Anda di halaman 1dari 30

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Hipertensi arteri pulmonal merupakan suatu kondisi yang secara klinis
tidak menunjukan gejala sampai penyakit mencapai tahap akhir.
Hipertensi pulmoner muncul ketika tekanan biji arteri pulmoner melebihi
25 mmHg, sedangkan tekanan kapiler paru kurang dari 15 mmHg.
Penyakit ini memiliki dua tipe hipertensi arteri pulmoner idiopatik (atau
primer) dan hipertensi arteri pulmoner yang penyebabnya telah diketahui.
Hipertensi arteri pulmoner primer paling sering dialami oleh wanita
berusia 20 sampai 40 tahun , pada pasien dengan riwat penyakit keluarga
positif menderita penyakit ini ataupun tidak. Penyakit ini biasanya
mematikan (fatal) dalam 5 tahun sejak diagnosis ditegakkan, ada beberapa
kemungkinan penyebab, namun penyebab pastinya belum diketahui.
Manifestasi klinis dapat mencul tanpa disertai bukti penyakit paru atau
jantung. Hipertensi arteri pulmoner sekunder lebih sering dijumpai dan
disebabkan oleh penyakit paru dan jantung. Prognosisnya bergantung pada
tingkat keparahan gangguan utama, dan perubahan pada vaskularisasi
paru. Penyebab umum dari kor pulmonale. (Brunner & Suddarth, 2016)
Hipertensi pulmonal adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang
menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan
aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi
penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan
aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan
oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891. Hipertensi pulmonal adalah
suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena

4
5

peningkatan resistensi vaskuler pulmonal yang menyebabkan menurunnya


fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan.

Hipertensi pulmonal terbagi atas hipertensi pulmonal primer dan


sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak
diketahui penyebabnya sedangkan hipertensi pulmonal sekunder adalah
hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh kondisi medis lain. Istilah ini saat
ini menjadi kurang populer karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penanganannya sehingga istilah hipertensi pulmonal primer saat ini diganti
menjadi Hipertensi Arteri Pulmonal I diopatik. Hipertensi pulmonal primer
yang sekarang dikenal dengan hipertensi arteri pulmonal idiopatik (IPAH)
adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang secara histopatologi ditandai
dengan lesi angioproliferatif fleksiform sel-sel endotel, muskularis arteriol-
arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intima dan penebalan tunika media yang
menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga meningkatkan
tekanan darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan tahanan
vaskuler dari aliran darah di paru. Beratnya hipertensi pulmonal dibagi dalam
3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang PAP 46-64 mmHg dan
berat bila PAP > 65 mmHg. (Diah & Ghanie, 2014)

Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National


Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg
atau “mean” tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat
atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan
valvular pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital
dan tidak adanya kelainan paru

B. Patologi
Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur “complaint”
dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi “pulmonary vaskuler
bed” sebagai sirkuit yang lowpressure dan high flow. Gambaran patologi
vaskuler pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai
6

arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam penyebab. Kelainan


vaskuler HPP mengenai arteri pulmonalis kecil dengan diameter 4-10 mm dan
arteriol, berupa hiperplasia otot polos vaskuler, hiperplasia intima, dan
trombosis in situ. Progresif dan penipisan arteri pulmonalis, yang secara
gradual meningkatkan tahanan pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan
strain dan gagal ventrikel kanan (Galle N, dkk 2016)
Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis
menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik
arteriopati pulmonal. Karakteristik dari trombotik arteriopati pulmonal ini
adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis. Pada stadium
lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan
progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal
yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik,
yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal. Secara patologi HPP
dapat dikelompokan dalam 3 subtipe:
1. Fleksogenik arteriopati primer (30-60 % dari HPP)
Secara patologi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Lesi
fleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, kelainan ini
ditemui pada pasien yang mempunyai komponen genetik, dimana 7 %
adalah familial.

2. Tromboemboli arteriopati (45-50% dari HPP)


Secara patologi subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika
intima dan gambaran rekanalisasi thrombosis insitu (jaringan dan septum
dalam lumen arterial).Subtipe tromboemboli hipertensi pulmonal terdapat
2 bentuk : bentuk makro romboemboli, yang biasanya ditemukan pada
hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah lumen,
dan kedua bentuk mikrotromboemboli dengan thrombus di distal yang
menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.
7

3. Oklusi vena pulmonalis


Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena
pulmonalis.

C. Etiologi
Penyebab tersering dari hipertensi pulmonal adalah gagal jantung kiri.
Hal ini disebabkan karena gangguan pada bilik kiri jantung akibat gangguan
katup jantung seperti regurgitasi (aliran balik) dan stenosis (penyempitan)
katup mitral. Manifestasi dari keadaan ini biasanya adalah terjadinya edema
paru (penumpukan cairan pada paru). Penyebab lain hipertensi pulmonal
antara lain adalah : HIV, penyakit autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit,
penyakit bawaan dan penyakit tiroid. Penyakit pada paru yang dapat
menurunkan kadar oksigen juga dapat menjadi penyebab penyakit ini
misalnya : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), penyakit paru interstitial
dan sleep apnea, yaitu henti nafas sesaat pada saat tidur (Galle N, dkk 2016)

D. Manifestasi Klinis

1. Dispnea gejala utama pertama kali ketika pasien beraktivitas dan kemudian
saat istirahat

2. nyeri dada substernal lazim dijumpai

3. kelemahan, keletihan sinkope dan sesekali hemoptisis dapat terjadi

4. ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan (edema perifer, asites, distensi


vena leher, pembesaran hati, krekels, murmur jantung)

5. Anoreksia dan nyeri abdomen dan kuadran kanan atas mungkin dijumpai.

6. PaO₂ menurun (hipoksia)

7. perubahan EKG (hipertrofi ventrikel kanan) terlihat, aksis kanan mengalami


deviasi dan tinggi gelombang P memuncak di sadapan inferior dan
8

gelombang R anterior tinggi, serta depresi segmen ST atau gelombang T


terbalik di sisi anterior.

