Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN BACA

Identitas Buku:

Judul : Duet atau Duel? (Teologi dan Sains dalam Dunia Post-Modern)

Penulis : J. Wentzel van Huyssteen

Penerjemah : Sudi Ariyanto

Penerbit : PT BPK Gunung Mulia

Jumlah bab : 4 bab

Isi : 148 halaman

Tujuan penulisan buku: Salah satu sasaran penting buku ini adalah untuk membuktikan bahwa
teologi, situasi kompleks ini memberikan tantangan ganda yang membingungkan serta secara khusus
menyampaikan isu isolasi epistemic teologi di dunia pluralistic dan kemudian secara langsung
menyatakan sifat serta status antar-disiplin refleksi teologis.

Bab 1: Ruang Aman untuk Teologi dan Sains? Refleksi Antar-Disiplin Melampaui Tantangan Post-
Modern. Para teolog berupaya untuk menemukan ruang epistemologis yang aman bagi dialog antara
teologi dan sains merupakan diskusi antar-disiplin yang sangat menantang, yaitu tantangan untuk
sekali lagi memikirkan sifat dan tugas refleksi teologis, serta nilai-nilai yang membentuk refleksis
teologis dan ilmiah. Dilemma bagi teolog yang berminat dalam perbincangan antar-disilplin dengan
ilmu-ilmu alam adalah bahwa dekontrusksi post-modern terhadap metafisika Barat dan
foundasionalisme epistemology telah menyebabkan kemungkinan perbincangan antar-disiplin dan
umum benar-benar menjadi masalah. Pluralisasi radikal yang mengikuti bentuk skeptis kritik post-
modern tidak saja mempengaruhi bermacam teologi yang berbeda dengan berbagai cara, tetapi juga
serius telah meruntuhkan upaya membangun ruang epistemologis yang aman, tempat kita sebagai
teolog dipandang secara serius dalam dialog antar-disiplin. Berbicara tentan Allah dan tindakan
Allah di dunia secara berarti, kita membutuhkan ruanag aman tempat teologi dan sains dapat
berhubungan dalam “duet serasi” refleksi antar disiplin yang sejati, bukannya menjadi konflik yang
tak berkesudahan. Para teolog yang terlibat dalam dialog serius dengan sains akan menemukan
penolakan post moderns terhadap metanaratif hebat yang legitamtis serta penerimaan total terhadap
pluralism sebagai tantangan berat baik bagi teologi maupun sains.
Tanggapan Kritis: Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh penulis dalam bab 1 mengenai ruang
aman bagi teologi dan sains, saya sangat setuju ketika dikatakan bahwa ruang aman untuk teologi
dan sains adalah dialog antar-disiplin. Karena dalam dialog itu akan menghasilkan sebuah duet yang
serasi yang artinya bahwa dengan adanya dialog ini akan mempertemukan teologi dan sains untuk
saling berjalan bersama. Walaupun kemudian masih akan ada hal yang menjadi pertentangan antara
teologi dan sains. Dengan menunjukkan asal-ususl biologis semua rasionalitas manusia,
epistemology evolusioner mungkin dapat mennjukkan dengan tepat jalan menuju ruang
epistemologis yang aman, yang kita perlukan untuk duet antar-disiplin yang serasi antara teologi dan
sains.

