Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN

Manajemen Sistem Rekayasa

Integrated of Floating Solar PV System with Seaweed and


Corral Reef Farm Case Study of Sumba Island, East Nusa
Tenggara (NTT)

Dea Amrializzia - 1806154034


Melati Nurkirana - 1806154141
Mohammad Rezky - 1806154159
Muhammad Nizami - 1806154173
Nadira Hanum - 1806154192
Sarah Sholihatul Amalia - 1806154261

MAGISTER OF GAS MANAGEMENT


UNIVERSITY OF INDONESIA

2019
0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... 1

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... 3

DAFTAR TABEL ....................................................................................... 4

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 5

1.1 Rasio Elektrifikasi di Indonesia ........................................................ 5

1.2 Energi Baru Terbarukan .................................................................. 7

1.3 Gambaran Umum Kondisi Sektor Energi Provinsi NTT ................... 9

1.4 Potensi Energi Provinsi NTT ......................................................... 10

1.5 Potensi Pembangkit Berbasis Tenaga Surya di Provinsi NTT ....... 11

1.6 Tujuan Penulisan ........................................................................... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 13

2.1 Teknologi Energi Solar ................................................................... 13

2.2 Solar Photovoltaic (PV)................................................................... 14

2.3 Floating Solar PV ............................................................................ 19

2.4 Benchmarking Floating Solar PV .................................................... 20

2.5 Intensitas Panas Matahari di Provinsi NTT ..................................... 22

2.6 Konsenvasi Coral Reefs dan Seaweed Farm ................................. 24

2.6.1 Konservasi Seaweed Farm ........................................................ 24

2.6.2. Konservasi Coral Reefs dengan Metode Mineral Accretion ...... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 30

3.1 Pengumpulan Data ......................................................................... 31

3.2 Perhitungan Energi ......................................................................... 31

3.2.1 Menentukan Jumlah Energi yang Dihasilkan .............................. 32


1
3.2.2 Menentukan Luas Area yang Dibutuhkan ................................... 32

3.2.3 Menentukan Efesiensi dari Solar PV .......................................... 33

3.2.4 Menentukan Jumlah Panel Solar PV yang Dibutuhkan .............. 33

3.2.5 Menentukan Kapasitas Baterai dan Jumlah Baterai ................... 33

3.3 Perhitungan Kelayakan Ekonomi .................................................... 34

3.3.1 Biaya Investasi ........................................................................... 34

3.3.2 Indikator Keekonomian Proyek ................................................... 35

BAB IV. PEMBAHASAN ......................................................................... 37

4.1 Kondisi Saat Ini tentang Sistem Tenaga Listrik di Nusa Tenggara
Timur (NTT) .......................................................................................... 37

4.2 Proyeksi Kebutuhan Listrik di NTT.................................................. 42

4.3 Proposal Ide Baru (FAST Diagram) ................................................ 44

4.4 Analisis Tekno-Ekonomi Proyek Floating Solar PV Terintegrasi


dengan Pengembangan Seaweed FarmError! Bookmark not defined.

4.4.1 Data Input ...................................... Error! Bookmark not defined.

4.4.2 Rencana Kapasitas Pembangkit Floating Solar PV .............. Error!


Bookmark not defined.

BAB V. KESIMPULAN ............................................................................ 45

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 71

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Rasio Elektrifikasi di Indonesia 2018 ................................................. 6


Gambar 1.0.2 Potensi Energi Terbarukan di ASEAN ............................................ 8
Gambar 2.0.1 Contoh Teknologi Solar Energi..................................................... 13
Gambar 2.0.2 Breakdown Energi Terbarukan, Remap 2050 ................................ 14
Gambar 2.0.3 Pertumbuhan Energi Terbarukan, Remap Case 2017-2050 ......... 15
Gambar 2.0.4 Ground- Mounted Solar PV, UK ................................................... 16
Gambar 2. 0.5 Rooftop Solar PV, China ............................................................. 17
Gambar 2..6 Canal Top Solar PV, India .............................................................. 18

3
DAFTAR TABEL

4
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Rasio Elektrifikasi di Indonesia

Akses listrik merupakan salah satu prasyarat dasar peningkatan kualitas


hidup dan penguatan daya saing ekonomi masyarakat dan bangsa. Tidak
ada satupun negara di dunia yan mampu mencapai tahapan pembangunan
dan kesejahteraan yang tinggi tanpa memperhatikan akses listrik yang
memadai dan berkelanjutan bagi rakyatnya. Negara-negar maju, pada
umumnya, sangat memperhatikan pembangunan sektor ketenagalistrikan
untuk menjaga produktifitas dan daya saing industri serta menjamin
kesejahteraan warganya.

Akses listrik memadai masih menjadi tantangan besar di Indonesia.


Menurut International Energy Agency, Indonesia relative tertinggal dalam
hal rasio elektrifikasi (perbandinan jumlah rumah tangga yang mendapatkan
akses listrik dengan total rumah tangga) di Kawasan ASEAN. Meski
meningkat setiap tahun, namun rasio elektrifikasi Indonesia di 2017 lalu
masih berada di peringkat 6 di Asia Tenggara. Pada akhir 2017, rasio
elektrifikasi Indonesia mencapai 95,35%, melebihi target yang ditetapkan
sebesar 92,75%.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),


rasio elektrifikasi Singapura dan Thailand telah 100%. Kemudian rasio
elektrifikasi Brunei Darussalam capai 99,9%, Malaysia mencapai 99%, dan
Vietnam mencapai 98,88%. “Rasio elektrifikasi kita masih lebih rendah
kalau dibandingkan Singapura, Thailand, Brunei, Malaysia, dan Vietnam,”
ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy N
Sommeng kepada kumparan (Kumparan, 2018).

Selain kurangnya akses, kesenjangan dalam penyediaan listrik


antarkawasan di Indonesia juga menjadi masalah besar. Pada 2018,

5
Kawasan di luar Jawa memiliki rasio elektrifikasi sekitar 95%. Angka ini
relatif lebih rendah dibandingkan rasio elektrifikasi di wilayah Jawa yang
mencapai rata-rata 99% khususnya Provinsi Papua (81.66%) dan Nusa
Tenggara Timur (61,21%) (lihat Gambar 1.1). Pertumbuhan akses listrik
untuk Nusa Tenggara Timur adalah yang paling rendah di Indonesia.
Dimana Papua bertumbuh sekitar 20% dalam kurun waktu 1 tahun (61,21%
pada 2017- 81,66% pada 2018), sedangkan Nusa Tenggara Timur hanya
memiliki tingkat pertumbuhan kurang dari 1%.

Gambar 1.1 Rasio Elektrifikasi di Indonesia 2018


(PLN, 2018)

6
1.2 Energi Baru Terbarukan

Energi baru terbarukan adalah energi yang berasal dan dihasilkan dari
proses alam yang berkelanjutan. Sumber daya alami yang dapat digunakan
untuk membangkitkan energi baru terbarukan antara lain, panas bumi,
angin, bionergi, aliran dan terjunan air, gerakan perbedaan suhu lapisan
laut, serta sinar matahari.

Berdasarkan skenario EB “energi baru”, penyediaan EBT “energi baru dan


terbarukan” meningkat dengan pertumbuhan 7% per tahun sehingga pada
tahun 2050 pemanfaatan EBT bertambah lebih dari 12 kali lipat dari tahun
2013. Dominasi biomassa pada pangsa penyediaan EBT digeser oleh
panas bumi mulai pada tahun 2020. Hal ini tidak lepas dari upaya
pemerintah dalam mendorong pemanfaatan EBT dalam ketenagalistrikan.
Biomassa yang dimaksud disini adalah biomassa yang dapat
diperjualbelikan yang dipakai di sektor industri dan sektor komersial.
Sampah untuk pembangkit listrik juga dimasukkan kedalam kategori
biomassa namun penggunaan kayu bakar di sektor rumah tangga tidak
termasuk. Jenis EBT yang lainnya seperti CBM, CTL, Angin, Tenaga
Matahari, Nuklir, dan Kelautan yang sebelumnya tidak muncul di tahun
2013 mulai mengisi bauran energi nasional tahun 2025.

Dilihat dari laporan yang dibuat oleh ASEAN Centre for Energy ini,
Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya
energi yang beraneka ragam dan melimpah. Potensi EBT yang dimiliki oleh
Indonesia adalah

7
Gambar 1.0.1 Potensi Energi Terbarukan di ASEAN
(ASEAN Centre for Energy, 2016)

Sayangnya eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan saat ini relatif jauh
lebih kecil dibanding dengan masifnya pengggunaan energi fosil yang tak
terbarukan. Padahal ekonomi Indonesia tahun 2018 tumbuh 5,17% lebih
tinggi dibanding capaian tahun 2017 sebesar 5,07% (BPS, 2018),
kebutuhan energi tetap tinggi. Di antara tarik menarik meningkatnya
kebutuhan energi dan upaya menurunkan emisi, energi terbarukan bisa
menjadi alternative bagi persoalan tersebut. Lebih dari itu, pengelolaan
energi terbarukan relatif sesuai dengan sumber daya alam dan kondisi
geografis ketika diterapkan dengan skala dan kesesuaian lingkungan
spesifik beragam daerah di Indonesia.

8
1.3 Gambaran Umum Kondisi Sektor Energi Provinsi NTT

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki pulau sebanyak 1.192 dan
baru 432 pulau yang memiliki nama, sementara jumlah pulau yang
berpenghuni sebanyak 44 (BPS, 2018). Provinsi NTT memiliki 20
kabupaten dan satu kota yang terletak di tujuh pulau besar, yaitu Pulau
Sumba, Pulau Timor, Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Lembata, Pulau Rote,
dan Pulau Sabu (BPS, 2018). Kondisi Provinsi NTT yang bersifat kepulauan
memberikan tantangan tersendiri dalam hal penyediaan pasokan listrik bagi
masyarakat. Dapat dipastikan pola akses yang bersifat of grid dengan
sumber energi terbarukan akan banyak dikembangkan, khususnya untuk
menyediakan pasokan listrik di pulau-pulau kecil. Laju pertumbuhan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong peningkatan
permintaan energi di NTT.

Selama kurun waktu 2009 hingga 2013, jumlah penduduk NTT bertambah
rata-rata 1,800 dan diperkirakan akan terus meningkat. Pada 2009, jumlah
penduduk NTT sekitar 4,6 juta jiwa, sementara pada 2013 jumlahnya
meningkat menjadi sekitar 4,9 juta jiwa (BPS, 2018). Berdasarkan
perhitungan Kebijakan Energi Nasional (KEN), kebutuhan energi di NTT
diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan jumlah
penduduknya. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin besar
konsumsi energi yang dibutuhkan. Saat ini, tingkat konsumsi energi per
kapita Provinsi NTT berada di bawah rata-rata konsumsi energi nasional.
Oleh karena itu, pembangunan sektor energi di NTT menjadi hal yang
mendesak.

