Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

General anestesi atau anestesi umum yaitu meniadakan nyeri secara sentral
dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Perhatian utama pada anestesi
umum adalah keamanan dan keselamatan pasien yang salah satunya ditentukan oleh
kestabilan pernapasan dan hemodinamik. Keuntungan teknik anestesi ini adalah
pasien tertidur selama pembedahan dan terbangun setelah di ruang pemulihan
sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan optimal. 1,2

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional ( BSEF ) merupakan tindakan bedah


invasif minimal pada hidung dan sinus paranasal dengan menggunakan endoskopi.
Jenis operasi ini menjadi pilihan karena lebih efektif dan fungsional. Sekitar 75-
95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan BSEF.3
Indikasi BSEF antara lain rinosinusitis kronis yang tidak respon terhadap
terapi medikamentosa, rinosinusitis kronis dengan komplikasi, rinosinusitis jamur
yang invasif, rinosinusitis alergi dengan komplikasi, polip antrokoana, mukosil,
berbagai prosedur yang dilakukan secara endoskopi seperti septoplasti, drainase
abses periorbita, penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri sfenopalatina, dan
dekompresi orbita.3
BSEF merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana
darah tidak menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa
endoskop mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat
operasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta
menghindari komplikasi yang membahayakan. BSEF dilakukan dengan berbagai
upaya teknik hipotensi untuk mengurangi perdarahan selama operasi.4,5
Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengupayakan teknik hipotensi
terkendali yaitu mencapai tekanan arteri rata-rata atau Mean Atrial Pressure (MAP)
dengan pengaturan posisi dan intervensi farmakologis. Teknik hipotensi
diindikasikan pada operasi yang beresiko perdarahan yang banyak di daerah telinga,
hidung, tenggorok, operasi kepala, leher, bedah syaraf, operasi mata, operasi pelvis
dan ortopedi.4,5

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 4 Maret 2019
Nama : Tn.R
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
TB/BB : 160 cm/50 kg
Gol. Darah : B+
Alamat : Jl.Sultan Agung Tirtayasa RT 107
No. RM : 910452
Ruangan : Bangsal THT
Diagnosa : Rhinosinusitis kronis dengan polip cavum nasal bilateral
Tindakan : FESS + Ekstraksi Polip

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA

Keluhan utama:

Hidung tersumbat sejak ± 1 tahun lalu

Riwayat perjalanan penyakit :

Pasien datang dengan keluhan hidung sering tersumbat sejak 1 tahun yang
lalu. Keluhan tersumbat dirasakan semakin parah saat pagi hari atau cuaca dingin.
Pasien juga mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari hidung, berwarna bening,
jumlah sedikit, tidak berbau dan tidak bercampur darah. Pasien merasa sakit kepala,
wajah terasa nyeri terutama apabila ditekan didaerah pipi sebelah kanan dan kiri,
kepala terasa berat saat posisi sujud juga dirasakan pasien. Sejak 2 bulan yang lalu
keluhan hidung tersumbat dirasakan semakin memberat. Trauma pada hidung
disangkal. Riwayat alergi, asma disangkal

2
Riwayat penyakit dahulu:

 Riwayat Operasi : (-)


 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)

Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada yang menderita keluhan serupa

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ̊C
b. Kepala : Normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : Telinga : tidak terdapat kelainan
Hidung : rinoskopi anterior didapatkan kedua kavum nasi
sempit, konka inferior edema dan hiperemis, konka media
sukar dinilai, septum deviasi tidak ada. terdapat nyeri tekan
sinus paranasal pada daerah maxilla dextra dan sinistra
Tenggorokan : tidak terdapat kelainan
e. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-).
f. Thoraks
Inspeksi : simetris
Palpasi : vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)

3
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi
- Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
- Inspeksi : Perut rata ,tidak ada kelainan warna kulit, tidak tampak
pelebaran pembuluh darah,tidak terdapat jaringan sikatrik, tidak tampak
massa.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal pada lapang abdomen
- Perkusi : Timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI
sampai subcostalis dektra.
- Palpasi : Teraba supel,nyeri tekan (-),hepar,lien tidak teraba massa,
ballotement ginjal (-) .
h. Genital : dalam batas normal
i. Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin (tanggal 26 Februari 2019)


WBC : 9.64 103/L
RBC : 4.59 x 1012/L
HGB : 13.6 gr/dL
HCT : 39.2 %
PLT : 210 x 109/L
Masa Pendarahan : 2 (1 – 3 menit )
Masa Pembekuan : 3.5 (2 – 6 menit)

4. STATUS ASA: 1/2/3/4/5/E

4
5. PERSIAPAN PRA ANESTESI

 Pasien telah diberikan informed consent


 Puasa 6 jam sebelum operasi
 Pasien dirawat 1 hari sebelum tindakan

C. LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 5 Maret 2019


Nama : Tn. R
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 160 cm/50 kg
Gol. Darah : B+
Alamat : Jl.Sultan Agung Tirtayasa RT 107
No. RM : 910452
Ruangan : Bangsal THT
Diagnosa : Rhinosinusitis kronis dengan polip cavum nasal bilateral
Tindakan : FESS + Ekstraksi Polip
Operator : dr. Lusiana, Sp.THT-KL
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital : Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 70x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 37 ºC

Berat Badan : 50 kg

5
b. Laboratorium
Darah Rutin (tanggal 26 Februari 2019)
WBC : 9.64 103/L
RBC : 4.59 x 1012/L
HGB : 13.6 gr/dL
HCT : 39.2 %
PLT : 210 x 109/L
Masa Pendarahan : 2 (1 – 3 menit )
Masa Pembekuan : 3.5 (2 – 6 menit)

2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Rhinosinusitis kronis dengan polip cavum nasal
bilateral
2. Tindakan bedah : FESS + Ekstraksi Polip
3. Status fisik ASA : II
4. Jenis anestesi : General Anastesi teknik hipotensi terkendali
Pramedikasi :
 Ondansentron 4 mg (IV)
 Dexametasone 10 mg (IV)
 Ranitidine 50 mg (IV)
 As. Traneksamat 1g (IV)
Anestesi umum : Recofol 150 mg
Adjuvant : Klonidine HCL 100 mcg
Pemeliharaan anestesi : O2, N2O, dan Sevofluran
Posisi : Terlentang
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA I
Induksi mulai : 09.00 WIB
Operasi mulai : 09.10 WIB
Operasi selesai : 11.15 WIB
Berat badan pasien : 50 Kg

6
Durasi operasi : 2 jam
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
 Fentanyl 100 mcg
 Recofol 150 mg
 Rocuronium Bromide 10 mg
 Cefazolin 1 gr
 Klonidin 100 mcg

3. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Terlentang
b. Intubasi : Oral, No. Tube : 8,0 Balon
c. Penyulit Intubasi : Tidak ada
d. Lama Anestesi : ± 2 jam
e. Jumlah Cairan
Input :
 RL 500 ml
 RL 500 ml
 HES 500 ml
Output :
 Urine : ± 150 cc
 Perdarahan : ± 400 cc
g. Kebutuhan cairan pasien ini :
BB = 50 Kg
 Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 50
M = 100 cc
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x 100

7
P = 600 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc
O = 50 x 6 cc
O = 300cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc
 EBV = 65 x BB
= 65 x 50
= 3250 cc
 EBL = 20% x EBV
= 20% x 3250cc
= 650cc

8
4. Monitoring
TD awal = 110/60 mmHg, Nadi =80 x/menit, RR = 20 x/menit
Jam Tekanan Darah Nadi/SpO2 RR Ket

Pasien masuk ruang


operasi, persiapan posisi
08.40 110/65 mmhg 80/98 20 pasien dan mesin anestesi,
pemasangan alat untuk
monitoring perioperatif

-Mulai tindakan anesthesia


dan intubasi

-Penambahan agen
08.55 120/72 mmhg 105/98 18
hipotensi berupa klonidin
100 mcg

-Pemasangan kateter

09.10 115/65 mmhg 59/99 19 Mulai operasi

09.25 90/70 mmhg 80/99 19

09.40 85/60 mmhg 75/100 20

09.55 80/65 mmhg 60/100 20

10.10 80/55 mmhg 60/100 19

10.25 85/60 mmhg 65/100 18

10.40 85/65 mmhg 60/100 18

10.55 85/66 mmhg 69/100 19

- Operasi selesai

11.10 80/64 mmhg 70/100 19 - Mengosongkan urin bag

- Memulai ekstubasi

-Pasien nafas spontan,


pasien mulai membuka
mata, orientasi baik,
11.25 88/62 mmhg 68/100 18 melepaskan alat
monitoring

- Pasien dipindahkan ke
RR

9
5. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 11.30 WIB
 Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
 Tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 20 x/menit
 Pernafasan : Baik
 Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit


 Tirah baring tanpa menggunakan bantal
 Boleh minum bertahap
 Cek Hb post Operasi
 Instruksi lain sesuai dr. Lusiana, Sp.THT

10
BAB III
TIJAUAN PUSTAKA

3.1 Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

3.2.1 Definisi FESS


Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan
menggunakan endoskopi yang bertujuan memulihkan “mucocilisry clearance”
dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan
drenase sinus dapat lancar kembail melalui ostium alami.6

3.2.2 Indikasi FESS7


Indikasi umunya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut
yang berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang
optimal.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan
komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau
sinusitis jamur yang invasif dan neoplasma.
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk
mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor
serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,
kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.

3.2.3 Kotraindikasi FESS

Terdapat beberapa kontra indikasi dalam melakukan bedah sinus


endoskopik fungsional (BSEF) antara lain:8

1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.


2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil atau hipoplasi.

11
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes melitus, kelainan
hemostatis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

3.2.4 Anestesi dan Analgesi FESS

Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anastesi lokal atau umum. Umumnya
anatesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti FESS mini atau lainnya.7

Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan
menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi
menurut kepustakaan, tidak terbukti anastesi lokal lebih aman dibanding anastesi
umum dengan teknik hipotensi terkendali pada operasi endoskopi.7

Diperlukan teknik anastesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi


yang baik. Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain, pantokain, atau
xylokain 2% dicampur epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil
bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan
aggernasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula
memakai analgesi-vasokonstriktor kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray.
Anastesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin 1:80.000-100.000,
disuntikkan dengan jarum panjang diatas perlekatan konka media, prosesus
unsinatus dan foramen sfenopalatina.7,9

Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan


teknik anastesi yang paling populer baik di negara barat maupun di Indonesia.
Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang
operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi terhindar, di samping pasien lebih
nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.7,9

Namun demikian hpitensi kendali ini mempunyai resiko pada beberapa


pasien misalnya pasien geriatri. Di samping itu penggunaan halotan bersama
vasokonstriktor dapat menimbulkan resiko iritabilitas jantung.7,9

12
3.2 Teknik Hipotensi Terkendali
3.2.1 Definisi Anastesi Hipotensi

Hipotensi induksi (hipotensi kendali atau deliberasi) dapat diartikan sebagai


penurunan MAP secara bertahap antara 25-30% dari nilai baseline dan bersifat
reversibel untuk membatasi kehilangan darah intraoperatif, menghindari kebutuhan
tranfusi darah homolog dan mempermudah visualisasi lapangan operasi selama
prosedur pembedahan.10
Penurunan MAP hingga 30% dari baseline tidak akan mengganggu
keseimbangan antara oxygen demand dan oxygen supply pada pasien yang
mendapat vasodilator untuk mengontrol hipotensi.
Syarat –syarat agen yang ideal untuk hipotensi kendali :
a) Mudah diberikan

b) Onset kerja cepat

c) Eliminasi cepat

d) Tidak menimbulkan toksisitas

e) Efek yang dapat diprediksi dan tergantung dosis

3.2.2 Indikasi Anestesi Hipotensi10


1. Mengurangi kehilangan darah intraoperatif :
a) Bedah plastik rekonstruktif
b) Diseksi leher radikal
c) Radikal sistektomi, prostatektomi, histerektomi, mastektomi
d) Total hip anrthroplasty
2. Mempermudah lapangan operasi pada microsurgery :
a) Cerebral aneurysm repair
b) Malformasi arteri vena
c) Reseksi tumor vaskuler otak
d) Diseksi koroid
e) Functional endoscopic sinus surgery
f) Pembedahan telinga tengah

13
g) Spinal fusion
3. Manajemen pasien yang menolak transfusi darah :
a) Jehovah’s witness

