Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Permasalahan Pada Multiple Trauma

Multiple Trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua

sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara khusus,

Multiple Trauma adalah suatu sindrom dari cedera multiple dengan derajat

keparahan yang cukup tinggi dengan Injury Severity Score (ISS) > 16 yang disertai

dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian menimbulkan terjadinya

disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital

yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung. (Trentz, 2000)

Trauma merupakan penyebab kematian dan disabilitas terbanyak (Brandon,

et al, 2007 ; Thorsen, et al, 2011). Tujuan utama dari penanganan awal pasien

multiple trauma adalah membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah

resusitasi untuk memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ

vital. (Rockwood, 2006).

Dari beberapa jurnal yang ada, menyebutkan trauma dapat menyebabkan

stres inflamasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas

(Gletsu, N., 2006 ; Xiang, L., 2010). Secara umum, paska trauma akan terjadi

respon imunologis yaitu pembentukan protein fase-akut C-Reactive Protein (CRP)

dan pelepasan sitokin akibat kerusakan sel endotel, disfungsi permeabilitas

vaskular, gangguan mikrosirkulasi, dan nekrosis parenkim sel (Keel, M., 2005).

11
12

Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan

berlangsung sebentar. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non spesifik.

Pada umumnya dipicu oleh faktor inflamasi dan non inflamasi, seperti infeksi

bakteri, infeksi virus, infeksi parasit, infeksi jamur, keganasan, adanya benda asing,

penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, penyakit mental, pertambahan usia,

obesitas, merokok dan kondisi non inflamasi lainnya (Baratawidjaya dan

Rengganis, 2014).

2.2. Mekanisme Inflamasi pada Trauma

Trauma menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan pada tubuh penderita.

Hal ini menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif

tubuh untuk mengeliminasi jaringan yang rusak (Gerard, M. D., 2006).

Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling

berkoordinasi untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi, yaitu sitokin Tumor

Necrosis Faktor-α (TNF-α), interleukins, interferons, leukotrienes, prostaglandins,

nitric oxide, Reactive Oxygen Species (ROS), serta produk dari classic

inflammatory pathway (complement, histamine, bradykin). Ketika mediator-

mediator tersebut berkumpul di jaringan yang rusak maka mediator-mediator

tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun innate dan adaptive untuk

menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi serta untuk melakukan proses

perbaikan di jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui

kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat
13

lokal menjadi sistemik yang kemudian disebut dengan Systemic Inflammatory

Response Syndrome atau SIRS (Craig, S. R., et al, 2005).

SIRS berhubungan dengan kebocoran kapiler dan kebutuhan energi yang

tinggi sehingga memerlukan keadaan hemodinamik yang hiperdinamik dan

meningkatkan kebutuhan akan oksigen. Keadaan hemodinamik yang hiperdinamik

akan menyebabkan peningkatan beban metabolik yang disertai dengan muscle

wasting, kehilangan nitrogen, dan pemecahan protein. Keadaan hipermetabolik ini

sering kali disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh.

Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi

energi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya burn out (Gerard, M. D., 2006).

Gambar 2.1. Respon Inflamasi Paska Trauma (Gerard, M. D., 2006)


14

Selanjutnya SIRS menyebabkan adanya gangguan terhadap metabolisme

sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat

maka dapat menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi yang

berupa disfungsi beberapa organ tubuh, yaitu :

1. Disfungsi otak : delirium

2. Disfungsi paru-paru : hipoksia

3. Disfungsi jantung dan pembuluh darah : syok dan edema

4. Disfungsi ginjal : oligouria

5. Disfungsi saluran pencernaan : ileus

6. Disfungsi liver : hiperbilirubinemia

7. Disfungsi hematologi : koagulopati dan anemia (Gerard, M. D., 2006)

Selain disfungsi beberapa organ tubuh, juga terjadi gangguan terhadap

sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS kemudian akan

menyebabkan terjadinya Multiple Organ Failure (MOF) yang kemudian berakhir

dengan kematian (Gerard, M. D., 2006).

Selain MODS, respon inflamasi yang berlebihan juga dapat meyebabkan

terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Hal tersebut disebabkan

oleh karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada

permukaan alveolar-capillary sehingga menyebabkan kebocoran cairan kaya

protein ke rongga alveoli yang akan menimbulkan manifestasi klinis ARDS

(Gerard, M. D., 2006). Ada beberapa hal yang timbul pasca trauma dan dapat
15

meningkatkan inflamasi, yaitu : hemostasis, syok hipovolemik dengan pemberian

resusitasi cairan dan koagulopati.

2.2.1 Hemostasis

Hemostasis merupakan proses kompleks untuk mencegah kehilangan darah

setelah terjadinya trauma pada vaskular. Empat proses fisiologi utama yang

berperan, yaitu : vasokonstriksi, agregasi, trombosit, pembentukan fibrin dan

fibrinolysis (Brandon, et al, 2007).

Tahap pertama hemostasis segera dimulai pada saat terjadi trauma jaringan,

dimulai dengan terjadinya vasokonstriksi dan pembentukan fibrin. Bersamaan

dengan hal tersebut, jaringan luka di sekitarnya melepaskan sitokin pro-inflamasi

seperti Transforming Growth Factor (TGF)-β, Platelet-Derived Growth Factor

(PDGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), dan Epidermal Growth Factor (EGF).

Begitu pendarahan teratasi, sel-sel inflamasi akan bermigrasi ke dalam luka

(chemotaxis) dan meningkatkan inflamasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi

neutrofil, makrofag, dan limfosit (Gosain dan DiPietro, 2004; Broughton, et al,

2006; Campos, et al, 2008).

Fungsi neutrofil yang paling utama adalah pembersihan mikroba di daerah

luka, meski sel-sel ini juga menghasilkan zat seperti protease dan Reactive Oxygen

Species (ROS), yang dapat menambah kerusakan jaringan.