9
1.4 Potensi Energi Provinsi NTT

Permasalahan energi di NTT muncul akibat pola pikir yang menganggap


NTT tidak memiliki potensi energi primer dan bergantung pada pasokan
energi dari daerah lain (Sambodo, Negara, & Fuady, 2016). Pola pikir yang
keliru menganggap energi primer hanya berasal dari migas atau fosil saja
dan cenderung melihat kondisi saat ini NTT tanpa melihat potensi
energinya. Di tahun 2013, sebanyak 96% pembangkit di Provinsi NTT
merupakan pembangkit bertenaga diesel (PLN, 2018). Minyak diesel harus
didatangkan dari provinsi lainnya, padahal NTT memiliki potensi energi
alternatif, seperti panas bumi, air, surya, angin, dan ombak laut. Apabila
potensi sumber energi di NTT ini dapat direalisasikan, pada masa
mendatang provinsi NTT tidak perlu tergantung pada daerah lain untuk
memenuhi kebutuhan energinya.

Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di NTT, PLN setempat melakukan


berbagai investasi. Dalam kaitannya dengan PLTD, kegiatan besar yang
dilakukan adalah relokasi mesin diesel 2x2,5 MW yang ada di Lembata
Cabang Flores Bagian Timut (Sambodo, Negara, & Fuady, 2016). Kegiatan
relokasi seperti ini biasany;l digunakan untuk optimasi tenaga listrik.
Sementara itu, PLTD yang sudah ada di Kabupaten Manggarai, yaitu PLTD
Waso (4.154 kW), PLTD SR Borong (1.300 kW), PLTD SR Reg (1.325 kW),
PLTD SR Pota (400 kW), dan PLTD SR Benteng Jawa (200 kW) (PT PLN
sub-rayon Ruteng, 2014).

Di sisi lain, batu bara merupakan salah satu sumber energi yang terdapat di
NTT. Terkait batu bara, Pemerintah Provinsi NTT telah mengeluarkan
Perda No. 8 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pertambangan Batu Bara
dan Mineral (Provinsi NTT, 2010). Perda tersebut memperjelas berbagai
aspek terkait ruang lingkup pengelolaan, kewenangan, penggolongan
bahan tambang, perencanaan wilayah pertambangan, pengusulan wilayah
pertambangan, perubahan wilayah pertambangan, dan berbagai aspek
10
teknis lainnya. Saat ini, PLN NTT masih mengandalkan pasokan dari PLTU
(Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang ada di Ende 2 X 7 MW dan PLTU 2
yang ada di Kupang sebesar 2 X 165 MW.

NTT, sebagaimana banyak daerah-daerah lain di Indonesia, masih belum


mampu memenuhi kebutuhan energinya secara penuh dan mandiri.
Namun, tidak hanya aspek devisit itu saja yang perlu diatasi. Bank Dunia
menyarankan agar kebijakan energi disiapkan untuk pengembangan energi
masa depan yang dapat diandalkan, terjangkau, berkelanjutan, dan
mengurangi kontribusi terhadap perubahan iklim global (Sambodo, Negara,
& Fuady, 2016).

1.5 Potensi Pembangkit Berbasis Tenaga Surya di Provinsi NTT

Potensi sumber daya surya di NTT sangat besar karena intensitas dan
lama penyinaran sekitar delapan bulan dengan intensitas per hari
diperkirakan mencapai 5,1 kWh/mz. Potensi ini sangat besar dan dapat
memenuhi seluruh kebutuhan energi listrik masyarakat NTT (Likadja, 2014).
Tenaga surya bisa dimanfaatkan untuk menambah kapasitas pembangkit
bertenaga diesel saat beban puncak. Pembangunan pembangkit listrik
tenaga surya sendiri telah ada dalam rencana Pemda NTT. Pada 2016,
pemerintah akan membangun PLTS 1x400 kW di Kabupaten Sumba Barat
Daya, PLTS 1x300 kW di Kabupaten Sumba Timur, PLTS 1x75 kW dan
1x50 kW di Kabupaten Rote Ndao, PLTS 1x75 kW di Kabupaten Manggarai
Barat, serta PLTS dengan total kapasi sebesar 330 kW di Kabupaten Alor
(ESDM, 2018). Pengembangan pembangkit listrik bertenaga surya
merupakan satu alternatif untuk mempercepat peningkatan rasio
elektrifikasi di NTT.

Pemilihan lokasi NTT didasarkan pada empat alasan utama. Pertama,


merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki rasio elektrifikasi
paling rendah selain Papua dan NTB. Kedua, konsumsi liStrik per kapita di
Provinsi NTT berada di bawah ratarata nasional. Hal ini berkorelasi positif
dengan tingginya angka kemiskinan di provinsi ini. Ketiga, Provinsi NTT
11
memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang sangat besar, seperti
energi surya, biofitel, angin, dan panas bumi. Saat ini, Provinsi NTT telah
memiliki pembangkit listrik bertenaga panas bumi (PLTP) di Ulumbu. Hal
yang menarik adalah masih banyak desa di sekitar PLTP Ulumbu yang
belum memperoleh listrik. Keempat, untuk mendukung penerapan EBT,
Pemerintah mencanangkan program untuk menjadikan Pulau Sumba
sebagai iconic island. Program Sumba Iconic Island (SII) merupakan suatu
program yang di inisiasi untuk pengembangan Pulau Sumba sebagai Pulau
Ikonik Energi Terbarukan dengan tujuan untuk meningkatkan akses energi
melalui pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan secara
bertahap sebesar 100%. Pulau Sumba dipilih sebagai ikon Pulau Ikonis
Energi Terbarukan (The Iconic Island of Renewable Energy) karena Pulau
Sumba kaya akan potensi energi terbarukan (air, bioenergi, angin dan
Matahari).

1.6 Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat memberikan gambaran umum mengenai nilai tambah


untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam matahari melalui teknologi
fotovoltaik untuk menghasikan listrik untuk masyarakat dan pelestarian
rumput laut.

Penjelasan teknis yang diberikan bersifat umum, untuk menggambarkan


implementasi energi surya. Aspek engineering yang lebih detil dan
transformasi energi menjadi energi listrik tidak dibahas dalam tulisan ini.

Dalam tulisan ini, penjelasan persoalan proyek lebih mengarah estimasi


CAPEX dan OPEX sebagai bagian dari analisa life cycle cost. Analisa
persoalan-persoalan proyek, seperti penyusunan schedule dan milestone,
bukanlah bagian dari tulisan ini.

12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Energi Solar


Energi matahari adalah sumber energi terbarukan yang terbersih dan paling
berlimpah yang tersedia. AS memiliki beberapa sumber daya matahari
terkaya di dunia. Teknologi saat ini memungkinkan kita untuk
memanfaatkan sumber daya ini dalam beberapa cara, memberikan entitas
publik dan komersial cara yang fleksibel untuk menggunakan cahaya dan
panas matahari. Ada tiga teknologi utama di mana energi matahari
umumnya dimanfaatkan: photovoltaics (PV), yang secara langsung
mengubah cahaya menjadi listrik; mengkonsentrasikan tenaga surya
(CSP), yang menggunakan panas dari matahari (energi termal) untuk
menggerakkan skala utilitas, turbin listrik; dan sistem pemanas dan
pendingin, yang mengumpulkan energi panas untuk menyediakan air panas
dan pendingin udara.

Energi surya dapat digunakan melalui pembangkitan terdistribusi, di mana


peralatan tersebut terletak di atap rumah atau susunan yang dipasang di
tanah dekat dengan tempat energi digunakan. Beberapa teknologi dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi aplikasi skala utilitas untuk
menghasilkan energi sebagai pusat pembangkit listrik.

Gambar 2.0.1 Contoh Teknologi Solar Energi

13
2.2 Solar Photovoltaic (PV)
Beberapa negara di dunia saat ini sangat bergantung pada batu bara,
minyak, dan gas alam sebagai sumber energi. Bahan bakar fosil tidak dapat
diperbarui, karena jumlahnya terbatas maka dapat berdampak pada faktor
ekonomi dan lingkungan. Menurut EIA, energi terbarukan merupakan
energi yang diproduksi dari sumber yang tidak akan habis. Dalam hal ini
mereka tidak akan habis namun jumlah energi yang tersedia terbatas per
unit waktu. Salah satu contoh dari energi terbarukan adalah angin, solar,
geotermal, biomassa, hidropower.

Gambar 2.0.1 Breakdown Energi Terbarukan, Remap 2050


Sumber: IRENA, Global Energy Transformation. A Roadmap to 2050,
IRENA, Abu Dhabi,2018.

Sebagian besar energi terbarukan berasal secara langsung atau tidak


langsung dari matahari. Sinar matahari atau energi matahari, dapat
digunakan secara langsung untuk memanaskan dan menerangi bangunan,
menghasilkan listrik, dan memanaskan air dan berbagai penggunaan
komersial dan industri. Panas matahari juga menggerakkan angin, yang

14
dapat digunakan untuk menggerakkan turbin angin. Kemudian, angin dan
panas matahari menyebabkan air menguap. Ketika uap air ini berubah
menjadi hujan atau salju dan mengalir menuruni bukit ke sungai atau aliran
air, energinya dapat ditangkap dengan menggunakan tenaga listrik tenaga
air.

Solar PV adalah metode pembangkit tenaga listrik dengan mengubah radisi


matahari menjadi listrik arus searah (DC) menggunakan semikonduktor
yang menunjukkan efek fotovoltaik. Biasanya Solat PV tersusun atas silikon
monocrystalline, silicon polycrystalline, silikon amorf, telluride kadmium,
dantembaga indium gallium selenide / sulfida.

Energy Information Administation AS (EIA) memperkirakan bahwa hampir


50 miliar kilowatthours (kWh) listrik dihasilkan di pembangkit listrik PV skala
utilitas pada 2017. Pembangkit skala utilitas memiliki setidaknya 1.000
kilowatt (atau satu megawatt) kapasitas pembangkit listrik. EIA
memperkirakan bahwa 24 miliar kWh dihasilkan oleh sistem PV yang
terhubung ke jaringan skala kecil pada tahun 2017. Berdasarkan data
IRENA, diperoleh bahwa pertumbuhan teknologi energi terbarukan dalam
Solar PV dalam rentang waktu 2018-2050 harus mencapai 210 GW/yr.

Gambar 2.0.2 Pertumbuhan Energi Terbarukan, Remap Case 2017-


2050
Instalasi Solar PV dapat berbagai macam yaitu

15
1. Ground Mounted Solar PV
Sistem PV yang dipasang di tanah biasanya merupakan pembangkit
tenaga photovoltaic skala utilitas yang besar. Array PV terdiri dari
modul surya yang dipegang oleh rak atau bingkai yang terpasang
pada pendukung pemasangan di darat. Pemasangan berbasis-tanah
bisanya didukung oleh peralatan:
a. Dudukan tiang, yang didorong langsung ke tanah atau tertanam
di beton.
b. Pemasangan fondasi, seperti lempengan beton atau pondasi
tuang
c. Pemasangan pijakan ballasted, seperti beton atau pangkalan
baja yang menggunakan berat untuk mengamankan sistem
modul surya pada posisi dan tidak memerlukan penetrasi ke
tanah. Jenis sistem pemasangan ini sangat cocok untuk lokasi di
mana penggalian tidak dimungkinkan seperti tempat
pembuangan akhir yang tertutup dan menyederhanakan
penonaktifan atau relokasi sistem modul surya.

