PENDAHULUAN
General anestesi atau anestesi umum yaitu meniadakan nyeri secara sentral
dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Perhatian utama pada anestesi
umum adalah keamanan dan keselamatan pasien yang salah satunya ditentukan oleh
kestabilan pernapasan dan hemodinamik. Keuntungan teknik anestesi ini adalah
pasien tertidur selama pembedahan dan terbangun setelah di ruang pemulihan
sehingga dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan optimal. 1,2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 4 Maret 2019
Nama : Tn.R
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
TB/BB : 160 cm/50 kg
Gol. Darah : B+
Alamat : Jl.Sultan Agung Tirtayasa RT 107
No. RM : 910452
Ruangan : Bangsal THT
Diagnosa : Rhinosinusitis kronis dengan polip cavum nasal bilateral
Tindakan : FESS + Ekstraksi Polip
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan hidung sering tersumbat sejak 1 tahun yang
lalu. Keluhan tersumbat dirasakan semakin parah saat pagi hari atau cuaca dingin.
Pasien juga mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari hidung, berwarna bening,
jumlah sedikit, tidak berbau dan tidak bercampur darah. Pasien merasa sakit kepala,
wajah terasa nyeri terutama apabila ditekan didaerah pipi sebelah kanan dan kiri,
kepala terasa berat saat posisi sujud juga dirasakan pasien. Sejak 2 bulan yang lalu
keluhan hidung tersumbat dirasakan semakin memberat. Trauma pada hidung
disangkal. Riwayat alergi, asma disangkal
2
Riwayat penyakit dahulu:
a. Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ̊C
b. Kepala : Normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : Telinga : tidak terdapat kelainan
Hidung : rinoskopi anterior didapatkan kedua kavum nasi
sempit, konka inferior edema dan hiperemis, konka media
sukar dinilai, septum deviasi tidak ada. terdapat nyeri tekan
sinus paranasal pada daerah maxilla dextra dan sinistra
Tenggorokan : tidak terdapat kelainan
e. Leher : Simetris, pembesaran KGB (-).
f. Thoraks
Inspeksi : simetris
Palpasi : vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
3
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi
- Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
- Inspeksi : Perut rata ,tidak ada kelainan warna kulit, tidak tampak
pelebaran pembuluh darah,tidak terdapat jaringan sikatrik, tidak tampak
massa.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal pada lapang abdomen
- Perkusi : Timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI
sampai subcostalis dektra.
- Palpasi : Teraba supel,nyeri tekan (-),hepar,lien tidak teraba massa,
ballotement ginjal (-) .
h. Genital : dalam batas normal
i. Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4
5. PERSIAPAN PRA ANESTESI
C. LAPORAN ANESTESI
Berat Badan : 50 kg
5
b. Laboratorium
Darah Rutin (tanggal 26 Februari 2019)
WBC : 9.64 103/L
RBC : 4.59 x 1012/L
HGB : 13.6 gr/dL
HCT : 39.2 %
PLT : 210 x 109/L
Masa Pendarahan : 2 (1 – 3 menit )
Masa Pembekuan : 3.5 (2 – 6 menit)
2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : Rhinosinusitis kronis dengan polip cavum nasal
bilateral
2. Tindakan bedah : FESS + Ekstraksi Polip
3. Status fisik ASA : II
4. Jenis anestesi : General Anastesi teknik hipotensi terkendali
Pramedikasi :
Ondansentron 4 mg (IV)
Dexametasone 10 mg (IV)
Ranitidine 50 mg (IV)
As. Traneksamat 1g (IV)
Anestesi umum : Recofol 150 mg
Adjuvant : Klonidine HCL 100 mcg
Pemeliharaan anestesi : O2, N2O, dan Sevofluran
Posisi : Terlentang
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA I
Induksi mulai : 09.00 WIB
Operasi mulai : 09.10 WIB
Operasi selesai : 11.15 WIB
Berat badan pasien : 50 Kg
6
Durasi operasi : 2 jam
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
Fentanyl 100 mcg
Recofol 150 mg
Rocuronium Bromide 10 mg
Cefazolin 1 gr
Klonidin 100 mcg
7
P = 600 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc
O = 50 x 6 cc
O = 300cc
8
4. Monitoring
TD awal = 110/60 mmHg, Nadi =80 x/menit, RR = 20 x/menit
Jam Tekanan Darah Nadi/SpO2 RR Ket
-Penambahan agen
08.55 120/72 mmhg 105/98 18
hipotensi berupa klonidin
100 mcg
-Pemasangan kateter
- Operasi selesai
- Memulai ekstubasi
- Pasien dipindahkan ke
RR
9
5. Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 11.30 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 20 x/menit
Pernafasan : Baik
Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
10
BAB III
TIJAUAN PUSTAKA
11
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes melitus, kelainan
hemostatis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.
Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anastesi lokal atau umum. Umumnya
anatesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti FESS mini atau lainnya.7
Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan
menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi
menurut kepustakaan, tidak terbukti anastesi lokal lebih aman dibanding anastesi
umum dengan teknik hipotensi terkendali pada operasi endoskopi.7
12
3.2 Teknik Hipotensi Terkendali
3.2.1 Definisi Anastesi Hipotensi
c) Eliminasi cepat
13
g) Spinal fusion
3. Manajemen pasien yang menolak transfusi darah :
a) Jehovah’s witness
14
metabolisme otak. Pada penderita DM terkendali, teknik yang ideal adalah
menggunakan agen volatil dan vasodilator tanpa mengganggu konsentrasi
gula darah.
e. Penyakit serebrovaskuler
f. Penyakit aterosklerotikvaskuler
g. Insufisiensi hepar atau ginjal
4. Anemia berat
5. Hipovolemi
6. Glaukoma tidak terkontrol
7. Alergi terhadap agen hipotensif
8. Kehamilan
15
pada area non-collapsing veins, terutama pada pembedahan spinal posisi prone.
Efek posisi head-up pada tekanan perfusi serebral regional berhubungan dengan
tekanan arteri rata-rata dimana untuk setiap 2,5 cm ketinggian di atas jantung maka
tekanan arteri lokal berkurang 2 mmHg. Posisi head-up untuk mengurangi
perdarahan dan mempermudah lapangan operasi pada pembedahan leher dan kepala
sering dilakukan, sebaliknya posisi head-down untuk operasi ekstremitas bawah
kurang efektif untuk mengurangi tekanan arteri karena cenderung meningkatkan
venous return dan mempertahankan tekanan arteri, berlawanan dengan posisi head
up yang mengurangi venous return.
a.) Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat, nyaman
dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan inhalasi yang lain.
Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau sufentanil digunakan untuk mengontrol
hipotensi pada anak-anak. Konsentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55-65
16
mmHg.
Studi pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar 36% dan
berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran darah portal meningkat
48% menghasilkan peningkatan total liver blood flow hingga 38%.11
b.) Halothane
c.) Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama seperti
halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada anestesi hipotensi
hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-0,5%.12
d.) Isoflurane13,14
17
pada konsentrasi inspirasi yang rendah. Keuntungannya adalah meningkatkan dosis
isofluran tidak hanya menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga
menekan sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor.
Isoflurane 2% atau MAC 1,54 menghambat peningkatan aliran darah
medula adrenal, norepinephrine dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ
abdomen sebesar 70% yang diamati pada MAP 60 mmHg.
Penelitian Seagard et.al. menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon
baroreceptor terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan
dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Haraldsted et.al.. mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2 difference
pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma serebral menyimpulkan
bahwa cerebral blood flow dan oxygen demand/supply ratios dipelihara dengan baik
selama induksi hipotensi dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan
bahwa isoflurane menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal
EDRF atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari endotelium
pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi mempunyai efek vasodilatasi
langsung.13
Mazze et.al. menemukan bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal
sebesar 49%. Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari
ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan vaskuler
renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen glomerulus, yang ditandai
peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%.13,14
18
pentolinium 5–15 mg yang mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan
proses yang lambat untuk kembali ke nilai normal.
19
pemberian atracurium menimbulkan hipotensi arterial tidak saja karena efek
vasodilatasi langsung tapi juga akibat penurunan aktivitas saraf simpatis.