Bab 2: Agama dan Kosmologi, Siapakah Imam Besar dalam Kebudayaan Kita?. John Polkinghorne
baru-baru inji menyuarakan sifat-sifat yang mencolok dalam ruang ssains dan teologi saat ini yakni
pertama, penolakan atas reduksionisme dan kesadaran baru atau dimensi hermeneutika sains; kedua,
pemahaman yang cukup menyebar terhadap alam semsesta evolusioner yang dipandang cocok
dengan doktrin teologi Kristen tentang penciptaan; ketiga, kebangkitan kembali apa yang disebut
teologi natural baru atau suatu bentuk revisi hati-hati atas teologi natural; keempat, kesadaran bahwa
teologi dan sains saling berbagi pecarian bersama agar dapat lebih dimengerti; kelima, refleksi terus
menerus tentang bagaimana proses fisik cukup terbuka untuk mengakomodasi tindakan agen, baik
manusiawi maupun ilahi. Stoeger dengan sanagat mengesankan menyatakan daripada
mengindentifikasi perbedaaan antar fokus teologidan kosmologi terhadap objek-objek yang berbeda
lebih baik kita menenkankan dengan tepat perbedaan fokus, dasar pengalaman, dan struktur
heuristik. Dengan demikian, fokus, seperti juga konteks pengalaman refleksi disiplin kita, menjadi
sangat teologis terutama saat kita berpikir tentang bagaimana orang-orang percaya mengalami
kehadiran Allah dalam hidup mereka. Konflik antara sains dan teologi sangat sulit diddeteksi dan
ditentukans ecara akurat. Dalam tinjauan kembali, beberapa benturan serius ini bukan antara agama
dan sains tetapi antara pandangan dunia dan filsafat yang tidak cocok, bahkan tidak dapat
dibandingkan. Namun fokus pada hubungan kompleks dan menantang anatara teologi dengan
kosmologi sekarang ini memberi kesan tingginya ketidakbersalahan epistemologis yang berkaitan
dengan isu menarik ini. Ruang epstemologis kreatif bagi dialog antara teologi dengan sains semacam
ini akan benar-benar bersifat antar-disiplin hanya bila akhirnya memasukkan disiplin-disiplin seperti
psikologi, sosiologi dan antropologi, yang menangani sifat-sifat yang muncul dalam homo sapiens
sebagai alat yang benar-benar timbul dalam alam semesta. Potensi sacramental yang menakjubkan
akhirnya secara meyakinkan membawa kita kepada Allah.
Tanggapan Kritis: berdasarkan teori yang dikemukakan mengenai siapakah Imam Besar dalam
kebudayaan kita. Saya sendiri meyakini bahwa Allahlah dibalik semua yang ada dalam dunia ini.
Saya sangat setuju dengan pendapat bahwa ternyata filsafat merupakan konfilk yang tidak
mempertemukan antara teoolgi dan sains karena filsafat akan selalu berusaha mencari hal yang nyata
dan diketahui secara rasional.

Bab 3: Agama dan Pengetahuan, Apakah Evolusi Memegang Kunci? Teori evolusi melalui seleksi
alam mungkin telah mengubah pandangan tentang alam, tentang Allah dan tentang hubungan Allah
dengan alam melebihi teori lain dalam sejarah pemikiran manusia. Tak dapat ditolak bahwa
pandangan Darwin mengenai adaptasi biologis sebagai proses evolusi secara langsung berlawanan
dengan argument desain dalam teolgi natural. Keyakinan Darwin sungguh percaya bahwa filsafat
alam yang ditemukannya menunjuk pada keagungan ilahi yang baru. Untuk mendapatkan
pamahaman memadai mengenai apa yang menjadi masalah bagi teologi, khususnya gagasan tentang
Allah, dalam dialog terus menerus dengan evolusi, penting dan bermanfaat melihat sepintas salah
satu respons paling awal dan sangat penting di Amerika utara terhadap Darwin. Pengertian antar-
disiplin yang lebih luas, teolog dapat mengajukan pendapat bahwa proses evolusioner sesungguhnya
tampak bertujuan. Setidaknya dalam pengertian penting, proses evolusioner adalah sistem yang bik
dan efisien untuk mewujudkan keadaan-keadaan bernilai tinggi. Dari dirinya sendiri seleksi alam ,
seperti yang telah kita lihat, tidak menjelaskan dengan sangat baik fakta ini. Sesungguhnya seleksi
alam membuat keseluruhan proses menjadi sangat mustahil. Seleksi alam tidak dapat
memprediksikan apa yang terjadi, dan tidak memberi alasan untuk mengharapkan kecenderungan
kea rah komplekitas dan kesadaran. Karena itu, seleksi alam tidak diragukan lagi merupakan evolusi,
tetapi untuk berkata bahwa ia secara utuh menjelaska evolusi adalah sesuatu yang bahkan Darwin
sendiri tidak percaya. Akhirnya berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah, Ward menyatakan
bahwa orang-orang percaya tindak menganggap Allah sebagai tuan yang perg jauh. Mereka tidak
menganggap Allah sebagai teori spekulatif semata.