E. Patofisiologi
Pada HPP, vaskuler paru adalah target eklusif penyakit, meskipun
patogenesisnya masih spekulatif. Dunia luas mendukung teori bahwa orang-
orang tertentu memiliki predisposisi untuk terjadinya hipertensi pulmonal
primer (IPAH), dimana pada orang tersebut beberapa rangsangan dapat
mengawali berkembangannya arteriopati, remodeling dinding vaskuler,
vasokonstriksi dan trombosis insitu. Hanya sebagian kecil kelompok dengan
resiko tinggi (Penyakit vaskuler kolagen, hipertensi portal, infeksi HIV dan
obat-obat penekan nafsu makan) dapat menimbulkan gambaran klinis yang
sama dengan HPP.
Kejadian HPP dalam suatu keluarga menunjukan kepakaan
genetik. Bentuk kelainan bawaan adalah autosomal dominan dengan ratio
wanita dan pria 2 banding 1. Meskipun melibatkan gen dalam familial HPP
belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang dari
kromosom 2 q31. Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP.
Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endotel, yang
menyebabkan berkurangnya produksi “endothelium drived vasodilator” atau
meningkatkan vasokonstriktor. Kerusakan saluran ion pada sel otot polos
arteri pulmonalis berperanan penting dalam regulator kontraksi dan proliferasi
otot polos vaskuler. Vasokonstriksi akan diikuti oleh proliferasi dan fibrosis
intima, trombosis insitu, dan perubahan fleksogenik. Peningkatan ekspresi
vaskuler endothelial growth factor (VEGF), suatu mitogen sel endotel spesifik
yang dihasilkan oleh makrofak dan otot polos vaskuler, berperan dalam
remodeling vaskuler. (Ricket dkk, 2017)
1. Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif
a. Prostasiklin dan Tromboksan A2
Prostasiklin dan tromboksan A2 merupakan metabolit asam
arakidonat utama selsel endotel dan sel-sel otot polos. Prostasiklin
9

merupakan vasodilator poten, menghambat agregasi trombosit dan


antiproliferatif, sedangkan tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor
poten. Pada hipertensi pulmonal keseimbangan kedua molekul ini lebih
banyak pada tromboksan A2. Prostasiklin sintase adalah enzim yang
merangsang produksi prostasiklin, jumlahnya menurun pada arteri-arteri
pulmonal pada pasien hipertensi pulmonal terutama HPP.
b. Endotelin-1
Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu vasokonstriktor poten dan
memiliki aktifitas mitogenik pada sel-sel otot polos arteri. Peningkatan
kadar ET-1 plasma dan dinding vaskuler pada pasien IPAH. Endothelin-1
(ET-1) adalah suatu asam amino peptide yang dihasilkan oleh enzim
konverting endothelium pada sel-sel endotel. Kadar endotelin meningkat
pada pasien PAH dan klirennya berkurang pada vaskuler paru. Endotelin
beraksi pada 2 reseptor yang berbeda. Reseptor ETA pada sel otot polos
vaskuler dan Reseptor ETB pada sel otot polos vaskuler dan sel endotel
vaskuler paru. Kedua reseptor menyebabkan proliferasi sel otot polos
vaskuler. Kadar ET-1 Plasma berkorelasi dengan beratnya PAH dan
prognosis.
c. Nitrik Oksida
Nitric oxide (NO) adalah vasodilator poten, penghambat aktivasi
platelet dan penghambat proliferasi sel otot vaskuler. NO dihasilkan sel
endotel dari arginin oleh NO sintase, menimbulkan efek vasodilatasi
melalui mekanisme yang komplek dengan cGMP. cGMP mengaktifkan
cGMP kinase, menyebabkan terbukanya kanal K+ membran sel, sehingga
ion K+ keluar, membran depolarisasi dan menghambat kanal Ca2+.
Menurunnya Ca2+ masuk dan menurunnya pelepasan Ca2+ sarkoplasma
menyebabkan vasodilatasi. Phosphodiesterase-5 (PDE-5), salah satu enzim
PDE yang memecah cGMP. Pasien dengan HPP terbukti menurunnya NO
sintase, sehingga timbul vasokonstriksi dan proliferasi sel. NO
berkontribusi dalam menjaga fungsi dan struktur vaskuler dalam keadaan
normal.
10

d. Serotonin
Serotonin (5-hydroxytryptamine=5-HT) adalah vasokonstriktor
yang meningkatkan hiperplasia dan hipertrofi otot polos. Peningkatan
serotonin plasma telah dilaporkan pada pasien HPP, yang menyebabkan
vasokonstriksi. Mekanisme seretonergik yang berimplikasi pada PAH.
Konsumsi dekfenfluramin, terjadi peningkatan release serotonin dan
terhambat reuptake oleh platelet.
e. Adrenomedulin
Adrenomedulin mendilatasi vena-vena pulmonalis, meningkatkan
aliran darah paru dan disintesa sel-sel paru normal. Kadar dalam plasma
meningkat pada pasien HPP, kadar adrenomedulin plasma berkorelasi
dengan tekanan rata-rata atrium kanan, tahanan vaskuler paru, dan
tekanan arteri paru rata-rata.
f. Vasoactive Intestinal Peptide
Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) merupakan vasodilator
sistemik poten, menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan
vaskuler pulmonal pada rabbit dan manusia, juga menghambat aktifasi
platelet, dan proliferasi sel otot polos. Studi baru baru ini
melaporkan penurunan kadar VIP pada pasien HP.
g. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Hipoksia akut dan kronik, produksi VEGF meningkat dan yang mana
reseptornya, VEGF reseptor-1 dan VEGF-2 pada paru-paru.
2. Hubungan Dengan Lingkungan
a. Hipoksia
Hipoksia menginduksi vasodilatasi vena-vena sistemik tetapi
menginduksi vasokonstriksi pada vaskuler paru. Respon vaskuler paru
terhadap hipoksia berbeda dengan sirkulasi sistemik untuk
mengoptimalkan hubungan antara ventilasi dan perfusi. Hipoksia akut
diregulasi oleh produk-produk endotel (seperti endotelin-1 dan
serotonin) dan memediasi perubahan aktivitas kanal ion pada selsel otot
polos arteri paru. Hipoksia akut menyebabkan perubahan yang
11