Makrofag memainkan banyak peran dalam penyembuhan luka. Pada proses

awal luka, makrofag melepaskan sitokin yang meningkatan respon inflamasi

dengan cara rekrutmen dan pengaktifan leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab

untuk menginduksi dan apoptosis (termasuk neutrofil), sehingga timbul peradangan


16

(Meszaros, et al, 2000; Mosser dan Edwards, 2008). Dengan cara ini, makrofag

menyebabkan transisi ke tahap penyembuhan proliferatif. Kemokin dan sitokin

yang berkontribusi terhadap respon inflamasi selama penyembuhan luka.

Sementara sel-sel gamma-delta dan keratinosit berkontribusi pada penyembuhan

kulit (Jameson dan Havran, 2007 ; Mills, et al, 2008). T-limfosit bermigrasi ke luka

setelah peradangan sel, dan pada akhir proliferasi atau fase remodeling awal. Peran

limfosit-T belum sepenuhnya dipahami. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

penurunan konsentrasi sel-T di tempat luka dikaitkan dengan gangguan

penyembuhan luka, sementara yang lain telah melaporkan bahwa sel CD 4+ (sel T-

helper) memiliki peran positif dalam penyembuhan luka dan sel CD8 + (sel T-

suppressor-sitotoksik) memainkan peran penghambatan dalam penyembuhan luka

(Swift, et a, 2001; Park dan Barbul, 2004).

2.2.2 Syok dan Resusitasi cairan

Seorang pasien dengan cedera jaringan yang berat dan disertai syok

hipovolemik menunjukkan respon tubuh yang sangat mirip pada pasien dengan

sepsis (Xiao, 2011 ; Marik, 2012). Kerusakan jaringan dan syok menyebabkan

inflamasi (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Siklus Kerusakan Jaringan dan Respon Inflamasi


17

Hipoperfusi akibat syok menyebabkan hemostasis pada endothelium

vaskular terganggu (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Kerusakan Endothelial Glycocalyx pasca trauma

Kerusakan pada Glycocalyx Endothelial memungkinkan terjadinya

kebocoran kapiler. Hal ini berhubungan dengan proses terjadinya SIRS (Stein,

2012). Kehilangan protein dari intravascular ke interstitial jaringan akan

memperburuk oksigenasi dan perfusi jaringan dan akan berakibat edema jaringan.

Kondisi ini berkorelasi dengan kematian (Johansson, 2011). Terpaparnya molekul-

molekul dari endotel akan mengaktifkan sistem inflamasi seperi leukosit yang dapat

menambah kerusakan jaringan (Mulivor, 2002).

Respon inflamasi tersebut akan menyebabkan beberapa proses, seperti

degradasi glycocalyx secara sistemik, pembengkakan sel endothelial, apoptosis dan

edema jaringan yang luas, yang dihasilkan akibat gangguan mikroperfusi dan

oksigenasi jaringan (Chappell, 2009 ; Torres, 2013 ; Mulivor, 2004 ; Neher, 2011 ;

Stein, 2012). Konsep resusitasi saat ini ditujukan untuk memutus siklus diatas,

diharapkan menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut (Chappell, 2008). Namun,

resusitasi kristaloid dalam jumlah besar, diikuti oleh tranfusi darah dalam bentuk

Fresh Frozen Plasma (FFP) maupun Trombocyte Concentrate (TC), yang dipakai
18

sebagai standar selama beberapa dekade ini tidak lagi dianggap tepat (Cohen,

2012). Jadi, upaya meminimalkan kehilangan darah dari jaringan dengan

perdarahan yang tidak terkontrol akibat trauma, diketahui sebagai Damage Control

Resuscitation (DCR) (Dutton, 2012). Permissive Resuscitation merupakan salah

satu cara yang dipakai dalam DCR dalam upaya mencegah terlepasnya klot

ekstravaskular yang rapuh (Dutton, 2012).

Pilihan resusitasi ini bertujuan tidak menaikkan tekanan darah, namun

mempertahankan tekanan darah dalam kondisi normotensi (Brown, 2013).

Sehingga dapat memperbaiki outcome.

Oleh sebab itu, timbul pertanyaan, cairan resusitsi apa yang terbaik

dipakai untuk meminimalkan komplikasi inflamasi paska resusitasi pada trauma

dengan syok?. Banyak studi menyebutkan, resusitasi terbaik yang diberikan adalah

darah penderita paska trauma itu sendiri. Beberapa keuntungannya adalah, secara

imunologis cocok, tidak berisiko terpapar agen infeksi baru, mengandung

komponen dan mediator yang tidak tersedia secara komersial, dan biasanya tidak

mengandung sitrat atau pengawet antikoagulan eksogen lainnya. Produk tranfusi

darah saat ini banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, sehingga sering

membawa risiko peningkatan inlamasi yang cukup besar bagi penderita itu sendiri

(Dodd, 2004 ; Stramer, 2007 ; Frenzel, 2008 ; Engelbrecht, 2013).

2.2.3 Koagulopati

Perdarahan dan gangguan koagulasi paska trauma merupakan masalah

utama bagi semua orang. Perawatan untuk pasien yang mengalami trauma dengan

pendarahan yang berat, merupakan penyebab kematian dalam populasi pasien ini
19

selama 24-48 jam pertama setelah trauma (Peden, 2002 ; Kauvar, 2006). Inflamasi

paska trauma dan koagulasi saling terkait (Gambar 2.4 (Esmon, 2011).