4. Klonidine HCL
Clonidine merupakan derivat imidazolin dan tergolong ke dalam senyawa
mesomerik. Nama kimianya adalah 2 - hidroklorida (2,6-dichlorophenylamino)-2-
imidazolin. Tingkat plasma puncak clonidine sekitar 3 sampai 5 jam dengan waktu
paruh plasma berkisar 12-16 jam. Peningkatan paruh hingga 41 jam pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal berat. Setelah sekitar 40-60% dari dosis yang
diserap, obat di dalam urin tidak berubah dalam 24 jam. Sekitar 50% dari dosis
yang diserap dimetabolisme di dalam hati.
Efek Samping :
detak jantung berdebar;
detak jantung yang sangat lambat (kurang dari 60 denyut per menit);
kebingungan, halusinasi;
buang air kecil kurang dari biasanya atau tidak sama sekali
5. Penghambat adrenergik
20
meminimalkan efek katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma.
Sedangkan chlorpromazine dan droperidol yang mempunyai efek mild alpha
adrenergik block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum anestesi
hipotensi.15
6. Penghambat adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis adrenergik pada anestesi hipotensi
yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering digunakan
untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40 mg/hr bisa
digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg iv dapat
digunakan selama anestesi. Penghambat adrenergik ini dapat dipakai sebelum atau
selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang dihasilkan sebagai efek
samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat ganglion atau vasodilator
langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai lebih baik dibandingkan
intravena karena akan menghasilkan konsentrasi plasma tetap selama operasi.
Labetalol (kombinasi anatagonis dan adrenergik) juga ideal untuk menginduksi
hipotensi, tetapi durasi obat ini hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan
penghambat yang berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat 5-7 kali
lebih poten dibandingkan penghambat .15
7. Vasodilator
21
adekuat ke organ vital pada MAP di atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti
akan menggeser kurva autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan meningkatkan
tekanan intrakranial, sehingga tidak digunakan pada neurosurgery sebelum tulang
tengkorak dibuka.
SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan
dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah jantung. Respon ini
disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah dan
meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan relaksasi. SNP memiliki sifat depresi
terhadap kontraktilitas miokard yang minimal dengan tetap memelihara aliran darah
koroner dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung.15,16
Penggunaan preparat ini berhubungan dengan intoksikasi sianida. Setiap
molekul SNP mengandung 5 radikal sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat
dalam plasma dan sel darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat
non enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler di
katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin. Pada akhirnya,
lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat pemecahan SNP terdapat di dalam sel
darah merah, sedangkan proporsi yang lebih kecil bergabung dengan
methaemoglobin atau vitamin B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati
oleh enzim rhodanase menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor
yang membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl
dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi
thiocyanate sehingga mengurangi konsentrasi sianida dalam darah. Penggunaan
thiosulphate tidak mempengaruhi efek hipotensi yang dihasilkan SNP.
Dosis SNP yang direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit dan ditingkatkan
secara bertahap sampai level hipotensi yang diharapakan tercapai, sedangkan dosis
maksimum yang dianggap masih aman adalah 1,5 ug/kg/menit, dimana terjadi
sedikit peningkatan konsentrasi laktat dalam plasma yang dicerminkan dengan
meningkatnya deficit basa arterial -6 sampai -7 mmol/liter yang reversibel setelah
penghentian SNP. Pengukuran rutin asam basa selama SNP akan memberikan
informasi klinis yang adekuat terjadinya toksisitas sianida. Jika dosis SNP yang
diberikan tidak melebihi dosis maksimum maka gejala toksisitas tidak akan terjadi
pada pasien dengan fungsi hati dan ginjal yang normal. Kerugian SNP untuk
22
hipotensi kendali anak-anak adalah munculnya reflek takikardi dan potensi
terjadinya toksisitas sianida.15,16
b) Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel dihydropyridine
yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan efek kronotropik dan inotropik
negatif yang minimal (Kimura et.al., 1999). Bernard et.al.. membandingkan
penggunaannya dengan nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani
pembedahan spinal fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi
dengan cepat akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah dicapai sesuai
dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke
tekanan darah baseline pada kelompok nicardipine 20 menit lebih lama
dibandingkan nitroprusside. Hal ini disebabkan mekanisme seluler nitroprusside
yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah melalui produksi nitric oxide yang
memiliki waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan donor nitric oxide menyebabkan
restorasi tekanan darah yang cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan pengembalian ke
tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar dari reseptor dan terjadi
keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler. Tetapi pengembalian MAP yang
lambat justru memberikan keuntungan karena proses yang bertahap tanpa disertai
rebound hypertension yang biasa terlihat pada nitroprusside memberikan lebih
banyak waktu untuk pembentukan bekuan darah yang stabil dan mencegah
hilangnya darah yang berlebihan paska operasi. Nicardipine menghasilkan reflek
takikardi yang minimal dibandingkan nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi
akan membutuhkan infus vasoaktif tambahan yang pada akhirnya meningkatkan
biaya per pasien.