reversible pada tonus vaskuler paru, sedangkan hipoksia kronik


menyebabkan remodeling struktur, proliferasi sel-sel otot polos
vaskuler, migrasi dan peningkatan deposisi matrik vaskuler.
b. Anoreksigen
Hubungan antara anoreksigen dan hipertensi pulmonal awalnya
diobservasi pada tahun 1960an saat epidemik HPP di Eropa karena
pemakaian aminorex fumarate. Studi hipertensi (IPPHS)
mendemonstrasikan hubungan kuat antara HAP dan obat anoreksik.
Derifat Fenfluramine adalah suatu inhibitor poten uptake serotonin (5-
HT). Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-2-Oxazoline, derivat
katekolamin), aksinya meliputi pelepasan norepinephrine pada ujung
saraf bebas dan meningkatkan kadar serotonin serum. Sehingga terjadi
proliferasi atau pertumbuhan sel-sel otot polos arteri paru. Penggunaan
obat ini meningkatkan kasus HPP, tergantung dosis dan lama
pemakaian.
c. Methamphetamine dan Cocaine
Methamphetamine dan cocain dilaporkan meningkatkan insiden
hipertensi pulmonal. Pada studi autopsi 20 perokok cocain berat, 4
(20%) paru menunjukkan hipertropi medial arteri paru. Mekanisme
terjadinya hipertrofi arteri ini masih belum jelas.
3. Hubungan Dengan Kelainan Genetik
2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai
hubungan yang kuat dengan familial hipertensi pulmonal. Gen bone
morphogenetic receptor type 2 (BMPR2), memodulasi pertumbuhan sel-
sel vaskuler dengan mengaktivasi jalur intraseluler. Dalam keadaan
normal BMP menekan pertumbuhan sel otot polos vaskuler. Lebih dari 45
mutasi yang berbeda BMPR2 telah diidentifikasi pada familial hipertensi
arterial pulmonal. BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot
polos vaskuler heteromerik, bagian dari transforming growth factor.
Mutasi eksonik pengkodean gen BMPR2, yang berpengaruh pada suatu
aberasi transduksi sinyal pada sel otot polos vaskuler paru sehingga
12

menimbulkan proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah diidentifikasi 50%-90%


pasien dengan diagnosis HAPF, 25% pada pasien HPP dan 15 % pada
pasien HAP sehubungan penggunaan fenfluramine. Jenifer R et al
menemukan bahwa 27 % pasien HPP dengan mutasi BMPR2. R. Souza et
al, 2008, pasien dengan mutasi BMPR2 signifikan lebih cepat timbul
gejala dibandingkan dengan tanpa mutasi BMPR2. (Mclaughin, 2015)

F. Gambaran Klinis
Hipertensi pulmonal primer sering timbul dengan gejala-gejala yang
tidak spesifik. Gejala-gejala itu sukar untuk dipisahkan sehubungan dengan
penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan
utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling
sering adalah dispnu saat aktifitas 60%, fatique 19% dan sinkop 13%, yang
merefleksikan ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas.
Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi
disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel
kanan. Pemeriksan fisik pada HPP sering tidak spesifik untuk menegakan
diagnosis, namun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari
hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik paru biasanya normal.
Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen
pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2
dihasilkan dari peningkatan kekuatan penutupan katup pulmonal karena
respon peningkatan tekanan arteri pulmonal pada saat diastolik. Temuan fisik
tambahan sehubungan dengan HP merefleksikan pengaruh HP pada jantung
dan organ lainnya. Paling banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid
regurgitasi dalam beberapa derajat karena tekanan overload pada ventrikel
kanan. Pembesaran ventrikel kanan, pulsasi vena jugularis meningkat bila
terjadi overload cairan dan/atau gagal jantung kanan. Hepatomegali mungkin
timbul, asites dan retensi cairan di perifer. ( Galle N, dkk 2016)
13

G. Gejala Klinis HPP

WHO mengusulkan klasifikasi fungsional HPP dengan memodifikasi


klasifikasi fungsional dari New York Heart Association system.
1. Pemeriksaan non invasif
Pertama kali mencurigai klinis HPP, harus lakukan pemeriksaan
konfirmasi dan pemeriksaan untuk mengeklusi tipe lain penyebab
hipertensi pulmonal, disamping untuk menentukan beratnya atau
prognosis. Baru-baru ini suatu consensus merekomendasikan pemeriksaan
untuk HPP.
a. Ekokardiografi
Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk
diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah
14

modalitas diagnostic untuk evaluasi atau eklusi penyebab HP sekunder


(seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung
kongenital dengan shunt sistemikpulmonal dan disfungsi diastolik
ventrikel kiri). Disamping itu untuk menentukan beratnya hipertensi
pulmonal serta prognosisnya. Dua studi besar yang dilakukan oleh Yeo et
all dan Raymon et all menggunakan ekokardiografi untuk konfirmasi
diagnosis dan prognosis pasien HPP. Namun demikian ekokardiografi saja
tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya
hipertensi pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi
jantung.
b. Tes Berjalan 6 Menit
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan
fungsional pasien HP adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit
(6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien
dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah
digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien HP yang
diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian.
c. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET)
Suatu tes noninvasive. Pemeriksaan ini juga prognostik yang signifikan,
karena mengukur performen kardiovaskuler dan ventilator saat aktifitas.
Menariknya, tekanan darah sistolik menunjukan prediktor independen
kematian pasien HP yang tidak diobati, dengan SBP < 120 mmHg
berkorelasi dengan kematian yang tinggi dibandingkan dengan SBP >
120 mmHg. Miyamota and colleagues membandingkan kedua cara
penilaian diatas 6MWT dan CPET dalam suatu kohor 27 pasien HPP,
mereka menemukan suatu korelasi yang bagus antara konsumsi oksigen
maksimum dan ketahanan 6MWT. Maka meskipun 6MWT tes latihan
yang submaksimal, tetapi ditoleransi oleh mayoritas pasien HPP dan
berkorelasi dengan tes latihan maksimal. Pada pasien dengan HAP,
CPET dapat mengukur beratnya HAP dengan menilai gangguan
kardiovaskuler dan inefisiensi ventilasi. Penurunan konsumsi oksigen
15

(peak VO2) dan meningkatnya inefisiensi ventilasi adalah proporsi


beratnya HP, merefleksikan ketidakmampuan pasien HAP secara
adekuat meningkatkan aliran darah paru selama aktifitas.
d. Tes Fungsi Paru
Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi
paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas
difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru
total adalah komponen penting dalam pemeriksaan HP, yang dapat
mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik
sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga
secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan
penurunan volume paru pada HP.
e. Radiografi Torak
Karena radiografi torak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien
dengan sesak yang tidak jelas biasanya di skrining dengan radiografi
torak. Ro torak sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada
pasien PAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit
interstisial paru dan kongesti vena-vena paru. Hampir 85 % terdapat
kelainan Radiografi torak pada HP, seperti pembesaran ventrikel kanan
dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal. Tapi tidak biasanya
abnormalitas yang spesifik pada HPP
f. Eletrokardiografi
Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering
menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel
kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai
prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk
penyakit vaskuler paru. Penggunaan perubahan EKG sebagai marker
progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada dilaporkan.
g. CT Scan Resolusi Tinggi
CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer
atau sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti
16

bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras


untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru.