Gambar 2.4. Siklus Koagulopati berakibat Inflamasi

Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR ≥ 1,2. Pada

trauma, nilai INR ≥1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat

dengan resiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. Faktor-

faktor koagulasi dapat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Saat terjadi

pembentukan fibrin, maka bakteri akan terjebak dan dapat mengakibatkan

penurunan penyebaran bakteri (Degen, 2007). Trombosit mengikat neutrofil,

kemudian menginduksi pembentukan DNA ekstraseluler antimikroba (Brinkmann,

2004). Faktor-faktor VIIa, trombin, dan faktor Xa meningkatkan respon inflamasi

(Engelmann, 2013 ; Christians, 2013)

Koagulopati pasca trauma yang baru dijelaskan ini terkait dengan

peningkatan kadar anti koagulan active-Protein C (aPC) dan penurunan Protein C

Zymogen (Christians, 2013). Banyak studi menjelaskan bahwa proses koagulopati

pasca trauma akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dengan cara blokade anti

koagulan aPC (Chesebro, 2009). Namun, di saat yang bersamaan, proses blokade

tersebut akan mengaktifkan respon inflamasi yang akan meningkatkan angka


20

kematian pasca trauma (Chesebro, 2009). Penelitian terbaru pada primata

menunjukkan bahwa aPC dapat mencegah trombosis mikrovaskuler yang

berlebihan dengan cara memecah procoagulant exstracellular histones (Johansson,

2011 ; Kutcher, 2012 ; Johansson, 2013) untuk mencegah disfungsi dari endotel,

kegagalan organ dan kematian. Perlindungan terhadap endotelium sangat penting

karena keutuhan endotel dan homeostasis sangat penting untuk perfusi jaringan,

oksigenasi dan fungsi kekebalan tubuh (Chappell, 2009). Sebagai contohnya,

endothelial glycocalyx merupakan komponen penting sebagai vascular barrier

(Chappell, 2009). Dalam usaha untuk memecahkan lingkaran setan ini, sangat

penting memberikan resusitasi cairan yang adekuat untuk perfusi mikrosirkulasi

tanpa banyak kehilangan darah.

2.3 Aspek Molekular pada Trauma

Paska trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis

pada respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator

endogen atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan

bagian dari respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut

akan menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan Compensatory Anti-

Inflammatory Response Syndrome (CARS). Pada proses inflamasi, terjadi

keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut

untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Bila proses inflamasi tersebut

berlebihan maka pasien akan memasuki Malignant Systemic Inflammation


21

(moderate atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS

dan MODS (Gerard, M. D., 2006).

Terdapat beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya MODS, antara lain

adalah sebagai berikut :

1. Macrophage theory: adanya peningkatan produksi sitokin dan mediator lain

oleh activated macrophage.

2. Microcirculatory theory: adanya syok hipovolemik yang berkepanjangan

dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen ke jaringan dan fenomena

reperfusi yang kemudian dapat menyebabkan MODS.

3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan sebagai

first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup berat yang

kemudian mengaktivasi sistem imun innate, termasuk makrofag, leukosit,

natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang diperkuat oleh

interleukin-8 (IL-8) dan komponen komplemen (C5a dan C3a). Ketika

stimulus menjadi berkurang dan pasien seharusnya mengalami resolusi,

adanya secondary insult atau second hit akan menyebabkan reaktivasi SIRS

yang kemudian akan menimbulkan late MODS. Secondary insult yang

dimaksud misalnya adalah pembedahan dan sepsis (Craig, S. R., et al,

2005). Bagan one and two hit theory dapat dilihat pada gambar 2.5.
22

Gambar 2.5 One and Two Hit Theory (Craig S R et al., 2005).

2.4 Dampak Sistemik dari Trauma (First Hit)

Terjadinya respon inflamasi paska trauma merupakan bagian dari reaksi

fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh

faktor eksternal (derajat trauma) serta faktor internal (predisposisi genetik

seseorang) (Craig, S. R., et al, 2005).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stimulasi beberapa mediator

inflamasi terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang

berperan penting dalam proses inflamasi paska trauma, jenis sitokin tersebut dapat

dilihat pada tabel 2.1. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat

suatu trauma dengan kadar inflammatory markers, contohnya adalah terjadi

peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 dalam plasma pasien dengan ISS

≥16 (Craig, S. R., et al, 2005).

Pengukuran sitokin proinflamasi sangat beramanfaat dalam penggunaan

klinis. Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu TNF-

α dan Interleukin 12 (IL-12), mempunyai korelasi dengan derajat perdarahan awal

serta keadaan nonsurvival setelah mengalami ARDS dan MODS. Kemudian


23

terdapat beberapa penelitian yang bertentangan dengan hal tersebut, dikatakan

bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (Giannouids, P. V., et

al, 2004).

Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien paska

trauma juga terjadi imunosupresi. Setelah trauma, produksi immunoglobulin dan

interferon berkurang sehingga meningkatkan risiko pasien tersebut untuk terinfeksi

yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh

pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan

enzim lisosom (Giannouids, P. V., et al, 2004).

Beberapa trauma tertentu disebutkan lebih sering meyebabkan MODS.

Diantara trauma ekstremitas, fraktur femur dikatakan berhubungan dengan

meningkatnya risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur

femur berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup

signifikan (Rockwood, 2006).

2.5 Dampak Sistemik dari Prosedur Pembedahan (Second Hit)

Seorang pasien multiple trauma yang awalnya dalam kondisi moderat

kemudian akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang

termasuk second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi

pembedahan. Dengan adanya pemahaman tersebut, maka diciptakan suatu konsep

damage control surgery yang bertujuan untuk meminimalisir stress terhadap

unstable patient yang berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi paskatrauma

(Craig, S. R., et al, 2005).


24

Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua

hal tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada

tubuh pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS

(Craig, S. R., et al, 2005).

2.6 Fase Prehospital, Standar Assessment dan Resusitasi Pasien Trauma

Fase Prehospital intinya memberikan penanganan cepat pada pasien

sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. Negara

maju mengenal sistem EMS yang di organisasi pemerintah lokal, terdiri atas

personel kesehatan yang telah tersertifikasi kursus bantuan hidup dasar, akan

memberikan pertolongan darurat dahulu bagi pasien (seperti menjaga patensi

airway, kontrol pendarahan eksternal) setelah pasien stabil akan di transportasikan

secepatnya dengan mobil ambulans menuju ke rumah sakit terdekat (biasanya

menuju rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre dan terlebih dahulu sudah

dihubungi tentang rencana dan kondisi pasien trauma yang akan dirujuk) untuk

diberikan penatalaksanaan definitif (Kobayashi, et al, 2015).