Tanggapan Kristis: saya sependapat dengan pernyataan bahwa evolusi bukanlah kunci dari agama
dan pengetahuan. Karena seleksi alam tidak dapat menjadi satu-satuya penjelasan bagi perubahan
evolusioner

Bab 4: Dari Duel Sengit menuju Duet Serasi,Post-Foundasinalisme dalam Teologi dan Sains.
Epistemology evolusioner adalah bahwa informasi yang diperoleh organism hidup dari dunia cukup
akurat untuk membiarkan terjadinya pertahanan hidup dan reproduksi. Dunia tempat kita
sesungguhnya dipahami, setidaknya sampai tingkat tertentu dan sturktur dunia ini tampaknya tidak
ada hanya dalam imajinasi kita. Tetapi, sebagai sesuatu yang dapat salah, epistemology kita juga
menyadari bahwa sains sekalipun tidak pernah memungkinkan kita sampai pada pemahaman
lengkap dan pasti tentang realitas. Orang Kristen dibenarkan memandang keseluruhan sejarah
evolusi sebagai sesuatu yang sudah terencana dengan sangat baik untuk mengarah pada eksistensi
kesadaran manusia. Akibat argument post-foundasionalis yang mendalam tentang epistimologi
evolusioner, kita sekarang mampu bergerak melampaui titik pilihan yang dipaksakan yaitu antara
naturalism atau supernaturalisme radikal. Kepercayaan kepada Allah harus merupakan iterpretasi
langsung dan alamiah tentang pengalaman kita, yang mengkomunikasikan realitas pribadi yang
sangat mendasar. Hanya jika teologi mampu menerima sains kontemporer sepenuhnya maka teologi
akan mampu mengembangkan pandangan komplementer antara teologi dan sains. Post modernism,
sebagai fenomena manusia secara positif. Akibatnya banyak cara klise yang menghubungkan teologi
dan sains melalui model konflik, independensi, kesesuaian, harmoni atau dialog ditunjukkan sebagai
generalisasi yang terlalu menyederhanakan hubungan antara dua kekuatan dominan dalam budaya
kita. Refleksi keagamaan dan teologis dapat menjadi mitra seimbang dalam perbincangan antar-
disiplin yang demokratis tempat suara komitmen keagamaan yang autentik mungkin sungguh-
sungguh terdengar dalam situasi pluralis post-modern. Refleksi teologis semacam ini akan saling
berbagi standar rasionalitas antar-disiplin yang tidak akan terikat pada budaya dan konteks secara
sia-sia, meskipun refleksi ini selalu dibentuk secara sosial dan kontekstual: sekalipun dengan
pandangan pribadi, keagamaan dan disiplin yang sangat beragam, kita masih saling berbagi sumber
rasinalitas manusia yang kaya.

Pandangan Kritis: seperti dari awal bab ini saya menyetujui bahwa memang dialog akan menjadi
ruang bagi teologi dan sains untuk berjalan beriringan.

Komentar:

Setelah membaca buku yang ditulis oleh J. Wentzel van Huysteen, teologi dan sains akan saling
berjalan beriringan dengan serasi apabila dialog terjadi. Jujur bahwa saya tidak begitu memahami
secara pasti apa yang diungkpakan oleh penulis dalam buku ini karena pemaparan dan penulisan
dalam buku ini menggunakan bahasa-bahasa tinggi sehingga menyebabkan saya tidak memahami
pesan yang hendak disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai