Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

(MUTLAQ dan MUQAYYAD)

DosenPembimbing: Dr. H. Usman, M.Ag

DisusunOlehKelompok: III

 FathiatulKamilaini (170601036)
 Abdul Kholik (170601037)

JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR IV B

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Pujisyukur kami panjatkankehadirat Allah SWT yang atasrahmatnya kami


dapatmenyelesaikanmakalahinidengansebaik-baiknya.

Makalahinikami buat sebagai portofolio mata kuliah Ulumul Qur’an.

Walaupun kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dalam menyelesaikan


makalah ini masih banyak kekurangan, untukitu kami mohon maaf apabila banyakkesalahan
dalam makalah ini. Serta ucapan terimakasih kami tujukan kepada Bapak Dr. H. Usman,
M.Ag selaku dosen pembimbing matakuliah Ulumul Qur’an.

Akhir kata semoga makalah iniberguna bagi diri kami priba di secara khususnya dan
rekan-rekan secara umumnya.

Mataram, Maret 2019

Kelompok III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------------

BAB I PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------

A. LatarBelakang ------------------------------------------------------------------------

BAB II PEMBAHASAN ---------------------------------------------------------------------

A MutlaqdanMuqayyad ------------------------------------------------------------------

a. Pengertian Mutlaq ---------------------------------------------------------------

b. Pengertian Muqayyad -----------------------------------------------------------

B. KaidahMutlaqdanMuqayyad -------------------------------------------------------

C. Macam-MacamMutlaqdanMuqayyad ---------------------------------------------

BAB III PENUTUP ---------------------------------------------------------------------------

KESIMPULAN --------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------------


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama.
Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran mengandung
keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat
makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan utama umat Islam dalam
berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan
motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali
kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran, sebenarnya dari
semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika
ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-
ayat Al-Quran itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga
terdapat ayat yang maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi
untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Quran yang
digunakan untuk menentukan suatu hukum. Oleh karena itu, agar dapat memahami dan
mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran, dalam makalah ini
akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca. Sebagian aspek
tersebut yaitu mengenai empat, yaitu mutlaq, muqayyad, manthuq, dan mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Mutlaq dan Muqayyad


a. Pengertian Mutlaq
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”,
“rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata
tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami.Adapun
beberapa pendapat para ualam tentang mutlaq dan muqayyad:
1) Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu
atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2) Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
3) Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi
petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.
Munurut bahasa yaitu tidak terikat. Sedangkan menurut istilah adalah suatu kata yang
menunjukan suatu materi tanpa ikatan. Mutlaqadalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat
tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu
dari hakikat tersebut.
.
b. Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad
adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat
tertentu.
Muqayyadadalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan),
seperti kata-kata “raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat:

‫ير َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة‬


ُ ‫فَت َ ْح ِر‬
Yang artinya: “(maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang
beriman. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 92).
Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman.Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam
bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang
membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang
beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.
Para ulama berkata: ”kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan
muqayad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan denganya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga
tidak. Tetapi yang mutlaq itu tetap pada kemutlakanya. Dan yang muqayad tetap pada
maknanya. Karna Allah menurunkan firman-Nya kepada kita dengan Bahasa Arab”.
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan
muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang
mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang
terdepat dalam surat al-Mujadalah ayat 3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti
sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik
mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada
contoh di atas.

B. Kaidah Mutlaq dan Muqayyad


Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan
bentuk muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:
1) Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang
ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang
mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.
Contoh:Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدَّ ُم َولَ ْح ُم ْال ِخ ْن ِز‬


)3:‫ير (المائدة‬ ْ ‫ُح ِ ِّر َم‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal
lain yang mengikatnya.
Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal
bahaya bagi siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.
Contoh: Ayat Muqayyad
Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
ْ ‫طا ِع ٍم َي‬
‫ط َع ُمهُ ِإ ََّل أ َ ْن َي ُكونَ َم ْيتَةً أ َ ْو دَ ًما‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى‬
َّ َ‫ي ِإل‬ ِ ُ ‫قُ ْل ََل أ َ ِجد ُ ِفي َما أ‬
َ ‫وح‬
)145:‫َم ْسفُو ًحا (األنعام‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh
qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).Sebab dan
hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama yaitu
masalah darah yang diharamkan.
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang
mutlak sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka
pelaksanaan hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan
demikian hukum yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan
harus dipahami darah yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.
2) Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya
berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.

