bunuh diri. Dapat dilihat pada Tabel
2.3.8,29
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Awitan lambat Awitan muda
Adanya faktor presipitasi yang jelas Tidak ada faktor presipitasi yang jelas
Awitan akut Awitan insidius
Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
premorbid yang baik pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku autistik, menarik diri
35

gangguan depresif)
Menikah Lajang, cerai, atau menjanda/duda
Riwayat keluarga dengan gangguan mood Riwayat keluarga dengan skizofrenia
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
Gejala positif Gejala negatif
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tanpa remisi dalam 3 tahun
Berulangkali eksaserbasi
Riwayat melakukan tindakan penyerangan

Tabel 2.3. Ciri untuk mempertimbangkan prognosis baik hingga buruk


pada skizofrenia8

2.6.10. Diagnosis Banding


a. Gangguan Psikotik Sekunder
Kondisi medis nonpsikiatrik serta berbagai zat dapat menginduksi gejala
paranoid dan gejala katatonia seperti gangguan psikotik akibat kondisi medis
umum, gangguan katatonik akibat kondisi medis umum atau gangguan psikotik
terinduksi zat. Umumnya pasien dengan gangguan psikotik sekunder memiliki
tilikan terhadap penyakitnya dan lebih menderita akibat gejala psikiatrik
dibandingkan pasien skizofrenia.
b. Malingering dan Gangguan Buatan
Pasien yang meniru gejala skizofrenia namun sebenarnya tidak mengidap
skizofrenia. Alasan pasien berpura-pura biasanya berhubungan dengan masalah
hukum ataupun finansial. Selain itu, pasien secara sengaja menunjukkan riwayat
serta gejalanya.
c. Gangguan Psikotik Lain
Gangguan psikotik skizofrenia dapat identik dengan gangguan skizofreniform
(gangguan yang menyerupai gejala skizofrenia, tetapi berlangsung kurang dari 6
bulan lamanya), gangguan psikotik singkat, gangguan skizoafektif (skizoafektif
memiliki gambaran baik skizofrenia maupun gangguan afektif), dan gangguan
waham. Gejala skizofreniform memiliki durasi yang lebih pendek dari
36

skizofrenia yaitu setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari 6 bulan, sedangkan gejala
skizofrenia harus ada selama setidaknya 6 bulan. Gangguan psikotik singkat
merupakan diagnosis yang sesuai bila gejalanya berlangsung setidaknya 1 hari
tetapi kurang dari 1 bulan. Gangguan skizoafektif memiliki gambaran
skizofrenia dan depresif yang terjadi bersamaan. Gangguan waham timbul
selama sekurangnya 1 bulan tanpa gejala skizofrenia lain atau gangguan mood.
d. Gangguan Mood
Diagnosis banding antara skizofrenia dan gangguan moodsulit dilakukan.
Perbedaan paling mendasar adalah gangguan mood biasanya terganggunya
perasaan, sedangkan skizofrenia biasanya gangguan utama berada pada pola
pikir, persepsi, dan ditandai juga dengan waham.
e. Gangguan Kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian gambaran yang
sama dengan skizofrenia. Gangguan kepribadian OCD (Obsessive Compulsive
Disorder) yang parah dapat menyamarkan suatu proses skizofrenia yang
mendasari. Tidak seperti skizofrenia, gangguan ini memiliki gejala yang ringan
tetapi seumur hidup. Awitan tidak dapat diidentifikasi dalam gangguan
kepribadian ini. Selain itu, obsesi, tekanan, preokupasi terhadap penampilan atau
bau tubuh, body-focused berulang.
f. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) memiliki gambaran halusinasi dan
tingkat kewaspadaan yang tinggi (hypervigilance) yang dapat meningkatkan
paranoid. Karakteristik gejalanya berhubungan dengan reaksi pasien terhadap
peristiwa traumatis tersebut. Hal ini sangat dibutuhkan dalam mendiagnosis.
g. Gangguan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD)
Gangguan ini juga memiliki gejala episode psikotik tetapi perbedaannya
adalah defisit interaksi sosial berturut-turut yang ditandai dengan perilaku
berulang-ulang dan terbatas serta defisit kognitif dan komunikasi. Seseorang
dengan ASD memiliki gejala dengan kriteria skizofrenia terpenuhi, dengan
halusinasi atau delusi yang menonjol sekurang-kurangnya 1 bulan untuk
mendiagnosis skizofrenia sebagai kondisi komorbiditas.8,38
37

2.6.11. Tata Laksana


a. Rawat Inap
Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien agar tidak melukai diri
sendiri maupun orang lain, dan perilaku yang kacau seperti ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Perawatan di rumah sakit menurunkan stress
pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya
perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan
tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Penelitian menunjukkan bahwa
perawatan singkat di rumah sakit sama efektifnya dengan perawatan jangka
panjang di rumah sakit. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki
orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas
hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus
diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas pascarawat.
b. Terapi Biologis
Obat antipsikotik memiliki 2 kelas obat utama yaitu Antagonis Reseptor
Dopamin dan Serotonin-Dopamine Antagonist (SDA).
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Obat ini adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam
pengobatan skizofrenia. Obat ini memiliki kekurangan utama. Pertama, hanya
sejumlah kecil pasien cukup tertolong untuk mendapatkan kembali fungsi
mental yang cukup normal. Kedua, antagonis reseptor dopamin disertai
dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius seperti akatisia
(penderita bergerak terus), gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan
tremor, tardive dyskinensia, dan sindrom neuroleptik malignan. Remoxipiride
merupakan obat antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda daripada
antagonis reseptor dopamin yang biasa tersedia. Di Eropa, obat ini dianggap
cukup efektif. Tetapi data terakhir sekarang menunjukkan remoxipiride
mungkin disertai anemia aplastik, jadi penggunaan dibatasi.
38

2. Serotonin-Dopamine Antagonist (SDA)


SDA tidak menimbulkan gejala ekstrapiramidal atau jarang, berinteraksi
dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda dibanding antipsikotik
standar, dan memengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. SDA
juga menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih
sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia.
Antipsychotic Medication Recommended Dose Chlorpromazine Half-Life
Range (mg/day) Equivalents (mg/day) (hours)
First-generation agents
Phenotiazines
Chlorpromazine 300-1000 100 6
Fluphenazine 5-20 2 33
Mesoridazine 150-400 50 36
Perphenazine 16-64 10 0
Thioridazine 300-800 100 24
Trifluoperazine 15-50 5 24
Butyrophenone
Haloperidol 5-20 2 21
Others
Loxapine 30-100 10 4
Molindone 30-100 10 24
Thiothixene 15-50 5 34
Second-generation agents
Aripiprazole 10-30 75
Clozapine 150-600 12
Olanzapine 10-30 33
Quetiapine 300-800 6
Risperidone 2-8 24
Ziprasidone 120-200 7
Tabel 2.4. Obat antipsikotik yang umum digunakan15
Prinsip terapi mengunakan obat antipsikotik perlu mengikuti lima prinsip
utama yaitu : (Tabel 2.5 dan Gambar 2.4)
1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala target yang akan diobati.
2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu bagi seorang
pasien sebaiknya digunakan kembali. Bila tidak ada informasi tersebut,
pilihan antipsikotik biasanya didasarkan pada profil efek samping.
39

3. Lama minimum percobaan obat antipsikotik adalah 4-6 minggu pada dosis
yang adekuat. Bila percobaan tidak berhasil, bisa menggunakan obat
antipsikotik dengan kelas yang berbeda.
4. Secara umum, penggunaan lebih dari satu jenis obat antipsikotik dalam satu
waktu adalah jarang. Kalaupun pernah, harus sesuai indikasi. Namun
terutama pada pasien resisten obat, kombinasi antipsikotik dengan obat lain
dapat diindikasikan.
5. Sebaiknya dosis obat dipertahankan pada dosis efektif yang serendah
mungkin. Dosis rumatan seringkali lebih rendah daripada yang digunakan
untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik.
Consider Medication Form
Group 1 : Group 2 : Group 3 : Group 4 :
First- Risperidone. Clozapine Long-Acting
Generation Olanzapine, Injectable
Agents Ziprasidone, or Antipsychoti
Patient Profile Aripiprazole c Agents
First episode Yes
Persistent suicidal ideation
Yes
or behaviour
Persistent hostility and
Yes
aggressive behaviour
Tardive dyskinesia Yes; all group 2
drugs may not be
equal in their lower Yes
or no tardive
dyskinesia liability
History of sensitivity to Yes; except higher
extrapyramidal side effects doses of risperidone
History of sensitivity to Yes, except
prolactin elevation risperidone
History of sensitivity to
weight gain, Ziprasidone or
hyperglicemia, or aripiprazole
hyperlipidemia
Repeated nonadherence to
Yes
pharmacological treatment
Tabel 2.5. Pilihan pengobatan skizofrenia fase akut15
40

Gambar 2.4. Penatalaksanaan Skizofrenia Akut15


c. Terapi Psikososial
Terapi psikososial mencakup berbagai metode untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kecukupan diri, dan keterampilan.
1. Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan ini kadang-kadang disebut sebagai terapi keterampilan perilaku.
Terapi ini membantu proses penyembuhan serta terbukti mengurangi angka
eksaserbasi.
2. Terapi Berorientasi Keluarga
Terapi ini berfokus pada pasien dan keluarga, dimana keluarga membantu
proses terapi pasien.
41

3. Terapi Kelompok
Terapi kelompok untuk pasien skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
4. Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi
distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan daya nilai.8

2.7. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)


Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) dikembangkan untuk
menyediakan instrumenyang bisa menspesifikkan gejala positif dan negatif
skizofrenia, serta psikopatologi. Terdapat 30 butir soal yang masing-masing
memiliki bobot nilai 1-7. Skor total terendah adalah 30 dan skor tertingginya
adalah 210. PANSS adalah instrument gabungan dari 18 itemBrief Psychiatric
Rating Scale (BPRS) dan 12 itemPsychopatology Rating Schedule. Semua
itemdalam PANSS telah diberi definisi secara mendetail. Tetapi, implikasi klinis
dari PANSS tidak terlalu jelas. Seperti tidak adanya kejelasan seberapa parah
gangguan pasien dari skor total semisal 60-100. Biasanya, setiap butir soal yang
bernilai ≥ 4 menandakan gangguan skizofrenia, ≤ 3 menandakan resolusi, atau ≤ 3
selama 6 bulan yang menandakan remisi. Tetapi disamping kekurangan itu,
PANSS adalah salah satu instrument pemeriksaan skizofrenia yang paling mudah
dan biasanya lebih mudah dimengerti oleh pemeriksa.15,26
Bobot nilai Gejala yang ditimbulkan
1 (Tidak ada) Definisi tidak terpenuhi

2 (Minimal) Patologi diragukan, mungkin suatu ujung


ekstrim dari batasan normal.
3 (Ringan) Gejala ada, tetapi tidak jelas dan cenderung
tidak menonjol. Tidak berpengaruh
terhadap pikiran, relasi sosial, maupun
perilaku.
4 (Sedang) Gejala ada dan tak diragukan lagi tetapi
masih terlihat bergeser dan hanya sesekali
42

berpengaruh terhadap pikiran, relasi sosial,


maupun perilaku.
5 (Agak berat) Gejala jelas bermanifestasi dan pasien
terlihat asik dengan gejala itu, hanya
sesekali berpengaruh terhadap pikiran,
relasi sosial, maupun perilaku.
6 (Berat) Gejala meluas dan bermanifestasi, pasien
terlihat asik dengan gejala itu, dan jelas
berpengaruh terhadap pikiran, relasi sosial,
maupun perilaku.
7 (Sangat berat) Gejala berat dan meluas, dan mendominasi
sebagian besar dari segi-segi kehidupan,
berperilaku iresponsibel, dan tidak pantas.
Tabel 2.6. Bobot nilai dan interpretasi PANSS40
Di dalam PANSS terdapat 3 skala utama yaitu Skala Positif (P), Skala Negatif
(N), dan Skala Psikopatologi Umum (G).
1. Skala Positif (P)
Skala ini menunjukkan apakah adanya gejala positif skizofrenia. Terdapat
7 butir soal yang perlu ditanyakan yaitu mengenai waham, kekacauan proses
pikir (conceptual disorganization), gaduh gelisah (excitement), waham
kebesaran, waham curiga atau waham kejar, dan permusuhan.
2. Skala Negatif (N)
Skala ini menunjukkan adanya gejala negatif skizofrenia. Terdapat 7 butir
soal yang perlu ditanyakan mengenai afek tumpul, penarikan emosional
(emotional withdrawal), kemiskinan rapport, penarikan diri dari hubungan
sosial secara pasif atau apatis, kesulitan dalam pemikiran abstrak, kurangnya
spontanitas dan arus percakapan, dan pemikiran stereotipik.
3. Skala Psikopatologi Umum (G)
Skala ini menunjukkan keadaan psikopatologis lainnya yang bisa dialami
oleh seorang penderita skizofrenia. Terdapat 16 butir soal yang perlu
ditanyakan yaitu mengenai kekhawatiran somatik; ansietas; rasa bersalah;
ketegangan; gerakan dan sikap tubuh; depresi; retardasi motorik;
43

ketidakkooperatifan; isi pikiran yang tidak biasa; disorientasi; perhatian buruk;