2. Pemeriksaan invasif
a. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET)
Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik
pulmonal adalah gold standard untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi
hipertensi pulmonal adalah tekananPAP 25 mHg pada saat istrahat, atau
􀎵 30 mmHg pada saat aktifitas. Kateterisasimembantu diagnosis dengan
menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantungkiri dan
memberikan informasi penting untuk prognostik hipertensi
pulmonal.Tabel 5. Pengukuran Kateterisasi Jantung Kanan Pada Pasien
PAHkutip 10Hemodinamik adalah prognostik untuk HPP, nilai
prognostik pengukuranhemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka
harapan hidup 50 bulan bila tidakmendapat terapi vasodilator,
sedangkan bila RAP 20 mmHg harapan hidupnyakurang dari 3 bulan.
b. Tes Vasodilator
Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien
HAP, pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki
survival dengan menggunakan blok kanal kalsium (CCB) jangka
panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus)
adalah penurunan rata-rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg
dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes vasodilator
adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral.
Rich et al 1992, mempelajari 64 pasien HPP dengan nifedipin oral (20
mg) atau diltiazem (60 mg), penurunan 20% mPAP dan PVR. Groves et
al, 1993, mempelajari respon akut epoprostenol iv pada 44 pasien HPP,
peningkatan 14% HR, 5% penurunan mPAP, 47% penigkatan CO, dan
32% penurunan PVR. Respon dengan epoprostenol iv juga dapat
memprediksi respon dengan CCB oral. Sitbon et al mengevaluasi 35
pasien terhadap respon vasodilator epoprostenol iv, penurunan 30%
17

PVR. Sitbon 1998, melaporkan hasil tes NO inhalasi (10 ppm) 33


pasien, penurunan mPAP dan PVR 20%. 10 dari 33 pasien yang respon
akut positif juga respon dengan CCB, pasien yang tidak respon akut
dengan NO juga tidak respon dengan CCB.
c.Biopsi paru
Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi
pulmonal, biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga HPP,
dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif.

3. Laboratorium
Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnue, yang meliputi
pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap.
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko.
Dilaporkan bahwa hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV
100 kali lebih sering dibandingkan dengan HPP. Tes fungsi hati juga harus
dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk
pemberian terapi.
Biomarkers
Biomarker serum yang telah dipelajari dalam menilai prognosis
HPP adalah atrial naturetic peptide (ANP), brain naturetic peptide (BNP),
dan katekolamin. Nagaya dan kolega mempelajari 63 pasien HPP antara
1994-1999; ANP dan BNP plasma rendah pada kontrol dan meningkat
sesuai fungsional klas pada pasien dengan HPP. ANP dan BNP juga
berkorelasi dengan mRAP, mPAP, CO, and TPR. Penelitian tambahan,
setelah 3 bulan terapi dengan prostasiklin, 53 pasien terjadi penurunan
BNP yang berkorelasi dengan penurunan RVEDP dan TPR. (Diah &
Ghanie, 2014)
18

H. Penatalaksanaan Hipertensi Pulmonal Primer


Terapi konvensional
Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan
atau aktifitas pada pasien HP, dan pasien sebaiknya harus memperhatikan dan
membatasi aktifitas yang berlebihan. Pemberian oksigen untuk mengatasi
sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas 90 %.
Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data
terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada HPP.
Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat
bermanfat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi
trikuspidal. Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan stasis vena
meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah
dilaporkan dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR
1,8. Telah banyak penelitian untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang
dilakukan : golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat
phosfodiestrase, antagonis reseptor endotelin dan anti koagulan.
1. Calcium-Channel Blocker (CCB)
Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai
terapi HPP, perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus terutama pada
pasien yang tes vasodilator akut positif. Rich dkk 1992, melaporkan hasil
studi prospektif non random, pasien yang respon tes vasodilator akut
positif diterapi dengan CCB dosis tinggi selama 5 tahun. Survival 1 tahun,
3 tahun, dan 5 tahun adalah 94%, 94%, dan 94%. Sementara pasien yang
tidak respon 68%, 47%, dan 38%. Ogata et al 1993, melakukan terapi
kombinasi antikoagulan dan vasodilator, 7 pasien diterapi dengan
antikoagulan warfarin + vasodilator, 3 dengan isoproterenol, dan 4 dengan
nifedipine. Survival 5 tahun signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan
antikoagulan + vasodilator (57%) dibanding yang lain 15%. Nifedipine
(120-240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang
paling sering digunakan, sementara verepamil menimbulkan efek inotropik
19

negative. Efek samping yang bermakna seperti hipotensi yang mengancam


hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat.

2. Prostanoid
Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam
patogenesis HPP. Christman et al melaporkan defisiensi prostasiklin pada
HPP. Tuder et al memperlihatkan penurunan prostasiklin sintase paru pada
pasien HPP berat. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama
dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan
HP sedang sampai berat.
a. Epoprostenol
Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi
pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang
memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA, dan
survival rate penderita HP. Epoprostenol tidak stabil pada suhu kamar,
harus dilindungi selama pemberian infus, half- life pendek dalam aliran
darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral.
Dimulai dengan dosis (1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan dititrasi 1-2
ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40 ng/kg/min). Dalam suatu trial
prospektif, multisenter, random, dengan kontrol selama 12 minggu, infus
epoprostenol secara kontinua ditambah dengan terapi konvensional
(vasodilator oral, antikoagulan, dsb) dibanding dengan hanya terapi
konvensional sebagai kontrol pada 81 orang pasien HPP fungsional klas
III dan IV. Kapasitas latihan (6WT) 41 pasien yang diterapi dengan
epoprostenol (rata-rata 362m, sebelumnya 315m), dan penurunan pada
terapi konvensional saja (sebelumnya 270m dan setelahnya 204m; p <
0.002).
Perbaikan kualitas hidup pada pasien dengan terapi epoprostenol (p <
0.01), perbaikan hemodinamik, perubahan tekanan arteri pulmonal rata-
rata (mPAP) -8% dibandingkan terapi konvensional +3% dan perubahan
rata-rata tahanan vaskuler paru (mPVR) adalah -21% dengan epoprostenol
20

dan +9% pada kontrol. Shapiro et al and McLaughlin et al


menggambarkan keberhasilan pada pasien dengan terapi infus kontinua
epoprostenol setelah follow-up selama 36,3 bulan, perbaikan fungsional
klas,
toleransi latihan dan hemodinamik. Efek samping yang sering pada terapi
epoprostenol meliputi sakit kepala, flushing, jaw pain, diarrhea, nausea,
rash eritematosus, dan nyeri muskuloskeletal. penggunaan klinik. Iloprost
inhalasi mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan
dengan NO inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek
sehingga pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari. Penelitian selama 3
bulan pada 19 pasien HP dengan berbagai sebab, iloprost inhalasi dengan
dosis 50-200 μg perhari (6-12 kali inhalasi perhari), terbukti memperbaiki
fungsional klas, kapasitas latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian
lain, penelitian selama 1 tahun, tanpa kontrol pada 24 pasien dengan
aerosol iloprost dosis 100-150 μg dalam 6-8 kali pemberian perhari
terbukti memberikan hasil yang sama. Suatu penelitian random, double-
blind, placebokontrol, multisenter di Eropah(30), sebanyak 203 pasien
HPP, dengan dosis illoprost 250 μg atau 500 μg perhari dalam 6-9 kali
pemberian, terbukti perbaikan 6WT 59 meter dan perbaikan fungsional
klas, perbaikan kualitas hidup (p < 0.05) dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
b. Beraprost
Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk
oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak
tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40 menit setelah pemberian.
Sejak tahun 1995, beraprost telah digunakan sebagai terapi di Jepang.
Dalam suatu studi retrospektif, Nagaya et al melaporkan perbaikan
kualitas hidup 24 pasien HPP dengan beraprost dibandingkan dengan 34
pasien dengan terapi konvensional. 2 studi random, double-blind, kontrol
placebo beraprost pada HPP. Studi pertama selama 12 minggu, 130 orang
pasien dengan NYHA fungsional klas II dan III Beraprost (dosis rata-rata
21

80 mg po qd) memperbaiki kapasitas latihan dan 6 WT 45 m pada pasien


HPP. Studi kedua evaluasi efek beraprost pada pasien HPP, dengan 116
pasien fungsional klas II dan III, selama 12 bulan, double-blind, random,
kontrol plasebo. Hasil studi ini menunjukan perlambatan progresifitas
penyakit selama 6 bulan, perbaikan ketahanan 6 WT dibandingkan
placebo. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap hemodinamik
pulmonal.

3. Antagonis Reseptor Endotelin


Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam
mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan
patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu
vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang
menyebabkan meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru.
Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH, konsentrasi endothelin plasma
berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas
latihan.
a. Bosentan
Penelitian pertama, random, double-blind, control-placebo,
multisenter (2 di US dan 1 di Perancis), menilai efek bosentan terhadap
kapasitas latihan dan hemodinamik kardiopulmonal, menilai keamanan
dan tolerabilitas pada pasien HPP berat(31). Sebanyak 32 pasien
mendapatkan bosentan dan plasebo (2:1 ratio). Bosentan 62.5 mg bid
selama 4 minggu, dilanjutkan sampai dosis 125 mg bid. Setelah 12 minggu
kelompok terapi bosentan perbaikan ketahanan 6 WT sampai 70 m,
dimana tidak ada perubahan dengan plasebo. Perbaikan hemodinamik
kardiopulmonal dan penurunan signifikan PVR, penurunan mPAP,
penurunan tekanan rata-rata atrium kanan. Dibandingkan kelompok
plasebo secara kontras terjadi peningkatan ketiga komponen tersebut.
Studi bosentan kedua, doubleblind, control-placebo, mengevaluasi 213
pasien, bosentan 125 bid atau 250 mg bid paling kurang selama 16
22

minggu. Studi dilakukan di 27 senter di Eropa, Amerika utara, Israel dan


Australia. 144 pasien mendapatkan bosentan dan 69 pasien mendapatkan
placebo. Terlihat perbaikan ketahanan 6 WT pada pasien terapi bosentan
36 menter sedangkan pada terapi placebo -8 m, tidak ada perbedaan efek
yang signifikan sehubungan dengan dosis. Efek samping dari bosentan
adalah peningkatan kadar alanine aminotransferase dan/atau aspartate
amino transferase. Gangguan fungsi hati ini berkorelasi dengan dosis,
dimana lebih sering terjadi dengan bosentan 250 mg bid. Dan efeknya
transien, sehingga USFDA merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati
paling tidak 1 bulan sebelum terapi.
b. Sitaxsentan
Penelitian random, double-blind, kontrol-plasebo, selama 12
minggu, sitaxsentan pada 178 pasien HPP fungsional klas II, III dan IV
NYHA, dengan dosis 100 mg poqd, atau 300 mg po qd. Perbaikan
fungsional klas dan perbaikan 6 WT, 35 mdengan dosis 100 mg dan 33 m
dengan dosis 300 mg (p<0,01). Penurunan yangsignifikan PVR dan
meningkat pada placebo. Perbaikan yang sama fungsional klas,dan
hemodinamik pada kedua kelompok dosis(30). Efek samping terapi
dengansitaxsentan berupa abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem
perifer, nausea,
nasal kongestan dan pusing.
c. Ambrisentan
Suatu studi blind selama 12 minggu penggunaan ambrisentan dosis
(1, 2.5, 5, atau 10 mg perhari) terbukti memperbaiki ketahanan 6 WT dan
fungsional klas. Studi kedua, 12 minggu, random, double-blind, plasebo-
kontrol, multisenter, efikasi ambrisentan pada pasien HAP. Ambrisentan
5/10 mg sekali sehari. Selama followup terbukti perbaikan yang signifikan
ketahanan 6 WT dan perbaikan fungsional klas. Tidak terdapat
peningkatan transaminase hati.
23