Pasien yang diberikan resusitasi cairan prehospital mampu memberikan

angka survival yang baik (National Institute for Health and Care Excellence, 2004).

Batasan waktu fase prehospital diistilahkan dengan “Golden Hour” yang mana

jangka waktunya 60 menit dari pasien ditemukan di tempat kecelakaan dan di

tranportasikan ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. Kecepatan ambulans

menjangkau pasien di tempat kecelakaan (Ambulance Response Time) dapat

memperbaiki outcome klinis pasien, standar waktu ditentukan 8 menit atau kurang
25

di negara maju (Carlowe, 2012; Do, et al, 2013). Singapura bahkan memangkas

waktu menjadi kisaran 7,5 menit (Do, et al, 2013).

Angka mortalitas meningkat tiga kali lipat setiap 30 menit dari saat pasien

kecelakaan sampai mendapatkan penanganan definitif. Secara spesifik untuk kasus

pasien trauma abdomen pemendekan waktu prehospital memberikan outcome yang

baik bagi pasien. Beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta memiliki ambulans 118

tetapi respon time nya jauh dibawah standar negara lain dikarenakan

ketidaksepadanan jumlah ambulans dengan luas cakupan wilayah (luas wilayah

Jakarta (661m2), populasi 10-12 juta penduduk dengan ambulans 26 buah yang

diletakkan di titik strategis Jakarta Utara dan Pusat dan kemacetan lalu lintas.

Sedangkan di Yogyakarta memiliki respon time 10 menit karena ditunjang

populasi 425.000 dan lalu lintas yang tidak macet (Pusponegoro, dan Pitt, 2004).

Assessment pasien trauma terbaik menggunakan sistem ATLS seperti dirumuskan

American College of Surgeons Committee on Trauma tahun 2008. Saat pasien

datang di terima tim Trauma RS yang kemudian menjalankan protokol : primary

survey (ABCDE), resusitasi, secondary survey (Head to Toe Examination),

Investigasi dan penanganan definitif.

2.7 C-Reactive Protein (CRP)

CRP merupakan protein yang ditemukan dalam darah dan meningkat

sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut. Lebih lanjut CRP

merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP juga diproduksi oleh
26

dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos dan jaringan adiposa

(Pepys dan Hirschfield, 2003).

CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun

1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen

CRP terletak pada kromosom 1. Awalnya penamaan CRP berasal dari

kemampuannya mempresipitasi somatik C-polisakarida dari bakteri Streptococcus

pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut

sebagai petanda sistemik yang sensitif terhadap rangsangan inflamasi dan

kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz, et al, 2003).

Respon pada fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk

endotermik terhadap kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan proses keganasan.

Secara khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang

dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan

protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor

proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum

protein amiloid A. CRP mengaktivasi sistem komplemen dan terikat dengan

reseptornya. Peningkatan CRP yang bermakna mengindikasikan inflamasi yang

terjadi (Pepys dan Hirschfield, 2003).

Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/L, 90

persentil mencapai 3,0 mg/L dan 99 persentil mencapai 10 mg/L. CRP sebagai

petanda inflamasi akut mengalami kenaikan 100-1.000 kali setelah terjadinya

infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat 10.000

kali lipat. Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit melalui kontrol sitokin IL-6. CRP
27

dapat meningkat melebihi 5 mg/L dan timbul 4-6 jam setelah terjadinya

rangsangan, berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai puncaknya dalam 48 jam.

Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan membutuhkan waktu beberapa

hari untuk kembali normal. Apabila rangsangan sebagai pencetus inflamasi

dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal secara cepat. Kadar CRP >

10 mg/L mengindikasikan reaksi inflamasi yang bermakna. Kadar serum CRP yang

meningkat terlihat pada kondisi trauma, nekrosis jaringan, infeksi, pembedahan,

infark miokardium dan berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit

kardiovaskuler.

Beberapa keadaan noninflamasi juga dapat meningkatkan kadar CRP,

seperti obesitas, depresi, bertambahnya usia, inaktivitas fisik, radioterapi serta

merokok. Hubungan antara produksi CRP dan polimorfisme genetik Interleukin-1

(IL-1) dan IL-6 juga telah dikemukakan. Kadar CRP yang tinggi sering

dihubungkan dengan meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas (Volanakis,

2001 ; Aziz, et al, 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003; Marnell, et al, 2005). Pada

kebanyakan kasus, representasi CRP bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi.

CRP termasuk dalam turunan pentraksin protein calcium dependent ligand-

binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit polipeptida

nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam amino.

Protomer CRP dihubungkan secara nonkovalen dalam konfigurasi annular yang

berbentuk penta siklik. Masing-masing protomer mempunyai karakteristik “lectin

fold” yang terdiri atas lembaran 2 lapis β dengan topologi jellyroll yang datar. Situs

yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium yang terikat 4
28

Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf, sedangkan bagian

lain membawa heliks α tunggal (Gambar 2.6) (Pepys dan Hirschfield, 2003;

Thompson, et al, 1999).

Gambar 2.6. Struktur molekul dan morfologi CRP. (a). Dengan mikrograf elektron

menunjukkan struktur pentamerik, (b). Struktur kristal dengan diagram berwarna

yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat pada masing-

masing protomer, dan (c) Molekul CRP dengan molekul fosfokolin tunggal yang

terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield, 2003)

2.8 Hubungan C-Reactive Protein dengan Trauma

Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan

berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut

respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein

plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak

terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan

protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas

imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan

berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti

kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang
29

melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi.

Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast yang cenderung menarik eosinofil. Segera

setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi dalam endotel vaskular yang

memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama neutrofil, tetapi juga monosit dan

limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti

IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein

yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan

C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki

sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP

mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan

sebagainya. Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada

fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja

dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk

menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi.

Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar

berupa Acute Phase Reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling

terkenal adalah CRP. APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi

termasuk pada paska trauma. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut,

termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut

sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai

mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk kompleks dan

mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai


30

aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan

pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai

molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur.

Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya

CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif

dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam

pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED,

CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu

dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar

CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).

Gambar 2.7. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik

(Hengst, 2003)

Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai

macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan

oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah

(Volanakis, 2001).
31

Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan

kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan

inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa penelitian

menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-85% untuk

infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan

atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter laboratorium

respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih

lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan.

Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit obat yang

dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda inflamasi

biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk mengetahui penyakit

organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap inflamasi dan infeksi serta

mendeteksi infeksi pada penyakit imunokompromis dan penyakit yang

dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut (Aguiar, et al,

2013).

Dalam menginterpretasikan hasil CRP, ada beberapa hal yang

mempengaruhinya yang berhubungan dengan inflamasi. Supaya pengukuran CRP

mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak

mempengaruhi interpretasi. Hal-hal yang meningkatkan kadar CRP adalah

obesitas, DM, hipertensi, merokok, sedangkan keadaan yang menurunkan kadar

CRP adalah diet dan penurunan IMT, latihan fisik, berhenti merokok, terapi aspirin

dan statin (Huang, et al, 2013).


32

Pemeriksaan klinis untuk CRP dapat dilakukan tanpa memandang waktu

pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam penyimpanan

3 hari dengan suhu 20-250°C, 8 hari pada suhu 2-80°C dan untuk jangka waktu

lama disimpan pada suhu -700°C (Ridker, et al, 2000).

Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal

digunakan beberapa studi epidemiologi. Metode ini semikuantitatif terutama hanya

untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian

dikembangkan metode CRP (metode kuantitatif) yang otomatis dan dapat

digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food

and Drug Administration (FDA) adalah metode imunonefelometri dari Dade

Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan hasilnya

terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan yaitu metode

IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15 mg/L (Roberts, et

al, 2001).

2.9 Faktor Resiko non inflamasi terjadinya peningkatan CRP

2.9.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.9.1.1 Obesitas

Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan pesat dalam

prevalensi obesitas akibat konsumsi diet tinggi lemak dan gaya hidup. Menurut

WHO tingkat obesitas telah mencapai proporsi epidemi di seluruh dunia dengan

sekitar 2,3 miliar orang dewasa diperkirakan akan kelebihan IMT atau obesitas pada

tahun 2015.
33

Obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan sebagai faktor

predisposisi terjadinya sindrom metabolik, termasuk intoleransi glukosa, hipertensi,

dislipidemia, obesitas sentral, fatty liver dan resistensi insulin. Sindrom metabolik

meningkatkan risiko perkembangan penyakit kronis seperti diabetes tipe 2 mellitus

dan aterosklerosis. Obesitas juga meningkatkan beban ekonomi yang signifikan

dalam biaya perawatan kesehatan (Sanchez, et al, 2011).

Obesitas dikaitkan dengan kondisi inflamasi kronis tingkat rendah dengan

infiltrasi progresif sel-sel imun pada jaringan adiposa obesitas. Sitokin yang

dikeluarkan sel imun dan adipokines jaringan adiposa meningkatkan inflamasi

jaringan dan selanjutnya menginduksi resistensi insulin. Obesitas adalah penyakit

kronis dengan penyebab multifaktorial dan dapat didefinisikan sebagai peningkatan

akumulasi lemak tubuh. Jaringan adiposa bukan hanya organ penyimpanan

trigliserida, namun penelitian telah menunjukkan peran jaringan white adiposa

sebagai penghasil zat bioaktif tertentu yang disebut adipokines. Selain adipokines,

juga ditemukan beberapa mediator inflamasi, seperti IL-6.

Salah satu Adipokines yaitu leptin, bekerja pada sistem limbik dengan

merangsang penyerapan dopamin, menciptakan perasaan kenyang. Namun,

adipokines ini menginduksi produksi ROS, menghasilkan proses yang dikenal

sebagai stres oksidatif (OS). Obesitas dikaitkan dengan peningkatan kadar leptin.

Dalam peradangan, leptin bekerja langsung pada makrofag untuk meningkatkan

aktivitas fagosit, dan produksi sitokin proinflamasi juga memberikan efek pada T-

sel, monosit, neutrofil, dan sel endotel. Ketika leptin diberikan, terjadi peningkatan

kadar CRP, sehingga membuktikan efek inflamasi. Ketika ada penurunan IMT,
34

tingkat sirkulasi hormon berkurang, dan pada gilirannya, akan mengurangi kadar

marker inflamasi plasma terkait obesitas. Selain menyebabkan stres oksidatif dan

peradangan pembuluh darah, leptin merangsang proliferasi dan migrasi sel endotel

dan sel otot polos, sehingga mendukung perkembangan aterosklerosis. (Sanchez, et

al, 2011). Etiologi Obesitas adalah penyakit kronis dengan penyebab multifaktorial

yang berkembang dari interaksi faktor-faktor sosial, perilaku, psikologis,

metabolik, selular, dan molekuler (Sanchez, et al, 2011).

Hal ini adalah kondisi di mana jaringan adiposa meningkat dan dapat

didefinisikan sebagai peningkatan IMT yang merupakan hasil akumulasi lemak

yang berlebihan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan obesitas

yaitu IMT BMI > 30 dan mendefinisikan overweight yaitu BMI = 25 (Sikaris,

2004). Obesitas pada dasarnya adalah akumulasi berlebihan dari triasilgliserol

dalam jaringan lemak yang merupakan hasil asupan energi yang berlebihan

dibandingkan dengan penggunaan energi. Terdapat hipotesis dasar penyebab

penyakit yaitu thrifty gene theory, yang menunjukkan bahwa beberapa populasi

mungkin memiliki gen yang menentukan peningkatan penyimpanan lemak, yang

pada kondisi lapar akan memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup, tetapi

dalam keadaan saat ini, kelebihan penyimpanan lemak menghasilkan obesitas dan

diabetes melitus tipe 2 (Sikaris, 2004).