kurangnya daya nilai dan tilikan, gangguan dorongan kehendak, makan dan
minum, dan pengendalian pikiran, perilaku, gerakan, serta pembicaraan;
pengendalian impuls yang buruk; preokupasi; penghindaran sosial secara
aktif.40
Skala positif (P) Skala Negatif (N) Skala Psikopatologi Umum (G)
P1. Waham N1. Afek Tumpul G1. Kekhawatiran somatik
Keyakinan yang tidak Berkurangnya respons Keluhan-keluhan fisik atau
mempunyai dasar, tidak emosional yang ditandai keyakinan tentang penyakit atau
realistik, dan aneh oleh berkurangnya ekspresi malfungsi tubuh. Ini mungkin
(idiosinkratik). wajah, gelombang berkisar dari rasa yang samar
P2. Kekacauan Proses Pikir (modulation) perasaan dan tentang perasaan tidak sehat
(Conceptual Disorganization) gerak gerik komunikatif. sampai pada waham yang jelas
Kekacauan proses pikir N2. Penarikan Emosional tentang penyakit fisik yang parah.
ditandai oleh putusnya (Emotional Withdrawal) G2. Ansietas
tahapan penyampaian maksud, Berkurangnya minat dan Pengalaman subyektif tentang
misalnya sirkumstansial, keterlibatan, serta curahan kegelisahan, kekhawatiran,
tangensial, asosiasi longgar, perasaan terhadap peristiwa ketakutan (apprehension), atau
tidak berurutan, kehidupan. ketidaktenangan, yang berkisar
ketidaklogisan yang parah, N3. Kemiskinan Rapport dari kekhawatiran yang berlebih
atau putusnya arus pikir. Berkurangnya empati tentang masa kini atau masa
P3. Perilaku Halusinasi interpersonal, kurangnya depan sampai perasaan fisik.
Laporan secara verbal atau keterbukaan dalam G3. Rasa bersalah
perilaku yang menunjukkan percakapan dan rasa Rasa penyesalan yang mendalam
persepsi yang tidak dirangsang keakraban, minat, atau atau menyalahkan diri sendiri
oleh stimuli luar. Dapat terjadi keterlibatan dengan terhadap perbuatan salah atau
halusinasi pendengaran, pewawancara. Ini ditandai bayangan kelakuan buruk pada
penglihatan, penciuman atau oleh adanya jarak masa lampau.
somatik. interpersonal dan G4. Ketegangan
P4. Gaduh gelisah berkurangnya komunikasi Manifestasi fisik yang jelas
(Excitement) verbal dan nonverbal. tentang ketakutan, ansietas, dan
Hiperaktivitas yang N4. Penarikan diri dari agitasi, seperti kekakuan, tremor,
ditampilkan dalam bentuk hubungan sosial secara keringat yang berlebihan, dan
44

percepatan perilaku motorik, pasif/apatis ketidaktenangan


peningkatan respons terhadap Berkurangnya minat dan G5. Mannerisme dan sikap
stimuli, waspada berlebihan inisiatif dalam interaksi tubuh
(hypervigilance) atau labilitas sosial, yang disebabkan Gerakan atau sikap tubuh yang
alam perasaan (mood) yang oleh pasivitas, apatis, tidak wajar seperti yang ditandai
berlebihan. anergi atau tidak ada oleh kejanggalan, kaku,
P5. Waham kebesaran dorongan kehendak. Hal ini disorganisasi, atau penampilan
Pendapat tentang diri sendiri mengarah pada yang aneh.
yang berlebihan dan berkurangnya keterlibatan G6. Depresi
keyakinan tentang superioritas interpersonal dan Perasaan sedih, putus asa, rasa
yang tidak realistik, termasuk mengabaikan aktivitas tidak berdaya, dan pasifisme.
waham tentang kemampuan kehidupan sehari-hari. G7. Retardasi motorik
diri yang luar biasa, kekayaan, N5. Kesulitan dalam Penurunan aktivitas motorik
pengetahuan, kemashyuran, pemikiran abstrak seperti tampak dalam perlambatan
kekuasaan, dan kebajikan Hendaya dalam atau kurangnya gerakan dan
moral. penggunaan cara berpikir pembicaraan, penurunan respons
P6. Kecurigaan/Kejaran abstrak atau simbolik, yang terhadap stimuli dan pengurangan
Ide-ide kejaran yang tidak dibuktikan dalam kesulitan tonus tubuh.
realistis atau berlebihan, yang mengklarifikasikan, G8. Ketidakkooperatifan
tercermin dalam sikap membentuk generalisasi Aktif menolak untuk patuh
berjaga-jaga, sikap tidak dan berpikir secara konkrit terhadap keinginan tokoh
percaya, kewaspadaan yang atau egosentrik dalam bermakna termasuk pewawancara,
berlebihan berdasarkan memecahkan masalah. staf rumah sakit, atau keluarga,
kecurigaan atau waham jelas N6. Kurangnya yang mungkin disertai dengan
bahwa orang lain berniat spontanitas dan arus rasa tidak percaya, defensif, keras
mencelakainya. percakapan kepala, negativistik, penolakan
P7. Permusuhan Berkurangnya arus normal terhadap otoritas, selama
Ekspresi verbal dan nonverbal percakapan yang disertai wawancara, dan juga dilaporkan
tentang kemarahan dan dengan apatis, avolisi (tidak oleh perawat atau keluarga.
kebencian, termasuk ada dorongan kehendak), G9. Isi pikiran yang tidak biasa
sarkasme, perilaku pasif defensif atau defisit Proses pikir ditandai oleh ide-ide
agresif, caci maki, dan kognitif. Ini yang asing, fantastik, atau aneh,
penyerangan. dimanifestasikan oleh berkisar dari yang ringan atau
45

berkurangnya kelancaran atipikal sampai distorsi, tidak


dan produktivitas dalam logis dan sangat tidak masuk akal.
proses interaksi verbal. G10. Disorientasi
N7. Pemikiran stereotipik Kurang menyadari (awareness)
Berkurangnya kelancaran, hubungan seseorang dengan
spontanitas dan fleksibilitas lingkungan, termasuk orang,
proses pikir yang terbukti tempat, waktu, yang mungkin
dari kekakuan, pengulangan disebabkan oleh kekacauan atau
atau isi pikir yang miskin. penarikan diri.
G11. Perhatian buruk
Gagal dalam memusatkan
perhatian yang ditandai oleh
konsentrasi yang buruk, perhatian
mudah teralih oleh stimuli
eksternal dan internal dan
kesulitan dalam mengendalikan,
mempertahankan, atau
mengalihkan (shifting) fokus pada
stimuli baru.
G12. Kurangnya daya nilah dan
tilikan
Hendaya kesadaran (awareness)
atau pemahaman atas kondisi
psikiatri dan situasi kehidupan
dirinya. Dibuktikan oleh
kegagalan untuk mengenali
penyakit atau gejala-gejala
psikiatrik yang lalu atau sekarang,
menolak perlu adanya perawatan
atau pengobatan psikiatrik,
keputusan ditandai oleh buruknya
antisipasi terhadap konsekuensi,
serta rencana jangka pendek dan
46

jangka panjang yang tidak


realistik.
G13. Gangguan dorongan
kehendak
Gangguan dalam dorongan
kehendak, makan dan minum, dan
pengendalian pikiran, perilaku,
gerakan-gerakan, serta
pembicaraan.
G14. Pengendalian impuls yang
buruk
Gangguan pengaturan dan
pengendalian impuls yang
mengakibatkan pelepasan
ketegangan dan emosi yang tiba-
tiba, tidak teratur, sewenang-
wenang, atau tidak terarah tanpa
melakukan konsekuensinya.
G15. Preokupasi
Terpaku pada pikiran dan
perasaan yang timbul dari dalam
diri dan sertai pengalaman autistik
sedemikian rupa sehingga terjadi
gangguan orientasi realita dan
perilaku adaptif.
G16. Penghindaran sosial
secara aktif
Penurunan keterlibatan sosial
yang disertai adanya ketakutan
yang tidak beralasan,
permusuhan, atau
ketidakpercayaan.
Tabel 2.7. Deskripsi skala positif, negatif, psikopatologi umum pada PANSS
47

2.8. Kerangka Teori

Skizofrenia Fase Premorbid

Fase Prodromal

Fase Aktif

Fase Residual

Fase Remisi Fase Instrumen


Eksaserbasi PANSS

Neurokimia Genetika Lingkungan

2.9. Kerangka Konsep

Variabel Terikat Variabel Bebas

Skor PANSS Status Kekambuhan Pada


Pasien Skizofrenia Rawat
Inap

Perbedaan skor PANSS


awal dan akhir

Ket :
: yang diteliti

2.10. Hipotesis
Terdapat perbedaan antara skor PANSS awal dan akhir terhadap status
kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai
Bangkong Kota Pontianak.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik komparatif kategorik
berpasangan dengan desain penelitian cross sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Sungai
Bangkong Kota Pontianak. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2017 sampai
dengan September 2017.

3.3. Jadwal Penelitian


Penelitian dimulai dari penyusunan proposal pada bulan Februari hingga Mei
2017, dilanjutkan dengan presentasi proposal pada bulan Juni 2017. Kemudian
pengumpulan data akan dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai dari bulan Juli
hingga September 2017, setelah itu data akan diolah pada bulan Oktober 2017.
Presentasi skripsi akan dilakukan di bulan November 2017.
Tabel 3.1. Jadwal penelitian
Kegiatan Februari - Mei Juni Juli –September Oktober November
2017 2017 2017 2017 2017
Penyusunan
proposal
Presentasi
proposal
Pengumpulan
Data
Pengolahan Data
Presentasi Hasil

48
49

3.4. Populasi dan Sampel


3.4.1. Populasi penelitian
a. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh penderita skizofrenia di
RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak yang menjalani rawat inap pada
tahun 2017.
b. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pasien skizofrenia kambuhan rawat inap di RSJD
Sungai Bangkong Kota Pontianak yang memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi.
3.4.2. Besar Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan berasal dari populasi terjangkau di bangsal rawat
inap RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.
Untuk jumlah sampel, peneliti menggunakan sampel minimal size (untuk
menentukan batas minimal dari besarnya sampel) dengan menggunakan rumus
Lemeshow karena populasi tidak diketahui sebagai berikut :
𝑍𝛼 2 𝑃.𝑄
n =
𝑑2
(1,96)2 𝑥 0,1 𝑥 0,9
n =
(0,10)2

n = 34,5744 (dibulatkan menjadi 35)


Jadi, jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah 35 orang.
Keterangan:
n : Besarnya sampel sebelum koreksi
P : Proporsi (diambil sebesar 10%)
Q : (1-p) = 1- 0,1 = 0,9
Zα : 1,96 (nilai defiat baku α)
d : Toleransi estimasi yaitu 5% atau 0,05
3.4.3 Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pasien
skizofrenia kambuhan yang dirawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota
Pontianak pada bulan Juli 2017 sampai dengan September 2017. Sampel dipilih
50

dengan cara non-probability sampling yaitu pemilihan sampel tidak berdasarkan


peluang di mana semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan
sebagai sampel penelitian. Cara pemilihan sampel dipilih berdasarkan total
sampling.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi subyek dalam penelitian ini, yaitu :
a. Pasien yang didiagnosa skizofrenia kambuhan yang dirawat inap di
RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak;
b. Pasien skizofrenia kambuhan yang telah masuk ke ruang tenang;
c. Pasien skizofrenia yang telah disetujui oleh pihak rumah sakit dan
bersedia untuk menjadi responden penelitian;
d. Pasien skizofrenia kambuhan yang diukur skor PANSS awal dan akhir
dengan rentang waktu selama 1 bulan.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi subyek dalam penelitian ini, yaitu:
a. Pasien skizofrenia yang disertai dengan gangguan jiwa lain;
b. Pasien skizofrenia kambuhan yang memiliki gangguan komunikasi;

3.6. Identifikasi Variabel Penelitian


3.6.1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah status kekambuhan gangguan
pada pasien skizofrenia rawat inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.
3.6.2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil skor PANSS (Positive
and Negative Syndrome Scale) awal dan akhir.
51

3.7. Definisi Operasional


Tabel 3.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Skor PANSS Skala yang digunakan Lembar Penilaian Skor Ordinal
(Positive and untuk memberi nilai pada PANSS, dengan PANSS
Negative gejala positif, gejala interpretasi pada total
Syndrome Scale) negatif, dan gejala tiap butir adalah : : 30-210
psikopatologi umum pada 1= tidak ada
pasien skizofrenia. 2= minimal
3= ringan
4= sedang
5= sedang berat
6= berat
7= sangat berat
2 Status Kekambuhan/eksaserbasi - Kambuh/ Nominal
Kekambuhan adalah keadaan dimana Tidak
pasien skizofrenia dirawat kambuh
inap kembali di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Sungai
Bangkong Kota
Pontianak.

