TINJAUAN PUSTAKA
sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara khusus,
Multiple Trauma adalah suatu sindrom dari cedera multiple dengan derajat
keparahan yang cukup tinggi dengan Injury Severity Score (ISS) > 16 yang disertai
disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital
yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung. (Trentz, 2000)
et al, 2007 ; Thorsen, et al, 2011). Tujuan utama dari penanganan awal pasien
multiple trauma adalah membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah
resusitasi untuk memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ
(Gletsu, N., 2006 ; Xiang, L., 2010). Secara umum, paska trauma akan terjadi
vaskular, gangguan mikrosirkulasi, dan nekrosis parenkim sel (Keel, M., 2005).
11
12
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan
berlangsung sebentar. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non spesifik.
Pada umumnya dipicu oleh faktor inflamasi dan non inflamasi, seperti infeksi
bakteri, infeksi virus, infeksi parasit, infeksi jamur, keganasan, adanya benda asing,
Rengganis, 2014).
Hal ini menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang merupakan respon adaptif
Pada lokasi jaringan yang rusak, sel endotel dan leukosit akan saling
nitric oxide, Reactive Oxygen Species (ROS), serta produk dari classic
tersebut akan melakukan rekrutmen sel-sel sistem imun innate dan adaptive untuk
perbaikan di jaringan yang terluka. Bila derajat infeksi serta trauma melampaui
kemampuan tubuh untuk beradaptasi maka respon inflamasi yang awalnya bersifat
13
sering kali disertai dengan peningkatan suhu tubuh inti dan disregulasi suhu tubuh.
Bila kondisi tersebut tidak diikuti dengan resusitasi yang adekuat maka konsumsi
energi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya burn out (Gerard, M. D., 2006).
sel dan microcirculatory perfusion. Bila respon inflamasi yang terjadi cukup berat
maka dapat menyebabkan perburukan klinis pada pasien dengan manifestasi yang
sistem imunitas tubuh pasien berupa supresi imun. Sindrom tersebut dikenal dengan
oleh karena pada respon inflamasi yang berlebihan akan terjadi kerusakan pada
(Gerard, M. D., 2006). Ada beberapa hal yang timbul pasca trauma dan dapat
15
2.2.1 Hemostasis
setelah terjadinya trauma pada vaskular. Empat proses fisiologi utama yang
Tahap pertama hemostasis segera dimulai pada saat terjadi trauma jaringan,
(PDGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), dan Epidermal Growth Factor (EGF).
neutrofil, makrofag, dan limfosit (Gosain dan DiPietro, 2004; Broughton, et al,
luka, meski sel-sel ini juga menghasilkan zat seperti protease dan Reactive Oxygen
dengan cara rekrutmen dan pengaktifan leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab
(Meszaros, et al, 2000; Mosser dan Edwards, 2008). Dengan cara ini, makrofag
kulit (Jameson dan Havran, 2007 ; Mills, et al, 2008). T-limfosit bermigrasi ke luka
setelah peradangan sel, dan pada akhir proliferasi atau fase remodeling awal. Peran
penyembuhan luka, sementara yang lain telah melaporkan bahwa sel CD 4+ (sel T-
helper) memiliki peran positif dalam penyembuhan luka dan sel CD8 + (sel T-
Seorang pasien dengan cedera jaringan yang berat dan disertai syok
hipovolemik menunjukkan respon tubuh yang sangat mirip pada pasien dengan
sepsis (Xiao, 2011 ; Marik, 2012). Kerusakan jaringan dan syok menyebabkan
kebocoran kapiler. Hal ini berhubungan dengan proses terjadinya SIRS (Stein,
memperburuk oksigenasi dan perfusi jaringan dan akan berakibat edema jaringan.