3.2.3 Kontraindikasi Anestesi Hipotensi10


1. Tidak berpengalaman atau kurangnya pemahaman teknik anestesi hipotensi
2. Ketidakmampuan untuk memonitor pasien dengan tepat
3. Penyakit sistemik yang mengganggu perfusi, oksigenasi atau fungsi organ
a. Iskemik miokard. Keadaaan ini makin diperburuk dengan meningkatnya
rate-pressure product (RPP). Pada pasien yang mendapat penghambat 
adrenergik dan vasodilator, maka kerja otot jantung makin berkurang.
b. Hipertensi tidak terkendali. Pada hipertensi yang tidak terkendali, tekanan
arteri cenderung tidak stabil dan mudah terjadi hipotensi. Monitor ECG
mutlak diperlukan karena penggunaan agen volatil akan menambah efek
hipotensi dari agen hipotensif yang diterima sehingga sering ditemukan ST
depresi pada gambaran ECG.
c. Penyakit pernafasan. Keterbatasan penggunaan teknik ini lebih
berhubungan dengan meningkatnya deadspace fisiologi yang disebabkan
V/Q mismatch. Pada keadaan normal, hypoxic pulmonary vasoconstriction
(HPV) terjadi pada segmen paru yang sedikit mengalami ventilasi.
Vasodilatasi yang diinduksi oleh obat-obat vasodilator akan menumpulkan
respon ini dan memperburuk shunting. Bronkhospasme diperparah dengan
penggunaan obat penghambat ganglion atau antagonis  adrenergik yang
tidak spesifik terhadap jantung dan merupakan kontraindikasi pada pasien
asma. Meningkatnya tekanan inflasi makin memperberat hipotensi karena
mengganggu venous return.
d. Diabetes mellitus. Kontraindikasi teknik hipotensi pada pasien DM
berhubungan dengan penggunaan obat, dimana obat penghambat blok
simpatis akan mengganggu stress-induced gluconeogenesis yang
diperantarai adrenalin. Beta bloker juga dapat menimbulkan hipoglikemi
pada pasien IDDM dan kombinasi dengan hipotensi akan mengganggu

14
metabolisme otak. Pada penderita DM terkendali, teknik yang ideal adalah
menggunakan agen volatil dan vasodilator tanpa mengganggu konsentrasi
gula darah.
e. Penyakit serebrovaskuler
f. Penyakit aterosklerotikvaskuler
g. Insufisiensi hepar atau ginjal
4. Anemia berat
5. Hipovolemi
6. Glaukoma tidak terkontrol
7. Alergi terhadap agen hipotensif
8. Kehamilan

3.2.4 Pendekatan Non Farmakologi Anestesi Hipotensi10,11


1. Perubahan tekanan hidrostatik intravaskuler
Prinsipnya aliran darah melalui pembuluh darah yang mengalami injury akan
meningkat sesuai dengan perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik
intravaskuler dan perivaskuler, sehingga pada perdarahan yang tidak terkendali,
pemberian cairan berlebihan untuk mengembalikan tekanan darah justru
menyebabkan perdarahan lebih banyak. Penurunan tekanan hidrostatik vena dan
tekanan arteri sistemik diharapkan dapat mengurangi perdarahan.10,11

1.1. Tekanan Vena


1.1.1. Posisi Pasien
Posisi pasien mempunyai pengaruh terhadap kehilangan darah selama
pembedahan. Yang perlu diperhatikan adalah menghindari setiap kemungkinan
adanya penekanan drainase vena mayor ketika mem-posisikan pasien. Posisi prone
pada pembedahan spinal menyebabkan kompresi vena-vena intra-abdominal
termasuk vena kava inferior dan vena paravertebra sehingga terjadi dilatasi pleksus
vena vertebra dan penurunan tekanan hidrostatik vena kava inferior.
Elevasi lapangan operasi melebihi tinggi atrium kanan akan meningkatkan
drainase vena lokal dan menurunkan tekanan vena lokal sehingga mengurangi
perdarahan, tetapi sering menimbulkan efek samping emboli udara vena terutama

15
pada area non-collapsing veins, terutama pada pembedahan spinal posisi prone.
Efek posisi head-up pada tekanan perfusi serebral regional berhubungan dengan
tekanan arteri rata-rata dimana untuk setiap 2,5 cm ketinggian di atas jantung maka
tekanan arteri lokal berkurang 2 mmHg. Posisi head-up untuk mengurangi
perdarahan dan mempermudah lapangan operasi pada pembedahan leher dan kepala
sering dilakukan, sebaliknya posisi head-down untuk operasi ekstremitas bawah
kurang efektif untuk mengurangi tekanan arteri karena cenderung meningkatkan
venous return dan mempertahankan tekanan arteri, berlawanan dengan posisi head
up yang mengurangi venous return.

1.2. Tekanan arteri


Penurunan tekanan arteri bisa dicapai secara farmakologi melalui
penurunan SVR atau curah jantung. Efikasi hipotensi kendali pada total hip
replacement dapat mengurangi perdarahan kira-kira 50%(35-83%). Hal yang sama
juga ditemukan pada pembedahan spinal.
Pada pembedahan prostatektomi radikal, menurunkan MAP hingga 50
mmHg akan menurunkan jumlah unit alogenik yang diberikan sebesar 50% dan
mengurangi proporsi pasien yang ditransfusi dari 60-25%. Berbeda pada penelitian
Sharrock et. al., penurunan MAP hingga 50 mmHg pada hip surgery hanya
mengurangi perdarahan sebesar 84 mL dan menurut Suttner et. al., pada MAP 50
mmHg terjadi sedikit peningkatan Protein S-100 dan neuro-specific enolase yang
merupakan marker biokimia injury serebral.

3.2.5 Pendekatan Farmakologi Anestesi Hipotensi10,11

1. Agen anestesi volatil

a.) Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat, nyaman
dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan inhalasi yang lain.
Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau sufentanil digunakan untuk mengontrol
hipotensi pada anak-anak. Konsentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55-65

16
mmHg.
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal meningkat
48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga 38%.11

b.) Halothane

Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan


tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah kulit dan
vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi pada otot skelet.
Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan karena efek langsung depresi otot
jantung. Halotan sering digunakan pada konsentrasi rendah untuk memulai anestesi
hipotensi.
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan SVR
berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan perubahan ini
menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada sirkulasi splanchnic, aliran
darah portal dan hepatic arterial meningkat 90% dan 37% menghasilkan
peningkatan total liver blood flow 76%.11

c.) Enflurane

Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama seperti
halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada anestesi hipotensi
hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-0,5%.12

d.) Isoflurane13,14

Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena onset


kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih setelah obat
dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap kontraktilitas otot jantung

17
pada konsentrasi inspirasi yang rendah. Keuntungannya adalah meningkatkan dosis
isofluran tidak hanya menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga
menekan sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor.
Isoflurane 2% atau MAC 1,54 menghambat peningkatan aliran darah
medula adrenal, norepinephrine dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ
abdomen sebesar 70% yang diamati pada MAP 60 mmHg.
Penelitian Seagard et.al. menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon
baroreceptor terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan
dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Haraldsted et.al.. mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2 difference
pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma serebral menyimpulkan
bahwa cerebral blood flow dan oxygen demand/supply ratios dipelihara dengan baik
selama induksi hipotensi dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan
bahwa isoflurane menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal
EDRF atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari endotelium
pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi mempunyai efek vasodilatasi
langsung.13
Mazze et.al. menemukan bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal
sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari
ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan vaskuler
renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen glomerulus, yang ditandai
peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.13,14

2. Blok ganglion simpatik


Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan hambatan ganglion otonom
melalui mekanisme inhibisi kompetitif asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya
terbatas pada sistim simpatis karena transmisi kolinergik juga terjadi pada ganglion
parasimpatis. Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi relatif
lambat dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang disebabkan
trimetaphan relative pendek antara 10–15 menit sehingga obat ini lebih sering
diberikan secara infus iv 3–4 mg/mnt. Hal ini sangat berbeda dengan injeksi tunggal

18
pentolinium 5–15 mg yang mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan
proses yang lambat untuk kembali ke nilai normal.