4. Phosphodiesterase Inhibitor
Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5
monophosphate (cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan
dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek
vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan
mempertahankan cGMP yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO
secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang meningkatkan
produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka
kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP
sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh phosphodiesterase.
Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic
nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan
membatasi signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-
adenosine monophosphate dan 5-guanosinemonophosphate.
Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP
phosphodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan
respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan endogen pada hipertensi
pulmonal.
a. Dipyridamole
Studi terdahulu mendemonstrasikan bahwa dipyridamole dapat
menurunkan PVR, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan
atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi
pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi
dengan dipyridamole. Hasil ini menyokong bahwa inhibisi
phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu strategi klinik yang efektif
untuk terapi HPP.
b. Sildenafil
Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang
poten dan lebih spesifik, telah terbukti efektif dan aman untuk terapi
disfungsi ereksi. Berdasarkan perkembangnya pemahaman aktifitas
phosphodiesterase type 5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa
24

kontrol menguji efek hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam


terapi jangka panjang pasien HPP. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok
vasokonstriksi paru hipoksik pada dewasa sehat dan menurunkan mPAP
pasien PAH. Michelakis et al mempelajari efek sildenafil pada 13 pasien
HPP, melaporkan penurunan mPAP dan PVR, dan meningkatnya kardiak
indek. Perbandingan dengan inhalasi NO, sildenafil juga mempunyai efek
hemodinamik sistemik dan bila dikombinasi dengan inhalasi NO
meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah
rebound vasokonstriksi setelah memberian inhalasi NO.
Dalam suatu studi dengan mengkombinasikan inhalasi sildenafil dengan
iloprost dilaporkan terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR
dibanding bila diberikan tunggal. Bharani et all mengobati 10 pasien
dengan sildenafil atau placebo selama 2 minggu, terlihat perbaikan yang
signifikan 6 WT dan menurunnya sistolik PAP secara ekokardiografi.
Studi lain, 29 pasien yang diterapi dengan sildenafil (25-100 mg tid)
selama 5-20 bulan dilaporkan perbaikan fungsional klas NYHA dan 6W.

5. NO dan Arginine
Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat
lahir. Gangguan NO akan berkembang menjadi neonatal hipertensi
pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur vaskuler paru
sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi
dan antioksidan, juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam
3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul dalam sel multiple dan terus
menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau “inducible” (type II)
pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler.
Regulasi NOS komplek dan termasuk growth factors hormon (seperti
vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen, hemodinamik, dan
factor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi
NOS, maka itu penting untuk produksi NO. Arginine eksogen diperlukan
untuk memproduksi NO. Arginine masuk dalam sel dangan transport aktif
25

dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada ketergantungan


arginine dengan meningkatnya kadar ekstraseluler untuk memenuhi
kebutuhan(36). Dalam endotel, transpor arginin secara kuat berikatan
dengan NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri endotel maka kadar
normal ekstraseluler mungkin berkurang untuk memproduksi NO.
Defisiensi Arginine telah memperlihatkan terjadinya PH dan infuse L-
arginine (500 mg/kg selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal
terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam. Apakah suplemen arginin
jangka panjang dapat mengurangi injuri vaskuler dan menyebabkan
perbaikan struktur sirkulasi paru pada pasien PAH belumlah jelas.
a. NO inhalasi
Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara
inhalasi dengan waktu paruh singkat, hal ini bermanfaat sebagai tes
vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal. Efek inhalasi NO pada
pasien hipertensi pulmonal primer memperlihatkan perbaikan dalam
parameter hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun
beberapa pasien tampak menunjukan manfaat dengan terapi tersebut untuk
b. Suplemen Arginine
Pemberian L-arginine (500 mg/kg infuse selama 30 menit) pada 10
pasien HPP menghasilkan penurunan mPAP sampai 15.8 ± 3.6% (p <
0.005) dan PVR sampai 27 ± 5.8% (p < 0.005), dibandingkan dengan
titrasi prostasiklin saja sampai dosis maksimal penurunan mPAP 13.0 ±
5.5% (p < 0.005) dan PVR 46.6 ± 6.2% (p < 0.005). Infus L-arginine
mengurangi mPAP dengan memediasi vasodilatasi oleh NOS. Studi yang
dipublikasikan oleh Nagaya et al mendukung bahwa suplemen oral L-
arginine (0.5 g/10 kg BB) memberikan efek yang menguntungkan pada
hemodinamik dan kapasitas latihan. 19 pasien diterapi Oral L-arginie (1.5
g/10kg BB perhari), setelah 1 minggu meningkatkan L-citrulline plasma
secara signifikan dimana menunjukan meningkatnya produksi NO. L-
arginine menimbulkan penurunan 9% mPAP (53 ±4 sampai 48±4 mm Hg,
p < 0.05) dan penurunan 16% PVR. (Diah & Ghanie, 2014)
26

6. Terapi Bedah
Atrial Septostomi dan Transplantasi paru
Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt untuk
mengurangi tekanan dan volume overload di jantung kanan. Dengan
berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi hanyalah suatu
prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru.
Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang
masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk PAH yang gagal
dengan semua strategi terapi. Survival pasien PAH yang mengalami
tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yang
paling sering adalah bilateral transplantasi. (Diah & Ghanie, 2014)

I. Pengertian Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect, VSD)


Terdapat lubang abnormal pada sekat yang memisahkan ventrikel kanan
dengan ventrikel kiri. VSD dapat diklarifikasikan menurut lokasi defeknya :
Membranosa (yang terdapat pada 80% kasus) atau muskularis. Ukuran VSD
dapat bervariasi dari ukuran mata jarum yang kecil hingga keadaan tanpa sekat
(septum) sehingga kedua ventrikel menjadi satu. VSD sering disertai dengan
defek lainnya seperti stenosis pulmonalis, transposisi pembuluh darah besar,
paten duktus arteriosus, defek atrium dan koarkasio aorta. Patafisologi : karena
tekanan yang lebih tinggi dalam ventrikel kiri dan karena sirkulasi sistemik
darah arteri memberikan tahanan yang lebih tinggi dari pada sirkulasi
pulmonal, maka darah mengalir melewati lubang defek ke dalam arteri
pulmonallis, peningkatan volume darah akan dipompa ke dalam paru dan
keadaan ini akhirnya dapat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskular
pulmonalis. Peningkatan tekanan dalam ventrikel kanan akibat pemintasan
aliran darah kiri ke kanan dan peningkatan tahanan pulmonalis akan
menyebabkan hipertrofi otot jantung. Jika ventrikel kanan tidak sanggup lagi
menampung penambahan beban kerja, maka atrium kanan dapat juga
membesar karena berupaya untuk mengatasi tahanan yang terjadi akibat
pengosongan ventrikel kanan yang tidak lengkap. (Diah & Ghanie, 2014)
27