molekul dari endotel akan mengaktifkan sistem inflamasi seperi leukosit yang dapat
edema jaringan yang luas, yang dihasilkan akibat gangguan mikroperfusi dan
oksigenasi jaringan (Chappell, 2009 ; Torres, 2013 ; Mulivor, 2004 ; Neher, 2011 ;
Stein, 2012). Konsep resusitasi saat ini ditujukan untuk memutus siklus diatas,
resusitasi kristaloid dalam jumlah besar, diikuti oleh tranfusi darah dalam bentuk
Fresh Frozen Plasma (FFP) maupun Trombocyte Concentrate (TC), yang dipakai
18
sebagai standar selama beberapa dekade ini tidak lagi dianggap tepat (Cohen,
perdarahan yang tidak terkontrol akibat trauma, diketahui sebagai Damage Control
satu cara yang dipakai dalam DCR dalam upaya mencegah terlepasnya klot
Oleh sebab itu, timbul pertanyaan, cairan resusitsi apa yang terbaik
dengan syok?. Banyak studi menyebutkan, resusitasi terbaik yang diberikan adalah
darah penderita paska trauma itu sendiri. Beberapa keuntungannya adalah, secara
komponen dan mediator yang tidak tersedia secara komersial, dan biasanya tidak
darah saat ini banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, sehingga sering
membawa risiko peningkatan inlamasi yang cukup besar bagi penderita itu sendiri
2.2.3 Koagulopati
utama bagi semua orang. Perawatan untuk pasien yang mengalami trauma dengan
pendarahan yang berat, merupakan penyebab kematian dalam populasi pasien ini
19
selama 24-48 jam pertama setelah trauma (Peden, 2002 ; Kauvar, 2006). Inflamasi
paska trauma dan koagulasi saling terkait (Gambar 2.4 (Esmon, 2011).
Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR ≥ 1,2. Pada
trauma, nilai INR ≥1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat
dengan resiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. Faktor-
pasca trauma akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dengan cara blokade anti
koagulan aPC (Chesebro, 2009). Namun, di saat yang bersamaan, proses blokade
2011 ; Kutcher, 2012 ; Johansson, 2013) untuk mencegah disfungsi dari endotel,
karena keutuhan endotel dan homeostasis sangat penting untuk perfusi jaringan,
(Chappell, 2009). Dalam usaha untuk memecahkan lingkaran setan ini, sangat
Paska trauma, dalam tubuh pasien akan terjadi perubahan yang dinamis
pada respon hemodinamik, metabolik, dan imun yang dipengaruhi oleh mediator
endogen atau yang disebut dengan sitokin. Proses inflamasi tersebut merupakan
bagian dari respon fisiologis tubuh terhadap suatu trauma. Respon tubuh tersebut
akan menimbulkan SIRS yang kemudian akan diikuti dengan Compensatory Anti-
keseimbangan antara efek positif dari inflamasi dengan potensi dari proses tersebut
(moderate atau severe SIRS) yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya ARDS
3. One and two hit theories: cedera awal yang berat dan syok dikatakan sebagai
first hit, yang akan menyebabkan terjadinya SIRS yang cukup berat yang
natural killer cell, serta migrasi sel inflamasi yang diperkuat oleh
adanya secondary insult atau second hit akan menyebabkan reaktivasi SIRS
2005). Bagan one and two hit theory dapat dilihat pada gambar 2.5.
22
Gambar 2.5 One and Two Hit Theory (Craig S R et al., 2005).
fisiologis terhadap suatu trauma. Derajat dari inflamasi tersebut dipengaruhi oleh
inflamasi terjadi segera setelah terjadinya trauma. Terdapat beberapa sitokin yang
berperan penting dalam proses inflamasi paska trauma, jenis sitokin tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.1. Disebutkan juga bahwa terdapat hubungan antara derajat
peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 dalam plasma pasien dengan ISS
klinis. Awalnya dikatakan bahwa kadar sitokin primary inflammatory, yaitu TNF-
bahwa IL-6 merupakan marker yang lebih dapat dipercaya (Giannouids, P. V., et
al, 2004).
Selain terjadi imunostimulasi yang bersifat selektif, pada tubuh pasien paska
yang kemudian nantinya dapat berkembang menjadi sepsis. Selain itu, pada tubuh
pasien juga terjadi gangguan pada kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan kandungan
meningkatnya risiko untuk outcome yang buruk. Hal tersebut dikarenakan fraktur
femur berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak serta perdarahan yang cukup
kemudian akibat dari second hit, kondisi pasien tersebut dapat memburuk. Yang
termasuk second hit, antara lain infeksi, transfusi darah, serta intervensi
Second hit merupakan additive terhadap first hit dan bila kombinasi kedua
hal tersebut cukup parah maka akan mengganggu keseimbangan fisiologis pada
tubuh pasien serta akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MODS dan ARDS
sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre. Negara
maju mengenal sistem EMS yang di organisasi pemerintah lokal, terdiri atas
personel kesehatan yang telah tersertifikasi kursus bantuan hidup dasar, akan
menuju rumah sakit dengan fasilitas Trauma Centre dan terlebih dahulu sudah
dihubungi tentang rencana dan kondisi pasien trauma yang akan dirujuk) untuk
angka survival yang baik (National Institute for Health and Care Excellence, 2004).