Gambar 2.0.3 Ground- Mounted Solar PV, UK

2. Rooftop Solar PV

Susunan surya sistem PV dapat dipasang di atap bangunan,


umumnya dengan celah beberapa inci dan sejajar dengan
permukaan atap. Jika atap horizontal, array dipasang dengan
masing-masing panel sejajar. Jika panel direncanakan akan
16
dipasang sebelum konstruksi atap, atap dapat dirancang sesuai
dengan memasang tanda kurung untuk panel sebelum bahan untuk
atap dipasang. Pemasangan panel surya dapat dilakukan oleh kru
yang bertanggung jawab untuk memasang atap. Jika atap sudah
dibangun, relatif mudah untuk memasang panel langsung di atas
struktur atap yang ada. Untuk sebagian kecil atap (seringkali tidak
dibuat menurut kode) yang dirancang sehingga hanya mampu
menahan berat atap, memasang panel surya menuntut agar struktur
atap harus diperkuat sebelumnya. Dalam semua kasus retrofit,
pertimbangan khusus untuk penyegelan cuaca diperlukan. Ada
banyak desain berbobot rendah untuk sistem PV yang dapat
digunakan pada atap miring atau datar (mis. Irisan plastik atau pod
PV), namun sebagian besar bergantung pada jenis. dari rel
aluminium ekstrusi (misalnya Unirac). Baru-baru ini, solusi racking
PV berbasis ketegangan telah diuji dengan sukses yang mengurangi
berat dan biaya. Dalam beberapa kasus, mengubah ke sirap
komposisi, berat bahan atap yang dilepas dapat mengimbangi berat
tambahan struktur panel. Praktik umum untuk pemasangan panel
surya yang dipasang di atap termasuk memiliki braket pendukung
per 100watt panel.

Gambar 2. 0.4 Rooftop Solar PV, China

17
3. Canal top Solar PV
Dalam sistem kanal atas, panel PV ditempatkan di atas saluran
airyang menghemat area instalasi dan mengurangi kehilangan
penguapan. Di India sedang dijalankan proyek pembuatan solar PV
canal top dengan reflektor sepanjang 19000 km dalam jarak antar
array dipelajari. Untuk mendapatkan ketersediaan cahaya yang
seragam dan untuk menghindari naungan pada panel, sudut
kemiringan panel, jarak antar susunan, dan orientasi reflektor
dihitung secara optimal.

Gambar 2..5 Canal Top Solar PV, India


4. Floating Solar PV

Floating solar atau FPV (Floating photovoltaic), mengacu pada


susunan panel surya pada struktur yang mengapung di atas badan
air, biasanya cekungan buatan atau danau. Analisis komparatif dari
parameter kinerja sistem PV darat dan lepas pantai dilakukan dan
hasilnya menunjukkan bahwa sistem PV lepas pantai memiliki kinerja
yang lebih baik dalam hal hasil energi yang lebih tinggi dan rasio
kinerja serta peningkatan suhu faktor penilaian peringkat karena
suhu sel yang lebih rendah (Umoette et.al., 2017).

18
Gambar 2.7. Grafik global installation of FPV

2.3 Floating Solar PV


Floating Solar PV biasanya terbuat dari HDPE (high-density poly-ethylene),
yang dikenal karena kekuatan tariknya, UV dan ketahanan korosi; bahan
lainnya adalah struktur rangka kaca serat logam atau ferro-semen. Ada
beberapa faktor yang dapat membatasi perkembangan teknologi FPV:

a. Dampak tidak invasif dan lingkungan: penyebaran energi PV


dalam skala besar memiliki potensi penggunaan lahan yang
signifikan.
b. Hilangnya efisiensi pada suhu sel PV operasi tinggi tergantung
pada teknologi.
c. Biaya sistem pelacakan tanah telah sangat berkurang dalam
beberapa tahun terakhir, terutama untuk satu pelacakan sumbu;
solusi ini disarankan hanya ketika permukaan tanah besar
tersedia [3]. Dalam hal ini peningkatan biaya 7-8% diimbangi
dengan peningkatan dalam pemanenan energi 15-20% dan
dengan peningkatan tingkat hunian tanah 50-60%.
d. Intermittency dan ketersediaan untuk waktu yang terbatas,
berkisar antara 1000 dan 2000 jam per tahun.

19
Gambar 2.8. Contoh Floating Solar PV

2.4 Benchmarking Floating Solar PV

Tingkat produksi modul PV tergantung pada suhu operasi dan radiasi pada
sel. Dampak perendaman pada kedua dengan mengurangi dan
menstabilkan suhu modul PV dan dengan mengurangi radiasi, sehingga
hasil energi dari modul PV yang terendam dapat lebih besar atau lebih kecil
tergantung pada kedalaman air, suhu air dan teknologi PV. Jika lapisan air
tipis (1-2 cm) dan suhu air sekitar 15 °C, kenaikan karena suhu yang lebih
rendah sebagian besar mengatasi kehilangan kecil karena penyerapan
radiasi.

Gambar 2.9. Floating PV Plant with tracking di Suvereto, Italy

20
Pada gambar 2.9. merupakan salah satu contoh dari FPV plant dari 200
kWp di Suverto (menggunakan tracking system). Platform ini dibuat grid-
connected sejak tahun 2011 dan tracking system dipasang sejak 2014.
Gambar 2.10. menunjukkan detail rakit yang digunakan oleh penulis
dalam proyek Korea bekerja sama dengan Techwin, berdasarkan konsep
yang sama yang diadopsi di Suvereto. Pabrik telah terealisasi pada
tahun 2012.

Gambar 2.10. Support Structure pada Proyek Korea

Pada 2012, konsep baru dikembangkan dan perusahaan Ciel et Terre


mengusulkan rakit modular yang dibangun dalam polietilena. Kebutuhan
untuk mengurangi biaya pemasangan dan penempatan menentukan
evolusi konsep ini dan rakit dimensi yang cocok untuk transportasi
standar dengan truk telah dirancang dan direalisasikan.

Solar Energy Research Institute of Singapore, seperti yang terlihat pada


Gambar. 2.11. Biaya muatan angin telah dipelajari secara teoritis dengan
hasil baik untuk ketahanan dan perlindungan modul. Secara
eksperimental platform kami di Suvereto dan di Pisa (Italia) telah dilanda
hembusan angin hingga 140 km/jam tanpa masalah.

21
Gambar 2.11. Tiengeh Basin di Singapore

2.5 Intensitas Panas Matahari di Provinsi NTT

Solar Photovoltaic atau umumnya dikenal sebagai Solar Power, adalah


teknologi hijau yang memungkinkan panen sinar matahari tanpa batas
menjadi tenaga listrik. Ini adalah inti dari Gerakan Energi Terbarukan di
seluruh dunia. Banyak instalasi pembangkit tenaga surya PV yang
sukses di seluruh dunia telah menandai keberhasilannya.

Kesederhanaan tenaga surya membuatnya mudah diimplementasikan


dalam proyek pembangkit listrik skala kecil dan besar. Persyaratan
Solar PV adalah untuk memiliki ruang yang memiliki kontak yang baik
dengan sinar matahari, yang termasuk setiap ruang terbuka dari padang
pasir terbuka, lapangan terbuka, di atas bangunan dan kendaraan,
dengan saat ini termasuk badan air terbuka (sungai dan laut).

Baru-baru ini Kepala Menteri Sarawak Datuk Patinggi Abang Johari Tun
Openg telah mengajukan proposal kepada Longi Group of China
(pangkalan manufaktur fotovoltaik terintegrasi pertama di satu lokasi
yang memproduksi ingot silikon Mono Crystalline, wafer, sel dan modul)
untuk mengeksplorasi kemungkinan pengembangan mengambang.
taman surya di bendungan dan sungai di negara bagian.

22
Listrik adalah teknologi dan sektor yang terlalu besar untuk gagal di
dunia modern ini karena kita bergantung pada listrik untuk menjalankan
sebagian besar utilitas kota, transportasi, rutinitas harian, dan gadget
pribadi. Mari kita cari tahu bagaimana pertanian surya terapung bisa
menjadi alternatif berikutnya dalam pencarian kita untuk energi yang
lebih hijau.

Peternakan Surya Terapung juga dikenal sebagai Terapung Surya


Terapung, Sistem Surya Terapung atau Floatovoltaics. Pertanian surya
terapung bukanlah ide baru juga. Namun karena manfaatnya dari
Floating Solar PV dibandingkan dengan penempatan Solar PV lainnya
(yang akan dibahas di bawah), perlahan-lahan mendapatkan popularitas
di Cina, India, Inggris, dan Jepang, di mana ada atap yang terbatas dan
/ atau ruang tanah tersedia untuk instalasi.

Sebelum 2014, hanya ada tiga peternakan surya terapung yang telah
online, namun dalam tiga tahun terakhir jumlah instalasi dan kapasitas
yang berhasil meningkat di seluruh dunia dengan lebih dari 100 pabrik
sedang online. Sekitar 80% dari 70 peternakan surya terapung terletak
di Jepang.

China secara aktif terlibat dalam pemasangan peternakan surya


terapung, dengan 3 surya terapung terbesar di dunia adalah milik China
(pada awal 2018). Saat ini pertanian surya Terapung Terbesar adalah
40 MW pertanian surya terapung besar di atas tambang batubara yang
ditinggalkan di Cina (provinsi Anhui dekat kota Huainan), dengan
pertanian surya terapung yang lebih besar masih dalam konstruksi.

Pertanian surya terapung saat ini masih jauh lebih rendah dibandingkan
dengan pertanian berbasis lahan surya yang lebih besar. Ladang surya
berbasis lahan terbesar di dunia jatuh ke Tengger Desert Solar Park di
Cina dengan kapasitas terpasang 1.547 MW di atas lahan 43 Kilometer
persegi.

23
2.6 Konsenvasi Coral Reefs dan Seaweed Farm

2.6.1 Konservasi Seaweed Farm


Potensi budidaya rumput laut wilayah Sumba mengalami naik turun dari
tahun ke tahun. Berikut adalah data produksi rumput laut Kabupaten
Sumba Barat dalam 6 tahun terakhir (2008-2013).

Gambar 2.12. Produksi Rumput Laut di Daerah Sumba


Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Sumba, 2014

Penurunannya disebabkan antara lain:

a. Hama seperti lumut halus yang tumbuh pada rumput laut yang
tumbuh pada pertengahan tahun setiap tahunnya (Bulan Juni –
Agustus).
b. Sarana prasarana dalam budidaya rumput laut yang kurang
memadai.
c. Bibit rumput laut yang terbatas.
d. Berkurangnya minat dan lemahnya manajemen budidaya rumput
laut.

Hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan lahan yang optimal dengan
pengelolaan budidaya rumput laut lebih ke arah peningkatan
produktivitas. Di dalam teknik budidaya ada dua hal yang perlu

24
diperhatikan, yaitu pemilihan bibit dan metoda budidaya.
Dikenal lima metode budidaya rumput laut, yaitu: metode lepas
dasar, metode rakit apung, metode long line, metode jalur danmetode
keranjang (kantung) (Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya,
2006).

Metode yang akan digunakan untuk budidaya rumput laut adalah


Metode Lepas Dasar. Metode ini digunakan pada dasar
perairan berpasir atau berlumpur pasir atau substrat karang berpasir,
sehingga memudahkan menancapkan patok/tiang pancang dengan
jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottonii.