J. Pengertian Pneumonia
Pneumonia, inflamasi parenkim paru, merupakan penyakit yang sering
terjadi pada masa kanak-kanak namun lebih sering terjadi pada masa bayi dan
kanak-kanak awal. Secara klinis, pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit
primer atau sebagai komplikasi dari penyakit lain secara morfologik,
pneumonia digolongkan menjadi :
1. Pneumonia lobaris : melibatkan semua atau segmen yang luas dari satu
lobus paru atau lebih. Jika kedua paru terkena disebut pneumonia bilateral
atau pneumonia ganda.
2. Bronkopneumonia : dimulai pada bronkiolus terminal, yang tersumbat
dengan eksudat mukopurulen yang membentuk bidang yang terkonsolidasi
pada lobus-lobus didekatnya ; disebut juga pneumonian lobularis.
3. Pneumania interstisial : proses inflamasi dengan batas-bats yang lebih atau
kurang dalam dinding alveolus (interstisium) dan jaringan peribronkial dan
interlobaris.

K. Intervensi Vap Bundle dalam pencegahan Ventilator Associated


Pneumonia(VAP) pada pasien dengan Ventilasi Mekanik
1. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial
yang terjadi pada pasien dengan pemakaian ventilator > 48 jam. Pasien
kritis yang dirawat di ICU berisiko tinggi terjadi infeksi nosokomial
pneumonia sehingga mengakibatkan peningkatan angka kesakitan, kematian
danbiayaperawatan (Jornal Susmiati, Harmayetty dan Setya, 2014).
Faktor-faktor risiko pada pejamu (host)yang memungkinkan terjadinya

VAP padapasien ada 3 yaitu: Penurunan kesadaran, usia > 60


tahun,albumin serum > 2,2. Adapun faktor penyebab lain yang yang
menyebabkan VAP pada pasien yaituteknik petugas kesehatan
dalammencuci tangan akan tetapi masih didapatkantingginya kebiasaan
tidak mencuci tangansebelum menyentuh pasien. Hal ini merupakansalah
satu yang dapat menyebabkan transmisimikroorganisme dari petugas ke
28

responden.Faktor lain yang kemungkinan menyebabkanVAP adalah masih


digunakannya model opensuction pada responden, meskipun catetersuction
yang digunakan sekali pakai akantetapi kemungkinan terkontaminasi
akansangat mungkin terjadi.

2. Trakeastomi
Trakeostomi adalah insisi bedah di trakea melalui kulit dan otot yang
terletak di atasnya untuk tata laksana jalan napas. Trakeostomi adalah
pembentukan lubang bedah (stoma) ke dalam trakea melalui kulit (Black,
2014).
Adapun Indikasi prosedur pemasangan trakeostomi :
a. Menghilangkan obstruksi jalan napas akut atau kronis seperti apnea
obstruksi waktu tidur, trauma, perdarahan, tumor, pembengkakan
jaringan, infeksi atau luka bakar (kimiawi atau inhalasi).
b. Akses untuk ventilasi mekanis kintinu, dengan tidak mampu disapih
(didefinisikan secara luas dengan waktu lebih dari 2 minggu ventilasi).
c. Mendorong higiene paru dengan mengakses jalan nafas untuk
membuang sekret.
d. Paralisis pita suara (plika vokalis) bilteral
e. Ketidak mampuan melindungi jalan nafas sendiri.

3. Kelebihan penggunaan trakeostomi


Trakeostomi memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan
intubasi endotrakea jangka panjang, di antaranya dapat meningkatkan
kenyamanan pasien, kebersihan rongga mulut ,kemampuan untuk
berkomunikasi , kemungkinan untuk makan secara oral serta perawatan
yang lebih mudah dan aman. Selain itu, penggunaan selang trakeostomi
dapat pula menurunkan hambatan udara (apabila dibandingkan dengan
selang endotrakea) memiliki potensi untuk menurunkan penggunaan obat
Sedasidan analgesia sehingga dapat memfasilitasi proses penyapihan dan
menghindari pneumonia terkait ventilator.
29

4. Penatalaksanaan Trakeostomi
a. Menyiapkan peralatan yang diperlukan
Tindakan pengisapan yang tidak tepat merupakan penyebab utama
terjadinya infeksi pada orang yang menggunakan selang trakeostomi
(tracheostomy tube). Perlengkapan yang diperlukan meliputi:
o Mesin pengisap/penyedot.
o Selang kateter untuk melakukan pengisapan (untuk orang dewasa
digunakan ukuran 14 dan 16).
o Sarung tangan steril berbahan lateks.
o Larutan garam fisiologik (Natrium Chlorida/NaCl 0,9%).
o Larutan garam fisiologik siap pakai atau dalam bentuk
semprot/suntik berukuran 5ml.
o Mangkuk bersih berisi air leding.

b. Cucilah tangan Anda secara menyeluruh.


Caregiver (baik di rumah sakit ataupun di rumah) harus mencuci
tangan mereka sebelum dan sesudah perawatan trakeostomi. Tindakan
tersebut terutama untuk melindungi pasien dari infeksi karena bakteri
yang masuk melalui lubang pada lehernya.Cucilah tangan Anda dengan
sabun dan air hangat minimal selama 20 detik dan jangan lupa
menggosok bagian-bagian di antara jari-jari Anda dan di bagian bawah
kuku.

o Keringkan tangan Anda menggunakan handuk kertas atau kain/lap


bersih.
o Matikan keran menggunakan handuk kertas atau kain/lap untuk
menghindari tangan Anda kembali terkontaminasi.
o Sebagai alternatif, sabun tangan Anda dengan gel/cairan pembersih
berbasis alkohol lalu keringkan dengan cara diangin-anginkan.
30

c. Siapkan dan lakukan pengujian pada kateter.