Batasan waktu fase prehospital diistilahkan dengan “Golden Hour” yang mana
memperbaiki outcome klinis pasien, standar waktu ditentukan 8 menit atau kurang
25
di negara maju (Carlowe, 2012; Do, et al, 2013). Singapura bahkan memangkas
Angka mortalitas meningkat tiga kali lipat setiap 30 menit dari saat pasien
baik bagi pasien. Beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta memiliki ambulans 118
tetapi respon time nya jauh dibawah standar negara lain dikarenakan
Jakarta (661m2), populasi 10-12 juta penduduk dengan ambulans 26 buah yang
diletakkan di titik strategis Jakarta Utara dan Pusat dan kemacetan lalu lintas.
populasi 425.000 dan lalu lintas yang tidak macet (Pusponegoro, dan Pitt, 2004).
sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut. Lebih lanjut CRP
merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP juga diproduksi oleh
26
dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos dan jaringan adiposa
CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun
1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen
pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut
Respon pada fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk
Secara khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang
dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan
protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor
proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum
Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/L, 90
persentil mencapai 3,0 mg/L dan 99 persentil mencapai 10 mg/L. CRP sebagai
infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat 10.000
kali lipat. Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit melalui kontrol sitokin IL-6. CRP
27
dapat meningkat melebihi 5 mg/L dan timbul 4-6 jam setelah terjadinya
Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan membutuhkan waktu beberapa
dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal secara cepat. Kadar CRP >
10 mg/L mengindikasikan reaksi inflamasi yang bermakna. Kadar serum CRP yang
kardiovaskuler.
(IL-1) dan IL-6 juga telah dikemukakan. Kadar CRP yang tinggi sering
2001 ; Aziz, et al, 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003; Marnell, et al, 2005). Pada
binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit polipeptida
nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam amino.
fold” yang terdiri atas lembaran 2 lapis β dengan topologi jellyroll yang datar. Situs
yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium yang terikat 4
28
Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf, sedangkan bagian
lain membawa heliks α tunggal (Gambar 2.6) (Pepys dan Hirschfield, 2003;
Gambar 2.6. Struktur molekul dan morfologi CRP. (a). Dengan mikrograf elektron
yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat pada masing-
masing protomer, dan (c) Molekul CRP dengan molekul fosfokolin tunggal yang
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan
berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut
respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein
plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak
protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas
imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan
berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti
kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang
29
melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi.
Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast yang cenderung menarik eosinofil. Segera
setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi dalam endotel vaskular yang
IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein
yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan
sebagainya. Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada
fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk
Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar
berupa Acute Phase Reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling
terkenal adalah CRP. APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi
termasuk pada paska trauma. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut,
termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut
aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan
pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai
Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya
CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif
dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam
pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED,
CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu
dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar
Gambar 2.7. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik
(Hengst, 2003)
macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan
oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah
(Volanakis, 2001).
31
Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan
kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan
inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa penelitian
menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-85% untuk
infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan
respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih
lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan.
Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit obat yang
biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk mengetahui penyakit
organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap inflamasi dan infeksi serta
dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut (Aguiar, et al,
2013).
mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak
CRP adalah diet dan penurunan IMT, latihan fisik, berhenti merokok, terapi aspirin
pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam penyimpanan
3 hari dengan suhu 20-250°C, 8 hari pada suhu 2-80°C dan untuk jangka waktu
Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal
digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food
Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan hasilnya
terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan yaitu metode
IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15 mg/L (Roberts, et
al, 2001).
2.9.1.1 Obesitas
Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan pesat dalam
prevalensi obesitas akibat konsumsi diet tinggi lemak dan gaya hidup. Menurut
WHO tingkat obesitas telah mencapai proporsi epidemi di seluruh dunia dengan
sekitar 2,3 miliar orang dewasa diperkirakan akan kelebihan IMT atau obesitas pada
tahun 2015.
