Makalah Sistem Imunologi KLP 2
Makalah Sistem Imunologi KLP 2
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
YUNISA (C12114025)
ALFIANTI RAJAB (C12116005)
DWI PUJIASTUTY P (C12116012)
ANNISA AUL JANNAH (C12116022)
SAZNITA TADJUDDIN A (C12116026)
DIVA AMANDA P (C12116303)
GAVRILA LENNY SATAR (C12116307)
PUTRI MEGA WIJAYANTI (C12116322)
INTAN PRATIWI (C12116507)
SRI HEPTI SUTIBA SANJAYA (C12116524)
NUR CHAIRUNNISA (C12116301)
RIFCA AYUNILA NR (C12116502)
1
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Kami selaku penyusun berharap agar makalah ini dapat
berguna bagi para pembaca khususnya dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami “Asuhan Keperawatan
Rhinitis alergi”
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dari segi materi
maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini sehingga kami
dapat memperbaiki bentuk maupun isinya dan kedepannya dapat menjadi lebih baik.
Kelompok 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rhinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan
berdasarkan studi epidemiologi, prevalensinya diperkirakan mengenai 10 sampai
40% populasi di beberapa negara, dan menimbulkan dampak yang serius pada
kualitas hidup. Rhinitis alergi juga didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung
yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantai oleh
imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas
tipe I). Gangguan hidung dapat berupa gejala gatal-gatal pada hidung yang dapat
meluas ke mata dan tenggorok, bersin-bersin, beringus, dan hidung tersumbat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan rhinitis alergi?
2. Apa etiologi dari rhinitis alergi?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya rhinitis alergi?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari rhinitis alergi?
3
5. Pemeriksaan diagnostik apa saja yang dilakukan untuk mengidentifikasi
rhinitis alergi?
6. Apa saja kemungkinan komplikasi dari rhinitis alergi?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari rhinitis alergi?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari rhinitis alergi?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulisan makalah ini bertujuan
sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi rhinitis alergi.
3. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi rhinitis alergi.
4. Mahasiswa dapat mengidentifikasi manifestasi klinis dari rhinitis alergi.
5. Mahasisa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik dari rhinitis alergi.
6. Mahasiswa dapat mengetahui kemungkinan komplikasi terkait rhinitis alergi.
7. Mahasiswa dapat memahami penatalaksanaan rhinitis alergi.
8. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada rhinitis alergi
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Rhinitis adalah peradangan atau iritasi yang terjadi di membran mukosa di dalam
hidung. Rhinitis juga merupakan proses inflamasi pada mukosa hidung diikuti
dengan gejala rinorea pada anterior atau posterior, bersin, obstruksi pada hidung atau
kongesti pada nasal atau peruritis. Gejala ini biasanya muncul dua hari atau lebih dan
lebih dari satu jam dalam sehari.
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on asthma) ,
rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
B. Etiologi
Penyakit saluran napas atas dapat bersifat akut atau kronik. Rhinitis akut
(non-alergik) umumnya disebabkan oleh infeksi atau, pada anak, kadang-kadang
berkaitan dengan obstruksi benda asing dihidung. Rhinitis kronik yang terjadi secara
5
episodik atau terus menerus sering disebabkan oleh hipersensitivitas alergik,
meskipun kasus lain dapat mendasari kelainan ini.
6
Setelah diproses, antigen membentuk peptida MHC (Mayor Histocompatibiliry
Complex) kelas II, yang kemudian dipresentasikan pada sel T-helper (Th 0). Sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-l) yang akan mengaktifkan Th
0 untuk berproliferasi menjadi Th I dan Th 2, Th 2 akan menghasilkan berbagai
sitokin yang akan diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. .
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamine, juga dikeluarkan
prostaglandin, brakinin, Platelet Activating Factor dan berbagai sitokin. Inilah yang
disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran intercelluler adhesion molecule (ICAM 1)
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul
kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Respon ini tidak berhenti disini saia, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan
granulocyte macrophag colony stimulating factor (GMCSF) dan, ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini selain
faktor spesifk (alergen), iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kerembaban udara
7
yang tinggi.