Perubahan gaya hidup dan diet telah mengakibatkan peningkatan jumlah

obesitas. Teori lain yang menjelaskan perkembangan obesitas yakni bahwa gizi

buruk ibu dan pertumbuhan janin yang buruk merupakan faktor risiko untuk

terjadinya penyakit kronis yang mempengaruhi pemrograman struktur tubuh,


35

fisiologi, dan metabolisme. Sistem saraf pusat (SSP), melalui sinyal-sinyal,

mengatur nafsu makan, asupan energi, dan kenaikan IMT, obesitas dapat

disebabkan oleh kegagalan jalur sinyal ini (Sikaris, 2004). Jaringan adiposa

Jaringan adiposa manusia dibagi menjadi jaringan adiposa coklat, yang memiliki

adipocytes multilokular dengan mitokondria yang banyak dan mengekspresikan

sejumlah besar Uncoupling Protein 1 (UCP-1), yang bertanggung jawab untuk

kegiatan termogenik jaringan ini, dan jaringan adiposa putih, yang bertanggung

jawab untuk penyimpanan lemak. Di antara karakteristik jaringan adiposa

putih,ditemukan bahwa jaringan tersebut terdiri dari jenis sel yang berbeda seperti

fibroblas, preadipocytes, adiposit matang, dan makrofag. Jaringan ini sangat

heterogen tergantung lokasi visceral atau subkutan (Sanchez, et al, 2011).

Pada hewan coba dengan obesitas, ada peningkatan besar dalam deposit

lemak putih karena hiperplasis dan hipertrofi adipositnya. Jaringan adiposa bukan

hanya penyimpanan trigliserida (TG), penelitian dalam beberapa tahun terakhir

telah menunjukkan peran jaringan adiposa putih sebagai penghasil zat tertentu

dengan aktivitas endokrin, parakrin, dan autokrin (Sikaris,2004). Zat-zat bioaktif

ini adalah adipokines atau adipocytokines, di antaranya ditemukan Plasminogen

Activator Inhibitor-1 (PAI-1), TNF-α, resistin, leptin, adiponektin. Zat-zat ini

terutama berasal dari jaringan adiposa putih dan berperan dalam homeostasis

berbagai proses fisiologis (Gambar 2.8).


36

Gambar 2.8. Gambar ini menunjukkan adipokines utama dan perannya. Jaringan

adiposa menghasilkan beberapa adipokines yang memberi efek metabolik, baik di

pusat maupun di jaringan perifer. Produksi adipokines ini diatur oleh insulin,

cathecholamines, dan adipositas (Sanchez, et al, 2011).

 Obesitas dan Stres oksidatif

Obesitas dapat menyebabkan stres oksidatif sistemik, dikaitkan dengan

produksi irreguler adipokine, yang berkontribusi pada perkembangan sindrom

metabolik. Sensitivitas CRP dan biomarker lain dari kerusakan oksidatif lebih

tinggi pada individu dengan obesitas dan berkorelasi langsung dengan BMI dan

persentase lemak tubuh, oksidasi LDL, dan tingkat trigliserida. Sebaliknya, marker

antioksidan lebih rendah sesuai dengan jumlah lemak tubuh dan obesitas sentral.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi lemak dan karbohidrat

menginduksi peningkatan yang signifikan dalam stres oksidatif dan peradangan

pada orang dengan obesitas (Sanchez, et al, 2011).


37

Mekanisme Pembentukan Radikal Bebas pada Obesitas :

1. Jaringan adiposa

Peningkatan obesitas terkait stres oksidatif terjadi karena adanya jaringan

adiposa berlebihan. Telah diketahui bahwa adipocytes dan preadipocytes telah

diidentifikasi sebagai sumber sitokin proinflamasi, termasuk TNF-α, IL-1, dan IL-

6. Sitokin ini adalah stimulator poten untuk produksi oksigen reaktif dan nitrogen

oleh makrofag dan monosit. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi sitokin ini

dapat meningkatkan stres oksidatif. TNF-α juga meningkatkan interaksi elektron

dengan oksigen untuk menghasilkan anion superoksida. Jaringan adiposa juga

memiliki kapasitas sekresi angiotensin II, yang merangsang aktivitas oksidasi

Nicotinamide adenine dinukleotida fosfat (NADPH) dan produksi reaktif oksigen

species (ROS) di adiposit.

2. Oksidasi Asam Lemak

Oksidasi mitokondria dan oksidasi peroxisomal asam lemak mampu

menghasilkan radikal bebas dalam hati oleh karena itu stres oksidatif dapat

mengakibatkan perubahan DNA mitokondria dalam fosforilasi oksidatif yang

terjadi pada mitokondria dan menyebabkan kelainan struktural dan pengurangan

adenosin trifosfat (ATP). Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa kelainan

mitokondria telah terjadi sebelumnya yang kemudian menimbulkan kelebihan

produksi ROS.

3. Berlebihan konsumsi Oksigen

Obesitas meningkatkan beban mekanik dan metabolisme miokard, oleh

karena itu, konsumsi oksigen meningkat. Salah satu konsekuensi negatif dari
38

peningkatan konsumsi oksigen adalah produksi ROS sebagai superoksida,

peroksida radikal, dan hidrogen hidroksil yang berasal dari peningkatan respirasi

mitokondria dan dari hilangnya elektron yang dihasilkan dalam rantai transpor

elektron, yang mengakibatkan pembentukan superoksida radikal.

4. Akumulasi Kerusakan Seluler

Akumulasi lemak yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sel karena

efek tekanan dari sel-sel lemak yaitu, steatohepatitis non alkohol. Kerusakan sel

pada gilirannya menyebabkan produksi yang tinggi sitokin seperti TNF-α, yang

menghasilkan ROS di jaringan, meningkatkan lipid peroksidasi.