Gangguan aliran darah serebral dan medulla spinalis yang disebabkan


redistribusi CBF menjauhi area korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati
dan ginjal, takikardi; pelepasan histamine; inhibisi enzim pseudokolinesterase;
potensiasi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu
efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan. Takifilaksis yaitu
kebutuhan untuk menaikkan dosis obat untuk menghasilkan efek yang sama lebih
nyata dengan trimetaphan dan membuat tekanan arteri yang stabil sulit dicapai
sehingga pemberian secara infuse kontinyu lebih baik dibandingkan bolus
intermiten. Infus kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit dan dititrasi sesuai
efek.15

3. Obat pelumpuh otot non depolarisasi


Penggunaan obat pelumpuh otot non depolarisasi untuk memfasilitasi IPPV
sebagai tambahan hipotensi elektif dianjurkan pada beberapa keadaan dengan
pertimbangan obat-obat tersebut menginduksi hambatan ganglion simpatis dan
pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi.
Penelitian Yoneda et.al., 1994 mengemukakan atracurium menekan
aktivitas saraf simpatis eferen menyebabkan penurunan tekanan arterial. Di antara
obat pelumpuh otot jangka menengah vecuronium dan atracurium memiliki efek
samping kardiovaskuler yang minimal. Menurut Kimura et.al., 1999, vecuronium
tidak mempengaruhi denyut jantung dan tekanan darah dibandingkan pelumpuh
otot yang lain.
Penelitian Hughes dan Chapple menemukan respon vagal dan simpatis
terhadap beberapa obat pelumpuh otot non depolarisasi dimana blok vagal dengan
atracurium hanya terjadi pada dosis 8–16 kali lebih besar dibandingkan dosis
paralisis penuh dan minimal terhadap mekanisme simpatis. Berbeda dengan Yoneda
et.al., 1994 dimana kira-kira dosis atracurium 3 kali lebih besar menurunkan
aktivitas saraf simpatis ginjal, tekanan arterial dan denyut jantung. Atracurium
melepaskan histamine pada dosis 3 kali ED95 . Pelepasan histamine setelah

19
pemberian atracurium menimbulkan hipotensi arterial tidak saja karena efek
vasodilatasi langsung tapi juga akibat penurunan aktivitas saraf simpatis.

4. Klonidine HCL
Clonidine merupakan derivat imidazolin dan tergolong ke dalam senyawa
mesomerik. Nama kimianya adalah 2 - hidroklorida (2,6-dichlorophenylamino)-2-
imidazolin. Tingkat plasma puncak clonidine sekitar 3 sampai 5 jam dengan waktu
paruh plasma berkisar 12-16 jam. Peningkatan paruh hingga 41 jam pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal berat. Setelah sekitar 40-60% dari dosis yang
diserap, obat di dalam urin tidak berubah dalam 24 jam. Sekitar 50% dari dosis
yang diserap dimetabolisme di dalam hati.
Efek Samping :
 detak jantung berdebar;

 detak jantung yang sangat lambat (kurang dari 60 denyut per menit);

 sesak napas, bahkan dengan tenaga ringan;

 bengkak, pertambahan berat badan yang cepat;

 kebingungan, halusinasi;

 demam, kulit pucat, pingsan;

 buang air kecil kurang dari biasanya atau tidak sama sekali

5. Penghambat  adrenergik

Penghambat  adrenergik menghasilkan vasodilatasi melalui mekanisme


hambatan kompetitif reseptor adrenergik postsinap dalam sistim simpatis. Efek
phentolamine relative pendek antara 20–40 dan reversibel, sedangkan
phenoxybenzamine bertahan beberapa hari karena obat ini merupakan nitrogen
mustard derivative, membentuk kompleks reseptor yang irreversibel. Phentolamine
juga mempunyai efek stimulant miokard (beta adrenergik), meningkatkan konsumsi
oksigen dan denyut jantung, sebaliknya phenoxybenzamine memiliki efek sedasi.
Phentolamine 5–10 mg digunakan untuk induksi vasodilatasi sedangkan
phenoxybenzamine 0,5–2,0 mg/kg yang bertahan dalam 10 hari berguna dalam

20
meminimalkan efek katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma.
Sedangkan chlorpromazine dan droperidol yang mempunyai efek mild alpha
adrenergik block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum anestesi
hipotensi.15

6. Penghambat  adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis  adrenergik pada anestesi hipotensi
yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering digunakan
untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40 mg/hr bisa
digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg iv dapat
digunakan selama anestesi. Penghambat  adrenergik ini dapat dipakai sebelum atau
selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai efek
samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator
langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibandingkan
intravena karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama operasi.
Labetalol (kombinasi anatagonis  dan  adrenergik) juga ideal untuk menginduksi
hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan
penghambat  yang berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat  5-7 kali
lebih poten dibandingkan penghambat .15

7. Vasodilator

a) Sodium nitroprusside (SNP)

Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah


yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke nilai
normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial-a-pressure” hypotension
dalam periode yang sangat singkat misalnya saat pengangkatan meningioma atau
pemotongan aneurisma serebral. Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan
visualisasi yang ideal pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga
20%. SNP memberikan distribusi aliran darah serebral yang lebih homogen akibat
efek vasodilatasi langsung ke serebral dan mempertahankan aliran darah yang