Dari segi biaya, nitroprusside lebih ekonomis dibandingkan nicardipine,
tetapi reflek takikardi yang ditimbulkan menyebabkan pasien membutuhkan infuse
vasoaktif tambahan berupa esmolol, sehingga nicardipine dinilai lebih cost-
effective. Di samping itu, penggunaan rutin nicardipine pada hipotensi kendali
mengurangi jumlah unit darah yang dibutuhkan sebesar 4-5 unit autologous blood
23
atau biaya sekitar $206.00/unit. Penelitian lain yang mendukung yaitu Bernard et.al.
menyimpulkan bahwa hipotensi kendali pada pasien dewasa sehat lebih aman dan
mudah dicapai dengan infus nicardipine dibandingkan nitroprusside untuk spinal
fusion karena MAP baseline tercapai kembali secara bertahap dan lebih hemat.15,16
c) Trinitroglycerin (TNG)
Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan trinitrate yang terjadi di
hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir glycerol. Proses ini menyebabkan
aktivitas vasodilator molekul nitrat berkurang karena ukuran molekul juga
berkurang. TNG menghasilkan penurunan tekanan arteri yang stabil dengan efek
yang lebih besar pada tekanan sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk
mempertahankan aliran darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu
10-20 menit, berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2–4 menit, sehingga
kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan hipotensi yang
ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada sistim kapasitansi vena
sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih besar dan perfusi arteri koroner
lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini menguntungkan pada pasien yang memiliki
gangguan sirkulasi serebral atau miokard.15
Peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan oleh nitroglycerin lebih
besar dibandingkan SNP. Dosis TNG biasanya dimulai 0,2-0,5 ug/kg/menit dan
ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang diharapkan tercapai. TNG tidak
menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan rebound hypertension seperti SNP.
24
2) Saturasi oksigen arteri
Saturasi oksigen merupakan pengukuran yang murah dan non invasive yang
menggambarkan jumlah oksigen yang dibawa hemoglobin. Penurunan tekanan
parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2) sebesar 1 mmHg akan menurunkan SaO2
3%. PaO2 30 mmHg menghasilkan SaO2 60%, PaO2 60 mmHg menghasilkan
SaO2 90%, sedangkan PaO2 75 mmHg menghasilkan SaO2 95%.18,19
3) Kapnografi
Kapnografi digunakan untuk mengukur konsentrasi karbondioksida
tertinggi saat akhir ekshalasi paru (end-tidal carbon dioxide). Hipotensi sistemik
mengakibatkan berkurangnya tekanan arteri pulmonalis karena perfusi paru
tergantung pada gaya gravitasi dan meningkatkan V/Q mismatch di dalam paru-paru
sehingga ekskresi CO2 berkurang dan end-tidal carbon dioxide menurun.
Konsentrasi inspirasi oksigen yang dibutuhkan meningkat selama periode hipotensi
untuk mengkompensasi perubahan perfusi paru.19
4) Produksi urin
Selama hipotensi kendali, ginjal tetap memproduksi urin 0,5-1 cc/kg/jam.