33
dislipidemia, obesitas sentral, fatty liver dan resistensi insulin. Sindrom metabolik
infiltrasi progresif sel-sel imun pada jaringan adiposa obesitas. Sitokin yang
sebagai penghasil zat bioaktif tertentu yang disebut adipokines. Selain adipokines,
Salah satu Adipokines yaitu leptin, bekerja pada sistem limbik dengan
sebagai stres oksidatif (OS). Obesitas dikaitkan dengan peningkatan kadar leptin.
aktivitas fagosit, dan produksi sitokin proinflamasi juga memberikan efek pada T-
sel, monosit, neutrofil, dan sel endotel. Ketika leptin diberikan, terjadi peningkatan
kadar CRP, sehingga membuktikan efek inflamasi. Ketika ada penurunan IMT,
34
tingkat sirkulasi hormon berkurang, dan pada gilirannya, akan mengurangi kadar
marker inflamasi plasma terkait obesitas. Selain menyebabkan stres oksidatif dan
peradangan pembuluh darah, leptin merangsang proliferasi dan migrasi sel endotel
al, 2011). Etiologi Obesitas adalah penyakit kronis dengan penyebab multifaktorial
Hal ini adalah kondisi di mana jaringan adiposa meningkat dan dapat
yaitu IMT BMI > 30 dan mendefinisikan overweight yaitu BMI = 25 (Sikaris,
dalam jaringan lemak yang merupakan hasil asupan energi yang berlebihan
penyakit yaitu thrifty gene theory, yang menunjukkan bahwa beberapa populasi
pada kondisi lapar akan memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup, tetapi
dalam keadaan saat ini, kelebihan penyimpanan lemak menghasilkan obesitas dan
obesitas. Teori lain yang menjelaskan perkembangan obesitas yakni bahwa gizi
buruk ibu dan pertumbuhan janin yang buruk merupakan faktor risiko untuk
mengatur nafsu makan, asupan energi, dan kenaikan IMT, obesitas dapat
disebabkan oleh kegagalan jalur sinyal ini (Sikaris, 2004). Jaringan adiposa
Jaringan adiposa manusia dibagi menjadi jaringan adiposa coklat, yang memiliki
kegiatan termogenik jaringan ini, dan jaringan adiposa putih, yang bertanggung
putih,ditemukan bahwa jaringan tersebut terdiri dari jenis sel yang berbeda seperti
Pada hewan coba dengan obesitas, ada peningkatan besar dalam deposit
lemak putih karena hiperplasis dan hipertrofi adipositnya. Jaringan adiposa bukan
telah menunjukkan peran jaringan adiposa putih sebagai penghasil zat tertentu
terutama berasal dari jaringan adiposa putih dan berperan dalam homeostasis
Gambar 2.8. Gambar ini menunjukkan adipokines utama dan perannya. Jaringan
pusat maupun di jaringan perifer. Produksi adipokines ini diatur oleh insulin,
metabolik. Sensitivitas CRP dan biomarker lain dari kerusakan oksidatif lebih
tinggi pada individu dengan obesitas dan berkorelasi langsung dengan BMI dan
persentase lemak tubuh, oksidasi LDL, dan tingkat trigliserida. Sebaliknya, marker
antioksidan lebih rendah sesuai dengan jumlah lemak tubuh dan obesitas sentral.
1. Jaringan adiposa
diidentifikasi sebagai sumber sitokin proinflamasi, termasuk TNF-α, IL-1, dan IL-
6. Sitokin ini adalah stimulator poten untuk produksi oksigen reaktif dan nitrogen
oleh makrofag dan monosit. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi sitokin ini
menghasilkan radikal bebas dalam hati oleh karena itu stres oksidatif dapat
produksi ROS.
karena itu, konsumsi oksigen meningkat. Salah satu konsekuensi negatif dari
38
peroksida radikal, dan hidrogen hidroksil yang berasal dari peningkatan respirasi
mitokondria dan dari hilangnya elektron yang dihasilkan dalam rantai transpor
efek tekanan dari sel-sel lemak yaitu, steatohepatitis non alkohol. Kerusakan sel
pada gilirannya menyebabkan produksi yang tinggi sitokin seperti TNF-α, yang
5. Jenis Diet
melalui diet. Konsumsi diet tinggi lemak dapat mengubah metabolisme oksigen.
Deposit lemak rentan terhadap timbulnya reaksi oksidasi. Jika produksi ROS ini
selain itu mitokondria memegang peran sentral dalam kematian sel dengan
pengembangan stres oksidatif. Di sisi lain, mekanisme lain telah disampaikan yaitu
39
melibatkan efek dari trigliserida tinggi (TG) pada fungsi rantai pernapasan
2011).
insulin dan disfungsi endotel. Mekanisme inflamasi pada obesitas terkait dengan
adanya jaringan adiposa yang memproduksi adipokine dan protein fase akut yang
dipicu oleh hipoksia. Hipoksia akan dihasilkan selama pertumbuhan berlebih dari
tingkat rendah pada orang dengan kelebihan lemak tubuh. Bukti menunjukkan
kapasitas sama atau lebih besar dari sel-sel inflamasi, dan telah diamati bahwa
mengakibatkan perekrutan dan aktivasi makrofag dalam jaringan ini. CD8 (+) T-
sel memainkan peran penting dalam inisiasi inflamasi adiposa (Nishimura, et al,
2009).