3.8. Rencana Manajemen dan Analisis Data


3.8.1. Metode Pengumpulan Data
Data didapatkan dari pasien skizofrenia kambuhan yang menjadi
responden berupa skor PANSS sebelum dan sesudah ditatalaksana.
3.8.2. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a. Editing
Tahap pengecekan isi skor PANSS apakah sudah diisi lengkap, jelas,
dan konsisten sehingga bisa didapat data yang akurat.
52

b. Coding
Tahap mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan untuk memudahkan analisis data dan entry data.
c. Tabulasi
Tahap penyusunan data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat
dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.
3.8.3. Metode Analisis Data
a. Analisis univariat
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian. Analisis ini digunakan untuk
mendeskripsikan variabel penelitian yang disajikan dalam bentuk
distribusi dan persentase tiap variabel.
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel
yang berhubungan, yaitu antara variabel bebas dan variabel terikat
dengan uji statistik yang disesuaikan dengan data yaitu kategorik. Uji
statistik yang digunakan adalah uji T-Berpasangan. Pengerjaan analisis
bivariat akan menggunakan software Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 23.
53

3.9. Alur Penelitian


Studi Literatur

Penyusunan proposal penelitian

Kaji Etik

Rumah Sakit Jiwa Daerah


Sungai Bangkong Kota
Pontianak

Pasien skizofrenia kambuhan


yang dirawat inap dan telah
masuk ruang tenang

Diukur skor PANSS awal

Tatalaksana selama 1 bulan

Diukur skor PANSS akhir

Pengolahan Data

Hasil
3.10. Etika Penelitian
Penelitian dilakukan setelah lulus kaji etik oleh komite etik penelitian
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
(UNTAN). Pengambilan data berupa skor PANSS dilakukan setelah
mendapatkan izin pada pasien dan keluarga dengan menggunakan informed
consent dan pengukuran skor PANSS dilakukan oleh dokter spesialis kejiwaan
yang telah terlatih dalam pengukuran PANSS. Data yang diperoleh hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian dan dijamin kerahasiaannya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian telah dilakukan di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak setelah


sebelumnya dinyatakan lulus kaji etik oleh Komite Etik Penelitian Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (UNTAN).
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2017 sampai dengan Desember
2017. Penelitian menggunakan skor PANSS (Positive and Negative Syndrome
Scale). Jumlah total sampel penelitian yang didapatkan adalah 35 orang.
4.1. Karakteristik Responden Penelitian
Responden penelitian dikelompokkan dalam beberapa karakteristik yaitu jenis
kelamin, usia, diagnosis psikiatri, status kekambuhan dan jumlah kekambuhan,
dan hasil skor PANSS awal dan akhir.Jenis kelamin terbanyak yang menjadi
responden penelitian adalah laki-laki sebanyak 27 pasien (77%). Sedangkan, jenis
kelamin yang paling sedikit menjadi responden penelitian adalah perempuan
sebanyak 8 pasien (23%).Usia paling muda yang menjadi responden penelitian
adalah berusia 20 tahun. Usia paling tua yang menjadi responden penelitian
adalah 72 tahun. Sedangkan kelompok usia dengan jumlah reponden terbanyak
yaitu usia 30-39 tahun dengan jumlah 15 orang. Sedangkan kelompok usia dengan
jumlah responden paling sedikit yaitu usia 70-79 tahun dengan jumlah 1 orang.
Usia rata-rata (mean) adalah 39,36 tahun, usia tengah (median) adalah 36,8 tahun,
dan usia paling sering (modus) adalah 36 tahun.
Diagnosis paling sering pada responden penelitian adalah skizofrenia
paranoid yaitu sebanyak 32 kasus (91,4%), sedangkan diagnosis paling sedikit
pada responden penelitian adalah skizofrenia tak terinci (undifferentiated) yaitu
sebanyak 1 kasus (2,9%). Hasil pengukuran skor PANSS menunjukkan skor awal
PANSS tertinggi adalah 154 dan skor awal terendah adalah 71, sedangkan skor
akhir PANSS tertinggi adalah 94 dan skor akhir terendah adalah 52. Rata-rata skor
awal adalah 97,7 dan rata-rata skor akhir adalah 70,57, serta rata-rata selisih skor
awal dan akhir adalah 27,2. Nilai tengah skor awal adalah 96 dan nilai tengah
pada skor akhir adalah 68. Nilai paling sering muncul pada skor awal adalah 76,

54
55

81, 93, 96, 102, 104, dan 105, sedangkan nilai paling sering muncul pada skor
akhir adalah 65.
Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik Responden Frekuensi
Penelitian n %
Jenis kelamin
Laki-laki 27 77%
Perempuan 8 23%
Total 35 100%
Usia
20-29 6 17,1%
30-39 15 42,9%
40-49 9 25,7%
50-59 2 5,7%
60-69 2 5,7%
70-79 1 2,9%
Total 35 100%
Diagnosis Psikiatri
F20 Skizofrenia 2 5,7%
F20.0 Skizofrenia paranoid 32 91,4%
F20.3 Skizofrenia tidak terinci
1 2,9%
(undifferentiated)
Total 35 100%
Jumlah Kekambuhan
1-5 18 51,4%
6-10 8 23%
11-15 2 5,7%
16-20 3 8,5%
21-25 2 5,7%
26-30 2 5,7%
Total 35 100%
Hasil Skor PANSS Awal
71-80 6 17,1%
81-90 6 17,1%
91-100 7 20%
101-110 9 25,7%
111-120 5 14,3%
121-130 0 0%
131-140 1 2,9%
141-150 0 0%
151-160 1 2,9%
Total 35 100%
Hasil Skor PANSS Akhir
51-60 5 14,3%
61-70 17 48,6%
71-80 6 17,1%
81-90 6 17,1%
91-100 1 2,9%
Total 35 100%
56

Selisih Skor
1-5 1 2,9%
6-10 4 11,4%
11-20 10 28,6%
21-30 9 25,7%
31-40 3 8,5%
41-50 5 14,3%
51-60 2 5,7%
81-90 1 2,9%
Total 35 100%

4.1.1. Jenis Kelamin


Jumlah pasien skizofrenia yang berjenis kelamin laki-laki yang menjadi
responden penelitian adalah sebesar 27 orang dan yang berjenis kelamin
perempuan adalah sebesar 8 orang. Distribusi pasien skizofrenia laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan pasien skizofrenia kelamin perempuan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rizky Ramadhani Arisyandi dan
Ingried Sira di RSJD Sungai Bangkong, didapatkan hasil sampel dengan distribusi
pasien berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada perempuan.41,42 Siti Zahnia
mengemukakan bahwa proporsi skizofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%)
dengan kemungkinan laki-laki beresiko 2,37 kali lebih besar daripada
perempuan.43
Hormon estrogen yang dimiliki oleh perempuan dihipotesiskan memiliki efek
protektif terhadap skizofrenia dimana estrogen berpengaruh terhadap pelepasan
dopamin melalui neuron GABA. Pencitraan molekuler menunjukkan perubahan
densitasreseptor dopamin D2 dengan siklus menstruasi. Pencitraan PET
menunjukkan bahwa pengikatan reseptor dopamin D2 berkurang pada fase
folikuler (pada fase ini, estrogen meningkat dan menyebabkan penebalan
endometrium) dan meningkat pada fase periovulasi dan luteal (pada fase ini,
terjadi peningkatan hormon progesteron dan LH, serta terjadi penurunan jumlah
hormon estrogen).44,45
57

Gambar 4.1. Siklus menstruasi dan regulasi hormonal46

Gambar 4.2. Ilustrasi estrogen dan dopamin pathway47


Castle dan Murray meninjau temuan pada struktur otak dan menemukan bukti
bahwa studi menggunakan MRI menunjukkan bahwa area korona otak mengalami
reduksi, pengecilan hipokampal, dan ventrikulomegali pada pasien skizofrenia
laki-laki, tetapi hal itu tidak terjadi pada perempuan dikarenakan studi MRI
menunjukkan bahwa abnormalitas struktur otak muncul pada daerah dimorfik
seksual. Jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki grey
58

matteryang rasionya lebih besar di kaudatus, hipokampus, korteks frontalis, dan


gyrus temporalis yang semua terlibat dalam fungsi berbahasa, berpikir, atensi, dan
memori. Hal ini menunjukkan bahwa daerah dimorfik seksual normal dapat
melindungi wanita skizofrenia dari gangguan fungsi kognitif akibat dari
abnormalitas otak.48
Selain itu juga, sejumlah penelitian dan ulasan telah menyimpulkan bahwa
pasien laki-laki pada umumnya cenderung untuk mengekspresikan gejala yang
lebih negatif serta penarikan sosial dan afek tumpul atau tidak sesuai daripada
pasien wanita. Wanita penderita skizofrenia di sisi lain, lebih cenderung hadir
dengan gangguan mood, disforia,gejala depresi dan ciri afektif atipikal. Secara
keseluruhan, wanita dengan skizofrenia tampaknya memiliki presentasi klinis dan
klinis yang kurang parah. Ulasan terbaru menunjukkan bahwa wanita dengan
skizofrenia lebih mungkin untuk didiagnosis banding dengan psikosis afektif,
atipikal atau manik dan skizoafektif. Selanjutnya, wanita tampak lebih rentan
terhadap gangguan psikosis reaktif akut serta skizofreniform onset awal dan
mendadak, dan biasanya cenderung untuk terselesaikan dengan hasil yang
baik.48Ring et al meneliti bahwa gejala negatif seperti perataan afektif,
kemiskinan berbicara dan penarikan sosial lebih banyak terjadi di antara laki-laki
daripada perempuan.49

4.1.2. Usia
Kelompok usia dengan jumlah responden baik laki-laki maupun perempuan
terbanyak yaitu usia 30-39 tahun dengan jumlah 15 orang, diikuti dengan usia 20-
49 tahun dengan jumlah responden sebanyak 9 orang, dan pada usia 20-29 tahun
dengan jumlah responden penelitian sebanyak 6 orang. Onset kemunculan
skizofrenia pada pasien laki-laki adalah usia 18-25 tahun dan pada perempuan
adalah usia 26-32 tahun.50 Pada penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di
RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak oleh Rizky Ramadhani Arisyandi dan
Ingried Sira, usia pasien skizofrenia RSJD Sungai Bangkong terbanyak adalah
dari usia 25-44 tahun, di mana puncak usia terbanyak adalah usia 30-39 tahun
yang adalah usia produktif manusia.41,42 Salah satu faktor yang mempengaruhi
59

tingginya usia produktif menjadi skizofrenia adalah stressor psikososial dimana


seseorang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi dan
akhirnya menjadi jatuh sakit.51

4.1.3. Diagnosis Psikiatri


Diagnosis psikiatri pada responden penelitian terbanyak adalah skizofrenia
subtipe paranoid sebanyak 32 orang. Skizofrenia paranoid adalah salah satu tipe
skizofrenia di mana ciri utamanya adalah halusinasi dan/atau waham harus
menonjol.20 Menurut Fahrul et al, gejala halusinasi adalah gejala yang paling
banyak ditemukan yang merupakan salah satu ciri utama dari skizofrenia paranoid
karena terjadi abnormalitas dalam neurotransmiter dopamin dan asetilkolin yang
menyebabkan halusinasi.44,52 Skizofrenia paranoid memiliki stabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan subtipe lainnya dan sering sekali digunakan secara
klinis bersamaan dengan tipe undifferentiated.44 Prognosis skizofrenia paranoid
lebih baik dibandingkan dengan tipe lain karena mempunyai respon yang baik
dalam pengobatan.53

4.1.4. Status Kekambuhan dan Jumlah Kekambuhan


Pada pasien skizofrenia yang menjadi responden penelitian adalah pasien
skizofrenia eksaserbasi/kambuhan dan berulang kali dirawat inap. Kekambuhan
sendiri memiliki banyak faktor seperti psikopatologi, pengalaman hidup (seperti
pengalaman traumatik, gangguan psikiatrik, dan perkembangan saat masa kanak-
kanak), psikososial, kepribadian premorbid, ekspresi emosi keluarga, dan faktor
biologis seperti genetik.54 Salah satu faktor resiko tinggi terjadinya kekambuhan
adalah riwayat keluarga yang kuat dari skizofrenia.55 Insiden kambuh pasien
skizofrenia adalah tinggi, yaitu berkisar 60%-75%.56 Pada penelitian yang
dilakukan Robinson, 74% pasien tidak minum obat secara teratur sehingga
mengalami kekambuhan dan 71% di antaranya dirawat inap ulang.57 Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ratna Dewi, di antara pasien skizofrenia yang
rawat inap di SMF Jiwa RSU Dr Sardjito Yogyakarta, sekitar 75% pernah dirawat
sebelumnya atau merupakan pasien rawat ulang dan dari analisis multivariat yang
60

didapat dari penelitian tersebut, faktor keteraturan minum obat adalah faktor yang
paling berpengaruh dengan terjadinya kekambuhan pasien.58 Pada penelitian yang
dilakukan oleh Rizky Ramadhani Arisyandi, baik pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan ditemukan pasien skizofrenia yang dirawat inap berulang
lebih banyak daripada pasien yang baru didiagnosis.42

4.1.5. Terapi
Terapi dalam penatalaksanaan skizofrenia secara umum terdapat 2 jenis yaitu
terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi yang
digunakan pada pasien skizofrenia yaitu dengan antagonis reseptor dopamin yang
biasa disebut dengan antipsikotik klasik dan antagonis reseptor serotonin-dopamin
(SGA/second-generation antipsychotics). Sedangkan terapi nonfarmakologi yaitu
terapi psikososial yang mencakup berbagai metode untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kecukupan diri, dan keterampilan seperti terapi keterampilan
perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan terapi perilaku
kognitif.8
Antipsikotik klasik (tipikal) atau yang disebut dengan antagonis reseptor
dopamin umumnya menghambat reseptor D2 secara stereoselektif, dan afinitas
pengikatan mereka sangat berkaitan dengan potensi antipsikotik dan
ekstrapiramidal klinis. Contoh obat dari antipsikotik tipikal seperti klorpromazin,
haloperidol, perfenazin, trifluoperzin, dll. Sedangkan, antipsikotik atipikal
(second-generation antipsychotics) atau disebut juga sebagai antogonis reseptor
serotonin-dopamin memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengubah
aktivitas reseptor 5-HT2A daripada mengintervensi efek reseptor D2, meskipun
juga menghambat efek reseptor D2. Contoh obat antipsikotik atipikal adalah
klozapin, risperidon, olanzapin, kuetiapin, ziprasidon, dan aripiprazol.
Untuk sekitar 70% pasien dengan skizofrenia, obat antipsikotik tipikal dan
atipikal sama efikasinya dalam mengatasi gejala positif. Namun, beberapa bukti
cenderung memperlihatkan bahwa obat antipsikotik atipikal lebih bermanfaat
untuk gejala negatif dan kognisi, memperlihatkan risiko tardive dyskinesia dan
bentuk EPS lainnya yang lebih kecil, dan lebih jarang meningkatkan kadar
61

prolaktin. Dalam beberapa penelitian, sebagian dari obat antipsikotik baru


termasuk klozapin, risperidon, dan olanzapin memperlihatkan superioritas
dibandingkan dengan haloperidol dari segi respon keseluruhan. Pemberian
antipsikotik klasik seperti klorpromazin dan tioridazin memberikan efek sedasi
yang lebih kuat dan dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik, sedangkan
haloperidol, perfenazin, dan tiotiksen dapat memicu sindrom ekstrapiramidal.59
Selain pemberian terapi farmakologi, turut juga diberikan terapi
nonfarmakologi untuk mengembalikan fungsi sosial dan mencegah kekambuhan,
seperti terapi kelompok yang bertujuan untuk mengatasi gejala gangguan jiwa
yang difokuskan kepada pasien, secara individu, kelompok, keluarga, maupun
komunitas. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) terdiri dari empat yaitu TAK
stimulasi kognitif/persepsi, TAK stimulasi sensori, TAK orientasi realita, dan
TAK sosialisasi.60
Terapi yang diberikan pada pasien skizofrenia di RSJD Sungai Bangkong
adalah terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Pada pasien skizofrenia
kambuhan, diberikan terapi farmakologi berupa risperidon, trifluoperazin (TFP),
dan klozapin. Pemberian risperidon pada pasien skizofrenia dapat meningkatkan
mood dan aktivitas motorik, sedangkan pemberian klozapin hanya diperuntukkan
untuk pasien skizofrenia dengan kasus pasien dengan resisten obat antipsikotik.
Klozapin juga diberikan pada pasien skizofrenia dengan indikasi bunuh diri, tetapi
efek samping dari klozapin adalah agranulositosis (kondisi akut dimana terjadi
leukopenia yang parah) sehingga diperlukan pengontrolan gambaran darah selama
18 minggu pertama, setelah itu 4 kali seminggu.61,62 Pemberian TFP secara efektif
mampu mengobati gejala positif skizofrenia seperti halusinasi auditorik, visual,
dan waham, meskipun dengan beberapa efek samping yaitu involuntary shaking,
gelisah, dan movement disorder seperti postur yang aneh.63 Selain itu dilakukan
terapi nonfarmakologi yaitu TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) dimana terdapat
beberapa permainan seperti menangkap bola, senam, rekreasi, karaoke yang biasa
dipimpin oleh perawat.
62