Pathway
Terdiposit dalam
mukosa hidung
Menghasilkan
Ig E
Ig E akan mengikat
alergen dan terjadi
degranulasi
Mediator kimia
(histamin) lepas
8
Bersin
Merangsang
reseptor H1 pada
Rasa gatal vidiamus
pada hidung
Kelenjar mukosa
sel gobet
Gangguan rasa
nyaman
Terjadi hipersekresi
dan permeabilitas
kapiler meningkat
Bersihan jalan
nafas tidak Penurunan Kesulitan
efekktif fungsi bernafas saat
penciuman tidur
Gangguan
Perubahan pola tidur
sensori persepsi
penciuman
9
D. Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi
Manifestasi Klinis dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut :
10
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
(facies adenoid).
c) Pada pemeriksaan faring: dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) yakni permukaan
lidah sebagian licin dan sebagian kasar.
d) Pada pemeriksaan rinoskopi:
1. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai
adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis.
2. Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat
terlihat adanya deviasi atau perforasi septum.
3. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor,
atau dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa
edema atau hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip dan
hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema konka akan
menyusut.
e) Pada kulit kemungkinan terdapat dermatitis atopi.
2) Pemeriksaan Penunjang
Pada banyak kasus rhinitis alergik musiman diperlukan diagnosis dini
yang dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan mencakup :
11
dilakukan seperti penderita yang tidak bisa lepas dari antihistamin,
antidepresan trisiklik, atau penderita dengan kelainan kulit.
Hitung jenis sel darah tepi, pada pemeriksaan ini didapatkan jumlah
eosinofil meningkat. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri
12
konsentrasi. Selain dapat mengetahui allergen penyebab juga dapat
menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk imunoterapi.
F. Komplikasi Rhinitis Alergi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh rhinitis alergik apabila tidak diobati yaitu:
1. Asma Alergik
Lewis et al. (2000) menyatakan bahwah salah satu pencetus asma adalah
allergen. Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan dan
anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti
aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh : perhiasan, logam
dan jam tangan
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas
merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu
binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga
pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan
degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease
sehingga berakibat respon alergen berupa asma.
2. Obstruksi Nasal
Perjalanan udara melalui nostril sering kali tersumbat oleh deviasi
septum nasi, hipertrofi tulang turbinat, atau tekanan polip, yaitu pembengkakan
seperti buah jeruk yang timbul dari membran mukosa sinus, terutama etmoid.
Obstruksi ini juga dapat mengarah pada kondisi infeksi kronis hidung dan
mengakibatkan episode nasofaringitis yang sering. Seringkali, infeksi meluas
sampai sinus-sinus hidung (rongga yang dilapisi lendir yang dipenuhi oleh udara
yang normalnya mengalir ke dalam hidung). Bila terjadi sinusitis dan drainase
dari rongga ini terhambat oleh deformitas atau pembengkakan di dalam hidun,
maka nyeri akan dialami pada region sinus yang sakit. (Brunner & Suddarth,
Keperawatan Medikal Bedah, 2001:554)
Obstruksi nasal merupakan tersumbatnya perjalanan udara melalui
13
nostril oleh deviasi septum nasi, hipertrofi tulang torbinat / tekanan polip yang
dapat mengakibatkan episode nasofaringitis infeksi. (Arif Mansjoer, dkk. Kapita
Selekta Kedokteran, 1999)
3. Otitis Kronik
Terdapat berbagai macam faktor predisposisi Hubungan Rinitis Alergi
dengan Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik kronisitas otitis media. Alergi
merupakan salah satu faktor konstitusi yang menyebabkan kronisitas sehingga
diduga salah satu factor risiko penyebab OMSK adalah riwayat rhinitis alergi
sebelumnya. Rinitis alergi merupakan kondisi yang memengaruhi keadaan
mukosa hidung. Mukosa hidung berlanjut dengan mukosa telinga tengah
sehingga perubahan yang terjadi pada mukosa hidung dapat berlanjut ke telinga.
Mukosa telinga tengah berasal dari lapisan ektoderm yang sama dengan epitel
saluran pernapasan atas dan juga ditemukan memiliki respons kekebalan
intrinsik yang sama terhadap stimulus alergen seperti pada saluran hidung, sinus,
dan bronkus.
Rinitis alergi merupakan reaksi yang dimediasi oleh IgE. Reaksi ini
dibagi menjadi tiga fase, yaitu sensitisasi, early responsse, dan late responsse.