21
adekuat ke organ vital pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti
akan menggeser kurva autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan meningkatkan
tekanan intrakranial, sehingga tidak digunakan pada neurosurgery sebelum tulang
tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon ini
disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah dan
meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP memiliki sifat depresi
terhadap kontraktilitas miokard yang minimal dengan tetap memelihara aliran darah
koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung.15,16
Penggunaan preparat ini berhubungan dengan intoksikasi sianida. Setiap
molekul SNP mengandung 5 radikal sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat
dalam plasma dan sel darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat
non enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler di
katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin. Pada akhirnya,
lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat pemecahan SNP terdapat di dalam sel
darah merah, sedangkan proporsi yang lebih kecil bergabung dengan
methaemoglobin atau vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati
oleh enzim rhodanase menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor
yang membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl
dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi
thiocyanate sehingga mengurangi konsentrasi sianida dalam darah. Penggunaan
thiosulphate tidak mempengaruhi efek hipotensi yang dihasilkan SNP.
Dosis SNP yang direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan
secara bertahap sampai level hipotensi yang diharapakan tercapai, sedangkan dosis
maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit, dimana terjadi
sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma yang dicerminkan dengan
meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai -7 mmol/liter yang reversibel setelah
penghentian SNP. Pengukuran rutin asam basa selama SNP akan memberikan
informasi klinis yang adekuat terjadinya toksisitas sianida. Jika dosis SNP yang
diberikan tidak melebihi dosis maksimum maka gejala toksisitas tidak akan terjadi
pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang normal. Kerugian SNP untuk

22
hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya reflek takikardi dan potensi
terjadinya toksisitas sianida.15,16

b) Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel dihydropyridine
yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek kronotropik dan inotropik
negatif yang minimal (Kimura et.al., 1999). Bernard et.al.. membandingkan
penggunaannya dengan nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani
pembedahan spinal fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi
dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah dicapai sesuai
dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke
tekanan darah baseline pada kelompok nicardipine 20 menit lebih lama
dibandingkan nitroprusside. Hal ini disebabkan mekanisme seluler nitroprusside
yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang
memiliki waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan
restorasi tekanan darah yang cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian ke
tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan terjadi
keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler. Tetapi pengembalian MAP yang
lambat justru memberikan keuntungan karena proses yang bertahap tanpa disertai
rebound hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside memberikan lebih
banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang stabil dan mencegah
hilangnya darah yang berlebihan paska operasi. Nicardipine menghasilkan reflek
takikardi yang minimal dibandingkan nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi
akan membutuhkan infus vasoaktif tambahan yang pada akhirnya meningkatkan
biaya per pasien.
Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan nicardipine,
tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan pasien membutuhkan infuse
vasoaktif tambahan berupa esmolol, sehingga nicardipine dinilai lebih cost-
effective. Di samping itu, penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi kendali
mengurangi jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit autologous blood

23
atau biaya sekitar $206.00/unit. Penelitian lain yang mendukung yaitu Bernard et.al.
menyimpulkan bahwa hipotensi kendali pada pasien dewasa sehat lebih aman dan
mudah dicapai dengan infus nicardipine dibandingkan nitroprusside untuk spinal
fusion karena MAP baseline tercapai kembali secara bertahap dan lebih hemat.15,16

c) Trinitroglycerin (TNG)
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang terjadi di
hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses ini menyebabkan
aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena ukuran molekul juga
berkurang. TNG menghasilkan penurunan tekanan arteri yang stabil dengan efek
yang lebih besar pada tekanan sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk
mempertahankan aliran darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu
10-20 menit, berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2–4 menit, sehingga
kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan hipotensi yang
ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada sistim kapasitansi vena
sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih besar dan perfusi arteri koroner
lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini menguntungkan pada pasien yang memiliki
gangguan sirkulasi serebral atau miokard.15
Peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan oleh nitroglycerin lebih
besar dibandingkan SNP. Dosis TNG biasanya dimulai 0,2-0,5 ug/kg/menit dan
ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang diharapkan tercapai. TNG tidak
menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP.

3.2.6 Monitoring selama anestesi hipotensi


Monitor rutin yang ideal digunakan selama anestesi hipotensi meliputi :
1) Elektrokardiografi
Monitoring ECG sangat penting dalam menemukan 2 tanda vital adanya
perfusi otot jantung yang tidak adekuat yaitu : berkembangnya ectopic beats dan
depresi segmen ST. Perubahan segmen ST yang terjadi biasanya reversibel dengan
meningkatnya tekanan arteri rata-rata. Respon otot jantung terhadap keadaan
hipoksemia dan hipoperfusi merupakan monitor yang sensitif pada anestesi
hipotensi.15,18

24
2) Saturasi oksigen arteri
Saturasi oksigen merupakan pengukuran yang murah dan non invasive yang
menggambarkan jumlah oksigen yang dibawa hemoglobin. Penurunan tekanan
parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2) sebesar 1 mmHg akan menurunkan SaO2
3%. PaO2 30 mmHg menghasilkan SaO2 60%, PaO2 60 mmHg menghasilkan
SaO2 90%, sedangkan PaO2 75 mmHg menghasilkan SaO2 95%.18,19

3) Kapnografi
Kapnografi digunakan untuk mengukur konsentrasi karbondioksida
tertinggi saat akhir ekshalasi paru (end-tidal carbon dioxide). Hipotensi sistemik
mengakibatkan berkurangnya tekanan arteri pulmonalis karena perfusi paru
tergantung pada gaya gravitasi dan meningkatkan V/Q mismatch di dalam paru-paru
sehingga ekskresi CO2 berkurang dan end-tidal carbon dioxide menurun.
Konsentrasi inspirasi oksigen yang dibutuhkan meningkat selama periode hipotensi
untuk mengkompensasi perubahan perfusi paru.19

4) Produksi urin
Selama hipotensi kendali, ginjal tetap memproduksi urin 0,5-1 cc/kg/jam.
Produksi urin merupakan salah satu indikator untuk menilai fungsi dan perfusi
organ penting.13,18

5) Pengukuran tekanan arteri langsung atau tak langsung


Monitor tidak langsung biasanya menggunakan oscillotonometer yang
tergantung deteksi regular pulsasi cuff, tetapi tidak akurat bila terjadi gangguan
irama jantung. Tekanan sistolik kurang dari 70 mm Hg harus segera diantisipasi
dengan monitor arteri langsung dan vena sentral.18,19
Indikasi tekanan arteri langsung yaitu adanya perubahan tekanan darah yang
cepat, perubahan tekanan darah yang moderat dapat menyebabkan kerusakan end
organ dan monitor tekanan darah invasif dianggap kurang akurat untuk
mengantisipasi kardiovaskuler yang tidak stabil dan manipulasi langsung sistim
kardiovaskuler akibat anestesi hipotensi. Gelombang arteri memberikan informasi

25
yang berharga tentang status hemodinamik penderita yaitu gelombang menentukan
denyut jantung selama elektrokauter mempengaruhi ECG dimana puncak
gelombang elektrik yang berasal dari pacemaker menghasilkan kontraksi ventrikel,
slope gelombang bisa mengevaluasi kontraktilitas otot jantung dan memberikan
perkiraan konsekuensi hemodinamik secara visual mengenai kemungkinan
aritmia.19