4.2. Hasil Uji Statistik


Tabel 4.2. Hasil Uji T-Berpasangan
N Rerata P
Skor PANSS Awal 35 97,77
Skor PANSS Akhir 35 70,57
0,000
Selisih Skor PANSS Awal 35 27,2
dan Akhir

4.2.1. Perbedaan Skor PANSS Awal dan Akhir Terhadap Status


Kekambuhan
Uji statistik yang dilakukan untuk melihat perbedaan skor PANSS awal dan
akhir terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia rawat inap di
RSJD Sungai Bangkong adalah dengan menggunakan uji T berpasangan. Uji T
berpasangan adalah uji yang digunakan untuk melihat perbedaan skor PANSS
awal dan akhir pasien skizofrenia kambuhan. Sebelum dilakukan uji T
berpasangan, dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dengan menggunakan uji
Shapiro-Wilk. Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk melihat distribusi data normal
atau tidak. Pengujian normalitas data dilakukan dengan sampel sebesar 35 orang
menggunakan uji Shapiro-Wilk menunjukkan nilai p sebesar 0,067 dan 0,110
yang diinterpretasikan sebagai distribusi data skor awal dan akhir normal dengan
p> 0,05.
Setelah didapat hasil distribusi data normal, selanjutnya dilakukan uji T
berpasangan. Uji T berpasangan dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan yaitu
data berdistribusi normal. Hasil dari uji T berpasangan menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang bermakna antara skor PANSS awal dan akhir dimana p ≤
0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% yaitu 0,000. Rata-rata dari selisih skor pada
hasil uji T berpasangan adalah 27,2 yang bernilai positif, berarti terjadi
kecenderungan terjadi penurunan PANSS.Hasil analisis data ini sesuai dengan
hipotesis penelitian ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Distribusi pasien berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan pasien
berjenis kelamin perempuan.
2. Distribusi pasien berdasarkan usia terbanyak adalah usia 30-39 tahun.
3. Distribusi pasien berdasarkan diagnosis psikiatri terbanyak adalah skizofrenia
paranoid.
4. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skor PANSS awal dan akhir
terhadap status kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia yang dirawat
inap di RSJD Sungai Bangkong Kota Pontianak.

5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang diajukan berkaitan
dengan penelitian ini adalah :
1. Skor PANSS dapat menjadi salah satu instrumen untuk mengukur status
kekambuhan gangguan pada pasien skizofrenia.
2. Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian yang sama dengan
instrumen yang berbeda. Seperti BPRS dan CGI.
3. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian dengan variabel yang
berbeda seperti terapi farmakologi tertentu.
4. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengukuran skor PANSS dengan
meneliti masing-masing gejala skizofrenia pada PANSS seperti gejala
positif, gejala negatif, maupun gejala psikopatologi umum.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO | 10 facts on mental health [Internet]. [cited 2017 Feb 2]. Available
from:
http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/mental_health_facts/en/
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. [cited 2017 Jan 31].
Available from: http://www.depkes.go.id/article/print/201410270011/stop-
stigma-dan-diskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. [Internet]. [cited 2017 Feb 2]. Available
from :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf.
4. NIMH » Schizophrenia [Internet]. [cited 2017 Feb 02]. Available from:
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophrenia/index.shtml
5. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2017 Feb 02]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs397/en/
6. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang : Binarupa Aksara; 2010
7. CDC - Burden of Mental Illness - Mental Illness - Mental Health Basics -
Mental Health [Internet]. [cited 2017 Feb 3]. Available from:
https://www.cdc.gov/mentalhealth/basics/burden.htm
8. Kaplan H, Sadock BJ. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010.
9. Salam R, Budiman R, Bastaman TK, Yuniar S, Damping C, Kusumawardhani
A, Purnamawati YD, Widyanto S. Pedoman Definisi PANSS (Positive and
Negative Symptoms Scale). FK Universitas Indonesia Bagian Psikiatri; 1994.
10. Kay SR, Fiszbein A, Opler LA. Positive and Negative Syndrome Scale
(PANSS). Psychiatric University Hospital Zurich Division of Clinical
Psychiatry; 2007.
11. Andri. Kongres Nasional Skizofrenia V Closing The Treathment Gap for
Schizophrenia. 2008.

64
65

12. Akbar M. Hubungan dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan


penderita skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia; 2008.
13. Ucok A, Polat A, Cakir S, Genc A. One Year Outcome in First Episode
Schizophrenia. Eur Arch Psychiatri Clin Neurosci. 2006;256. p.37-43.
14. Arif IS. Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien. Bandung: PT.
Refika Aditama; 2006.
15. Yeomans D, Taylor M, Currie A, Whale R, Ford K, Fear C, et al. Resolution
and remission in schizophrenia: getting well and staying well. Adv Psychiatr
Treat. 2010 Mar 1;16(2):86–95.
16. Dorland, WAN. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC; 2011.
17. Emsley R, Chiliza B, Asmal L, Harvey BH. The nature of relapse in
schizophrenia. BMC Psychiatry. 2013;13:50.
18. Brisch R, Saniotis A, Wolf R, Bielau H, Bernstein H-G, Steiner J, et al. The
Role of Dopamine in Schizophrenia from a Neurobiological and Evolutionary
Perspective: Old Fashioned, but Still in Vogue. Front Psychiatry [Internet].
2014 May 19 [cited 2017 Apr 2];5. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4032934/
19. Eggers AE. A serotonin hypothesis of schizophrenia. Med Hypotheses. 2013
Jun 1;80(6):791–4.
20. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Jakarta : Dirjen Pelayanan Medis
RI;1993.
21. Chang C-Y, Chen Y-W, Wang T-W, Lai W-S. Akting up in the GABA
hypothesis of schizophrenia: Akt1 deficiency modulates GABAergic functions
and hippocampus-dependent functions. Sci Rep [Internet]. 2016 Sep 12 [cited
2017 Apr 2];6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5018883/
22. Moghaddam B, Javitt D. From Revolution to Evolution: The Glutamate
Hypothesis of Schizophrenia and its Implication for Treatment.
Neuropsychopharmacology. 2012 Jan;37(1):4–15.
66

23. Gogos A, Sbisa AM, Sun J, Gibbons A, Udawela M, Dean B. A Role for
Estrogen in Schizophrenia: Clinical and Preclinical Findings. Int J Endocrinol.
2015 Sep 27;2015:e615356.
24. Babinkostova Z, Stefanovski B, Janikevik Ivanovska D, Samardziska V.
Serum cortisol in patients with schizophrenia: association with
psychopathology and response to antipsychotics. Sylwan J Engl Ed.
2015;59(4):421–34.
25. Santos NC, Costa P, Ruano D, Macedo A, Soares MJ, Valente J, et al.
Revisiting Thyroid Hormones in Schizophrenia. J Thyroid Res [Internet].
2012 [cited 2017 May 27];2012. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3321576/
26. Keliat BA. Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa.
Jakarta : EGC; 1996.
27. Saraceno B, Levav I, Kohn R. The public mental health significance of
research on socio-economic factors in schizophrenia and major depression.
World Psychiatry. 2005 Oct;4(3):181–5.
28. Yosep I. Keperawatan Jiwa. Jakarta : PT. Refika Aditama; 2007.
29. Nantingkaseh. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Proseding
symposium sehari kesehatan jiwa dalam rangka menyambut hari kesehatan
jiwa sedunia. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jakarta; 2007.
30. Schizophrenia [Internet]. http://www.apa.org. [cited 2017 Mar 21]. Available
from: http://www.apa.org/topics/schiz/index.aspx
31. WHO | Schizophrenia [Internet]. WHO. [cited 2017 Mar 28]. Available from:
http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/
32. Pedersen CB, Mortensen PB. Evidence of a dose-response relationship
between urbanicity during upbringing and schizophrenia risk. Arch Gen
Psychiatry. 2001 Nov; 58(11):1039-46.
33. Goforth AN, Pham AV, Carlson JS. Diathesis-stress Model. In: Goldstein S,
Naglieri JA, editors. Encyclopedia of Child Behavior and Development
[Internet]. Springer US; 2011 [cited 2017 Mar 28]. p. 502–3. Available from:
http://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-0-387-79061-9_845
67

34. Cáceda R, Kinkead B, Nemeroff CB. Involvement of Neuropeptide Systems


in Schizophrenia: Human Studies. In: Neurobiology B-IR of, editor. Academic
Press; 2007 [cited 2017 Apr 3]. p. 327–76. (Integrating the Neurobiology of
Schizophrenia; vol. 78). Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S007477420678011
35. Gejman P, Sanders A, Duan J. The Role of Genetics in the Etiology of
Schizophrenia. Psychiatr Clin North Am. 2010 Mar;33(1):35–66.
36. Katona C. At a glance Psikiatri. Jakarta : Erlangga; 2012.
37. Durand VM, Barlow DH. Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar; 2007.
38. American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and Statistical of Mental
Disorder V (DSM V). Fifth Edition. Washington : APA Press; 2013.
39. Mortimer AM. Symptom rating scales and outcome in schizophrenia. Br J
Psychiatry. 2007 Aug 1;191(50):s7–14.
40. Kay SR, Fiszbein A, Opler, LA. The Positive and Negative Syndrome Scale
(PANSS) for schizophrenia. Schizophr. Bull. 1987;13,261-275.
41. Sira I. Karakteristik Skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Alianyang Periode 1
Januari-31 Desember 2009. Pontianak : Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura; 2011.
42. Arisyandi RR. Pengaruh Kunjungan Keluarga Terhadap Skor Positive And
Negative Syndrome Scale(PANSS) Pada Pasien Skizofrenia Yang Dirawat
Inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong. Pontianak : Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura; 2015.
43. Zahnia S. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Majority. 2016;5(4).
44. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook
of Psychiatry. 10th ed. UK : Wolters Kulwer; 2017.
45. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta : EGC;
2014.
46. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology. 14th ed.
USA: John Wiley & Sons, Inc; 2014.
68

47. Yoest KE, Cummings JA, Becker JB. Estradiol, Dopamine and Motivation.
Cent Nerv Syst Agents Med Chem. 14(2):83–9
48. Javed MA. Gender and Schizophrenia. J Pak Med Assoc. 2000 Feb;50(2):63-
8.
49. Ring N, Tatitam D, Motitague L, et al. Gender differences in the incidence of
definite schizophrenia and atypical psychosis-Focus on negative symptoms of
schizophrenia. Acta Psychiatr. Scand 1991 :84 489-96.
50. Castle DJ, Wessely S, Murray RM. Sex and schizophrenia: effects of
diagnostic stringency, and associations with premorbid variables. Br J
Psychiatry. 1993;162:658–64.
51. Hawari D. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Ed ke-2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006.
52. Fahrul, Mukaddas A, Faustine I. Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik pada
Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Jiwa RSD Madani Provinsi
Sulawesi Tengah Periode Januari-April 2014. Online J Nat Sci. 2014
Aug;3(2):18–29.
53. Katherine and Patricia. Psychiatric Mental Health Nursing. 3rd ed. Philadelpia
: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.
54. Vaughn C, Snyder K, et al. Family factor in schizophrenic relapse a
replication. Rehabilitation research and training center in mental illness. J
Issues Nurs. 2005; 8(1).
55. Barlow SK. Mental illness and inherited predisposition. The Australasian
Genetics Resource Book. 2007.
56. Rohrer J. Family History of mental illness and frequent mental distress in
community clinic patients. J Eval Clin Pract. Blackwell Publishing.
2007;13(3):435-9(5).
57. Robinson D. Predictors of relapse following response from first episode of
schizophrenia or schizoaffective disorder. Long Island : Department of
Psychiatry of Hillside Hospital. 2008.
69