5. Jenis Diet

Kemungkinan mekanisme lain pembentukan ROS pada obesitas adalah

melalui diet. Konsumsi diet tinggi lemak dapat mengubah metabolisme oksigen.

Deposit lemak rentan terhadap timbulnya reaksi oksidasi. Jika produksi ROS ini

melebihi kapasitas antioksidan sel, stres oksidatif mengakibatkan peroksidasi lipid

dan memberikan pengaruh untuk perkembangan aterosklerosis.

6. Peran Mitokondria dalam Perkembangan stres oksidatif pada Obesitas

Mitokondria memberikan energi yang dibutuhkan untuk hampir semua

proses seluler yang pada akhirnya memungkinkan melaksanakan fungsi fisiologis,

selain itu mitokondria memegang peran sentral dalam kematian sel dengan

mekanisme apoptosis. Disfungsi mitokondria terlibat dalam berbagai penyakit

mulai dari penyakit neurodegenerative untuk diabetes dan penuaan. Obesitas

mempengaruhi metabolisme mitokondria, yang mendukung pembentukan ROS dan

pengembangan stres oksidatif. Di sisi lain, mekanisme lain telah disampaikan yaitu
39

melibatkan efek dari trigliserida tinggi (TG) pada fungsi rantai pernapasan

mitokondria, dimana intraseluler TG, yang juga tinggi, menghambat translokasi

nukleotida adenin dan mengakibatkan pembentukan superoksida (Sanchez, et al,

2011).

 Inflamasi dan Obesitas

Inflamasi sebagai manifestasi dari peningkatan stres oksidatif, yang

meningkat pada seseorang dengan obesitas dan berhubungan dengan resistensi

insulin dan disfungsi endotel. Mekanisme inflamasi pada obesitas terkait dengan

adanya jaringan adiposa yang memproduksi adipokine dan protein fase akut yang

dipicu oleh hipoksia. Hipoksia akan dihasilkan selama pertumbuhan berlebih dari

jaringan adiposa selama obesitas. Jaringan adiposa menghasilkan 25% IL-6

sistemik, sehingga jaringan adiposa ini dapat menyebabkan inflamasi sitemik

tingkat rendah pada orang dengan kelebihan lemak tubuh. Bukti menunjukkan

bahwa secara keseluruhan, dibandingkan dengan makrofag, sel-sel lemak memiliki

kapasitas sama atau lebih besar dari sel-sel inflamasi, dan telah diamati bahwa

terjadi peningkatan faktor-faktor yang dikeluarkan oleh adiposit pada inflamasi

sistemik. Jaringan adiposa obesitas mengaktifkan CD8(+)T-sel, yang kemudian

mengakibatkan perekrutan dan aktivasi makrofag dalam jaringan ini. CD8 (+) T-

sel memainkan peran penting dalam inisiasi inflamasi adiposa (Nishimura, et al,

2009).

2.9.1.2 Overweight

Overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat

badan ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak. Kelebihan
40

lemak tubuh disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara kalori yang

dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan. Sangat umum terjadi di banyak negara

maju dan beberapa negara berkembang, dimana overweight dapat berkembang

mejadi obesitas atau menjadi underweight (Reilly, 2003 ; Caballero, 2007). Jika

overweight pada orang dewasa tidak terkontrol dengan baik oleh aktivitas fisik, dan

diet, bisa berakibat obesitas. Demikian pula bila overweight terjadi pada anak-anak,

kemudian tidak disertai intervensi dini untuk mengendalikan berat badan tersebut,

maka bisa tumbuh menjadi obesitas, bahkan kondisi ini mungkin berlanjut sampai

dewasa. Obesitas pada dewasa akan menimbulkan banyak komplikasi seperti

diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular dan lainnya (Reilly, 2003).

Akibat penumpukan lemak berlebihan pada orang dengan overweight,

maka dapat terjadi pula proses stres oksidatif sistemik, dikaitkan dengan produksi

irreguler adipokine, yang berkontribusi pada perkembangan sindrom metabolik.

2.9.1.3 Underweight

Underweight pada orang dewasa adalah jika nilai BMI kurang dari 18,5

(Jensen, 2014). Underweight dapat terjadi pada beberapa segmen populasi di

beberapa negara maju, tapi tidak begitu umum terjadi di Amerika Serikat.

Underweight adalah masalah abadi pada banyak negara berkembang sebagai akibat

dari diare berkepanjangan, sanitasi yang buruk dan kelaparan (Black, 2013).

Pada obesitas, ketika leptin diberikan, terjadi peningkatan kadar CRP,

sehingga membuktikan efek inflamasi. Ketika ada penurunan IMT, tingkat sirkulasi

hormon berkurang, dan pada gilirannya, akan mengurangi kadar marker inflamasi

plasma.
41

2.9.2 Usia

Pasien usia tua yang mengalami trauma, masuk ke dalam kelompok resiko

tinggi. Pasien usia tua yang mengalami Mulltiple Trauma akan mengalami resiko

tinggi terjadinya komplikasi bahkan kematian dibandingkan pasien usia muda.

Beberapa penelitian menyebutkan hampir sebanyak 200.000 pasien trauma usia

diatas 40 tahun sudah beresiko tinggi mengalami kematian pasca trauma.

Peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien usia tua disebabkan oleh beberapa

hal, seperti kondisi medis pasien sebelum trauma, serta ketidakmampuan pasien

mengkompensasi jika terjadi Multiple Trauma (Victorino, 2003).

2.10 Trauma Scoring System

Beberapa sistem skoring trauma dikembangkan dan digunakan di banyak

negara untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan. Sistem

skoring pada trauma harus memiliki akurasi, reliabilitas dan spesifisitas yang baik.

sistem skoring ini memberikan keuntungan berupa :

1. Penilaian obyektif untuk mendeteksi level trauma sehingga kita dapat

memperkirakan rencana perawatan yang dibutuhkan.

2. Memberikan data fisiologi yang berhubungan dengan mortalitas pada fase

awal.

3. Menentukan transportasi pasien menuju rumah sakit yang tepat.

4. Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi

lebih awal.