Pada fase late responsse¸ dijumpai peningkatan mediator inflamasi dan gejala
dari fase early responsse. Proses inflamasi tersebut akan meningkatkan aliran
darah ke telinga tengah sehingga dapat menurunkan jumlah udara dan
mengakibatkan penumpukan tekanan negatif pada rongga telinga tengah. Jika
penanganan pada kondisi ini tidak dilakukan dengan tepat maka akan
menyebabkan gangguan telinga tengah seperti gangguan pendengaran, otitis
media efusi, dan kronik, serta kolesteatoma.
4. Polip Hidung
Rinitis alergi terbukti secara klinis , khususnya terhadap alergen udara
sepanjang tahun, memiliki peran yang relevan dalam patogenesis polip hidung,
yang mungkin disebakan melalui proses peradangan jangka panjang dari mukosa
hidung.
5. Sinusitis Rhinogenik
Pasien yang memiliki alergi terhadap kucing dan anjing sering
menunjukkan reaktivitas IgE terhadap paparan alergen dari hewan yang berbeda.
14
Umumnya ditemukan IgE spesifik terhadap alergen kucing dan anjing. Selain
kucing dan anjing, hamster juga merupakan hewan pembawa alergen. Alergen
dapat ditemukan di bulu, urin, serum, dan saliva hamster. Berdasarkan penelitian
ditemukan bahwa hamster dapat menyebabkan sensitisasi okupasional pada
pekerja laboratorium, yaitu sekitar 10 sampai 40% dari pekerja laboratorium dan
juga berefek pada anak yang pekerjaan orang tuanya melakukan kontak atau
terpapar hamster atau mencit. Adanya alergen anjing, kucing,dan hamster yang
tersebar di udara bebas akan memperberat gejala rinitis alergi dan secara tidak
langsung mengakibatkan kemungkinan terjadinya rinosinusitis menjadi lebih
besar akibat terjadinya inflamasi berkepanjangan pada mukosa hidung.
G. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi
Secara garis besar, penatalaksanaan rhinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
a. Farmakologi
Perlu ditekankan bahwa penderita rhinitis alergi harus menggunakan obat secara
teratur dan tidak pada saat diperlukan saja, karena penggunaan yang teratur dan
konsistensi dapat mengontrol inflamasi mukosa dan mengurangi terjadinya
komplikasi pada saluran napas lainnya. terapi farmakologi yang dapat dilakukan
yaitu :
1) Antihistamin
Histamin merupakan mediator utama timbulnya gejala rhinitis alergi
pada fase cepat dan dibentuk di dalam sel mast dan basofil (preformed
mediator). Histamin dapat menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskuler, menurunkan viskositas mukus, bronkokonstrikasi
dan stimulasi saraf sensoris. Hal inilah yang menyebabkan gejala bersin.
Antihistamin adalah antagonis histamin reseptor H1 yang bekerja secara
inhibisi kompetitif pada reseptor H1, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai terapi pertama dalam pengobatan rhinitis
alergi. Antihistamin dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal tetapi
15
hanya mempunyai efek yang minimal atau tidak efektif untuk mengatasi
sumbatang hidung.
Antihistamin generasi I bersifat lipofilik sehingga dapat menembus
sawar darah otak dan plasenta dan mempunyai efek kolinergik. Efek
samping yang terjadi pada SSP adalah rasa mengantuk, lemah, dizzines,
gangguan kognitif dan penampilan serta efek anti kolinergik seperti mulut
kering, konstipasi, hambatan miksi dan glaukoma. Yang termasuk kelompok
ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, hidroksisin, klemastin, prometasin
dan siproheptadin.
Antihistamin generasi II lebih bersifat lipofobik sehingga sulit
menembus sawar darah otak dan plasenta, bersifat selektif meningakat
reseptor H1, tidak mempunyai efek antikolinergik, anti adrenergik dan efek
pada SSP sangat minimal sehingga tidak mempengaruhi penampilan. Yang
termasuk kelompok ini adalah loratadin, astemisol, azelastin, terfenadin dan
cetirisin.
Feksofenadin yang merupakan metabolit aktif dari terfanadin dan
desloratadin dapat digolongkan sebagai antihistamin generasi III karena
tidak dimetabolisme di hati dan tidak menyebabkan kelainan pada jantung.
Obat antihistamin generasi II dan III mempunyai efek antiinflamasi,
menurunkan migrasi sel eosinofil dan ekspresi ICAM 1 (intacellular
adhesion molecul)
Saat ini terdapat 2 sediaan anti histamin topikal untuk rhinitis alergi yaitu
azelastin dan levocabstin. Kedua jenis obat ini secara efektifdan spesifik
bekerja H1 reseptor antagois untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada
hidung dan mata (rinokonjungtivitis alergi). Bila digunakan 2 kali sehari
dapat mencegah timbulnya gejala.
2) Dekongestan
Berbagai jenis α adregenik agonis dapat diberikan secara per oral seperti
pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer
dapat mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam mengatasi
rinore dan tidak mempunyai efek terhadap bersin, gatal di hidung maupun
dimata.
16
Efek samping dekongestan oral terhadap SSP yaitu gelisah, insomnia,
iritabel, sakit kepala dan terhadap kardiovaskuler seperti palpitasi, takiardi,
meningkatkan tekanan darah, dapat menghambat aliran air seni. Penggunaan
obat ini harus hati-hati pada orangtua karena dapat meningkatkan tekanan
darah dan jangan diberikan pada pasien rhinitis alergi dengan kelainan
jantung koroner dan glaukoma.
Preparat dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, nafazolin
dapat mengatasi gejala sumbatang hidung lebih cepat dibandingkan preparat
oral karena efek vasokonstriksi dapat menurunkan aliran darah ke sinusoid
dan dapat mengurangi udem mukosa hidung. Namun pemberian secara
topikal hanya beberapa hari saja (3-5 hari) untuk mencegah terjadinya
rebound fenomena (sumbatan hidung tetap terjadi) setelah penghentian obat
dan rhinitis medikamentosa. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan untuk
mengatasi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat rhinitis
alergi.
3) Kombinasi antihistamin dan dekongestan
Tujuan oemebrian ke dua obat ini dalam satu sediaan seperti loratadin,
feksofenadin, dan cetirizin denga pseudofedrin 120 mg. Obat ini dapat
mengatasi semua gejala rhinitis alergi termasuk sumbatan hidung yang tidak
dapat diatasi bila hanya menggunakan antihistamin saja. Pada penderita
rhinitis alergi yang disertai asma bronkial, kombinasi loratadin dengan
pseudoefedrin lebih efektif untuk mengatasi gejala hidung dan asma, fungsi
paru dan kualitas hidup dibandingkan hanya dengan antihistamin saja.
4) Ipratropium bromida
Obat ini merupakan salah satu preparat pilihan dalam mengatasi rhinitis
alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat mengurangi
sekresi (rinore) dengan cara menghambat reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya.
Preparat ini berguna pada penderita rhinitis alergi dengan rinore yang tidak
dapat diatasi dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin.
Efek samping yang sering ditemukan adalah iritasi hidung, pembentukan
krusta dan kadang epitaksis ringan.
17
5) Sodium kromoglikat intranasal
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada
hidung dan mata. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran
mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan
mediator tidak terjadi. Selain itu, obat ini juga bekerja pada respon fase
lambat rhinitis alergi dengan menghambat proses inflamasi terhadap
aktivasi sel eosinofil. Dengan dosis pemberian 4 kali sehari, kemungkinan
kepatuhan penderita berkurang.
6) Kortiokosteroid topikal dan sistemik
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pertama untuk
penderita rhinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan gejala yang
persisten (menetap) karena mempunyai efek anti inflamasi jangka panjang.
Kortikosteroid topikal efektif untuk mengatasi gejala rhinitis alergi terutama
sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Saat mulai kerjanya lambat
(12 jam) dan efek maksimum dicapai dalam beberapa hari sampai minggu.
Bila hidung tersumbat, kortikosteroid topikal tidak mudah mencapai
mukosa hidung, sehingga kadang diperlukan pemakaian dekongestan
topikal misalnya oxymerazolin atau kortikosteroid topikal. Efek spesifik
kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari
rhinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal
dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil dan eosinofil, menekan
ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi
jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan,
fungsi, adhesi, kemotaksis, dan apoptosis eosinofil.
Preparat yang termasuk kortikosteroid topikal adalah budesonide,
beklometason, plunisolide, flutikason, mometason furoat dan triamcinolon
acetonide. Preparat kortikosteroid topikal diabsorpsi secara bermakna oleh
mukosa hidung sehingga dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan efek
samping sistemik seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan pada anak,
dan gangguan densitas tulang serta mata.