2.14. Metode Budidaya Lepas Dasar

2.6.2. Konservasi Coral Reefs dengan Metode Mineral Accretion

Terumbu karang merupakan salah satu fenomena ekologi yang sangat


sensitif terhadap perubahan keseimbangan alam. Kondisi terumbu
karang di lndonesia saat ini cukup memprihatinkan dengan tingkat
kerusakan tinggi. Oleh karena itu, dalam pembangunan Solar
Photovoltaic akan melakukan kegiatan konservasi yang menjadi salah
satu upaya menjaga kelestarian terumbu karang. Untuk keperluan ini
perlu dukungan data dan informasi yang akurat dan dapat dianalisa
secara cepat.

25
Mineral Accretion Technology adalah teknologi restorasi terumbu karang
yang menggunakan listrik bertegangan rendah untuk meningkatkan
kesehatan dan tingkat pertumbuhan karang dan organisme laut lainnya.
Ketika listrik mengalir ke struktur logam yang ditempatkan di bawah air,
mineral, hampir sama dengan yang digunakan karang untuk membuat
kerangka mereka, jatuh keluar dari air dan berakumulasi ke dalam
struktur, sehingga memberi nama teknologi tersebut. Karang yang
tumbuh di terumbu buatan buatan ini cenderung tumbuh 3-4 kali lebih
cepat, dan bertahan hidup jauh lebih baik selama peristiwa pemutihan,
wabah penyakit, dan gangguan lainnya. Meskipun ditemukan pada
tahun 1970-an, teknologi ini belum meluas, sebagian besar karena
perlindungan paten dan biaya instalasi dan pemeliharaan yang tinggi.
Namun, hambatan ini dengan cepat diatasi, karena paten asli pada
teknologi telah kedaluwarsa, dan sekarang dimungkinkan untuk
mengembangkan metode baru, sumber terbuka yang mudah dibangun
dan jauh lebih murah untuk dipasang dan dirawat. Untuk pertama
kalinya dalam 40 tahun sejak teknologi ini telah ada, akhirnya tampak
bahwa teknologi yang mengasyikkan ini bisa menjadi alat utama yang
digunakan oleh para pelestari lingkungan di seluruh dunia. Faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan pembangunan proyek Mineral Accretion
meliputi:
1. Penentuan kedalaman air
2. Evaluasi Struktur dasar laut
3. Penentuan jarak dari pantai
4. Penentuan sumber listrik
5. Penyediaan pecahan Coral yang sudah rusak untuk
dipulihkan.
6. Dedikasi dari operator untuk merawat bio coral yang dibangun
7. Struktur pendanaan

2.6.1.1 Cara Kerja Metode Mineral Accretion

26
Metode ini menggunakan proses yang terkenal yang disebut elektrolisis,
yang juga digunakan untuk aplikasi lain seperti pelapisan logam,
menghilangkan karat, membuat baterai hidrogen, dan banyak lagi.
Dalam proses ini, tegangan rendah, arus searah diterapkan pada dua
potong logam yang terendam air. Di salah satu ujung rangkaian, yang
disebut Anoda, elektron mengalir dari kawat ke air dan menyebabkan
H2O pecah dan oksigen terbentuk. Air di sekitar daerah ini menjadi
sangat asam, dan dengan demikian anoda disimpan kecil dan
tersuspensi di dalam air. Di ujung lain sirkuit, yang dikenal sebagai
Katoda, elektron mengalir kembali dari air ke logam, menyebabkan H2O
pecah dan melepaskan gelembung hidrogen ke dalam air. Di Cathode,
air di sekitarnya menjadi cukup basa, dan dalam kondisi ini kalsium dan
mineral lainnya tidak lagi larut dalam air dan mengendap untuk
menumpuk ke logam. Untuk restorasi karang, karang dan organisme
lain ditanam di katoda, yang biasanya terbuat dari baja rebar dan dapat
dibentuk menjadi desain apa pun yang bisa dibayangkan.

Gambar 2.12. Cara Kerja Metode Mineral Accretion

2.6.1.2 Benchmark Teknologi Mineral Accretion

Indonesia telah melakukan upaya rehabilitasi terumbu karang


dengan teknologi ini, yaitu di daerah Gili Trawangan NTB. Mineral

27
Accretion di Gili Trawangan memiliki 62 struktur yang ditargetkan
mencapai 100 struktur. Trawangan adalah salah satu dari tiga
karang atol di lepas pantai Lombok, Indonesia dan menjadi salah
satu tujuan wisata terkenal di dunia selain Bali, wilayah ini memiliki
pantai yang putih, area snorkeling dan menyelam dan aman dari
anjing dan kendaraan bermotor. Namun, terumbu karang murni,
sangat sulit ditemui.

Keberhasilan penerapan Mineral Accretion di daerah Gili Trawangan,


NTB dapat menjadi tolak ukur bagi rehabilitasi situs-situs terumbu
karang lain di seluruh Indonesia. Untuk ke depan, diharapkan
Mineral Accretion dapat menjadi teknologi tepat guna yang bebas
diterapkan oleh masyarakat pesisir untuk melestarikan terumbu
karang mereka.

Dalam proses desain struktur ada beberapa hal yang patut kita
perhatikan antara lain: kedalaman air laut lokasi struktur akan
ditempatkan, arus air, karakteristik dasar laut, dan estetika atau
bentuk dari bangunan mineral accretion. Salah satu keuntungan lain
dari sistem bio rock adalah bangunannya mudah dibuat dengan
material dan tenaga kerja yang ada di daerah (lokal). Selain
merangsang keanekaragaman hayati, struktur mineral accretion juga
memerangi erosi, yang menjadi masalah serius dengan kehancuran
terumbu karang alami.

Gambar 2.13. Proses Instalasi Mineral Accretion di Perairan

28
Terdapat puluhan situs Mineral Accretion di seluruh dunia, yang
tersebar di Karibia, Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Asia
Tenggara. Namun diakui, situs Mineral Accretion yang ada di
Pemuteran merupakan yang terbesar dari semuanya, bahkan masih
lebih besar dibandingkan dengan jika keseluruhan situs-situs Mineral
Accretion yang lainnya dijadikan satu. Indonesia bisa berbangga hati
dengan prestasi ini. Adapun sebagai Benchmark, konservasi
terumbu karang dengan menggunakan bio rock telah dilakukan di
beberapa negara antara lain:

1. Indonesia, Bali

2. Jamaica

3. Maldives, Ihuru and Vabbinfaru

4. Mexico, Yucatan

5. Panama, San Blas Islands

29
2.7 Benchmarking Budidaya Ikan dalam Solar Panel

Di Jepang telah dilakukan proyek yang menggunakan sistem Ukishima,


yang memiliki generator gelembung mikro dimana perangkat penghasil
gelembung udara ultrafine yang dikembangkan oleh Universitas Kumamoyo
dan Universitas Prefektur Kumamoto yang memasok udara ke dalam air
sehingga membuat sirkulasi air dapat berjalan. Ini bisa efektif untuk
menghindari kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan penyakit ikan.
Ini juga efektif untuk meningkatkan kualitas air karena kadar oksigennya
dipantau.

Gambar 2.18. Budidaya kan dengan Ukishima System

30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi yang diajukan pada penelitian ini terdiri atas pengumpulan data,
perhitungan energi untuk desain floating solar PV dan perhitungan
kelayakan ekonomi pengembangan Solar PV. Skematik metodologi
penelitian yang diajukan adalah seperti pada gambar di bawah ini

Pengumpulan Data
(Studi Pustaka)

Perhitungan Energi
untuk Desain
Floating Solar PV

Perhitungan
Kelayakan Ekonomi
Pengembangan
Floating Solar PV

3.1 Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah melakukan studi


literatur terhadap teknologi Floating Solar PV dan penerapannya di negara-
negara lain sehingga dapat dijadikan bahan rujukan untuk pengembangan
di Indonesia, salah satunya di Nusa Tenggara Timur (NTT).

3.2 Perhitungan Energi

Teknologi floating solar PV merupakan teknologi pemanfaatan cahaya


matahari untuk dikonversikan menjadi listrik dan ditempatkan secara
31
mengambang di perairan seperti danau, waduk, laut dan lain-lain. Metode
perhitungan energi yang digunakan adalah dengan melakukan
pengumpulan data, pemilihan wilayah dan kebutuhan listrik yang diperlukan
di NTT yang dapat digunakan untuk melakukan desain terhadap teknologi
floating solar PV.

3.2.1 Menentukan Jumlah Energi yang Dihasilkan

𝑘𝑊ℎ
Jumlah energi yang dihasilkan (𝐸) oleh Solar PV dalam dapat
𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

ditentukan dengan persamaan berikut:


𝑊×𝐼
𝐸=
𝐴𝑀1,5
Dimana 𝑊 adalah kapasitas solar PV dalam 𝑘𝑊𝑝 , 𝐼 adalah nilai insulasi
𝑘𝑊ℎ
Matahari di daerah tertentu dalam dan 𝐴𝑀1,5 adalah besar radiasi
𝑚2 𝑑𝑎𝑦
𝑊
Matahari dalam 𝑚2 .

3.2.2 Menentukan Luas Area yang Dibutuhkan

Luas area yang dibutuhkan (𝐴) dalam m2 untuk menempatkan solar PV (𝐴)
dapat dihitung dengan persamaan berikut:

𝐸
𝐴=
𝐼 × 𝜂
Dimana 𝜂 adalah besar efisiensi dari Solar PV tersebut.

3.2.3 Menentukan Efisiensi dari Solar PV

Efisiensi dari Solar PV (𝜂) dapat ditentukan dengan perrsamaan berikut:


𝜇 𝜇 𝑁𝑂𝐶𝑇 − 20
𝜂 = 𝜂𝑆𝑇𝐶 (1 + (𝑇𝑎 − 𝑇𝑆𝑇𝐶 ) + ( ) (1 − 𝜂𝑆𝑇𝐶 ))
𝜂 𝜂𝑆𝑇𝐶 800

32
Dimana 𝜂𝑆𝑇𝐶 adalah efisiensi pada kondisi standar (STC), 𝜇 adalah
koefisien temperatur pada saat daya dikeluarkan, 𝑇𝑎 adalah temperatur
ambien, 𝑇𝑆𝑇𝐶 adalah temperatur pada kondisi standar (STC) yaitu sekitar
25oC 𝑁𝑂𝐶𝑇 adalah temperatur nominal operasi sel (national operation cell
temperature) yaitu sekitar 45oC.

3.2.3 Menentukan Efesiensi dari Solar PV

Efisiensi dari Solar PV (𝜂) dapat ditentukan dengan perrsamaan berikut:

𝜇 𝜇 𝑁𝑂𝐶𝑇 − 20
𝜂 = 𝜂𝑆𝑇𝐶 (1 + (𝑇𝑎 − 𝑇𝑆𝑇𝐶 ) + ( ) (1 − 𝜂𝑆𝑇𝐶 ))
𝜂 𝜂𝑆𝑇𝐶 800

Dimana 𝜂𝑆𝑇𝐶 adalah efisiensi pada kondisi standar (STC), 𝜇 adalah


koefisien temperatur pada saat daya dikeluarkan, 𝑇𝑎 adalah temperatur
ambien, 𝑇𝑆𝑇𝐶 adalah temperatur pada kondisi standar (STC) yaitu sekitar
25oC 𝑁𝑂𝐶𝑇 adalah temperatur nominal operasi sel (national operation cell
temperature) yaitu sekitar 45oC.