Produksi urin merupakan salah satu indikator untuk menilai fungsi dan perfusi
organ penting.13,18
25
yang berharga tentang status hemodinamik penderita yaitu gelombang menentukan
denyut jantung selama elektrokauter mempengaruhi ECG dimana puncak
gelombang elektrik yang berasal dari pacemaker menghasilkan kontraksi ventrikel,
slope gelombang bisa mengevaluasi kontraktilitas otot jantung dan memberikan
perkiraan konsekuensi hemodinamik secara visual mengenai kemungkinan
aritmia.19
7) Monitor suhu
Vasodilatasi akibat penggunaan kombinasi agen-agen hipotensi
menyebabkan kehilangan panas yang berlebihan dan mencetuskan terjadinya
hipotermi.18
8) Kadar glukosa
Penggunaan bloker sebagai suplemen anestesi hipotensi memerlukan
monitor gula darah durante operasi karena efek penghambatan glikogenolisis
sehingga mudah terjadi hipoglikemi.18
26
akan berdilatasi secara maksimal pada PaCO2 80 mmHg. Peningkatan PaCO2 juga
akan menurunkan pH dan menggeser kurva disosiasi hemoglobin ke kanan sehingga
afinitas hemoglobin terhadap oksigen berkurang.
Setelah induksi anestesi dimulai, analisis gas darah; saturasi oksigen; kadar
gula darah dan CVP atau PAP harus diukur sebelum hipotensi yang direncanakan
tercapai. Pemeriksaan ini diulang setiap 30-60 menit untuk menilai status volume
cairan.18
27
kemungkinan obstruksi parsial dan retensi karbondioksida kemudian dilakukan
hiperventilasi dengan oksigen, nitrous oxide 50%–70%, isoflurane 0.5–1.0%.
Setelah kondisi stabil, obat hipotensif spesifik dengan efek samping minimal bisa
digunakan.12,15
Target MAP dicapai antara 55–65 mm Hg pada pasien dewasa muda dan
sehat, 60-70 mmHg pada pasien tua dan sehat, sedangkan pada pasien hipertensi
kronis terkendali penurunan MAP masih dapat ditoleransi hingga 25% sebelum
irisan kulit dimulai (Morgan et.al., 2002). Jika target MAP tercapai sebelum insisi,
maka infuse vasoaktif tidak dimulai sampai irisan awal pembedahan untuk
menghindari hipotensi yang berlebihan. Jika target MAP tidak tercapai sebelum
irisan awal pembedahan, maka infuse vasoaktif bisa dimulai saat itu juga dengan
nicardipine loading dose 0,02 ug/kg dilanjutkan infuse kontinyu 10 ug/kg/mnt
hingga target MAP tercapai kemudian diturunkan menjadi 1 ug/kg/mnt selanjutnya
dititrasi sesuai kebutuhan. Infus nitroprusside dimulai 1 ug/kg/mnt untuk mencapai
target MAP kemudian dititrasi sesuai kebutuhan. Dosis pemeliharaan tetap
diberikan sampai penjahitan kulit.
Pada anak-anak, hipotensi kendali dicapai lebih baik dengan pemberian
remifentanil 1 ug/kg iv dalam 30-60 detik dilanjutkan infus kontinyu 0,2-0,5
ug/kg/menit hingga MAP 50 mmHg dikombinasi dengan sevofluran 2%
dibandingkan dengan sodium nitroprusside 0,25 ug/kg/menit. Perbedaannya adalah
dosis pemeliharaan ini dihentikan 10 menit sebelum akhir pembedahan.16
Tekanan darah dikembalikan ke baseline sebelum penutupan kulit untuk
mempermudah hemostatis. Bila hipotensi menetap, maka reversal segera dilakukan
untuk mengembalikan fungsi ventrikel kiri dengan efedrin 5-10 mg iv (Husain,
1993). Penelitian Goertz et.al., 1993 menggunakan transesophageal
echocardiography untuk menilai efek pemberian bolus fenilefrin 2 ug/kg dan
norepinefrin 1 ug/kg terhadap fungsi ventrikel kiri selama hipotensi kendali dengan
isofluran menunjukkan bahwa kedua substrat efektif mengembalikan tekanan darah
arteri ke nilai normal dimana end-systolic wall stress meningkat setelah pemberian
fenilefrin dan norepinefrin dari 47,4 menjadi 91,2 dan dari 54,0 menjadi 65,2 x 103
dyne/cm2.