6) Kateter vena sentral


Tekanan vena sentral diatur melalui keseimbangan antara volume darah dari
sirkulasi sistemik yang kembali ke jantung dan kemampuan ventrikel kanan untuk
memompa darah ke sirkulasi pulmoner. Tekanan vena sentral menggambarkan
preload untuk ventrikel kanan atau lebih tepatnya right ventricular end diastolic
volume. Preload sering digunakan sebagai indikator penggantian volume
intravaskuler. Penurunan preload menandakan adanya kebutuhan penambahan
cairan intravena, tetapi tekanan vena sentral diatas 15 mmHg menggambarkan
resusitasi berlebihan.1,19

7) Monitor suhu
Vasodilatasi akibat penggunaan kombinasi agen-agen hipotensi
menyebabkan kehilangan panas yang berlebihan dan mencetuskan terjadinya
hipotermi.18

8) Kadar glukosa
Penggunaan bloker sebagai suplemen anestesi hipotensi memerlukan
monitor gula darah durante operasi karena efek penghambatan glikogenolisis
sehingga mudah terjadi hipoglikemi.18

9) Analisis gas darah


PaCO2 dipertahankan antara 35-45 mmHg untuk tetap mempertahankan
autoregulasi otak. CBF akan meningkat atau menurun 1 ml/100gr/menit untuk
setiap mmHg kenaikan atau penurunan PaCO2 dari baseline. Pembuluh darah otak

26
akan berdilatasi secara maksimal pada PaCO2 80 mmHg. Peningkatan PaCO2 juga
akan menurunkan pH dan menggeser kurva disosiasi hemoglobin ke kanan sehingga
afinitas hemoglobin terhadap oksigen berkurang.
Setelah induksi anestesi dimulai, analisis gas darah; saturasi oksigen; kadar
gula darah dan CVP atau PAP harus diukur sebelum hipotensi yang direncanakan
tercapai. Pemeriksaan ini diulang setiap 30-60 menit untuk menilai status volume
cairan.18

3.2.7 Teknik praktis anestesi hipotensi


Tidak ada obat tunggal yang mampu memberikan keadaan yang ideal untuk
semua prosedur pembedahan dengan anestesi umum yang memerlukan teknik
hipotensi karena pada prinsipnya ada 3 kelompok besar yang memiliki kebutuhan
berbeda yaitu : kebutuhan onset lambat dan hipotensi moderat yang menetap dengan
perlahan kembali ke tekanan normal, biasanya untuk operasi THT, plastik dan
maxillo-facial dimana mudah terjadi perdarahan ulang jika tekanan darah lebih
cepat kembali ke keadaan normal. Kelompok kedua adalah kebutuhan
mengantisipasi kehilangan perdarahan masif. Kelompok ketiga adalah operasi yang
membutuhkan periode singkat tekanan darah yang sangat kecil dan fluktuasi cepat
pada tekanan arteri membutuhkan pengaturan segera misalnya cerebral aneurysm,
reseksi koartasio aort.15
Teknik hipotensi menggunakan agen inhalasi poten sebagai agen hipotensi
tunggal tidak dianjurkan karena depresi kardiovaskuler tidak segera kembali
normal. Penghambat adrenergik jangka pendek dosis rendah bisa digunakan
sebagai tambahan untuk mengurangi kebutuhan anestesi inhalasi atau vasodilator,
tetapi penggunaan obat ini dihindari pada anak dibawah usia 5 tahun karena curah
jantung masih tergantung denyut jantung.12
Idealnya dimulai dengan memberikan premedikasi midazolam (0,7 mg/kg
per oral atau 0,01–0,05 mg/kg iv) dan opioid seperti fentanyl 2–3,5 ug/kg,
remifentanil 1 ug/kg atau sufentanil 1 ug/kgbb, dilanjutkan induksi dengan sodium
thiopental 5–10 mg/kg IV dan obat pelumpuh otot non depolarisasi jangka
menengah untuk fasilitas intubasi misalnya vecuronium 0,1 mg/kg. Intubasi
dilakukan dengan menggunakan pipa endotrakeal non kinking untuk mencegah

27
kemungkinan obstruksi parsial dan retensi karbondioksida kemudian dilakukan
hiperventilasi dengan oksigen, nitrous oxide 50%–70%, isoflurane 0.5–1.0%.
Setelah kondisi stabil, obat hipotensif spesifik dengan efek samping minimal bisa
digunakan.12,15
Target MAP dicapai antara 55–65 mm Hg pada pasien dewasa muda dan
sehat, 60-70 mmHg pada pasien tua dan sehat, sedangkan pada pasien hipertensi
kronis terkendali penurunan MAP masih dapat ditoleransi hingga 25% sebelum
irisan kulit dimulai (Morgan et.al., 2002). Jika target MAP tercapai sebelum insisi,
maka infuse vasoaktif tidak dimulai sampai irisan awal pembedahan untuk
menghindari hipotensi yang berlebihan. Jika target MAP tidak tercapai sebelum
irisan awal pembedahan, maka infuse vasoaktif bisa dimulai saat itu juga dengan
nicardipine loading dose 0,02 ug/kg dilanjutkan infuse kontinyu 10 ug/kg/mnt
hingga target MAP tercapai kemudian diturunkan menjadi 1 ug/kg/mnt selanjutnya
dititrasi sesuai kebutuhan. Infus nitroprusside dimulai 1 ug/kg/mnt untuk mencapai
target MAP kemudian dititrasi sesuai kebutuhan. Dosis pemeliharaan tetap
diberikan sampai penjahitan kulit.
Pada anak-anak, hipotensi kendali dicapai lebih baik dengan pemberian
remifentanil 1 ug/kg iv dalam 30-60 detik dilanjutkan infus kontinyu 0,2-0,5
ug/kg/menit hingga MAP 50 mmHg dikombinasi dengan sevofluran 2%
dibandingkan dengan sodium nitroprusside 0,25 ug/kg/menit. Perbedaannya adalah
dosis pemeliharaan ini dihentikan 10 menit sebelum akhir pembedahan.16
Tekanan darah dikembalikan ke baseline sebelum penutupan kulit untuk
mempermudah hemostatis. Bila hipotensi menetap, maka reversal segera dilakukan
untuk mengembalikan fungsi ventrikel kiri dengan efedrin 5-10 mg iv (Husain,
1993). Penelitian Goertz et.al., 1993 menggunakan transesophageal
echocardiography untuk menilai efek pemberian bolus fenilefrin 2 ug/kg dan
norepinefrin 1 ug/kg terhadap fungsi ventrikel kiri selama hipotensi kendali dengan
isofluran menunjukkan bahwa kedua substrat efektif mengembalikan tekanan darah
arteri ke nilai normal dimana end-systolic wall stress meningkat setelah pemberian
fenilefrin dan norepinefrin dari 47,4 menjadi 91,2 dan dari 54,0 menjadi 65,2 x 103
dyne/cm2.
Pasien hipotensi elektif tetap membutuhkan monitor tekanan arteri dan

28
monitor airway paska operasi di ruang pemulihan dengan pengawasan. Suplemen
oksigen harus diberikan pada semua pasien hingga benar-benar pulih sadar. Pada
penggunaan obat penghambat ganglion, pasien tetap tidur telentang selama 12-18
jam paska operasi.15

3.2.8 Komplikasi Anestesi Hipotensi


a) Hipotensi inadekuat
Pada pasien dengan sistim renin-angiotensin yang overaktif cenderung
resisten terhadap sodium nitroprusid, sehingga hipotensi elektif tidak tercapai. Hal
ini mengakibatkan penggunaan obat vasoaktif dengan dosis berlebihan. Jika
penggunaan satu jenis obat tidak mampu mencapai target MAP, maka penggunaan
obat kedua pada tempat kerja yang berbeda dapat dijadikan pilihan, misalnya
kombinasi obat penghambat ganglion dengan SNP atau kombinasi isoflurane dan
SNP.15

b) Hipotensi berlebihan
Risiko akibat penurunan tekanan darah yang terlalu ekstrim adalah
terjadinya trombosis serebral, hemiplegi akibat perfusi ke medula spinalis
berkurang, nekrosis tubuler akut, nekrosis hepar masif, infark miokard akut dan
kebutaan akibat trombosis arteri retina.13

c) Toksisitas sianida
Toksisitas sianida pada penggunaan SNP ditandai dengan kebutuhan dosis
> 10 ug/kg/menit, takifilaksis yang terjadi dalam 60 menit atau resisten terhadap
SNP. Penatalaksanaan toksisitas sianida :13,18
1) Hentikan infuse kontinyu SNP
2) Berikan oksigen 100%
3) Memberikan amyl nitrite melalui inhalasi selama 30 detik setiap 2 menit
4) Memberikan sodium nitrite 10 mg/kg bolus intravena dilanjutkan infus 5
mg/kg dalam 30 menit
5) Memberikan sodium thiosulfat 150 mg/kg (tidak lebih dari 12,5 gr)

29
d) Pemulihan postanestesi yang lama dari halotan

30
BAB IV

ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan keluhan hidung sering tersumbat. Pasien merasa sakit
kepala, wajah terasa nyeri terutama apabila ditekan didaerah pipi sebelah kanan dan
kiri, kepala terasa berat saat posisi sujud juga dirasakan pasien.

Pada pemeriksaan hidung rinoskopi anterior didapatkan kedua kavum nasi


sempit, konka inferior edema dan hiperemis, konka media sukar dinilai, septum
deviasi tidak ada. Pemeriksaan hidung luar terdapat nyeri tekan sinus paranasal di
daerah maxilla dextra dan sinistra. Pemeriksaan tenggorok dalam batas normal.
Pada pemeriksan Ct-Scan sinus paranasal didapatkan polip antrocoana dengan
sinusitis maxillaris bilateral. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan HB pasien
yaitu 13,6 mg/dl sehingga tidak dilakukan transfusi.

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang lebih 12 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum,
keadaan fisik dan mental penderita. Berdasarkan The American Society of
Anesthesiologists (ASA), keadaan pasien Tn.R tergolong ke ASA I.

Pemilihan Jenis Anestesi

Pasien ini direncanakan untuk dilakukan operasi FESS (Functional


Endoscopy Sinus Surgery). FESS adalah teknik operasi pada sinus paranasal
dengan menggunakan endoskopi yang bertujuan memulihkan “mucocilisry
clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah
kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembail melalui ostium alami. FESS

31
merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak
menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskopi
mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi
merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta
menghindari komplikasi yang membahayakan. FESS dilakukan dengan upaya
teknik hipotensi pada general anestesi digunakan untuk mengurangi perdarahan
selama operasi.

Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia.Tujuan premedikasi sangat beragam, diantaranya:

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ondansentron 4mg (IV),
Dexametasone 5mg (IV), Ranitidine 50mg (IV). Dalam pemberian obat
premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan waktu pemberian obat. Obat
premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan
induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 10 menit sebelum induksi anestesi
umum.

Anestesi umum dengan teknik hipotensi terkendali


Pada kasus ini pasien ditidurkan di meja operasi posisi kepala ditinggikan
25°. Gilbeys menyatakan bahwa dengan meninggikan kepala maka akan mencegah
bendungan aliran vena pada tubuh bagian atas dimana setiap peninggian kepala 25°
akan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 2 mmHg. Gravitasi menyebabkan

32
penumpukan darah pada pembuluh darah tempat yang lebih rendah sehingga
mengurangi aliran balik dan curah jantung akibatnya terjadi penurunan tekanan
darah sehingga MAP bisa dicapai.
Induksi anestesi diberikan berupa Recofo l50 mg , yang sebelumnya sudah
diberikan analgetik berupa Fentanyl 100 mcg, kemudian diliat reflek bulu matanya,
dan dilanjutkan dengan pemberian muscle relaxan berupa Rocuronium Bromide
10mg.
Recofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol,
berupa cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai
obat induksi, mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan
kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Recofol
bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan.
Selain itu, recofol juga mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga terjadi
penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.
Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek analgetik
maupun relaksasi otot.

Analgetik pada kasus ini menggunakan fentanyl karena disamping berperan


sebagai analgetik obat ini juga berperan menurunkan nadi karena hiperstimulasi
vagal sehingga menyebabkan bradikardi. Petidin termasuk golongan opioid yang
efek utamanya adalah analgetik kuat.

Kemudian obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini adalah
rekuronium bromida yang merupakan obat pelumpuh otot golongan non-
depolarisasi turunan aminosteroid, dengan efek utamanya pada post-junctional dan
selektifitas yang tinggi pada reseptor sambungan saraf-otot. Paralisis otot
dihasilkan oleh karena terjadinya antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik
nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20% dari vecuronium.
Rocuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia otonom, mempunyai onset kerja
cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai
tendensi yang rendah untuk melepaskan histamin. Penggunaannya dalam klinik
adalah untuk memfasilitasi intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan

33
refleks jalan napas, memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan
operasi.