18
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pada
penderita rhinitis alergi berat yang refrakter terhadap terhadap terapi pilihan
pertama.
b. Non-Farmakologi
Menghindari atau eliminasi alergen
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3
tahap, yaitu :
1) Pencegahan primer untuk mencegah sensisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atropi. Pada ibu hamil diberikan diet retriksi (tanpa
susu, telur, ikan laut dan kacang) mulai trimester III dan selama menyusui,
dan bayi mendapat ASI ekslusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol
lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan
polutan.
2) Pencegahan sekunder untuk mencegah menifestasi klinis alergi pada ana
berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi
tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan
dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang
dapat diketahui dengan uji kulit.
3) Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
Penghindaran alergen
Cara ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan IgE
spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak
terjadi da gejala dapat dihindarkan. Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan
dengan konsentrasi alargen dilingkungan. Di negara tropis, alergen utamanya adalah
debu rumah dan serpihan kulit serangga/tungau antara lain Dermatophagoides
pteronysinus dan farinae yang hidup pada debu rumah, karpet, kasur, kapuk, selimut,
tumpukan pakaian dan buku lama.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan rumah,
terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu :
19
1) Tidak menggunakan karpet, kapuk dan menyingkirkan mainan berbulu dari
kamar tidur.
2) Mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan guling serta kain kordin
3) Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang impermeabel/anti tembus
tungau
4) Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti kayu, plastik atau logam
dan hindari sofa dari kain
5) Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau dengan lap
basah
6) Hindari binatang peliharaan
c. Imunoterapi
Imunoterapi hanya diberikan pada penderita rhinitis alergi yang tidak ada
respons terhadap farmakoterapi, bila penghindaran terhadap alergen tidak dapat
dilakukan atau bila terdapat terdapat efek samping dari pemakaian obat.
Imunoterapi akan meningkatkan sel Th1 dalam memproduksi IFN y, sehingga
aktifitas sel B akan terhambat dan selanjutnya pembentukan IgE akan tertahan.
Selain itu imunoterapi akan menurunkan produksi molekul inflamasi seperti IL-
4, IL-5, PAF, ICAM dan akumulasi sel eosinofil.
d. Terapi masa depan
IL-5 reseptor antagonis dan IL-5 monoklonal antibodi sudah digunakan
untuk penderita asma dan mungkin dapat berperan juga dalam mengatasi rhinitis
alergi. Kombinasi antihistamin dengan anti leukotrien lebih efektif untuk
mengatasi rhinitis alergi dibandingkan hanya menggunakan satu obat saja. Anti
IgE terapi berupa recombinant humanized IgG antibodi bekerja langsung pada
Fe dari IgE sehingga terjadi penurunan IgE disirkulasi.
20
1) Kaji identitas:
a) Identitas pasien meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, status,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, nomor register dan dx.medis.
b) Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, hubungan dengan
pasien, pekerjaan dan alamat.
2) Keluhan utama
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan
hidung gatal.
Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali serangan)
Rinore (ingus bening, encer dan banyak)
Gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga
Gatal di mata, berair dan kemerahan
Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
Secret di belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan
memburuk pada saat malam hari)
Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung
dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan
konsentrasi, gejala radang tenggorokan, mendengkur, gejala
sinusitis, gejala sesak nafas dan asma.
Frekuensi serangan, lama sakit (intermitten/persisten), beratnya
penyakit, efeknya pada kualitas hidup seperti adanya gangguan pada
pekerjaan, sekolah, berolahraga, bersantai, dan melakukan aktifitas
sehari-hari
3) Riwayat peyakit dahulu
Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
4) Riwayat keluarga
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
5) Pemeriksaan fisik :
a) Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid
b) Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi
21
c) Pemeriksaan nasoendoskopi
6) Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan sitologi hidung.
b) Hitung eosinofil pada darah tepi.
c) Uji kulit allergen penyebab.