58. Dewi R, Marchira CR. Riwayat Gangguan Jiwa pada Keluarga dengan
Kekambuhan Pasien Skizofrenia di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Ber
Kedokt Masy. 2012 Jun 22;25(4):176.
59. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed 12.
Jakarta : EGC; 2013.
60. Keliat BA, Akemat. Keperawatan Jiwa: terapi aktivitas kelompok. Jakarta:
EGC; 2005.
61. Schmitz G, Lepper H, Heidrich M. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta ;
EGC; 2008.
62. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. New York : McGrawHill
Education; 2013.
63. Koch K, Mansi K, Haynes E, Adams CE, Sampson S, Furtado VA.
Trifluoperazine versus placebo for schizophrenia. Cochrane Database Syst
Rev. 2014;(1).
70

Lampiran 1 Surat Permohonan Kaji Etik


71

Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas dan Uji T-Berpasangan


Uji Normalitas
Tabel Hasil Uji Shapiro-Wilk
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Panss Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Hasil awal ,114 35 ,200* ,943 35 ,067
akhir ,150 35 ,045 ,950 35 ,110
*. This is a lower bound of the true significance
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil Uji T Berpasangan


Tabel Hasil Uji T-Berpasangan
Paired Differences
Std. 95% Confidence Sig.
Std. Error Interval of the (2-
Mean Deviation Mean Difference t df tailed)
Pair 1 Panss_A
wal Lower Upper
Panss_Ak
hir 27,200 18,301 3,093 20,913 33,847 8,793 34 ,000

Mean N Std.Deviation Std. Error


Mean
Pair 1 PANSS_Awal 97,77 35 17,833 3,014
PANSS_Akhir 70,75 35 10,656 1,801
72

Lampiran 3 Data Pasien


Inisial Jenis Jumlah Hasil skor Hasil skor Selisih
No. Usia Diagnosis Status Pasien
Pasien Kelamin Kekambuhan PANSS awal PANSS akhir skor
1. TIK 40 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 6x 116 56 60
2. ER 47 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 10x 102 52 50
3. HN 38 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 2x 104 57 47
4. SS 27 L Skizofrenia Kambuhan 4x 154 64 90
5. SA 32 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 16x 96 67 29
6. KN 39 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 5x 131 78 53
7. HE 26 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 2x 113 85 28
8. HU 32 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 26x 103 89 14
9. HN 30 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 21x 108 65 43
10. TSF 48 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 8x 119 94 25
11. AR 60 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 5x 105 90 15
12. IAW 33 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 4x 81 55 26
13. AK 47 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 7x 101 71 30
14. AS 72 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 17x 105 69 36
15. NU 20 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 3x 93 74 19
16. MS 63 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 4x 76 70 6
17. FA 28 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 15x 115 70 45
18. SH 39 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 4x 94 68 26
19. IAR 59 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 6x 82 67 15
20. GN 41 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 2x 97 69 28
21. HR 37 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 7x 75 63 12
73

22. WA 32 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 4x 104 63 41


23. AS 24 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 10x 102 89 13
24. HA 30 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 6x 90 68 22
25. RAK 33 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 5x 93 77 16
26. LDH 40 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 28x 120 83 37
27. IS 51 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 18x 78 64 14
28. SY 34 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 3x 83 76 7
29. AC 23 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 3x 76 59 17
30. RI 37 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 2x 71 65 6
31. MU 44 P Skizofrenia Kambuhan 2x 96 63 33
32. DF 37 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 2x 89 65 24
33. SA 46 L Skizofrenia Paranoid Kambuhan 12x 74 65 9
34. NU 41 P Skizofrenia Paranoid Kambuhan 24x 95 84 11
Skizofrenia Tak Terinci
35. RS 32 L Kambuhan 2x 81 76 5
(undifferentiated)
74

Lampiran 4 Informed Consent

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Bapak/Ibu Yth,
Perkenalkan nama saya Catherine Sugandi, saat ini saya sedang menjalani
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak Semester
Empat. Di sini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan
SkorPositive And Negative Syndrome Scale(PANSS) Awal Dan Akhir
Terhadap Status Kekambuhan Gangguan Pada Pasien Skizofrenia Rawat
Inap Di Rumah Sakit JiwaDaerah Sungai BangkongKota Pontianak”. Tujuan
saya melakukan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan
antara skor PANSS terhadap status kekambuhan pasien skizofrenia yang dirawat
inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Kota Pontianak dimana jika
terdapat pasien skizofrenia yang mengalami kekambuhan dan harus dirawat inap,
maka skor ini berguna untuk memeriksa seberapa parah kekambuhan tersebut.
Disini saya selaku peneliti akan menjamin kerahasiaan data yang diberikan
bapak/ibu dan tidak akan dikenakan biaya. Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela
dan jika bapak/ibu tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian saya, maka tidak
akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter. Bapak/ibu akan tetap
mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur
pelayanan. Bila ada yang ingin ditanyakan mengenai penelitian ini ataupun masih
belum jelas, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada saya.
Akhirnya, saya ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu atas partispasinya
dalam penelitian saya.

Pontianak,
Peneliti

(Catherine Sugandi)
SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN
75

Saya yang bertanda tangan di bawah ini


Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :

Setelah mendapat penjelasan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian


yang berjudul “Perbedaan SkorPositive And Negative Syndrome Scale(PANSS)
Awal Dan Akhir Terhadap Status Kekambuhan Gangguan Pada Pasien
Skizofrenia Rawat Inap Di Rumah Sakit JiwaDaerah Sungai BangkongKota
Pontianak” dan setelah mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan perihal
yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya secara
sukarela dan tanpa paksaan menyatakan saya ikut dalam penelitian tersebut dan
bersedia jika hasil penelitian ini dipublikasikan dengan tetap menjaga kerahasiaan
dan bersedia pula bila hasil penelitian akan dipergunakan dalam penelitian
selanjutnya di kemudian hari.

Pontianak,
Responden penelitian

( )

LEMBAR PENGUMPUL DATA PENELITIAN


76

I. Karakteristik Responden
1. Nama :

2. Jenis kelamin : Pria/Wanita

3. Umur :

4. Pendidikan : SD SLTP SLTA Perguran Tinggi

: Lama Pendidikan : tahun

5. Pekerjaan : Wiraswasta Pegawai Negeri Lain-lain

Pegawai Swasta I Ibu Rumah Tangga


b
6. Status Perkawinan : u

7. Alamat :
77

Lampiran 5 Tabel Skor PANSS Pasien Skizofrenia Kambuhan


Nama Pasien :
Diagnosis :
Usia :
Alamat :
Jenis kelamin : L/P

Skor
Gejala
1 2 3 4 5 6 7
Skala Positif
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Skala Negatif
N1
N2
N3
N4
N5
N6
N7
Skala Psikopatologi Umum
G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
G10
G11
G12
G13
G14
G15
G16
SKOR TOTAL
78

Lampiran 6 POSITIVE AND NEGATIVE SYNDROME SCALE (PANSS)

SKALA POSITIF(P)
P1. Waham
Keyakinan yang tidak mempunyai dasar, tidak realistik, dan aneh (idiosinkratik).
Dasar penilaian - isi pikiran yang diekspresikan dalam wawancara dan
pengaruhnya terhadap relasi dan perilaku.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi
2. Minimal – patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Ada satu atau dua waham yang samar-samar, tidak terkristalisasi, dan
tidak bertahan. Waham tidak mempengaruhi proses pikir, relasi sosial, atau
perilaku.
4. Sedang – Adanya rangkaian waham yang bentuknya kurang jelas dan tidak
stabil atau beberapa waham yang bentuknya jelas, yang kadang-kadng
mempengaruhi proses pikir, relasi sosial, atau perilaku.
5. Agak berat – Adanya beberapa waham yang berbentuk jelas, yang
dipertahankan dan kadang-kadang mempengaruhi proses pikir, relasi sosial,
atau perilaku.
6. Berat – Adanya suatu susunan waham yang stabil, yang terkristalisasi,
mungkin sistematik, dipertahankan, dan jelas mempengaruhi proses pikir,
relasi sosial, atau perilaku.
7. Sangat berat – Adanya suatu susunan waham yang stabil, sangat sistematik,
atau sangat banyak, dan yang mendominasi bidang (facet) utama kehidupan
pasien. Sering kali mengakibatkan tindakan yang tidak serasi dan tidak
bertanggung jawab, yang bahkan membahayakan keamanan pasien atau orang
lain.
P2. Kekacauan Proses Pikir (Conceptual Disorganization)
Kekacauan proses pikir ditandai oleh putusnya tahapan penyampaian maksud,
misalnya sirkumstansial, tangensial, asosiasi longgar, tidak berurutan,
ketidaklogisan yang parah, atau putusnya arus pikir.
Dasar penilaian - Proses pikir kognitif verbal yang dialami selama wawancara.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – proses pikir sirkumstansial, tangensial, atau paralogikal. Adanya
kesulitan dalam mengarahkan pikiran ke tujuan dan kadang-kadang asosiasi
longgar dijumpai di bawah tekanan.
4. Sedang – mampu memusatkan pikiran bila komunikasi singkat dan terstruktur,
tetapi menjadi longgar atau tidak relevan bila menghadapi komunikasi yang
lebih kompleks atau bila di bawa tekanan minimal.
5. Agak berat – Secara umum mengalami kesulitan dalam menata pikiran yang
terbukti dalam bentuk sering tidak relevan, tidak ada hubungan, atau asosiasi
longgar bahkan walaupun tanpa tekanan.
79

6. Berat – proses pikir (thinking) sangat menyimpang dan pada dasarnya


(internally) tidak konsisten, mengakibatkan tidak relevan yang parah dan kacau
proses pikir, yang hampir terjadi terus menerus.
7. Sangat berat – pikiran (thought) sangat kacau sehingga menjadi inkoheren.
Asosiasi longgar yang sangat jelas, yang mengakibatkan kegagalan total dalam
komunikasi, misalnya “word-salad” atau mutisme.
P3. Perilaku Halusinasi
Laporan secara verbal atau perilaku yang menunjukkan persepsi yang tidak
dirangsang oleh stimuli luar. Dapat terjadi halusinasi pendengaran, penglihatan,
penciuman atau somatik.
Dasar penilaian - Laporan verbal dan manifestasi fisik selama wawancara, dan
juga perilaku yang dilaporkan oleh perawat atau keluarga.
1. Tidak ada – definisi tidak dipenuhi.
2. Minimal – patologi diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – satu atau dua halusinasi yang jelas tapi jarang timbul, atau beberapa
abnormalisasi persepsi yang samar-samar lainnya yang tidak mengakibatkan
penyimpangan (distorsi) proses pikir atau perilaku.
4. Sedang – sering ada halusinasi tetapi tidak terus menerus dan proses pikir, serta
perilaku pasien hanya sedikit terpengaruh.
5. Agak berat – Halusinasi sering, dapat meliputi lebih dari satu organ sensoris
dan cenderung menyimpangkan proses pikir dan/atau mengacaukan perilaku.
Pasien dapat memiliki interpretasi bersifat waham atas pengalamannya ini dan
bereaksi terhadapnya secara emosional, serta kadang-kadang secara verbal.
6. Berat – Halusinasi hampir terus-menerus ada, mengakibatkan kekacauan berat
pada proses pikir dan perilaku. Pasien menganggapnya sebagai persepsi nyata
dan fungsinya terganggu oleh seringnya bereaksi secara emosional dan verbal
terhadapnya.
7. Sangat berat – pasien hampir secara total mengalamai preokupasi dengan
halusinasi, yang jelas mendominasi proses pikir dan perilaku. Halusinasi
diikuti oleh interpretasi bersifat waham yang kaku dan memacu timbulnya
respons verbal dan perilaku, termasuk kepatuhan terhadap halusinasi perintah.
P4. Gaduh gelisah (Excitement)
Hiperaktivitas yang ditampilkan dalam bentuk percepatan perilaku motorik,
peningkatan respons terhadap stimuli, waspada berlebihan (hypervigilance) atau
labilitas alam perasaan (mood) yang berlebihan.
Dasar penilaian - Manifestasi perilaku selama wawancara dan juga laporan
perawat atau keluarga tentang perilaku.
1. Tidak ada – definisi tidak dipenuhi
2. Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – cenderung sedikit agitatif, waspada berlebihan, atau sedikir mudah
terangsang (overaroused) selama wawancara, tetapi tanpa episode yang jelas
dari gaduh gelisah atau labilitas alam perasaan yang mencolok. Pembicaraan
mungkin sedikit mendesak.
80

4. Sedang – agitasi atau mudah terangsang yang jelas terbukti selama


wawancara, mempengaruhi pembicaraan dan mobilitas umum atau ledakan-
ledakan episodik yang terjadi secara sporadik.
5. Agak berat – tampak hiperakitivitas yang bermakna, atau sering terjadi
ledakan-ledakan atau aktivitas motorik, yang menyebabkan kesulitan bagi
pasien tetap duduk untuk waktu yang lebih lama dari beberapa menit dalam
setiap kesempatan.
6. Berat – gaduh gelisah yang mencolok mendominasi wawancara, membatasi
perhatian, demikian rupa sehingga mempengaruhi fungsi sehari-hari seperti
makan dan tidur.
7. Sangat berat – gaduh gelisah yang mencolok, secara serius mempengaruhi
kegiatan makan dan tidur, serta jelas tidak memungkinakn interaksi
interpersonal. Percepatan pembicaraan dan aktivitas motorik dapat
menimbulkan inkoherensi dan kelelahan.
P5. Waham kebesaran
Pendapat tentang diri sendiri yang berlebihan dan keyakinan tentang superioritas
yang tidak realistik, termasuk waham tentang kemampuan diri yang luar biasa,
kekayaan, pengetahuan, kemashyuran, kekuasaan, dan kebajikan moral.
Dasar penilaian - isi pikiran yang diekspresikan selama wawancara dan
pengaruhnya terhadap perilaku.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – terdapat luapan-luapan atau kesombongan tetapi tanpa waham
kebesaran yang jelas.
4. Sedang – perasaan superior yang jelas dan tidak realistik terhadap orang lain.
Bisa terdapat waham yang kurang berbentuk tentang kekhususan status diri
atau kemampuan tetapi tidak bertindak sesuai.
5. Agak berat – waham-waham jelas yang diekspresikan, tentang kehebatan
kemampuan, status atau kekuasaan, dan mempengaruhi sikap tetapi tidak
mempengaruhi perilaku.
6. Berat – waham-waham jelas yang diekspresikan, tentang superioritas luar
biasa, meliputi lebih dari satu parameter (kekayaan, pengetahuan,
kemashyuran, dll) khususnya mempengaruhi interaksi, dan mungkin bertindak
sesuai.
7. Sangat berat – proses pikir, interaksi dan perilaku didominasi oleh pelbagai
waham tentang kemampuan diri yang menakjubkan, kekayaan, pengetahuan,
kemashyuran, kekuasaan dan/atau ketinggian moral, yang bisa sampai
berkualitas aneh (bizarre).
P6. Kecurigaan/Kejaran
Ide-ide kejaran yang tidak realistis atau berlebihan, yang tercermin dalam sikap
berjaga-jaga, sikap tidak percaya, kewaspadaan yang berlebihan berdasarkan
kecurigaan atau waham jelas abhwa orang lain berniat mencelakainya.
Dasar penilaian - Isi pikiran yang diekspresikan dalam wawancara dan
pengaruhnya terhadap perilaku.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
81

2. Minimal – patologis diragukan; mungkin suatu ujung ekstrim dari balasan


normal.
3. Ringan – adanya sikap berjaga-jaga atau bahkan sikap tidak percaya yang
diperlihatkan, tetapi pikiran, interaksi, dan perilaku hanya sedikit terganggu.
4. Sedang – terdapat ketidakpercayaan yang jelas dan mengganggu wawancara
dan/atau perilaku, tetapi tidak ada bukti tentang adanya waham-waham
kejaran. Kemungkinan lain, bisa ada petunjuk tentang waham kejaran yang
samar-samar bentuknya, tetapi tampaknya tidak mempengaruhi sikap pasien
atau relasi interpersonal.
5. Agak berat – pasien memperlihatkan ketidakpercayaan yang mencolok,
mengarah pada pemutusan relasi interpersonal, atau jelas ada waham-waham
kejaran yang sedikit berdampak terhadap relasi interpersonal dan perilaku.
6. Berat – waham-waham kejaran yang pervasif yang nyata, yang mungkin
sistematik, dan secara bermakna mempengarui relasi interpersonal.
7. Sangat berat – rangkaian waham-waham kejar yang sistematik mendominasi
proses pikir pasien, relasi sosial, dan perilaku.
P7. Permusuhan
Ekspresi verbal dan nonverbal tentang kemarahan dan kebencian, termasuk
sarkasme, perilaku pasif agresif, caci maki, dan penyerangan.
Dasar penilaian - perilaku interpersonal yang diamati selama wawancara dan
laporan oleh perawat atau keluarga.
1. Tidak ada – definisi tidak dipenuhi
2. Minimal – patologi diragukan ; mungkin suatu ujung ektrim dari batasan
normal.
3. Ringan – melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau ditahan,
seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi bermusuhan, dan kadang-kadang
iritabilitas.
4. Sedang – adanya sikap bermusuhan yang nyata, sering memperhatikan
iritabilitas dan ekspresi kemarahan atau kebencian yang langsung.
5. Agak berat – pasien sangat mudah marah dan kadang-kadang memaki dengan
kata-kata kasar atau mengancam.
6. Berat – tidak kooperatif dan mencaci maki dengan kasar atau mengancam
khususnya mempengaruhi wawancara, berdampak serius terhadap relasi
sosial.
7. Sangat berat – kemarahan yang hebat sangat berakibat tidak kooperatif,
menghalangi interaksi, atau secara episodik melakukan penyerangan fisik
terhadap orang lain.

SKALA NEGATIF (N)


N1. Afek Tumpul
Berkurangnya respons emosional yang ditandai oleh berkurangnya ekspresi
wajah, gelombang (modulation) perasaan dan gerak gerik komunikatif.
Dasar penilaian : Observasi manifestasi fisik suasana afek dan respons emosional
selama wawancara.
1. Tidak ada – Definisi tidak terpenuhi.
82

2. Minimal – Patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan


normal.
3. Ringan - Perubahan ekspresi wajah dan gerak gerik komunikatif tampak
kaku, dipaksakan, dibuat-buat atau kurangnya gelombang.
4. Sedang - Berkurangnya corak ekspresi wajah dan sedikitnya gerak gerik
ekspresif yang tampak dalam penampilan yang tumpul (dull).
5. Agak berat - Afek umumnya datar hanya sekali-kali tampak perubahan
ekspresi wajah dan gerak gerik komunikatif sedikit.
6. Berat - Pendataran dan defisiensi emosi yang mencolok yang tampak hampir
sepanjang waktu. Kemungkinan terdapat pelepasan afek ekstrim yang tidak
bergelombang seperti ‘excitement’, kemarahan atau tertawa yang tidak
terkendali yang tidak serasi.
7. Sangat berat - Jelas tidak terdapar ekspresi perubahan wajah dan adanya
gerak gerik komunikatif. Pasien terus menerus menampakkan ekspresi yang
‘tidak hidup’ atau berwajah ‘kayu’.
N2.Penarikan Emosional (Emotional Withdrawal)
Berkurangnya minat dan keterlibatan, serta curahan perasaan terhadap peristiwa
kehidupan.
Dasar penilaian : Laporan-laporan tentang fungsi dari perawat atau keluarga dan
observasi perilaku interpersonal selama wawancara.
1. Tidak ada - Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal - Patologis diragukan ; mungkin suatu ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan - Biasanya kurang inisiatif dan sekali-kali mungkin menunjukkan
minat yang kurang terhadap peristiwa-peristiwa di sekitarnya.
4. Sedang - Pasien umumnya mengambil jarak secara emosional dengan
lingkungan dan tantangannya, tetapi dengan dorongan masih dapat dilibatkan.
5. Agak berat - Pasien secara nyata memutuskan kontak emosional dari orang
dan peristiwa-peristiwa di lingkungannya, resisten terhadap semua usaha
untuk melibatkannya, pasien tampak mengambil jarak, patuh dan tanpa tujuan
tetapi dapat dilibatkan dalam komunikasi, setidaknya secara singkat dan
cenderung untuk kebutuhan pribadi, kadang-kadang dengan bantuan.
6. Berat - Berkurangnya minat dan keterlibatan emosional yang mencolok yang
mengakibatkan terbatasnya percakapan dengan orang lain dan sering
mengabaikan perawatan diri, sehingga pasien memerlukan supervisi.
7. Sangat berat - Pasien hampir secara keseluruhan menarik diri, tidak
komunikatif dan mengabaikan kebutuhan pribadi sebagai akibat dari sangat
berkurangnya minat dan keterlibatan emosional.
N3. Kemiskinan Rapport
Berkurangnya empati interpersonal, kurangnya keterbukaan dalam percakapan
dan rasa keakraban, minat, atau keterlibatan dengan pewawancara. Ini ditandai
oleh adanya jarak interpersonal dan berkurangnya komunikasi verbal dan
nonverbal.
Dasar penilaian : Perilaku interpersonal selama wawancara.
1. Tidak ada - Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal - Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
83

3. Ringan - Percakapan ditandai dengan kekakuan, ketegangan atau nada yang


dibuat-buat, mungkin kurangnya kedalaman emosional atau kecendrungan
untuk tetap pada taraf interpersonal dan intelektual.
4. Sedang - Secara khas pasien tampak bersikap menjauhkan diri, serta
mengambil jarak interpersonal yang cukup jelas. Pasien mungkin menjawab
pertanyaan secara mekanis, bertingkah bosan, atau menunjukkan tidak
berminat.
5. Agak berat - Keterlibatan nyata dan jelas menghambat produktivitas
wawancara. Pasien mungkin cenderung menghindari kontak mata atau tatap
mata.
6. Berat - Pasien sangat tidak peduli disertai adanya jarak interpersonal yang
mencolok. Jawaban-jawabannya asal saja dan sedikit bukti keterlibatan
nonverbal. Kontak mata dan tatap muka sering dihindari.
7. Sangat berat – Pasien secara total tidak terlibat dengan pewawancara. Pasien
tampak sepenuhnya tidak peduli serta terus-menerus menghindari interaksi
verbal dan nonverbal selama wawancara.
N4. Penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/apatis
Berkurangnya minat dan inisiatif dalam interaksi sosial, yang disebabkan oleh
pasivitas, apatis, anergi atau tidak ada dorongan kehendak. Hal ini mengarah pada
berkrangnya keterlibatan interpersonal dan mengabaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari.
Dasar penilaian : Laporan perilaku sosial dari perawat atau keluarga.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Sekali-kali menunjukkan minat dalam aktivitas sosial, tetapi inisiatif
sangat kurang. Biasanya keterlibatan dengan orang lain hanya bila ‘didekati’
oleh orang lain tersebut.
4. Sedang : Secara pasif ikut dalam sebagia besar aktivitas sosial tetapi dengan
cara ogah-ogahan (disinterested) atau secara mekanis. Cenderung untuk ada
di baris belakang.
5. Agak berat : Secara pasif berpartisipasi dalam hanya sedikit aktivitas sosial
dan menunjukkan jelas tidak ada minat atau inisiatif. Umumnya menyendiri.
6. Berat : Cenderung menjadi apatis dan terisolasi, sangat jarang berpartisipasi
dalam aktivitas sosial dan sekali-sekali mengabaikan kebutuhan pribadi.
Kontak sosial yang spontan sangat sedikit.
7. Sangat berat : Sangat apatis, terisolasi secara sosial dan sangat mengandalkan
perawatan diri.
N5. Kesulitan dalam pemikiran abstrak
Hendaya dalam penggunaan cara berpikir abstrak atau simbolik, yang dibuktikan
dalam kesulitan mengklarifikasikan, membentuk generalisasi dan berpikir secara
konkrit atau egosentrik dalam memecahkan masalah.
Dasar penilaian : Respons terhadap pertanyaan mengenai interpretasi persamaan
dan pribahasa, dan penggunaan cara berpikir konkrit vs abstrak selama
wawancara.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
84

3. Ringan : Cenderung menginterpretasikan secara harafiah atau semaunya


sendiri tentang pribahasa yang lebih sulit atau mungkin mendapat kesulitan
dengan konsep yang agak abstrak atau yang mirip.
4. Sedang : Sering menggunakan cara berpikir konkrit. Sulit mengartikan
sebagian besar pribahasa dan beberapa pengelompokan. Cenderung dialihkan
oleh aspek fungsional dan gambaran yang mencolok.
5. Agak berat : Berpikir terutama dengan cara konkrit, memperlihatkan
kesulitan dan sebagian besar pribahasa dan banyak pengelompokan.
6. Berat : Tidak mampu mengartikan pribahasa atau ekspresi figuratif apa pun
dan hanya dapat mengelompokkan persamaan yang sanagt sederhana. Proses
pikir terpusat atau terpaku pada aspek fungsional, gambaran yang mencolok
dan interpretasi yang idiosinkratik.
7. Sangat berat : Hanya dapat berpikir konkrit. Tidak ada pemahaman pribahasa.
Persamaan- persamaan atau kisaran-kisaran yang umum, dan pengelompokan
sederhana. Bahkan tanda-tanda yang mencolok dan fungsional pun tidak
dapat dijadikan dasar untuk klarifisikasi. Penilaian ini dapat diterapkan untuk
mereka yang tidak dapat berinteraksi sedikitpun dengan pemeriksa, karena
hendanya kognitif sangat mencolok.
N6. Kurangnya spontanitas dan arus percakapan
Berkurangnya arus normal percakapan yang disertai dengan apatis, avolisi (tidak
ada dorongan kehendak), defensif atau defisit kognitif. Ini dimanifestasikan oleh
berkurangnya kelancaran dan produktivitas dalam proses interaksi verbal.
Dasar penilaian : Proses kognitif verbal yang dapat diobservasi selama
wawancara.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Menunjukkan sedikit inisiatif dalam percakapan. Jawaban pasien
cenderung singkat dan tanpa tambahan, membutuhkan pertanyaan langsung
dan pengarahan dari wawancara.
4. Sedang : Arus percakapan kurang bebas dan tidak lancar atau terhenti-henti.
Pertanyaan terarah sering dibutuhkan untuk mendapatkan respons yang
adekuat untuk melanjutkan percakapan.
5. Agak berat : Pasien menunjukkan kurangnya spontanitasdan keterbukaan
yang mencolok, menjawab pertanyaan pewawancara dengan hanya 1 atau 2
kalimat singkat.
6. Berat : Respons pasien hanya terbatas terutama pada beberapa kata atau
kalimat pendek untuk menghindari atau mempersingkat komunikasi
(misalnya “saya tidak tahu”, “saya sedang tidak bebas berbicara”). Akibatnya
terdapat hendanya berat dalam percakapan, dan wawancara sangat tidak
produktif.
7. Sangat berat : Kata-kaat yang diungkapkan sangat terbatas, sekali-sekali ada
ungkapan tetapi percakapan tidak mungkin terjadi.
N7. Pemikiran stereotipik
Berkurangnya kelancaran, spontanitas dan flesibilitas proses pikir yang terbukti
dari kekakuan, pengulangan atau isi pikir yang miskin.
Dasar penilaian : Proses kognitif verbal yang diobservasi selama wawancara.
85

1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.


2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Adanya kekakuan yang ditunjukan dalam sikap dan keyakinan.
Pasien mungkin menolak untuk mempertimbangkan alternatif atau sulit untuk
mengalihkan ke topik baru.
4. Sedang : Percakapan berkisar tema yang itu-itu saja, yang berakibat kesulitan
untuk mengalihkan ke topik baru.
5. Agak berat : Proses pikir kaku dan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga
walaupun pewawancara berusaha, percakapan hanya terbatas pada 2 atau 3
topik yang mendominasi.
6. Berat : Pengulangan yang tidak terkendali tentang tuntunan-tuntunan,
pernyataan-pernyataan, ide-ide atau pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mengganggu percakapan.
7. Sangat berat : Proses pikir, perilaku dan percakapan didominasi oleh
pengulangan yang terus-menerus dari ide yang terpaku atau kalimat-kalimat
pendek yang itu-itu saja sehingga komunikasi pasien menjadi sangat kaku,
tidak serasi dan terbatas.

SKALA PSIKOPATOLOGI UMUM (G)


G1. Kekhawatiran somatik
Keluhan-keluhan fisik atau keyakinan tentang penyakit atau malfungsi tubuh. Ini
mungkin berkisar dari rasa yang samar tentang perasaan tidak sehat sampai pada
waham yang jelas tentang penyakit fisik yang parah.
Dasar penilaian : Isi pikiran yang diekspresikan dalam wawancara.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Kekhawatiran yang nyata mengenai kesehatan atau hal ikhwal
somatik, sebagaimana dibuktikan ooleh pernyataan-pernyataan yang sekali-
kali timbul atau keingina kuat untuk mendapatkan penentraman.
4. Sedang : Keluhan mengenai kesehatan yang buruk atau malfungsi tubuh,
tetapi tidak ada keyakinan yang bersifat waham, dan kekhawatiran yang
berlebihan dapat diredakan dengan penentraman.
5. Agak berat : Pasien mengekspresikan berbagai keluhan atau sering mengeluh
mengenai penyakit fisik atau malfungsi tubuh, atau pasien mengungkapkan
satu atau dua waham jelas yang mengandung tema-tema ini tetapi tidak
dipreokupasi olehnya.
6. Berat : Pasien berperokupasi dengan satu atau beberapa waham yang jelas
tentang penyakit fisik atau malfungsi organik, tetapi afek tidak tenggelam
sepenuhnya dalam tema-tema ini, dan pikiran dapat teralihkan oleh
pewawancara dengan usaha.
7. Sangat berat : Waham somatik yang dilaporkan banyak dan sering atau hanya
beberapa waham somatik yang parah, yang sepenuhnya mendominasi afek
dan pikiran pasien.
86

G2. Ansietas
Pengalaman subyektif tentang kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan
(apprehension), atau ketidaktenangan, yang berkisar dari kekhawatiran yang
berlebih tentang masa kini atau masa depan sampai perasaan fisik.
Dasar penilaian : Laporan lisan selama wawancara dan manifestasi fisik yang
terkait.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Mengekspresikan kecemasan, kekhawatiran yang berlebihan atau
ketidaktenangan yang bersifat subyektif, tetapi tidak ada konsekuensi somatik
dan perilaku yang dilaporkan atau terbukti.
4. Sedang : Pasien melaporkan gejala yang jelas tentang kegelisahan, yang
tercermin dari manifestasi fisik ringan seperti tremor tangan yang halus dan
keringat yang berlebihan.
5. Agak berat : Pasien melaporkan problem serius tentang ansietas yang
mempunyai konsekuensi fisik dan perilaku yang bermakna, seperti
ketegangan yang mencolok, konsentrasi buruk, palpitasi atau tidur yang
terganggu.
6. Berat : Penyataan subyektif akan ketakutan yang hampir terus-menerus yang
disertai fobia, kegelisahan yang mencolok, atau pelbagai manifestasi somatik.
7. Sangat berat : Kehidupan pasien terganggu berat oleh ansietas, yang terjadi
hampir terus-menerus dan sewaktu-waktu mencapai derajt panik atau
dimanifestasikan dalam serangan panik yang sebenarnya.
G3. Rasa bersalah
Rasa penyesalan yang mendalam atau menyalahkan diri sendiri terhadap
perbuatan salah atau bayangan kelakuan buruk pada masa lampau.
Dasar penilaian : Laporan lisan mengenai perasaan bersalah selama wawancara
dan pengaruhnya terhadap sikap dan pikiran.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Pertanyaan-pertanyaan, mengungkapkan rasa bersalah yang samar
atau menyalahkan diri sendiri untuk kejadian sepele, tetapi pasien tidak
tampak terlalu khawatir.
4. Sedang : Pasien sedang mengekspresikan rasa khawatir yang jelas atas
tanggungjawabnya untuk suatu kejadian nyata dalam kehidupannya tetapi
tidak berpreokupasi dengan hal tersebut, dan sikap serta perilakunya sama
sekali tidak terpengaruh.
5. Agak berat : Pasien mengekspresikan rasa bersalah yang kuat yang disertai
dengan mencela diri atau keyakinan bahwa dirinya patut dihukum. Perasaan
bersalah tersebut mungkin mempunyai dasar waham, mungkin diungkapkan
secara spontan, mungkin merupakan sumber dari preokupasi dan atau alam
perasaan depresi, dan tidak dapat diredakan dengan mudah oleh
pewawancara.
6. Berat : Ide bersalah kuat yang mempunyai waham dan mengarah pada sikap
putus asa atau rasa tidak berharga. Pasien yakin bahwa ia seharusnya
87

mendapat hukuman yang berat ntuk perbuatan salahnya dan bahkan


mengganggap situasi kehidupannya sekarang sebagai hukuman.
7. Sangat berat : Kehidupan pasien didominasi oleh waham rasa bersalah yang
tidak tergoyahkan, untuk mana ia merasa patut mendapat hukuman yang
drastis, seperti hukuman penjara seumur hidup, penyiksaan atau kematian.
Mungkin disertai oleh pikiran-pikiran untuk bunuh diri atau yang
berhubungan dengan itu, atau persoalan-persoalan yang terkait dengan
kesalahnnya di masa lampau.
G4. Ketegangan
Manifestasi fisik yang jelas tentang ketakutan, ansietas, dan agitasi, seperti
kekakuan, tremor, keringat yang berlebihan, dan ketidaktenangan.
Dasar penilaian : Laporan lisan membuktikan adanya ansietas dan karenanya
derajat keparahan manifestasi fisik ketegangandapat dilihat selama wawancara.
1. Tidak ada : Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal : Patologi diragukan ; mungkin ujung ekstrim dari batasan normal.
3. Ringan : Postur dan gerakan-gerakan menunjukkan kekhawatiran ringan
seperti rigiditas yang ringan, ketidaktenangan yang seklai-kali, perubahan
posisi, atau tremor tangan halus dan cepat.
4. Sedang : Suatu penampilan yang nyata-nyata gelisah yang terbukti dari
adanya pelbagai manifestasi, seperti perilaku tidak tenang, tremor tangan
yang nyata, keringat berlebihan, atau manerisme karena gugup.
5. Agak berat : Ketegangan yang berat yang dibuktikan oleh pelbagai
manifestasi seperti gemetar karena gugup, keringat sangat berlebihan dan
ketidaktenangan, tetapi perilaku selama wawancara tidak terpengaruh secara
bermakna.
6. Berat – Ketegangan berat sedemikian rupa sehingga taraf interaksi
interpersonal terganggu. Misalnya, pasien terus-menerus bergerak seperti
cacing kepanasan, tidak dapat tetap duduk untuk waktu lama, atau
menunjukkan hiperventilasi.
7. Sangat berat – Ketegangan sangat mencolok yang dimanifestasikan oleh
tanda-tanda panik atau percepatan gerakan motorik kasar, seperti langkah
cepat yang gelisah dan ketidakmampuan tetap duduk untuk waktu lebih lama
dari semenit, yang menyebabkan percakapan tidak mungkin diteruskan.
G5. Mannerisme dan sikap tubuh
Gerakan atau sikap tubuh yang tidak wajar seperti yang ditandai oleh kejanggalan,
kaku, disorganisasi, atau penampilan yang aneh.
Dasar penilaian : Observasi tentang manifestasi fisik selama wawancara dan juga
laporan dari perawat atau keluarga.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Kejanggalan ringan dalam pergerakan atau kekakuan sikap tubuh
yang ringan.
4. Sedang – Gerakan yang janggan yang khusus atau terputus-putus, atau sikap
tubuh tidak wajar yang dipertahankan untuk suatu periode yang singkat.
88

5. Agak berat – Sekali-kali tampak ritual aneh, atau sikap tubuh yang berubah-
ubah, atau suatu posisi abnormal yang dipertahankan terus-menerus untuk
waktu yang agak lama.
6. Berat – Sering tampak pengulangan ritual aneh, manerisme, atau gerakan-
gerakan stereotipik, atau sikap tubuh yang berubah-ubah yang dipertahankan
terus-menerus untuk waktu yang agak lama.
7. Sangat berat – Fungsi terganggu berat oleh keterlibatan terus-menerus yang
jelas dalam ritual. Manerisme, atau gerakan-gerakan stereotipik atau suatu
sikap tubuh tertentu yang tidak wajar yang dipertahankan terus-menerus
dalam sebagian besar waktu.
G6. Depresi
Perasaan sedih, putus asa, rasa tidak berdaya, dan pasifisme.
Dasar penilaian : Laporan lisan tentang perasaan depresiselama wawancara dan
yang teramati pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Mengekspresikan keedihan atau putus asa hanya bila ditanyak tetapi
tidak terdapat bukti deskirpsi dalam sikap keseluruhan dengan cara bertindak.
4. Sedang – Perasaan sedih atau tidak ada harapan yang jelas, yang mungkin
secara spontan diutarakan, tetapi alam perasaan depresi tidak berdampak
besar terhadap perilaku atau fungsi sosial, dan pasien biasanya masih dapat
dibuat ceria.
5. Agak berat – Alam perasaan depresi yang jelas disertai oleh kesedihan yang
nyata, pasifisme, kehilangan minat sosial, retardasi psikomotor, sedikit
pengaruhnya terhadap nafsu makan dan tidur. Pasien tidak mudah dibuat
tertawa.
6. Berat – Alam perasaan depresi yang mencolok disertai dengan perasaan duka
nestapa terus-menerus, kadang-kadang menangis, tidak ada harapan, dan rasa
tidak berharga. Sebagai tambahan terdapat pengaruh yang besar terhadap
nafsu makan dan atau tidur juga dalam fungsi motorik normla dan sosial,
dengan kemungkinan tanda-tanda mengabaikan diri sendiri.
7. Sangat berat – Perasaan depresi yang sangat mengganggu sebagian besar
fungsi utama. Manifestasinya termasuk sering menangis, keluhan-keluhan
somatik yang jelas, gangguan konsentrasi, retardasi psikomotor, tidak ada
minat sosial, mengabaikan diri sendiri, kemungkinan waham depresi atau
nihilistik. Dan atau kemudian pikiran atau tindakan bunuh diri.
G7. Retardasi motorik
Penurunan aktivitas motorik seperti tampak dalam perlambatan atau kurangnya
gerakan dan pembicaraan, penurunan respons terhadap stimuli dan pengurangan
tonus tubuh.
Dasar penilaian : Manifestasi selama wawancara dan juga laporan perawat dan
keluarga.
1. Tidak ada – Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan-
batasan normal.
89

3. Ringan – Pengurangan gerakan dan pembicaraan yang ringan namun nampak.


Pasien mungkin kurang produktif dalam percakpan dan gerak-gerik.
4. Sedang – Pasien jelas lambat dalam gerakan, pembicaraan mungkin ditandai
oleh kurang produktif, termasuk respons yang lambat, berhenti yang lama,
atau lambatnya arus pembicaraan.
5. Agak berat – Pengurangan aktivitas motorik mencolok, mengakibatkan
komunikasi sangat tidak produktif atau membatasi fungsi dalam suatu sosial
dan pekerjaan. Pasien biasanya dapat dijumpai sedang duduk atau berbaring.
6. Berat – Gerakan-gerakan sangat lambat berakibat aktivitas dan pembicaraan
yang minim. Pokoknya, hari dihabiskan dengan duduk bermalas-malasan atau
tiduran.
7. Sangat berat – Pasien hampir tidak dapat bergerak sama sekali dan benar-
benar tidak bereaksi terhadap stimuli dari luar.
G8. Ketidakkooperatifan
Aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna termasuk
pewawancara, staf rumah sakit, atau keluarga, yang mungkin disertai dengan rasa
tidak percaya, defensif, keras kepala, negativistik, penolakan terhadap otoritas,
selama wawancara, dan juga dilaporkan oleh perawat atau keluarga.
1. Tidak ada – Definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan-
batasan normal.
3. Ringan – Patuh tetapi disertai sikap marah, tidak sabar, atau sarkasme.
Mungkin ada penolakan yang tidak mengganggu, terhadap penyelidikan yang
sensitif selama wawancara.
4. Sedang – Kadang-kadang terdapat penolakan langsung untuk patuh terhadap
tuntunan-tuntunan sosial yang normal seperti merapikan tempat tidur,
mengikuti acara yang telah dijadwalkan. Pasien mungkin memproyeksikan
hostilitas, defensif, atau bersikap negatif, tetapi biasanya masih dapat diatasi.
5. Agak berat – Pasien seringkali tidak patuh terhadap lingkungannya dan
mungkin dijuluki orang sebagai ‘orang buangan’ atau ‘orang yang
mempunyai problem sikap yang serius’. Ketidakkooperatifan tercermin dalam
jelas-jelas defensif, atau iritabilitas terhadap pewawancara dan mungkin tidak
bersedia menghadapi banyak pertanyaan.
6. Berat – Pasien sangat tidak kooperatif, negativistik,
7. Sangat berat – Resitensi yang jelas berdampak serius terhadap benar-benar
seluruh bidang fungsi utama. Pasien mungkin menolak untuk ikut dalam
aktivtas sosial apapun, mengurus kebersihan diri, bercakap-cakap dengan
keluarga atau staf, dan bahkan untuk berpartisipasi dalam wawancara singkat
sekali pun.
G9. Isi pikiran yang tidak biasa
Proses pikir ditandai oleh ide-ide yang asing, fantastik, atau aneh, berkisar dari
yang ringan atau atipikal sampai distorsi, tidak logis dan sangat tidak masuk akal.
Dasar penilaian : Isi pikiran yang diekspresikan selama wawancara.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
90

3. Ringan – Isi pikiran ganjil atau idiosinkratik; atau ide yang lazim dalam
konteks yang aneh.
4. Sedang - Ide- ide seringkali mengalami distorsi dan sekali-kali cukup bizar.
5. Agak berat – Pasien banyak mengekspresikan pikiran-pikiran asing dan
fantastik (misalnya menjadi anak angkat raja , orang berhasl lolos dari
kematian) atau beberapa pikiran yang sangat tidak masuk akal (mempunyai
ratusan anak, menerima pesan radio dari angkasa luar melalui sebuah
tambalan gigi).
6. Berat – Pasien mengekspresikan banyak ide yang tidak logis atau tidak masuk
akal atau beberapa ide yang jelas berkualitas aneh (misalnya mempunyai 3
kepala, menjadi seorang pengunjung dari planet lain).
7. Sangat berat – Prose pikir dipenuhi ide-ide yang tidak masuk akal (absurd),
dan aneh sekali.
G10. Disorientasi
Kurang menyadari (awareness) hubungan seseorang dengan lingkungan, termasuk
orang, tempat, waktu, yang mungkin disebabkan oleh kekacauan atau penarikan
diri.
Dasar penilaian : Respons terhadap pertanyaan tentang orientasi.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Orientasi umum adekuat, tetapi ada kesulitan tentang hal-hal yang
spesifik. Sebagai contoh, pasien mengetahui lokasinya tetapi tidak
mengetahui alamatnya; mengetahui nama-nama staf rumah sakit tetapi tidak
mengetahui alamatnya; mengetahui bulan tetapi kacau tentang hari-hari
dalam minggu dan urutan hari, atau salah tanggal yang lebih dari 2 hari.
Mungkin ada penyempitan miat terbukt dari hanya mengenal lingkungan
secara sempit tetapi tidak mengenal lingkungan yang lebih luas, misalnya
kemampuan untuk mengenal staf tetapi tidak tahu nama walikota, gubernur,
atau presiden.
4. Sedang – Hanya mengenal sebagian orang, tempat, dan waktu. Contohnya
pasien mengetahui dia ada di rumah sakit tetapi tidak tahu nama rumah
sakitnya, tahu nama kota tetapi tidak tahu wilayahnya atau provinsinya; tahu
nama terapis uama tetapi banyak tidak tahu perawat-perawat langsung
lainnya; tahu tahun dan musim, tetapi tidak yakin tentang nama-nama bulan.
5. Agak berat – Jelas terdapat kegagalan dalam mengenal orang, tempat, dan
waktu. Pasien hanya mempunyai ide yang samar dimana ia ada dan
nampaknya tidak kenal dengan sebagian besar orang di lingkungannya. Ia
mungkin menganal tahun dengan benar atau hampir benar, tetapi tidak tahu
bulan yang sekarang, hari dalam minggu atau bahkan musim.
6. Berat – Kegagalan yang mencolok dalam mengenal orang, tempat, dan waktu.
Contoh, pasien tidak tahu dimana ia ada, kacau menyebut tanggal yang lebih
dari 1 tahun, hanya dapat menyebutkan satu atau dua orang dalam
kehidupannya yang sekarang.
7. Sangat berat – Pasien tampak mengalami disorietansi menyeluruh tentang
orang, tempat, dan waktu. Sangat kacau atau tidak mengenal sama sekali
91

tentang lokasi, tahun sekarang, dan bahkan orang yang sangat dekat seperti
orang tua, suami/istri, teman, dan terapis utamanya.
G11. Perhatian buruk
Gagal dalam memusatkan perhatian yang ditandai oleh konsentrasi yang buruk,
perhatian mudah teralih oleh stimuli eksternal dan internal dan kesulitan dalam
mengendalikan, mempertahankan, atau mengalihkan (shifting) fokus pada stimuli
baru.
Dasar penilaian : Manifestasi-manifestasi selama wawancara.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Konsentrasi terbatas yang dibuktikan dengan sekali-sekali peka
terhadap gangguan atau perhatian goyah menjelang akhir wawancara.
4. Sedang – Percakapan dipengaruhi oleh kecenderungan untuk mudah teralih,
kesulitan dalam mempertahankan konsentrasi yang lama atas topik tertentu
atau ada masalah dalam mengalihkan perhatian ke topik yang baru.
5. Agak berat – Percakapan sangat terganggu oleh konsentrasi yang buruk,
mudah teralih, dan kesulitan dalam mengalihkan perhatian ke topik yang
baru.
6. Berat – Pasien hanya dapat dikendalikan untuk waktu yang singkat atau
dengan usaha yang keras, disebabkan oleh sangat mudahnya terganggu
stimuli internal atau eksternal.
7. Sangat berat – Perhatian sangat terganggu bahkan percakapan yang singkat
pun tidak mungkin.
G12. Kurangnya daya nilah dan tilikan
Hendaya kesadaran (awareness) atau pemahaman atas kondisi psikiatri dan situasi
kehidupan dirinya. Dibuktikan oleh kegagalan untuk mengenali penyakit atau
gejala-gejala psikiatrik yang lalu atau sekarang, menolak perlu adanya perawatan
atau pengobatan psikiatrik, keputusan ditandai oleh buruknya antisipasi terhadap
konsekuensi, serta rencana jangka pendek dan jangka panjang yang tidak
realiastik.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Mengetahui gangguan psikiatrik tetapi dengan jelas meremehkan
keseriusannya, maksud pengobatan, atau pentingnya memperkirakan gejala
untuk mencegah kekambuhan, perencanaan masa depan mungkin dengan
buruk.
4. Sedang – Pasien hanya menunjukkan pengenalan yang samar-samar atau
dangkal tentang penyakitnya. Mungkin ada fluktuasi dalam pengertian bahwa
ia sakit atau sedikit menyadari adanya gejala utama seperti waham, proses
pikir yang kacau, kecurigaan dan penarikan diri dari lingkungan sosial. Pasien
mungkin merasionalisasikan kebutuhan akan pengobatan dalam bentuk untuk
meredakan gejala-gejala yang lebih ringan seperti ansietas, ketegangan dan
kesulitan tidur.
92

5. Agak berat – Mengakui gangguan psikiatri yang lampau tetapi meyangkal


seperti sekarang. Bila ditantang pasien mungkin mengakui adanya beberapa
gejala yang tidak ada hubungannya atau tida bermakna, yang cenderung
untuk diterangkannya dengan misinterpretasi yang parah atau yang bercorak
waham. Kebutuhan akan pengobatan psikiatri juag tidak diketahuinya.
6. Berat – Pasien menyangkal telah mengalami gangguan psikiatrik. Ia
mengingkari adanya gejala psikiatrik apapun di masa lampau atau
sekarangdan meskipun patuh, sebenarnya menyangkal perlunya pengobatan
dan perawatan.
7. Sangat berat – Tegas-tegas menyangkal adanya gejala psikiatrik di masa
lampau dan sekarang. Perawatan dan pengobatan saat ini diberi interpretasi
bersifat waham ( contoh sebagai hukuman untuk perbuatan salah, penyiksaan
oleh algojo, dsb), dan dengan demikian mungkin pasien menolak bekerja
sama dengan terapis, menolak obat atau aspek pengobatan yang lain.
G13. Gangguan dorongan kehendak
Gangguan dalam dorongan kehendak, makan dan minum, dan pengendalian
pikiran, perilaku, gerakan-gerakan, serta pembicaraan.
Dasar penilaian : Isi pikiran dan perilaku yang dimanifestasikan selama
wawancara.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Terdapat bukti keragu-raguan dalam percakapan dan berfikir yang
mungkin secara ringan menghambat verbalisasi dan proses kognitif.
4. Sedang – Pasien seringkali ambivalen dan menunjukkan kesulitan yang nyata
dalam mengambil keputusan. Percakapan mungkin terganggu oleh perubahan
dalam berfikir dan konsekuensinya verbalisasi serta fungsi kognitif
terganggu.
5. Agak berat – Gangguan dorongan kehendak mempengaruhi proses pikir dan
juga perilaku. Pasien menunjukkan keraguan jelas yang mengganggu untuk
memulai serta menunjukkan aktivitas motorik dan sosial, dan yang jga
dibuktikan oleh pembicaraan yang terhenti-henti.
6. Berat – Gangguan dorongan kehendak mempengaruhi pelaksanaan fungsi
motoik otomatis yang sederhana seperti berpakaian dan berhias, dan secara
mencolok mempengaruhi pembicaraan.
7. Sangat berat – Kegagalan kehendak yang hampir menyeluruh yang
dimanifestasikan dalam inhibisi nyata pada gerakan dan pembicaraan, yang
mengakibatkan imobilitas dan/atau mutisme.
G14. Pengendalian impuls yang buruk
Gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan pelepasan
ketegangan dan emosi yang tiba-tiba, tidak teratur, sewenang-wenang, atau tidak
terarah tanpa melakukan konsekuensinya.
Dasar penilaian : perilaku selama wawacara dan yang dilaporkan oleh perawat
atau keluarganya.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
93

2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan


normal.
3. Ringan – Pasien cenderung mudah marah dan frustasi bila menghadapi stres
atau pemuasannya ditolak tetapi jarang bertindak impulsif.
4. Sedang – Dengan provokasi yang minimal pasien menjadi marah dan
mencaci maki. Mungkin sekali-kali mengancam, merusak atau terdapat satu
atau dua episode yang melibatkan konfrontasi fisik atau perselisihan ringan.
5. Agak berat – Pasien memperlihatkan episode impulsif yang berulang-ulang,
termasuk mencaci maki, pengrusakan harta-benda atau ancaman fisik.
Mungkin ada satu atau dua episode yang melibatkan serangan serius,
sehingga pasien perlu diisolasi, difiksasi, dan bila perlu disedasi.
6. Berat – Pasien sering agresif secara impulsif, mengancam, menuntut, dan
merusak, tanpa pertimbangan yang nyata tentang konsekuensinya.
Menunjukkan perilaku menyerang dan mungkin juga serangan seksual, dan
mungkin berperilaku yang merupakan respons terhadap perintah-perintah
yang bersifat halusinasi.
7. Sangat berat – Pasien memperlihatkan serngan yang dapat membunuh orang,
penyerangan seksual, kebrutalan yang berulang, atau perilaku merusak diri
sendiri. Membutuhkan pengawasan langsung yang terus menerus atau fiksasi
karena ketidakmampuan mengendalikan impuls yang berbahaya.
G15. Preokupasi
Terpaku pada pikiran dan perasaan yang timbul dari dalam diri dan sertai
pengalaman autistik sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan orientasi realita
dan perilaku adaptif.
Dasar penilaian : Perilaku interpersonal yang tampak selama wawancara.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Keterlibatan yang berlebihan dalam kebutuhan-kebutuhan atau
masalah-masalah pribadi, seperti percakapan yang selalu kembali ke tema-
tema egosentris dan ada pengurangan kepedulian yang diperlihatkan kepada
orang-orang lain.
4. Sedang – Pasien sekali-sekali terlihat terpaku sendiri seolah-olah melamun
atau sedang terlibat dalam pengalaman internal yang sedikit mempengaruhi
komunikasi.
5. Agak berat – Pasien sering terlihat terikat dalam pengalaman autistik seperti
yang dibuktikan oleh pelaku yang secara bermakna mengganggu fungsi sosial
dan komunikasi, seperti terdapatnya pandangan kosong, menggumam, atau
berbicara sendiri atau adanya pola-pola gerakan sterotipik.
6. Berat – Preokupasi yang mencolok dengan pengalaman autistik, yang secara
serius membatasi konsentrasi, kemampuan untuk bercakap-cakap dan orentasi
lingkungan. Pasien mungkin sering tampak tersenyum, tertawa, menggumam,
berbicara, atau berteriak sendiri.
7. Sangat berat – Keterpakuan yang parah dengan pengalaman autistik, yang
sangat mempengaruhi seluruh bidang utama perilaku pasien. Pasien mungkin
terus-menerus berepons secara verbal dan perilaku terhadap halusinasi dan
94

menunjukkan sedikit kesadaran (awareness) terhadap orang lain atau


lingkungan eksternal.
G16. Penghindaran sosial secara aktif
Penurunan keterlibatan sosial yang disertai adanya ketakutan yang tidak
beralasan, permusuhan, atau ketidakpercayaan.
Dasar penilaian : Laporan fungsi sosial oleh perawat atau keluarga.
1. Tidak ada – definisi tidak terpenuhi.
2. Minimal – Patologi meragukan; mungkin pada ujung ekstrim dari batasan
normal.
3. Ringan – Pasien tidak enak dengan kehadiran orang lain dan lebih suka
menghabiskan waktu sendirian, meskipun dia masih mengambil bagian dalam
fungsi sosial bila diperlukan.
4. Sedang – Pasien dengan malas mengikuti semua atau sebagian besar aktivitas
sosial tetapi mungkin perlu dibujuk atau mungkin mengakhiri lebih awal
sehubungan dengan ansietas, kecurigaan, atau permusuhan.
5. Agak berat – Pasien dengan ketakutan atau marah, menjauhi banyak interaksi
sosial walaupun orang-orang lain berusaha melibatkan dia. Cenderung
menghabiskan waktu sia-sia sendirian.
6. Berat – Pasien mengambil bagian dalam sangat sedikit aktivitas sosial karena
rasa takut, permusuhan, atau tidak percaya. Bila didekati, pasien
menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk meutuskan interaksi, dan
umumnya ia cenderung mengisolasi diri dari orang lain.
7. Sangat berat – Pasien tidak dapat dilibatkan dalam aktivitas sosial karena
adanya ketakutan yang hebat, dan rasa permusuhan atau adanya waham
kejaran. Bila mungkin, ia menghindari semua interaksi dan tinggal terisolasi
dari orang lain.

Anda mungkin juga menyukai