Pemberian anastesi inhalasi dengan Sefovluran 2 vol% melalui O2 2 L dan


N2O 2 L berfungsi sebagai maintenance meningkatkan efektivitas hipotensi dalam
mempertahankan MAP. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane
merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan
isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh

Setelah induksi anestesi berhasil di lakukan intubasi oraltrakeal untuk


menjaga patensi jalan napas, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, dan
mencegah aspirasi dan regurgitasi. Selain itu pada pasien ini intubasi berjalan
sempurna tanpa ada faktor penyulit berupa leher tidak pendek, gigi depan tidak
menonjol, tidak ada trauma leher maupun benda asing di jalan nafas dan pada pasien
ini merupakan mallampati grade 1. Pada pasien ini menggunakan ukuran no. Tube
8 balon.

Pada pasien ini untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan atau MAP
sekitar 25-30% dari nilai awal maka diberikan obat adjuvant berupa klonidin
100mcg.

Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi umum dan teknik hipotensi terkendali maka
nadi serta penurunan MAP secara bertahap antara 25-30% dari nilai awal harus
dimonitoring setiap 15 menit sekali untuk mengetahui perubahan tekanan darah
yang bermakna.

Tekanan darah (TD) preoperatif adalah 110/65 mmHg. Selama operasi


tekanan darah pasien berada dalam batas MAP 25-30% yaitu sekitar 50-60 mmHg
dengan TD per 15 menit selama operasi adalah 90/60 mmHg, 85/65 mmHg, 90/60
mmHg, 90/55 mmHg, 85/50 mmHg dan 90/60 mmHg.

34
Perdarahan selama operasi pada kedua kavum nasi ± 400cc dan lama operasi
berlangsung ± 2 jam.

Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh
dalam batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid
secara intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah keluar. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu
3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.

Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1000 ml
(2 kolf) dan HES sebanyak 500 ml (1kolf) sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang karena pasien sudah tidak makan dan
minum ± 6 jam.

Kebutuhan cairan pasien ini, diketahui :


 Berat badan : 50 kg
 Lama puasa : 6 jam
 Lama anestesi : ± 2 jam
 Stress operasi : Sedang
o Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 50
M = 100 cc
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x100
P = 600 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
O = 50 x 6 cc

35
O = 300cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc

Total kebutuhan pada pasien ini yaitu:


- 700 cc pada jam pertama
- 550 cc pada jam kedua
- 400 cc untuk mengganti kehilangan cairan pada perdarahan intraoperatif
- 150 cc untuk mengganti kehilangan cairan urin
Jumlah seluruh cairan yaitu 1500 cc, maka pemberian 1000 ml kristaloid dengan
HES 500cc selama operasi sudah mencukupi kebutuhan cairan pasien.

36
BAB V

KESIMPULAN

Prinsip tindakan BSEF pada rinosinusitis kronis adalah membuang jaringan


yang menghambat komplek osteomeatal dan memfasilitasi drainase dengan tetap
mempertahankan struktur anatomi normal. BSEF merupakan operasi yang
membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak menggenangi lapangan
operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskop mengingat sempitnya wilayah
operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan operasi serta menghindari komplikasi yang
membahayakan. BSEF dilakukan dengan berbagai upaya teknik hipotensi untuk
mengurangi perdarahan selama operasi.

Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengupayakan teknik hipotensi


terkendali yaitu mencapai tekanan arteri rata-rata atau Mean Atrial Pressure (MAP)
dengan pengaturan posisi dan intervensi farmakologis. Teknik hipotensi
diindikasikan pada operasi yang beresiko perdarahan yang banyak di daerah telinga,
hidung, tenggorok, operasi kepala, leher, bedah syaraf, operasi mata, operasi pelvis
dan ortopedi.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR, Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. 2009.
2. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensif Care FKUI. 2009.
3. Macdonald KI, et al. The Health and Resource Utilization of Canadians with
Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope 2009.119.184-9.
4. Gilbey P, Kukuev Y, Samet A, Talmon Y, Ivry S. The Quality of the
Surgical Field During Functional Endoscoppic Sinus Surgery-The Effect of
the Mode of Ventilation: A Randomized, Prospective, Double-Blind Study.
Laryngoscope 2009; 2449-53.
5. Mandal P. Isoflurane Anaesthesia for Functional Endoscopic Sinus Surgery.
Indian J. Anaesth 2003; 47(1): 37-40.
6. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta:
BP FK UI, 2003: 124
7. Kennedy DW. Fungsional Endoscopic Sinus Surgery. Concepts, Surgycal,
Indication adn instrumentation. In: Kennedy DW, Bloger WE, Zinreich SJ,
eds. Diseases of the sinuses, Diagnosis and Managenent. London Halmiton;
2001
8. Iraini AH, WidiantoroR, Afandy RB. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) Tanpa Tampon. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan
Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
(Perhati), Batu Malang: 1996.
9. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.
Kumpulan Naskah Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian
Ilmu Penyakit Telinga Hidung & Tenggorok. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. 2002. Hypotensive

38
agents in : Clinical anesthesiology. 3rd edition. Lange. New York : 224-32.
11. Crawford MW, Lerman J, Saldivia V, Orrego H, Carmichael FJ. 1994. The
Effect of Adenosine-induced Hypotension on Systemic and Splanchnic
Hemodynamics during Halothane or Sevoflurane Anesthesia in the Rat.
Anesthesiology 80:159-67
12. Cote CJ. 1993. Strategies to reduce blood transfusions : controlled
hypotension and hemodilution in : Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,
Goudsouzian, editors. A practice of anesthesia for infant and children. 2nd
edition. Saunders. Philadelphia : 201-10
13. Jordan D, Shulman SM, Miller ED. 1993. Esmolol Hydrochloride, Sodium
Nitroprusside, and Isoflurane Differ in Their Ability to Alter Peripheral
Sympathetic Responses Anesthesia Analgesia 77: 281–90
14. Abe K. 1993. Vasodilators during cerebral aneurysm surgery. Canadian
Journal of Anesthesia 40: 8 pp 775-90
15. Simpson P. 1992. Perioperative blood loss and its reduction: the role of the
aneaesthetist. British Journal of Anaesthesia 69: 498-507
16. Degoute CS, Ray MJ, Manchon M, Dubreuil C, Banssillon V. 2001.
Remifentanil and controlled hypotension comparison with nitroprusside and
esmolol during tympanoplasty. Canadian Journal of Anesthesia 50: 3 pp
270-6
17. Kimura T, Ito M, Komatsu T, Nishiwaki K, Shimada Y. 1999. Heart rate
and blood pressure power spectral analysis during calcium channel blocker
induced hypotension. Canadian Journal of Anesthesia 46 : 12 pp 1110-6
18. Mostellar JP. 2000. Deliberate hypotension. In : Duke J. Anesthesia secret.
2nd edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 383-7
19. Goldman JM. 2000. Capnography. In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd
edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 122-4

39

Anda mungkin juga menyukai