Pasien hipotensi elektif tetap membutuhkan monitor tekanan arteri dan
28
monitor airway paska operasi di ruang pemulihan dengan pengawasan. Suplemen
oksigen harus diberikan pada semua pasien hingga benar-benar pulih sadar. Pada
penggunaan obat penghambat ganglion, pasien tetap tidur telentang selama 12-18
jam paska operasi.15
b) Hipotensi berlebihan
Risiko akibat penurunan tekanan darah yang terlalu ekstrim adalah
terjadinya trombosis serebral, hemiplegi akibat perfusi ke medula spinalis
berkurang, nekrosis tubuler akut, nekrosis hepar masif, infark miokard akut dan
kebutaan akibat trombosis arteri retina.13
c) Toksisitas sianida
Toksisitas sianida pada penggunaan SNP ditandai dengan kebutuhan dosis
> 10 ug/kg/menit, takifilaksis yang terjadi dalam 60 menit atau resisten terhadap
SNP. Penatalaksanaan toksisitas sianida :13,18
1) Hentikan infuse kontinyu SNP
2) Berikan oksigen 100%
3) Memberikan amyl nitrite melalui inhalasi selama 30 detik setiap 2 menit
4) Memberikan sodium nitrite 10 mg/kg bolus intravena dilanjutkan infus 5
mg/kg dalam 30 menit
5) Memberikan sodium thiosulfat 150 mg/kg (tidak lebih dari 12,5 gr)
29
d) Pemulihan postanestesi yang lama dari halotan
30
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan hidung sering tersumbat. Pasien merasa sakit
kepala, wajah terasa nyeri terutama apabila ditekan didaerah pipi sebelah kanan dan
kiri, kepala terasa berat saat posisi sujud juga dirasakan pasien.
Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang lebih 12 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum,
keadaan fisik dan mental penderita. Berdasarkan The American Society of
Anesthesiologists (ASA), keadaan pasien Tn.R tergolong ke ASA I.
31
merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak
menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskopi
mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi
merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta
menghindari komplikasi yang membahayakan. FESS dilakukan dengan upaya
teknik hipotensi pada general anestesi digunakan untuk mengurangi perdarahan
selama operasi.
Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia.Tujuan premedikasi sangat beragam, diantaranya:
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ondansentron 4mg (IV),
Dexametasone 5mg (IV), Ranitidine 50mg (IV). Dalam pemberian obat
premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan waktu pemberian obat. Obat
premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan
induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 10 menit sebelum induksi anestesi
umum.
32
penumpukan darah pada pembuluh darah tempat yang lebih rendah sehingga
mengurangi aliran balik dan curah jantung akibatnya terjadi penurunan tekanan
darah sehingga MAP bisa dicapai.
Induksi anestesi diberikan berupa Recofo l50 mg , yang sebelumnya sudah
diberikan analgetik berupa Fentanyl 100 mcg, kemudian diliat reflek bulu matanya,
dan dilanjutkan dengan pemberian muscle relaxan berupa Rocuronium Bromide
10mg.
Recofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol,
berupa cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai
obat induksi, mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan
kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Recofol
bersifat mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan.
Selain itu, recofol juga mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga terjadi
penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.
Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek analgetik
maupun relaksasi otot.
Kemudian obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini adalah
rekuronium bromida yang merupakan obat pelumpuh otot golongan non-
depolarisasi turunan aminosteroid, dengan efek utamanya pada post-junctional dan
selektifitas yang tinggi pada reseptor sambungan saraf-otot. Paralisis otot
dihasilkan oleh karena terjadinya antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik
nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20% dari vecuronium.
Rocuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia otonom, mempunyai onset kerja
cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai
tendensi yang rendah untuk melepaskan histamin. Penggunaannya dalam klinik
adalah untuk memfasilitasi intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan
33
refleks jalan napas, memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan
operasi.
Pada pasien ini untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan atau MAP
sekitar 25-30% dari nilai awal maka diberikan obat adjuvant berupa klonidin
100mcg.
Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi umum dan teknik hipotensi terkendali maka
nadi serta penurunan MAP secara bertahap antara 25-30% dari nilai awal harus
dimonitoring setiap 15 menit sekali untuk mengetahui perubahan tekanan darah
yang bermakna.
34
Perdarahan selama operasi pada kedua kavum nasi ± 400cc dan lama operasi
berlangsung ± 2 jam.
Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh
dalam batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid
secara intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
pindah keluar. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu
3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1000 ml
(2 kolf) dan HES sebanyak 500 ml (1kolf) sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang karena pasien sudah tidak makan dan
minum ± 6 jam.
35
O = 300cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (600) + 100 + 300
= 700 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (600) + 100 + 300
= 550 cc
36
BAB V
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR, Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. 2009.
2. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensif Care FKUI. 2009.
3. Macdonald KI, et al. The Health and Resource Utilization of Canadians with
Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope 2009.119.184-9.
4. Gilbey P, Kukuev Y, Samet A, Talmon Y, Ivry S. The Quality of the
Surgical Field During Functional Endoscoppic Sinus Surgery-The Effect of
the Mode of Ventilation: A Randomized, Prospective, Double-Blind Study.
Laryngoscope 2009; 2449-53.
5. Mandal P. Isoflurane Anaesthesia for Functional Endoscopic Sinus Surgery.
Indian J. Anaesth 2003; 47(1): 37-40.
6. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta:
BP FK UI, 2003: 124
7. Kennedy DW. Fungsional Endoscopic Sinus Surgery. Concepts, Surgycal,
Indication adn instrumentation. In: Kennedy DW, Bloger WE, Zinreich SJ,
eds. Diseases of the sinuses, Diagnosis and Managenent. London Halmiton;
2001
8. Iraini AH, WidiantoroR, Afandy RB. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF) Tanpa Tampon. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan
Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
(Perhati), Batu Malang: 1996.
9. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional.
Kumpulan Naskah Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian
Ilmu Penyakit Telinga Hidung & Tenggorok. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
10. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. 2002. Hypotensive
38
agents in : Clinical anesthesiology. 3rd edition. Lange. New York : 224-32.
11. Crawford MW, Lerman J, Saldivia V, Orrego H, Carmichael FJ. 1994. The
Effect of Adenosine-induced Hypotension on Systemic and Splanchnic
Hemodynamics during Halothane or Sevoflurane Anesthesia in the Rat.
Anesthesiology 80:159-67
12. Cote CJ. 1993. Strategies to reduce blood transfusions : controlled
hypotension and hemodilution in : Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,
Goudsouzian, editors. A practice of anesthesia for infant and children. 2nd
edition. Saunders. Philadelphia : 201-10
13. Jordan D, Shulman SM, Miller ED. 1993. Esmolol Hydrochloride, Sodium
Nitroprusside, and Isoflurane Differ in Their Ability to Alter Peripheral
Sympathetic Responses Anesthesia Analgesia 77: 281–90
14. Abe K. 1993. Vasodilators during cerebral aneurysm surgery. Canadian
Journal of Anesthesia 40: 8 pp 775-90
15. Simpson P. 1992. Perioperative blood loss and its reduction: the role of the
aneaesthetist. British Journal of Anaesthesia 69: 498-507
16. Degoute CS, Ray MJ, Manchon M, Dubreuil C, Banssillon V. 2001.
Remifentanil and controlled hypotension comparison with nitroprusside and
esmolol during tympanoplasty. Canadian Journal of Anesthesia 50: 3 pp
270-6
17. Kimura T, Ito M, Komatsu T, Nishiwaki K, Shimada Y. 1999. Heart rate
and blood pressure power spectral analysis during calcium channel blocker
induced hypotension. Canadian Journal of Anesthesia 46 : 12 pp 1110-6
18. Mostellar JP. 2000. Deliberate hypotension. In : Duke J. Anesthesia secret.
2nd edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 383-7
19. Goldman JM. 2000. Capnography. In : Duke J. Anesthesia secret. 2nd
edition. Hanley and Belfus Inc. Philadelphia : 122-4
39