3.2.4 Menentukan Jumlah Panel Solar PV yang Dibutuhkan

Jumlah panel Solar PV yang dibutuhkan (𝑁𝑃𝑉 ) dapat dihitung dengan


persamaan berikut:

𝑁𝑃𝑉 = 𝐴/𝐴𝑃𝑉

Dimana 𝐴𝑃𝑉 adalah luas area tiap panel Solar PV dalam m2

3.2.5 Menentukan Kapasitas Baterai dan Jumlah Baterai

Besar kapasitas baterai (𝑃𝑆 ) yang dibutuhkan untuk menyimpan daya listrik
dapat ditentukan dengan:

𝑃𝑆 = Ω𝑏 × 𝑉𝑏

Dimana Ω𝑏 adalah kapasitas baterai (Ah) dan 𝑉𝑏 adalah tegangan baterai


(V).
33
Jumlah baterai (𝑁𝑏𝑎𝑡 ) yang dibutuhkan untuk menyimpan daya listrik yang
diinginkan dapat ditentukan dengan:

𝑃𝑆,𝑡𝑜𝑡
𝑁𝑏𝑎𝑡 =
𝑃𝑆

Dimana 𝑃𝑆,𝑡𝑜𝑡 adalah jumlah daya listrik yang ingin disimpan di baterai.

3.3 Perhitungan Kelayakan Ekonomi


Dalam perhitungan kelayakan ekonomi floating solar PV, terdapat beberapa
biaya yang perlu diperhitungkan yang merupakan biaya investasi awal
(capital cost) yang meliputi biaya panel floating solar PV dan biaya tempat
penyimpanan daya listrik dan biaya pemeliharaan (maintenance) yang
terdiri atas biaya pemeliharaan solar PV dan baterai. Selain itu, diperlukan
juga perhitungan indikator keekonomian proyek yang meliputi Net Present
Value (NPV), Pay Out Time (POT), Internal Rate of Return (IRR),
Profitability Index (PI), Accounting Rate of Return (ARR) dan Cash Flow.

3.3.1 Biaya Investasi

3.3.1.1 Biaya Panel Solar PV


Biaya panel solar PV (𝐶𝑃𝑉 ) dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

𝐶𝑃𝑉 = 𝑁𝑃𝑉 × 𝑏𝑃𝑉

Dimana 𝑏𝑃𝑉 adalah harga satuan floating solar PV

3.3.1.2 Biaya Penyimpanan Daya di Baterai

Biaya baterai yang dibutuhkan untuk menyimpan daya listrik yang berasal
dari solar PV dapat ditentukan dengan:

𝐶𝐵 = 𝑁𝑏𝑎𝑡 × 𝑏𝐵

Dimana 𝑏𝐵 adalah biaya per satuan baterai dalam USD/kg.

34
3.3.2 Indikator Keekonomian Proyek

3.3.2.1 Net Present Value (NPV)

NPV merupakan selisih antara nilai sekarang dari cashflow dengan nilai
sekarang dari investasi. Untuk menghitung NPV menggunakan present
value cashflow dengan discount rate tertentu, kemudian dibandingkan
dengan present value dari investasi. Jika selisih antara PV dari cashflow
lebih besar berarti NPV positif, artinya proyek investasi layak sedangkan
bila NPV bernilai negatif maka proyek tidak layak.
𝑛
𝐶𝐹
𝑁𝑃𝑉 = ∑
(1 + 𝑟)𝑡
𝑡=0

Keterangan :

NPV : Net Present Value

CFt : Cash Flow pada tahun ke – t

r : Discount rate

n : Umur proyek

NPV>1 : proyek layak

NPV<1 : proyek tidak layak

3.3.2.2 Pay Out Time (POT)

Pay Out Time (POT) adalah jangka waktu yang diperlukan untuk
pengembalian investasi floating solar PV. Semakin pendek waktu yang
dibutuhkan maka semakin layak. Perhitungan payback period belum
mempertimbangkan time value of money atau nilai uang pada masa
sekarang dan masa yang akan datang.

investasi
𝑃𝑎𝑦 𝑜𝑓 𝑇𝑖𝑚𝑒 = 𝑥 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
cashflow
Keterangan :

Investasi : Jumlah uang yang dikeluarkan untuk investasi

Cashflow : Jumlah uang yang diterima

35
3.3.2.3 Internal Rate of Return (IRR)

Internal rate of return adalah nilai tingkat pengembalian investasi yang


dihitung pada saat NPV sama dengan nol. Nilai IRR ini akan dibandingkn
dengan tingkat pengembalian investasi yang diinginkan (r).
𝑛
𝐶𝐹
∑ =0
(1 + 𝐼𝑅𝑅)𝑡
𝑡=0

Keterangan

CFt : Cashflow pada tahun ke – t

IRR : Internal rate of return, %

IRR>r : proyek layak

IRR<r : proyek tidak layak

3.3.2.4 Profitability Index (PI)

Profitability Index (PI) membandingkan antara present value dari


penerimaan dengan present value dari investasi. Apabila nilai PI lebih besar
dari 1, maka proyek dinilai layak untuk dijalankan dan berlaku sebaliknya.
Perhitungan yang untuk mengetahui nilai PI dengan menggunakan
perbandingan antara nilai sekarang (present value) penerimaan kas bersih
dimasa yang akan datang (proceeds) dengan nilai sekarang investasi
(outlays) dengan rumus di bawah ini.

𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑒𝑑𝑠
𝑃𝐼 =
𝑜𝑢𝑡𝑙𝑎𝑦𝑠

Keterangan :

Proceeds : present value of cash flow

Outlays : present value of investation

PI>1 : proyek layak

PI<1 : proyek tidak layak


36
3.3.2.5 Accounting Rate of Return (ARR)

ARR adalah rasio financial yang digunakan dalam capital budgeting. Rasio
ini tidak mempertimbangkan mengenai time value of money. ARR dapat
dikatakan sebagai persentase dari return yang dihasilkan capital investasi
yang dilakukan. Project akan diterima apabila ARR lebih besar dari rate of
return yang diharapkan.

𝐴𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡
𝐴𝑅𝑅 =
𝐴𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡

Kelebihan ARR adalah :

- Memberikan informasi mengenai return suatu project yang mudah


dimengerti

- Mempertimbangkan semua cash flow

Kekurangan ARR adalah :

- Tidak mempertimbangkan time value of money

- Tidak memberikan informasi mengenai project risk.

3.3.2.6 Cash Flow

Cash flow adalah laporan keuangan berisikan pengaruh kas dari kegiatan
operasi, kegiatan transaksi investasi dan kegiatan transaksi
pembiayaan/pendanaan serta kenaikan atau penurunan bersih dalam kas
suatu perusahaan selama satu periode.

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Saat Ini tentang Sistem Tenaga Listrik di Nusa Tenggara
Timur (NTT)

37
Di Provinsi NTT terdapat 63 sistem tenaga listrik PLN yang menyuplai listrik
di beberapa pulau dari yang terbesar sampai pulau-pulau kecil, termasuk di
daerah perbatasan dengan negara tetangga Timor Leste. Sistem tenaga
listrik tersebut mendapatkan pasokan data dari PLTU, PLTMG, PLTM dan
beberapa PLTD.
Realisasi penjualan tenaga listrik (GWh) tahun 2011 – 2017 serta estimasi
tahun 2018 ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
No Kelompok
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018*
Pelanggan

1 Rumah 291 343 373 425 452 493 508 548


Tangga

2 Bisnis 130 155 191 179 174 202 212 228

3 Publik 61 64 68 73 81 93 100 106

4 Industri 5 6 7 25 42 42 35 39

Total 487 567 640 702 750 830 855 921

Pertumbuhan (%) 13,40 16,51 12,74 9,80 6,76 10,65 3,09 7,69

38
Realisasi jumlah pelanggan (ribu) tahun 2011 – 2017 serta estimasi tahun
2018 ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
No Kelompok
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018*
Pelanggan

1 Rumah 343,1 487,9 522,2 572,3 580,0 591,0 615,1 649,8


Tangga

2 Bisnis 20,4 22,5 26,7 30,1 31,5 32,6 34,0 34,7

3 Publik 12,3 13,5 14,8 15,8 16,8 19,6 21,2 23,6

4 Industri 0,12 0,12 0,11 0,14 0,15 0,16 0,2 0,2

Total 376,0 524 563,8 618,3 628,4 643,4 670,6 708,3

Pertumbuhan (%) 37,01 39,36 7,6 9,66 1,63 2,38 4,22 5,63

*Estimasi realisasi

39
Saat ini pembangkit di NTT masih di dominasi oleh PLTD terutama di
sistem yang masih isolated, sehingga biaya pokok produksi listrik masih
tinggi. Selain PLTD, terdapat unit PLTU, PLTM serta PLTP dengan rincian
kapasitas pembangkit di Provinsi NTT ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
Pembangkit Sistem Tenaga Listrik Total Kapasitas (MW)

PLN

PLTU Flores Bagian Barat 14,0

Sektor NTT 33,0

PLTD Flores Bagian Barat 58,3

Flores Bagian Timur 17,0

Sumba 11,0

NTT 35,6

PLTS Sumba 0,2

NTT 0,9

40
Pembangkit Sistem Tenaga Listrik Total Kapasitas (MW)

PLTMH Flores Bagian Barat 0,3

Sumba 3,0

NTT 2,0

PLTP NTT 10,0

Jumlah PLN 185,3

IPP

PLTU Sektor NTT 30

PLTMH Flore Bagian Barat 0,5

PLTS Sektor NTT 1,0

Sumba 1,5

Jumlah IPP 33,0

Sewa

PLTD Flores Bagian Barat 26,5

Flores Bagian Timur 26,5

Sumba 10,5

NTT 131,0

Jumlah Sewa 194,5

Jumlah 412,8

41
4.2 Proyeksi Kebutuhan Listrik di NTT

Kondisi perekonomian Provinsi NTT cukup baik di sektor industri


pengolahan, perdagangan dan pertanian yang berkontribusi besar
mencapai 56%, sedangkan untuk sektor komunikasi, keuangan dan jasa
berkontribusi sekitar 30%. Provinsi NTT mempunyai kekayaan alam yang
cukup melimpah, salah satunya adalah adanya potensi kandungan
tambang mangan yang cukup banyak terdapat di pulau Timor. Sektor
pariwisata saat ini menjadi primadona untuk dikembangkan dengan ikon
komodo sebagai new seven wonder’s dan spot diving yaitu di pulau Alor,
Rote dan Labuan Bajo. Perkembangan sektor wisata tersebut diharapkan
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi setempat dengan adanya
kunjungan wisatawan dan berkembangnya hotel berbintang, vila/resort dan
losmen baru. Selain itu, PLN juka akan mendukung program pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi puskesmas pada
Kecamatan yang terpencil di beberapa kabupaten di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
Dari data historis pengusahaan dan mempertimbangkan kecenderungan
pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan peningkatan rasio
elektrifikasi yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tahun Pertumbuhan Penjualan Produksi Pelanggan
Ekonomi (%) (GWh) (GWh)