Contoh:Ayat Mutlaq
Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

)6:‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِم ْنهُ( المائدة‬ َ ‫ص ِعيدًا‬


ْ َ‫طيِِّبًا ف‬
َ ‫ام‬ َ ‫فَت َ َي َّم ُموا‬
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain
yang mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah
keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan
atau sampai siku, tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang
menerangkan tata cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan
hanya sampai pergelangan tangan.
Contoh: Ayat Muqayyad
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ال‬


‫ص ََلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى‬
)6:‫ق (المائدة‬ ِ ِ‫ْال َم َراف‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang
mengikatnya yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut
mencuci tangan harus sampai siku.
Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu
keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq
sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad
menerangkan keharusan mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat
mutlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad. Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan
tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan
membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat mutlaq dan muqayyad berjalan sesuai
dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.
3) Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya
sama, maka yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang
muqayyad.
Contoh: AyatMutlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada
istrinya.

َّ ‫ير َرقَ َب ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن َيت َ َما‬


‫سا‬ ُ ‫سائِ ِه ْم ث ُ َّم َيعُودُونَ ِل َما قَالُوا فَت َ ْح ِر‬ َ ُ‫َوالَّذِينَ ي‬
َ ِ‫ظا ِه ُرونَ ِم ْن ن‬
)3:‫(المجادلة‬
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena
tidak ada lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar
istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan
hamba sahaya atau budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.
Contoh: AyatMuqayyad
Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :

ُ ‫طأ ً فَت َ ْح ِر‬


)92:‫ير َرقَبَ ٍة ُمؤْ ِمنَ ٍة (النساء‬ َ ‫َو َم ْن قَت َ َل ُمؤْ ِمنًا َخ‬
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat
lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain
kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap
diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan
kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.
Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang
ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang
muqayyad.
Contoh:AyatMutlaq
Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

)38:‫َّللاِ ( المائدة‬ َ ‫طعُوا أ َ ْي ِديَ ُه َما َجزَ ا ًء ِب َما َك‬


َّ َ‫سبَا نَ َك ًاَل ِمن‬ َ ‫ارقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫س‬َّ ‫ار ُق َوال‬
ِ ‫س‬َّ ‫َوال‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”
Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan
tanpa diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.
Contoh: AyatMuqayyad
Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

ِ ‫ص ََل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ْال َم َرا ِف‬


‫ق‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ال‬
)6:‫(المائدة‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”
Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz
“ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci
tangan sampai siku.
Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama
berbentuk mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab
dan hukum yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus
potong tangan. Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan
membasuh tangan sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa
dipahami menurut yang muqayyad.

C. Macam - MacamMutlaq dan Muqayyad

Mutlaq dan Muqayad memiliki bentuk aqliyah dan sebagai realitas bentukya kami
kemukakan berikut ini:
1). Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itu
dalam qara’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf dan diungkapkan secara
mutlaq:

“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan
kamu langgar].”
Dan ia muqayyad di batasi dengan tatabu (berturut turut) dalam qira’ah Ibn Mas’ud
(Maka kafarahnya puasa selam tiga hari berturut-turut). Dalam hal seprti ini, pengertian
lafadz yang mutlaq dibawa kepada lapadz yang muqayyad (dengan arti ) yang di maksud
lafadz mutlaq adalah sama dengan yang di maksud dengan lafadz muqayyad, karana sebab
yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolong
berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus di lakukan tiga hari berturut-turut.
Maka dalam kasus ini dipandang tidak ada mukoyyas yang karenanya lafadz mutlaq
dibawa kepadanya.
2). Sebab sama namun hukum bebeda, seperti kata “tangan” dalam wudhu dan
tayamum. Membasuh tangan dalam wudhu di batasi sampai dengan siku. Dalam hal
ada yang berpendapat lafadz yang mutlaq tidak dibawa kepada lafadz muqayyad
karena berlainan hukumnya. Namun Al-Ghazali menukil dari mayoritas ulama Syafi’i
bahwa mutlaq disini dibawa kepada muqayyad mengingat “sebab”-nya sama
sekalipun berbeda hukumnya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah
lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba
sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya..
Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang
membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan
yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
apabila suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafaz menurut ucapan (makna
tersurat), yakni menunjukkan makna yang berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan
disebut pemahaman secara manthuq. mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi
bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan
oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Burhanuddin. 2001. FiqihIbadah, CV PUSTAKA SETIA


Imam Jalaludin As –Syuthi. 2007. Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya: PT Bina Ilmu, hlm.129
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.Bandung
Manna Kholil Al-Qattan. 2006. Studi Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Lentera

Anda mungkin juga menyukai