2.9.1.2 Overweight
badan ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak. Kelebihan
40
lemak tubuh disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara kalori yang
dikonsumsi dengan energi yang dikeluarkan. Sangat umum terjadi di banyak negara
mejadi obesitas atau menjadi underweight (Reilly, 2003 ; Caballero, 2007). Jika
overweight pada orang dewasa tidak terkontrol dengan baik oleh aktivitas fisik, dan
diet, bisa berakibat obesitas. Demikian pula bila overweight terjadi pada anak-anak,
kemudian tidak disertai intervensi dini untuk mengendalikan berat badan tersebut,
maka bisa tumbuh menjadi obesitas, bahkan kondisi ini mungkin berlanjut sampai
maka dapat terjadi pula proses stres oksidatif sistemik, dikaitkan dengan produksi
2.9.1.3 Underweight
Underweight pada orang dewasa adalah jika nilai BMI kurang dari 18,5
beberapa negara maju, tapi tidak begitu umum terjadi di Amerika Serikat.
Underweight adalah masalah abadi pada banyak negara berkembang sebagai akibat
dari diare berkepanjangan, sanitasi yang buruk dan kelaparan (Black, 2013).
sehingga membuktikan efek inflamasi. Ketika ada penurunan IMT, tingkat sirkulasi
hormon berkurang, dan pada gilirannya, akan mengurangi kadar marker inflamasi
plasma.
41
2.9.2 Usia
Pasien usia tua yang mengalami trauma, masuk ke dalam kelompok resiko
tinggi. Pasien usia tua yang mengalami Mulltiple Trauma akan mengalami resiko
Peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien usia tua disebabkan oleh beberapa
hal, seperti kondisi medis pasien sebelum trauma, serta ketidakmampuan pasien
skoring pada trauma harus memiliki akurasi, reliabilitas dan spesifisitas yang baik.
awal.
4. Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi
lebih awal.
Sistem skoring pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan
tujuannya, sistem skoring trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel
Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980
dan merupakan skor fisiologi yang paling sering digunakan. Skor ini menghitung
tiga parameter fisiologi yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), tekanan darah sistemik
dan respirasi. Kelemahannya, skor ini tidak praktis digunakan pada kasus trauma
sehingga jarang digunakan. Selain itu RTS tidak dapat digunakan pada pasien-
dalam menghitung GCS. Perubahan yang cepat pada fisiologi pasien misalnya
akibat respon resusitasi menyebabkan bias pada penghitungan RTS. (Chawda, et al,
2003).
digunakan dalam perawatan intensif. Evaluasi ini meliputi evaluasi penyakit kronis
yang menjadi komorbiditas dan skor fisiologi akut. Skor ini jarang dipakai pada
2003)
1971. AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada
organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar
dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan.
AIS-71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-
90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak
sistem skoring trauma. (Greenspan dan Greig, 1985; Champion, et al, 1989; Copes,
et al, 1990; Chawda, et al, 2003). Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap
organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Chawda, et al, 2003)
Injury AIS
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
45
5 Critical
6 Unsurvivable
keseluruhan pada kasus multiple trauma. Setiap trauma organ memiliki skor AIS
yang dibagi menjadi enam bagian tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen,
ekstremitas dan struktur eksternal. Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada
setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat
dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. ISS memiliki nilai dari
1 sampai 75 dan ISS dengan nilai 75 merupakan pasien dengan AIS 6. Pasien
dengan multiple trauma didefinisikan sebagai pasien dengan ISS ≥16 dan pasien
seperti ini harus dirawat pada trauma centre. Contoh perhitungan ISS dapat dilihat
pada tabel dibawah ini. (Baker, et al, 1974; Chawda, et al, 2003).
Kelemahan dari ISS adalah perhitungan skor berdasarkan tiga bagian tubuh
yang mengalami trauma terberat. Hal ini dapat menimbulkan underscooring jika
pada satu bagian tubuh terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma.
Trauma and Injury Severity Score (TRISS) merupakan kombinasi dari skor
fisiologi dan skor anatomi yaitu ISS dan RTS. TRISS biasanya digunakan untuk
prediksi hasil akhir dari pasien terutama angka kemungkinan bertahan hidup.
Kelemahan dari sistem skoring pada ISS dan RTS menjadi kelemahan juga pada