2019 5.69 1.011 1.161 774.352

2020 5.90 1.104 1.264 839.536

2021 6.11 1.213 1.386 905.389

2022 6.03 1.318 1.449 971.669

2023 5.95 1.426 1.567 1.038.386

2024 5.85 1.542 1.691 1.105.575

42
2025 5.75 1.682 1.842 1.173.224

2026 5.63 1.833 2.008 1.241.624

2027 5.51 1.983 2.170 1.310.648

2028 5.40 2.142 2.343 1.380.325

Pertumbuhan 5.78 8.81 8.18 6,91


(%)

Provinsi NTT memiliki potensi sumber energi terbarukan yang dapat


dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik yang terdiri dari panas
bumi dan air yang memiliki potensi masing-masing sebesar 1.334,5 MWe
dan 68 MW. Untuk mendukung penerapan EBT, Pemerintah
mencanangkan program untuk menjadikan Pulau Sumba sebagai iconic
island. Program Sumba Iconic Island (SII) merupakan suatu program yang
di inisiasi untuk pengembangan Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonik Energi
Terbarukan dengan tujuan untuk meningkatkan akses energi melalui
pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan secara bertahap
sebesar 100%. Pulau Sumba dipilih sebagai ikon Pulau Ikonis Energi
Terbarukan (The Iconic Island of Renewable Energy) karena Pulau Sumba
kaya akan potensi energi terbarukan (air, bioenergi, angin dan Matahari)
Memperhatikan potensi radiasi sinar matahari di NTT dengan waktu dan
intensitas penyinaran yang cukup baik, PLN melalui dukungan pendanaan
Bank Dunia (IBRD) dan donatur lain berencanan untuk membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid dengan program REEP 1
pada 94 lokasi tersebar di Provinsi NTT dengan total kapasitas sekitar
36,48 MW sebagai impelemntasi penerapan energi terbarukan.
Rencana pengembangan jaringan transmisi 70 kV dan 150 kV di Provinsi
NTT dilaksanakan di tiga pulau besar yaitu pulau Flores, pulau Timor dan
pulau Sumba sesuai proyeksi kebutuhan beban setempat. Selain itu, untuk
mendukung pembangunan jaringan transmisi tersebut, juga dilakukan
pembangunan gardu induk yang jumlahnya mencapai 1.140 gardu yang
43
meliputi tegangan 150/70 kV (300 gardu), tegangan 150/20 kV (390 gardu)
dan tegangan 70/20 kV (450 gardu).
Rasio elektrifikasi di Provinsi NTT per Triwulan III Tahun 2018 mencapai
61,08%. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan listrik perdesaan
dalam rangka pencapai rasio elektrifikasi dan meningkatkan rasio desa
berlistrik PLN, dimana rasio elektrifikasi direncanakan mencapai 100%
pada tahun 2020.

4.3 Proposal Ide Baru (FAST Diagram)

Berikut adalah FAST Diagram yang menjelaskan pemanfaatan energi


matahari melalui floating solar PV untuk menghasilkan energi listrik,
dipadukan dengan pengembangan kebun rumput laut (Seaweed Farm)
guna memberikan nilai tambah pada masyarakat sekitar dan
pengembangan eco-tourism.

44
4.4 Analisis Tekno-Ekonomi Proyek Floating Soalr PV Terintegrasi
dengan Pengembangan Seaweed farm

Analisis tekno-ekonomi merupakan indikator kelayakan proyek Floating


Solar PV – Seaweed Farm. Parameter kelayakan tersebut yang digunakan
POI (Pay of Time), NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate Return).
Untuk Life Cycle Cost (LCC) diperlukan perhitungan capital expenditure,
biaya operasi dan revenue yang dihasilkan.

4.4.1 Data Input


Untuk melakukan proses simulasi tekno-ekonomi, terdapat beberapa data
yang diperlukan yang meliputi radiasi sinar Matahari, sistem floating solar
PV dan baterai.
Radiasi Matahari

PVOUT 4,47 kWh/kWp

GHI 5,80 kWh/m2.day

GTI 5,97 kWh/m2.day

DNI 5,57 kWh/m2.day

Sudut Optimum 14 o

Azimuth Sistem 0 o

PV

DIF/GHI 74,9 %

Sumber: World Bank Data, 2017

Keterangan:
PVOUT adalah besar energi listrik pada panel Fixed-Mounted Modules
Solar PV pada sudut yang optimum ; GHI adalah Global Horizontal
45
Irradiation; GTI adalah Global Tilted Irradiation; DNI adalah Direct Normal
Irradiation; DIF/GHI adalah perbandingan diffuse/global horizontal

Kapasitas Solar PV 50 100 200


(KWp)

Area Sistem PV secara 476 952 1.905


Keseluruhan (m2)

Area Sistem PV (m2) 333 667 1.333

Solar PV System

Daya Modul 360 W

Efisiensi Modul 19,1 %

Daya Solar PV System 200 kWdc

Sumber: NREL, 2018

Baterai

Jenis Baterai Kapasitas Tegangan Harga


Baterai (Ah) (V)

LFP 130 48 6.875 USD

AGM 250 12 517

Tesla - - 398.000
PowerPack USD/MWh

Sumber: Abu Bakar et al, 2018

46
Kala Hidup Proyek dan Masing-Masing Komponen

Kala Hidup Proyek 25 Tahun

Kala Hidup Floating PV 25 Tahun

Kala Hidup Baterai 5 Tahun

Kala Hidup Inverter 10 Tahun

Sumber: Wasthage, 2017


Commercial PV LCOE 2010-2018

Sumber: NREL, 2018

4.4.2 Rencana Kapasitas Pembangkit Floating Solar PV

Rencana pengembangan pembangkit Floating Solar PV di Pulau Sumba


sebesar 5 MW untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Sumba dalam
rangka mencapai rasio elektrifikasi 100% di tahun 2020.
Luas area yang dibutuhkan untuk memasang Floating Solar PV dapat
ditentukan melalui beberapa proses perhitungan berikut:

47
4.4.2.1 Menghitung Jumlah Energi yang Dihasilkan dari Floating Solar
PV

𝑊×𝐼
𝐸=
𝐴𝑀1,5
Dengan mengasumsikan kapasitas sistem solar PV sebesar 100 kWp,
maka:

𝑘𝑊ℎ
100.000 𝑊𝑝 × 5,8 𝑚2 .ℎ𝑎𝑟𝑖
𝐸= 𝑊
1000 𝑚2
𝑘𝑊ℎ
𝐸 = 580
ℎ𝑎𝑟𝑖

4.4.2.2 Menghitung Luas Area Sistem Solar PV yang Dibutuhkan

4.4.2.3 Menentukan Kapasitas Pembangkit

Menentukan kapasitas pembangkit dengan mempertimbangkan luas danau


Weekuri yang berbentuk lonjong yang memiliki panjang 150 meter dan
lebar 50 meter. Danau tersebut memiliki luas sekitar 5887,5 m 2. Dengan
mengasumsikan luas area yang digunakan untuk floating solar PV sebesar
4.500 m2.

𝐴𝑡𝑜𝑡
𝐸𝑡𝑜𝑡 = ×𝐸
𝐴

4.500 𝑚2 𝑘𝑊ℎ
𝐸𝑡𝑜𝑡 = 2
× 580
523,56 𝑚 ℎ𝑎𝑟𝑖

𝑘𝑊ℎ
𝐸𝑡𝑜𝑡 = 4.985,102
ℎ𝑎𝑟𝑖

48
𝑘𝑊ℎ 3600 𝑘𝐽 1 𝑗𝑎𝑚 1 ℎ𝑎𝑟𝑖
𝐸𝑡𝑜𝑡 = 4.985,102 × × ×
ℎ𝑎𝑟𝑖 1 𝑘𝑊ℎ 3600 𝑠 24 𝑗𝑎𝑚

𝑬𝒕𝒐𝒕 = 𝟐𝟎𝟕, 𝟕𝟏𝟐 𝒌𝑾


𝑘𝐽
𝐸𝑡𝑜𝑡 = 207,712 𝑘𝑊 = 207,712
𝑠

𝑘𝐽 1 𝑘𝑊ℎ 3600 𝑠 24 𝑗𝑎𝑚


𝐸𝑡𝑜𝑡 = 207,712 × × ×
𝑠 3600 𝑘𝐽 1 𝑗𝑎𝑚 1 ℎ𝑎𝑟𝑖

𝑘𝑊ℎ
𝐸𝑡𝑜𝑡 = 4985,088
ℎ𝑎𝑟𝑖

𝑘𝑊ℎ 365 ℎ𝑎𝑟𝑖


𝐸𝑡𝑜𝑡 = 4985,088 ×
ℎ𝑎𝑟𝑖 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

𝒌𝑾𝒉
𝑬𝒕𝒐𝒕 = 𝟏. 𝟖𝟏𝟗. 𝟓𝟓𝟕, 𝟏𝟐
𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏

Jadi, kapasitas pembangkit yang memungkinkan untuk dibangun di danau


𝑘𝑊ℎ
Weekuri adalah 1.819.557,12 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛. Dengan mengasumsikan bahwa listrik
yang diproduksikan dari pembangkit tersebut hanya untuk kebutuhan
rumah tangga saja dan besar kebutuhan listrik per pelanggan untuk
kategori rumah tangga di Provinsi NTT sebesar 843,336 kWh per
pelanggan per tahun di tahun 2018 berdasarkan data RUPTL, maka
pembangkit tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik untuk sekitar 2.150
pelanggan rumah tangga.

4.5. Analisis Ekonomi Proyek energi untuk desain floating solar PV


Di Sumba NTT

Analisa ekonomi merupakan indikator kelayakan proyek power plant Solar


PV integrated system dengan seaweed farm. Parameter kelayakan tersebut
yang digunakan POI (Pay of Time), NPV (Net Present Value), IRR (Internal
Rate Return). Untuk Life Cycle Cost (LCC) diperlukan perhitungan capitel
expenditure, biaya operasi dan revenue yang dihasilkan.

49
50
4.5.1 Biaya Capex Energi Solar PV

Levelized Cost of Electricity (LCOE), yang dirilis oleh Irena untuk tahun
2016 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.5.1.1 Perbandingan Biaya Pembangkitan Listrik

Menurut NREL pada laporannya menampilkan trend harga capex solar PV


pada tahun 2016 untuk USD/kw nya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.5.1.2 Tabel trend harga capex solar PV pada tahun 2016

51
Sumber : NREL 2018

Kemudian selanjutnya, untuk pembangunan PLTS EBT di Indonesia, antara


lain diatur di dalam Permen ESDM 50 TAHUN 2017. Dalam pasal 1 ayat 6
disebutkan Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan yang selanjutnya
disebut BPP Pembangkitan adalah biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT
PLN (Persero) di Pembangkitan Tenaga Listrik, tidak termasuk biaya
penyaluran tenaga listrik. Di ayat 7 kemudian dijelaskan bahwa
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik yang selanjutnya disebut
PLTS Fotovoltaik adalah pembangkit listrik yang mengubah energi matahari
menjadi listrik dengan menggunakan modul fotovoltaik yang langsung
diinterkoneksikan ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero).