Paket mesin pengisap harus dibuka secara hati-hati, saat membawanya
jangan menyentuh ujung kateter. Namun demikian, pengatur lubang
angin yang terdapat di ujung kateter dapat disentuh, jadi jangan
khawatir mengenai hal tersebut. Kateter biasanya direkatkan pada
selang trakea yang dihubungkan ke mesin pengisap.
o Nyalakan mesin pengisap dan lakukan pengujian melalui ujung
kateter untuk mengetahui berfungsi atau tidaknya mesin tersebut.
Ujilah dengan menutupkan ibu jari Anda di atas lubang kateter lalu
melepaskan.
o Boleh jadi selang trakea tersebut memiliki satu atau dua
bukaan/lubang, dan mungkin juga dilengkapi balon (cuffed)yang
dapat diatur untuk menguragi risiko aspirasi atau tanpa dilengkapi
balon (uncuffed), berlubang (memungkinkan untuk berbicara) atau
tidak berlubang.

d. Siapkan pasien dan ambil larutan garam (NaCl).


Pastikan kepala dan bahu pasien sedikit ditinggikan atau diangkat
Keduanya harus nyaman selama prosedur perawatan berlangsung.
Untuk membuatnya tenang, izinkan pasien menarik napas dalam-
dalam sekitar tiga sampai empat kali. Segera setelah pasien dalam
posisi tepat, masukkan 3-5 mililiter larutan NaCl 0,9% ke dalam selang
kateter. Tindakan tersebut akan membantu merangsang pasien
mengeluarkan lender dan menambah uap lembap pada membrane
lender Larutan NaCl 0,9% harus digunakan teratur selama proses
pengisapan untuk mencegah pembentukan sumbatan lendir kental
dalam tenggorokan, yang dapat menghalangi jalan udara.
o Berapa kali NaCL 0,9% harus dimasukkan berbeda untuk pasien
satu dan yang lain tergantung pada seberapa kental dan banyak
lendir yang diproduksi oleh tenggorokannya.
31

o Caregiver harus memeriksa warna, bau, dan juga kekentalan


lendir untuk berjaga bila mana ada infeksi lender berubah
menjadihijau keabu - abuan serta berbau tak sedap.

e. Masukkan kateter tersebutdan pasang pengisap. Arahkan kateter


tersebut ke dalam selang trakea dengan lembut sampai pasien mulai
terbatuk hingga batuk tersebut berhenti dan tidak berlanjut. Pada
sebagian besar kasus, selang kateter tersebut harus dimasukkan ke
selang trakeostomi sedalam kira-kira 10,2 sampai 12,7 cm. Lengkungan
alami kateter harus mengikuti lengkungan dari selang trakea. Kateter
tersebut harus ditarik sedikit ke belakang sebelum pengisapan
dilakukan, sehingga akan membuat pasien merasa lebih nyaman.
o Pasang pengisap dengan menutup pengatur lubang angin saat
menarik kateter dari selang trakea dengan gerakan pelan dan
memutar. Pengisap sebaiknya tidak digunakan lebih lama dari kira-
kira sepuluh detik, selama waktu tersebut kateter akan terus
memutar dan tertarik keluar. Pengisapa kanter lepas.
o Selang trakeostomi dibuat dalam beberapa ukuran dan bahan
seperti plastik semifleksibel, plastik keras dan logam. Beberapa
jenis selang dibuat untuk sekali pakai (disposable), sementara yang
lain dapat digunakan secara berulang.
32

L. Masalah Keperawatan Menurut Teori


Dx Keperawatan Nanda Kriteria Hasil NOC Kriteria Hasil NIC
Domain 11 : Domain 2 : kesehatan fisiologi Domain 2 : fisiologis komplek
keamanan/perlindungan Kelas E : jantung paru Kelas K : manajemen pernafasan
Kelas 2 : cedera fisik 0410 : status pernafasan : 3160 : penghisapan lender pada
00031 : ketidakefektifan kepatenan jalan nafas jalan nafas
bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan - Informasikan pada klien
keperawatan selama 15 menit, dan keluarga tentang
criteria hasil yang diharapkan suctioning
- 041004 : tingkat - Minta klien nafas dalam
pernafasan sebelum suction
- 041005 : irama dilakukan
pernafasan - Auskultasi suara nafas
- 041012 : kemampuan sebelum dan sesudah
untuk membersihkan suction
secret - Pastikan kebutuhan

Domain 4 : Domain 2 : kesehatan fisiologis Domain 2 : fisiologis komplek


Aktivitas/istirahat Kelas E : jantung paru Kelas K : menejemen pernafasan
Kelas 4 : respon 0410 : status pernafasan 3140 : manajemen jalan nafas
kardiovaskuler/pulmonal Setelah dilakukan tindakan - Posisikan pasien untuk
000198 : ketidakefektifan keperawatan selama 16-30 menit, memaksimalkan ventilasi
pola nafas criteria hasil yang diharapkan - Auskultasi suara nafas
- 041004 : frekuensi ,catat adanya suara
pernafasan tambahan
- 041005 : irama - Monitor aliran oksigen
pernafasan
041017 : kedalaman
inspirasi
33

Domain 3 : eliminasi dan Domain 2 : kesehatan fisiologis Domain 2 : fisilogis komplek


pertukaran Kelas E : jantung paru Kelas K : manajemen pernafasan
Kelas 4 : fungsi pernafasan 0402 : gangguan pertukaran gas 3140 : manajemen jalan nafas
00030 : gangguan Setelah dilakukan tindakan - Buka jalan nafas, gunakan
pertukaran gas keperawatan selama 15 menit, tekhnik chin lift/jawthrust
criteria hasil yang diharapkan bila perlu
- 040325 : kapasitas vital - Posisikan pasien untuk
- 040327 : tes fungsi paru memaksimalkan ventilasi
- 040312 : tiidak ada - Lakukan fisioterapi bila
pursed lips perlu

Domain 4 : Domain 2 : kesehatan psikologis Domain 2 : fisiologis komplek


aktivitas/istirahat Kelas E : jantung paru Kelas H : manajemen nyeri
Kelas 4 : respon 0400 : ketidakefektifan pompa jaringan
kardiovaskular/pulmona jantung 4040 : perawatn jantung
00029 : penurunan curah Setelah dilakukan tindakan - Catat adanya distritmia
jantung keperawatan selama 31-45 menit, - Monitor status
criteria hasil yang diharapkan kardiovaskuler
- 040001 : tekanan darah - Monitor adanya
sistolik perubahan tekanan darah
- 040002 : tekanan darah - Evaluasi adanya nyeri
diastolic dada
- 040012 : angina

Anda mungkin juga menyukai