5. Menentukan sarana kesehatan yang dibutuhkan pada daerah tersebut.


42

6. Memberikan data-data epidemiologi trauma.

7. Menilai efektifitas penanganan trauma pada pusat kesehatan. (Chawda, et

al, 2003; Orhon, et al, 2014)

Sistem skoring trauma mengkonversikan beratnya trauma menjadi hitungan

angka sehingga membantu tenaga medis untuk mengkomunikasikan secara

universal. (Chawda, et al, 2003)

Sistem skoring pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan

anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi . Sedangkan berdasarkan

tujuannya, sistem skoring trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel

dibawah. (Chawda, et al, 2003).

Tabel 2.1. Macam-macam sistem skoring trauma. (Chawda, et al, 2003)

Type of scoring system Name of score


Physiological Prognostic Index
Acute Trauma Index
Triage Index
Trauma Score (TS)
APACHE I
APACHE II
Revised Trauma Score (RTS)
APACHE III
Anatomical AIS
ISS
Anatomical Index
Anatomical Profile
New ISS (NISS)
Combined anatomical Trauma Index
and physiological Polytrauma-Schussel
Trauma ISS (TRISS)
A Severity Characterisation Of Trauma (ASCOT)
International Classification of Disease-based ISS
(ICISS)
Harborview Assesment of Risk of Mortality (HARM)
43

Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980

dan merupakan skor fisiologi yang paling sering digunakan. Skor ini menghitung

tiga parameter fisiologi yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), tekanan darah sistemik

dan respirasi. Kelemahannya, skor ini tidak praktis digunakan pada kasus trauma

sehingga jarang digunakan. Selain itu RTS tidak dapat digunakan pada pasien-

pasien dalam kondisi terintubasi dan menggunakan ventilator karena kesulitan

dalam menghitung GCS. Perubahan yang cepat pada fisiologi pasien misalnya

akibat respon resusitasi menyebabkan bias pada penghitungan RTS. (Chawda, et al,

2003).

Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) sangat luas

digunakan dalam perawatan intensif. Evaluasi ini meliputi evaluasi penyakit kronis

yang menjadi komorbiditas dan skor fisiologi akut. Skor ini jarang dipakai pada

trauma karena kurang mencerminkan kondisi kelainan di ekstrakranial dan faktor

komorbiditas banyak menimbulkan bias. (Chawda, et al, 2003).

Tabel 2.2 Sistem skoring trauma berdasarkan penggunaannya. (Chawda, et al,

2003)

Common use of the score Example


Injury description: whole AIS
body Anatomical Index
Anatomical Profile
ISS
Injury description: body Organ Injury Scaling I-IV and revisions
region (abdominal and pelvic organ)
Penetrating Abdominal Trauma Index (PATI)
Wagner (lung contusion, CT based)
Tybursky (lung contusion, CT Independent)
Thoracic Trauma Severity Score (TSS)
Mangled Extremity Scale (MES)
Clinical course assesment APACHE I (historical)
44

APACHE II (most popular)


APACHE III (computational complexities)
On scene and triage Triage Index
AIS
ISS
Prehospital Index (PI)
Revised Trauma Score-uncoded (RTS)
In hospital Revised Trauma Score-coded (RTSc)
Acute Trauma Index
Outcome ISS
Prediction-mortality Polytrauma-Schussel (PTS)
Trauma ISS (TRISS)
A Severity Characterisation Of Trauma (ASCOT)
International Classification of Disease-based ISS
(ICISS)
New ISS (NISS)
Harborview Assesment of Risk of Mortality
(HARM)

Abbreviated Injury Scale (AIS) pertama kali dipublikasikan pada tahun

1971. AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada

organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar

dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan.

AIS-71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-

90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak

sistem skoring trauma. (Greenspan dan Greig, 1985; Champion, et al, 1989; Copes,

et al, 1990; Chawda, et al, 2003). Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap

organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Chawda, et al, 2003)

Tabel 2.3. Abbreviated Injury Scale (AIS). (Chawda, et al, 2003)

Injury AIS
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
45

5 Critical
6 Unsurvivable

ISS merupakan sistem skoring secara anatomi yang memberikan skor

keseluruhan pada kasus multiple trauma. Setiap trauma organ memiliki skor AIS

yang dibagi menjadi enam bagian tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen,

ekstremitas dan struktur eksternal. Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada

setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat

dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. ISS memiliki nilai dari

1 sampai 75 dan ISS dengan nilai 75 merupakan pasien dengan AIS 6. Pasien

dengan multiple trauma didefinisikan sebagai pasien dengan ISS ≥16 dan pasien

seperti ini harus dirawat pada trauma centre. Contoh perhitungan ISS dapat dilihat

pada tabel dibawah ini. (Baker, et al, 1974; Chawda, et al, 2003).

Tabel 2.4. Contoh penghitungan ISS. (Chawda et al, 2003)

Region Injury description AIS Square top


three
Head and neck Cerebral contusion 3 9
Face No injury 0
Chest Flail chest 4 16
Abdomen Minor contusion of liver 2
Complex rupture spleen 5 25
Extremity Fracture femur 3
External No injury 0
Injury Severity Score 50

Kelemahan dari ISS adalah perhitungan skor berdasarkan tiga bagian tubuh

yang mengalami trauma terberat. Hal ini dapat menimbulkan underscooring jika

pada satu bagian tubuh terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma.

(Balogh, et al, 2000 ; Chawda, et al, 2003).


46

Trauma and Injury Severity Score (TRISS) merupakan kombinasi dari skor

fisiologi dan skor anatomi yaitu ISS dan RTS. TRISS biasanya digunakan untuk

prediksi hasil akhir dari pasien terutama angka kemungkinan bertahan hidup.

Kelemahan dari sistem skoring pada ISS dan RTS menjadi kelemahan juga pada

sistem skoring ini. (Boyd, et al, 1987; Chawda, et al, 2003)

Anda mungkin juga menyukai