Dari data tersebut, breadown untuk capex (USD/kw) nya adalah sebagai
berikut :

Tabel 4.5.1.3 Tabel Capex Solar PV

HARDWARE
Module 1,527
Inverter 127
Cabling/wiring 207
Grid connection 207
Monitoring and control 207
Racking and mounting 207
Safety and security 64

INSTALLATION
Electrical installation 95
Inspection 32
Mechanical installation 286

SOFT COSTS
Customer acquisition 111
Financing costs 111
Incentive application 80
Margin 80
Permitting 80
System design 80
3,500

52
4.5.2. Biaya Capex Seaweed Farm

Investasi awal untuk seaweed farm adalah Rumput laut atau alga (see
weed) merupakan salah satu potensi sumberdaya perairan yang sudah
sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan dan obat-
obatan. Saat ini pemanfaatan rumput laut telah mengalami kemajuan yang
sangat pesat yaitu dijadikan agar-agar, algin, karaginan (carrageenan) dan
furselaran (furcellaran) yang merupakan bahan baku penting dalam industri
makanan, farmasi, kosmetik dan lain-lain (Khordi, 2010).

Tabel 4.5.1.1 Summary Biaya Untuk Seaweed Farm Project

Investment on Culture Lines, Infrastructure, and Equipment for 30-km Floating Lines Seaweed Farm in Indonesia
Item Units Quantity USD/ unit Total cost (USD) Useful life (Years)
Investment per km of line
1 km (13.6 kg) of 5-mm PP line km 1 34 34 2
0.2 km (11 kg) of 10-mm PP line km 0.2 136 27.2 2
0.2 km (9 kg) of 8-mm PP line km 0.2 114 22.8 2
1 km of 1-mm PP line (for loops)km 1 1 1 2
Sandbag anchors piece 50 0.15 7.5 2
Plastic bottles as floats piece 500 0.03 15 2
Total investment for 1 km of line
Farm equipment and facilities
9-m canoe with 5.5-hp motor unit 2 500 1000 5
6-m canoe with no motor unit 2 150 300 5
Miscellaneous tools and equipment set 2 150 300 5
Drying structures set 4 150 600 5
Shelters for shade set 2 800 1600 5
Sacks pieces 800 0.08 64 2
Total farm equipment and facilities 3864
Propagules for initial planting 960 10
Total farm investment 8049

Sumber : Valderrama 2015

4.6 Analisis Kelayakan Finansial (Financial Appraisal)


Kelayakan investasi mengacu kepada analisa finansial. Kebutuhan finansial
dan pengembalian (return) bisa sangat berbeda, tergantung pada pemilihan
alternatif yang ada di bidang yang termasuk baru. Contohnya, komponen
produk mungkin perlu diimpor dari luar negeri dan mungkin juga bangunan
yang membutuhkan teknologi tinggi (yang di Indonesia belum ada).
Sebaliknya, impor/ pembuatan produk baru bisa disubkontrakkan kepada
pensuplai di luar, disini pengembang listrik pada dasarnya menjadi gudang
penyimpanan dan operasi pemasaran bisa dilakukan dengan investasi kecil
53
dalam aset tetap. Berikut dijelaskan mengenai kelayakan finansial dari
pengembangan listrik energi PV solar. Indikator keekonomian yang dipakai
adalah Internal Rate Return (IRR), Net Present Value (NPV), Pay Back
Period (PBP) dan Cash Flow (CF).

4.6.1 Internal Rate Return (IRR) dan Net Present Value (NPV)
Untuk menghitung IRR dan NPV digunakan asumsi sebagai berikut :

Tabel 4.6.1 Asumsi Fungsi Analisa Finansial

harga
komponen biaya Nilai satuan keterangan
pajak 25% margin
kapasitas PV
solar 207,00 KW
mw 24 jam 1000 Kw/h
RENEWABLE ENERGY
TECHNOLOGIES: COST ANALYSIS
Capex PV solar 3500 usd/kw SERIES (irena)
the economic of kappaphycus seaweed(
OPEX seeweed 200.123 Researchgate)
sen USD
Permen ESDM No.19/2016
harga pembelian 23 Per KWH
the economic of kappaphycus seaweed(
Capex seeweed 8.004.900 Usd Researchgate)
O&M cost Solar 2,5% capex NREL 2018
total capex PV
solar 724.500,00 usd

. Tabel 4.6.2 Hasil Analisa Finansial

NO. KETERANGAN NILAI REFERENSI


a Investasi, US$ RAB KUSD

54
ribu 8.729,40
Masa Manfaat
b ELA
Ekonomis, (Thn) 30,00
Risk Free
c Rf Data Share BPH Migas
Rate,(%) 2,55%
Rata-rata 5 Tahun Base
Base Premium
Premium for mature equity
for Mature
d MEM 5,96% market
Equity
(www.stern.nyu.edu/~adamoda
Market,(%)
r/pc/datasets/ctryprem.xls)
Indonesia
e Country Risk ICRP 4,30%
Premium
f Beta β 101,91% Data Share BPH Migas
Cost of
g Coe Coe = Rf + β * (MEM + ICRP)
Equity,(%) 13,01%
Debt Funding,
h DB 0,00%
US$ ribu 0,00%
Equity Funding,
i EQ 100,00%
US$ ribu 8.729,40
Interest Of Ketentuan tingkat pinjaman di
j Indebt
Debt,(%) 5,01% Pertamina Korporat
Ketentuan Pemerintah untuk
k Income Tax,(%) IT
25,00% Pajak Badan Usaha
Interest of Debt x ( 1 - Income
l Cost of Debt,(%) Cod
3,75% Tax )
WACC = (DB/RAB) * Cod +
m WACC,(%) WACC
13,01% (EQ/RAB) * Coe
n Insentif (%)
http://www.usinflationcalculator
o O&M Esc 1,96% .com/inflation/current-inflation-
rates/
55
IRR (%) 13,01%

4.6.2 Cash Flow (CF)


Cash flow beberapa skenario PPP terlampir

Contoh Cash flow untuk pengembangan listrik PV solar sebagai berikut

Tabel 4.6.3 Hasil Analisa Kelayakan Finansial

56
Berdasarkan table 4.5.3 di dapatkan hasil IRR dan POT dari rencana
proyek tersebut dengan nilai IRR 14,26 % dan POT 7,40 tahun dan NPV
US$ (Ribu) 1212,99

4.7 Skema Public Private Partnership (PPP)


Pembiayaan Investasi proyek PV solar di NTT dilakukan dengan sharing
biaya Pemerintah dan swasta. Pembebanan biaya yang di sharing bisa
berupa Capex atau Opex serta kombinasi keduanya. Atas beban biaya dan
resiko yang ditanggung Pemerintah dan Swasta berhak memperoleh
sharing dari revenue yang dihasilkan. Skema sharing ini dikenal dengan
Public Private Partnership (PPP). Pembagian pembiayaan tersebut akan
berpengaruh pada IRR dan NPV yang dihasilkan dari proyek ini. Beberapa
analisis untuk skema PPP berbeda akan dijelaskan kemudian.

4.7.1 Pola Pembiayaan


Skema pembiayaan proyek pada konseptual desain pembangkit listrik
energi PV solar direncanakan dengan membagi asumsi skenario terhadap
pembagian antara penyediaan dana dari pemerintah dan swasta pada
biaya kontruksi, O&M, dan revenue. Di Indonesia, skema pembiayaan yang
melibatkan kerjasama pemerintah dan swasta adalah dikenal dengan nama
KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha)

Gambar 4.7.1.1 Struktur/Skema Umum KPBU di Indonesia

57
Sumber : Majalah Info Risiko Fiskal edisi 2 tahun 2017, DJPPR Kementrian
Keuangan

4.7.1.1 Analisis Sharing Tiap Komponen dalam Skema


Pembiayaan
Dengan menggunakan Life Cycle Cost terdiri dari biaya kontruksi, operasi
dan pemeliharaan serta pemasukan, di dapatkan arus kas (cash flow)
selama masa operasi dan masa konsesi antara pemertintah dengan swasta
yaitu 30 tahun.

4.7.1.2 Sharing Biaya Kontruksi (Initial Cost)

Tahap awal skema pembiayaan berbasis PPP adalah membuat beberapa


skenario dengan membagi biaya kontruksi berdasarkan porsi pendanaan
yang bersumber dari pemerintah dan swasta. Capex pada desain
pembangkit listrik terintegrasi adalah senilai US$ (Ribu) 8,729.40

58
%CAPEX PEMERINTAH VS IRR
40.00% 37.35%

35.00%

30.00%

25.00% 21.79%
20.00%
15.65%
15.00% 12.27%
10.20%
10.00% 8.38%
6.10% 7.12%
4.55% 5.26%
5.00%

0.00%
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Gambar 4.7.1 Grafik Pengaruh Keterlibatan (Capex) Pemerintah


Terhadap Kenaikan IRR

Gambar 4.7.1 menunjukan keterlibatan pemerintah berbanding lurus


dengan kenaikan IRR dana NPV. Capex sangat mempengaruhi IRR dan
NPV karena porsi Capex dibandingkan dengan Opex dan revenue yang
dihasilkan jauh lebih besar. Nilai Opex jauh lebih rendah dibandingkan
dengan Capex. Oleh sebab itu keterlibatan pemerintah pada Capex
menjadi factor signifikan pada optimasi nilai IRR. Misalnya pada 80%
Capex pemerintah IRR yang diperoleh 21.79% dan pada 90% Capex
pemerintah IRR senilai 35,53% mengalami kenaikkan sebesar 13,74%

Tabel 4.7.1 Simulasi Skenario Sharing Capex

Kerjasama antar pemerintah dan badan usaha


CAPEX OPEX Revenue
No IRR NPV
GOV Private GOV Private gov Private
1 0% 100% 4,55% $ -3.669,85
2 10% 90% 5,26% $ -2.932,60
0% 100% 0% 100%
3 20% 80% 6,10% $ -2.195,34
4 30% 70% 7,12% $ -1.458,09

59
5 40% 60% 8,38% $ -723,93
6 50% 50% 10,20% $ 7,31
7 60% 40% 12,27% $ 738,55
8 70% 30% 15,65% $ 1.469,79
9 80% 20% 21,79% $ 2.201,0
10 90% 10% 37,35% $ 2.932,27
4.7.1.2 Sharing Biaya Operasional dan Pemeliharaan (O&M
Sharing)
Simulasi selanjutnya untuk membuat skenario skema pembiayaan berbasis
PPP adalah dengan persentase membagi biaya yang diperlukan untuk
pemeliharaan dan operasi aset selama masa operasi (30 tahun).