7) Sumber penting allergen di lingkungan pasien juga ditanyakan seperti
bagaimana kualitas udara dan system ventilasi di rumah maupun di
lingkungan kerja, adanya binatang peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar
mandi dan segala pemicu allergi pasien
2. Diagnosa Keperawatan, NOC dan NIC
Diagnosa keperawatan :
1. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus
berlebihan
2. Perubahan sensori persepsi penciuman
3. Gangguan rasa nyaman dengan batasan karakteristik gatal
4. Gangguan pola tidur dengan batasan karakteristik perubahan pola tidur
normal
22
- Suara nafas tambahan dari adanya suara tambahan
deviasi berat dari kisaran
normal menjadi deviasi
ringan dari kiraran normal
dalam waktu...x 24 jam
- Akumulasi sputum dari
deviasi berat dari kisaran
normal menjadi deviasi
ringan dari kiraran normal
dalam waktu...x 24 jam
2 Perubahan sensori
persepsi
penciuman
3 Gangguan rasa Status kenyamanan : Manajement lingkungan :
nyaman dengan - Kesejahteraan fisik dari Sediakan tempat tidur dan
batasan
cukup terganggu menjadi lingkungan yang bersih dan
karakteristik gatal
tidak terganggu dalam nyaman
...x24 jam Edukasi ppasien dan
- Kontrol terdapat gejala pengunjung mengenai
dari cukup terganggu perubahan/tindakan
menjadi tidak terganggu pencegahan, sehingga mereka
dalam ...x24 jam tidak akan dengan sengaja
Status kenyamanan : fisik mengganggu lingkungan
- Gatal gatal dari cukup yang direncanakan
berat menjadi tidak ada Singkirkan bahan bahan yang
gatal gatal dalam waktu digunakan selama
...x24 jam penggantian pakaian dan
eleminasi, serta bau apapun
yang tersisa, sebelum
kunjungan dan waktu makan.
Kendalikan hama lingkngan,
yang sesuai
4 Gangguan pola Tidur : Peningkatan tidur :
tidur dengan - Pola tidur dari sangat Monitor / catat pola tidur
batasan terganggu menjadi sedikit pasien dan jumlah jam tidur
23
karakteristik terganggu dalam waktu ...x Monitor pola tidur pasien,
perubahan pola 24 jam catat kondisi fisik (misalnya
tidur normal - Kualitas tidur dari sangat sumbatan jalan nafas) dan
terganggu menjadi sedikit atau psikologinya
terganggu dalam waktu ...x (kecemasan) keadaan yang
24 jam mengganggu tidur.
Ajurkan pasien untuk
memantau pola tidur
Sesuaikan lingkungan seperti
cahaya, kebisingan,suhu,
kasur dan tempat tidur untuk
meningkatkan tidur
Ajarkan pasien dan orang
terdekat mengenai faktor
yang berkontribusi terjadinya
gangguan pola tidur
(misalnya fisiologi,
psikologis , pola hidup,
perubahan shif kerja, dan
faktor lingkungan lainnya).
Diskusikan dengan pasien
dan keluarga mengenai
teknik untuk meningkatkan
tidur
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Gambaran klinis rhinitis alergik
mencakup rasa gatal di hidung, mata, dan langit-lagit, serangan bersin, pilek
dan hidung tersumbat. Stigma fisik yang mendukung diagnosis antara lain
edema infraorbita bilateral (allergic shirens), alur hidung horizontal, mukosa
hidung yang pucat dan bengkak, dan eksem yang mengenai permukaan lipatan
ekstremitas. Eosinofilia atau basofilia hidung yang ditemukan pada asupan atau
kerokan hidung juga dapat menunjang diagnosis. Konfirmasi rhinitis alergik
membutuhkan pembuktian adanya antibodi IgE spesifik terhadap alergen-
alergen umum dengan uji in vitro seperti radioallergosorbent test atau in vivo
(uji kulit) pada pasien dengan riwayat gejala pada pajanan yang relevan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Akib MP. Perjalanan Alamiah Penyakit Alergi dan Upaya pencegahannya. Dalam
: Akib MP, Tumbelaka AR, Matondang cs. ( Editor ). pendekatan
Imunologis Berbagai Penyakit Alergi - Infeksi. Naskah Lengkap pKB IKA
XLIV Jakarta. Balai Penerbit FKUI 2001 :hal.7 – 29
Barness, Lewis A. John S. Curran. 2000. Nutrisi, Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Ed. 15. Vol.I. Jakarta: EGC.
Brozek JL, et al. (2017). The Journal of Allergy And Clinical Immunology.
Amerika Academy of Allergy Asthma & Immunology.
Bouquet et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008*. Allergy
2008: 63 (Suppl. 86): 8–160. Diunduh dari
file:///C:/Users/Atoma%20Denny/Documents/Miscelloneus/Bousquet_et_a
l-2008-Allergy ARIA.pdf.
Ghanie, A. (2007). Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8th ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Stephen J. McPhee, William F.Ganong. (2015). Patofisiologi penyakit. edisi 5.
Jakarta. EGC
Widuri, A. (2009). Terapi antibodi IgE pada rhinitis alergi.Yogyakarta: Mutiara
Medika.
26