%OPEX PEMERINTAH VS IRR

4.69%
4.68%
4.66%
4.65%
4.63%
4.62%
4.60%
4.58%
4.56%
4.55%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Gambar 4.7.3 Grafik Pengaruh Keterlibatan (Opex) Pemerintah


Terhadap Kenaikan IRR

Sesuai dengan gambar 4.7.2 keterlibatan pemerintah pada Opex


berbanding lurus dengan kenaikan IRR dan NPV. Setelah dilakukan
simulasi pembagian pembiayaan tahap pengoperasian dan pemeliharaan,
diperoleh nilai optimum 60% sharing antara pemerintah dan swasta. Nilai
optimum sharing Opex ini di peroleh dari kenaikan IRR yang paling
minimum dari IRR sebelumnya. Untuk IRR 60% pemerintah kenaikanya
sekitar 0.01%.
60
Tabel 4.7.2 Simulasi Skenario Sharing Opex

Kerjasama antar pemerintah dan badan usaha


CAPEX OPEX Revenue
No IRR NPV
GOV Private GOV Private gov Private
1 0% 100% 4,55% $ -3.669,85
2 10% 90% 4,56% $ -3.651,81
3 20% 80% 4,58% $ -3.633,78
4 30% 70% 4,60% $ -3.615,74
5 40% 60% 4,62% $ -3.597,70
0% 100% 0% 100%
6 50% 50% 4,63% $ -3.581,25
7 60% 40% 4,65% $ -3.567,72
8 70% 30% 4,66% $ -3.554,20
9 80% 20% 4,68% $ -3.540,67
10 90% 10% 4,69% $ -3.527,14

4.7.1.3 Sharing Pemasukan (Revenue)


Penetapan harga per wilayah untuk PLTS EBT oleh Menteri ESDM
adalah diatur per wilayah. Harga Pembelian Listrik dari PLTS Fotovoltaik :
Nusa Tenggara Timur adalah 18,0 Harga Pembelian (sen USD per kWh).
Dengan potensi sebesar itu, jika 10% saja dari potensi tenaga surya di
Indonesia dapat dimanfaatkan menjadi kapasitas terpasang PLTS, maka
potensi pendapatan yang mungkin diperoleh per jam operasi PLTS dapat
mencapai USD1.164.800.000 hingga USD2.240.000.000.

Pada Permen ESDM No 50 tahun 2017, ayat 6 tersebut menyatakan


bahwa pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), menggunakan pola kerja sama membangun,
memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan (Build, Own, Operate, and
Transfer/BOOT). Pembangunan jaringan tenaga listrik untuk evakuasi daya
dari PLTS Fotovoltaik ke titik sambung PT PLN (Persero) dapat dilakukan
oleh PPL berdasarkan mekanisme yang saling menguntungkan (business
to business).
61
Pola kerjasama BOOT dapat ditampilkan pada gambar berikut

Gambar 4.7.3.1.1 Diagram BOT

Secara ringkas pada pembangunan power plant ini, dapat digambarkan


sebagai berikut

Gambar 4.7.3.1.2 Skema mekanisme penjualan generation electricity


from power plant

62
Skema revenue sharing dijalankan untuk pendapatan selama 30 tahun.
Skema ini akan menurunkan laju pengembalian proyek (IRR) dan
menurunkan keuntungan bersih (NPV). Hal ini disebabkan keuntungan
tahunan yang diperoleh swasta akan berkurang karena adanya pembagian
pendapatan kepada pemerintah.

Gambar 4.7.3.1.3 Grafik Kenaikan IRR Berdasarkan Sharing Revenue


Pemerintah

%revenue PEMERINTAHAN VS IRR


$-0.07 90%
$-0.04 80%
$-0.02 70%
60%
$-0.01
50% $0.01
40% $0.01
30% $0.02
20% $0.03
10% $0.04
0% $0.05
$-0.08 $-0.06 $-0.04 $-0.02 $- $0.02 $0.04 $0.06

63
Tabel 4.7.3 Simulasi Skenario Sharing Revenue

CAPEX OPEX Revenue


No IRR NPV
GOV Private GOV Private gov Private
$
$ -3.669,85
1 0% 100% 0,05
$
$ -4.058,15
2 10% 90% 0,04
$
$ -4.446,45
3 20% 80% 0,03
$
$ -4.834,76
4 30% 70% 0,02
$
$ -5.237,12
5 40% 60% 0,01
0% 100% 0% 100%
$
$ -5.640,68
6 50% 50% 0,01
$ -
$ -6.095,83
7 60% 40% 0,01
$ -
$ -6.596,66
8 70% 30% 0,02
$ -
$ -7.103,17
9 80% 20% 0,04
$ -
$ -7.609,67
10 90% 10% 0,07

4.7.2 Skema Skenario Pembiayaan Ideal Berbasis Public Private


Partnership (PPP)

4.7.2.1 Skenario 1
Skenario ini merupakan sharing antara pemerintah dan swasta hanya pada
biaya kontruksi (Capex) sebesar US$ (Ribu) 8,729.40. Dari scenario ini
diperoleh nilai optimum dengan porsi pemerintah menanggung 60% biaya
Capex, sementara swasta menanggung 40%. Dari skema sharing skenario
64
1, didapatkan IRR sebesar 12.3% dengan NPV sebesar US$ (Ribu) 738,55
dan PBP 8,5 tahun. Hasil Simulasi Cashflow Skenario 2 detail terlampir.

Tabel 4.7.4. Hasil Simulasi Cashflow Skenario 1

4.7.2.2 Skenario 2
Skenario ini merupakan sharing antara pemerintah dan swasta pada biaya
kontruksi (Capex) dan O&M (Opex), scenario optimum pada biaya Capex
dimana pemerintah menanggung 60%, sementara swasta menanggung
40%. Untuk Opex pemerintah dan swasta menanggung sama besar yaitu
50%. Revenue 100% pihak swasta. Dari skema sharing skenario 2,
didapatkan IRR sebesar 12,5% dengan NPV US$(ribu) 806,19 dan PBP 8,3
tahun. Hasil Simulasi Cashflow Skenario 2 detail terlampir

Tabel 4.7.2.5 Hasil Simulasi Cashflow Skenario 2

65
66
4.7.2.3 Skenario 3
Skenario ini merupakan sharing optimum antara pemerintah dan swasta
pada biaya kontruksi (Capex) dan pendapatan (revenue), pada biaya
Capex pemerintah menanggung 80%, sementara swasta menanggung
20%. Sementara untuk revenue porsi pemerintah dan swasta yaitu 30%
untuk pemerintah dan 70% untuk swasta. Untuk Opex nya sendiri
ditanggung 100% oleh pihak swasta. Dari skema sharing skenario 3,
didapatkan IRR sebesar 15,99% dengan NPV US$(ribu) 1061,40 dan PBP
6,73 tahun. Hasil Simulasi Cashflow Skenario 3 detail terlampir

Tabel 4.7.6 Hasil Simulasi Cashflow Skenario 3

67
4.7.2.4 Skenario 4
Skenario ini merupakan sharing antara pemerintah dan swasta pada biaya
kontruksi (Capex), Opex, dan revenue. Sharing Capex antara pemerintah
dan swasta yaitu sebesar 75% dan 25%, sharing Opex pemerintah dan
swasta yaitu 90% dan 10%, sedangkan sharing revenue 30% pemerintah
dan 70% swasta. Hasil Simulasi Cashflow Skenario 3 detail terlampir. Dari
hasil simulasi yang dilakukan didapatkan nilai IRR yang optimum di 14.93%
dan NPV sebesar US$ (ribu) 817,52 serta PBP 7,5 tahun.

Tabel 4.7.7 Hasil Simulasi Cashflow Skenario 4

68
4.7.2.5 Analisa Perbandingan Simulasi
Dari skenario 1,2,3, dan 4 yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada bagian ini akan dilakukan
analisis perbandingan tiap skenario. Berikut adalah perbandingan antar
skenario dalam komponen sharing Life Cycle Cost (LCC).

Tabel 4.7.8 Perbandingan IRR dan NPV Skenario

Kerjasama antar pemerintah dan badan usaha


CAPEX OPEX Revenue
No IRR NPV POT
GOV Private GOV Private gov Private
Scenario $
60% 40% 0% 100% 0% 100% 12,3% 8,5 tahun
1 738,55
Scenario $
60% 40% 50% 50% 0% 100% 12,5% 8,3 tahun
2 806,19
Scenario $
80% 20% 0% 100% 30% 70% 15,99% 6,73 tahun
3 1.061,40
Scenario $
75% 25% 90% 10% 30% 70% 14,93% 7,5 tahun
4 817,52

Skenario 3 dapat menarik pihak swasta, karena IRR yang tinggi yaitu
15.99% dengan NPV US$ (ribu) 1061,40, namun beban yang ditanggung
pemerintah sangat tinggi yaitu 80% dari Capex

69
BAB V. KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan hasil studi yang dilakukan


untuk pengembangan energi PV Solar adalah sebagai berikut:
1. IRR dan Payback period pada proyek PV solar dengan kapasitas
207, 14,26 % dan 7,40 tahun
2. Dengan pembuatan PV solar dengan penambahan Seeweed, kami
mendapatkan penambahan presentasi IRR dan memperpendek POT
berikut data perbandingan :

70
DAFTAR PUSTAKA

Adi Vulkan, I. K. (2018). Modeling the potential for PV installation in


residential buildings in Urban Area. Energy & Buildings 169, 97-109.
Anyanime Tim Umoette, S. O. (2014). Comparative Analysis of the Solar
Potential of Offshore and Onshore Photovoltaic Power System.
Mathematical and Software Engineering, 128-134.
ASEAN Centre for Energy. (2016). ASEAN Renewable Energy
Development 2006-2014. Indonesia: Renewable Energy Support
Programme for ASEAN.
BPS. (2018). Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara TImur.
Retrieved from Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara TImur:
https://ntt.bps.go.id
BPS. (2018). Ekonomi Indonesia 2018 Tumbuh 5,17 Persen. Retrieved
from Badan Pusat Statistik: https://www.bps.go.id
ESDM, K. (2018). Energi Berkeadilan. Retrieved from Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral: https://www.esdm.go.id

IRENA, Global Energy Transformation. (2018). A Roadmap to 2050.


Javier Farfan, C. B. (2017). Combining Floating Solar Photovoltaic Power
Plants and Hydropower Reservoirs: A Virtual Battery of Great Global
Potential. Energy Procedia 155, 403-411.
Kardono, A. D. (2008). Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Terumbu
Karang. J. Tek Ling Vol. 9, 121-126.
Kumparan. (2018, Maret 17). Rasio Elektrifikasi RI Peringkat 6 di Asia
Tenggara. Retrieved from Kumparan Bisnis: https://kumparan.com
Li, B., L, W., & Kang, B. (2005). Solar Energy Materials

New Heaven Reef Conservation Program. (n.d.). Retrieved from


https://newheavenreefconservation.org/projects/mineral-accretion
Om Shukla, D. S. (2016). Canal Top Solar PV Plant in Gujarat . Akshay
Urja , 20-23.
PLN. (2018). Statistik PLN 2010. Jakarta: PT PLN
Sambodo, M. T., Negara, S. D., & Fuady, A. H. (2016). Akses Listrik dan
Kesejahteraan Masyarakat. 2016: LIPI Press.
U.S.E.I.A., U. E. (2016). Retrieved from http://www.eia.gov/outlooks/aeo/
71
W.M. Pabasara U. Wijeratne, R. J. (2019). Design and development of
distributed solar PV systems: Do the current tools work? Sustainable
Cities and Society 45, 553-578.

72
LAMPIRAN

73

Anda mungkin juga menyukai