KEHAMILAN
Oleh :
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
1,2
Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana
infeksi ini dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis
yang menyerupai banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, transfusi darah serta ditularkan dari ibu ke janin.
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut
dapat ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta.
Akibatnya, muncul berbagai manifestasi klinis yang berupa Adverse Pregnancy
Outcomes (APOs), terdiri dari stillbirth, kematian dini pada fetus, bayi berat lahir
rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau penyakit pada bayi baru lahir
3,4
(bayi dengan serologi reaktif).
Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak
akan bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. Namun
seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tes skrining dan
pengobatan sifilis dilaporkan semakin efektif untuk mencegah transimisi
5
penyakit. Diagnosis dan pencegahan transmisi sifilis dilaporkan layak, murah dan
hemat biaya. Walaupun demikian, sifilis kehamilan tetap dilaporkan sebagai
6
masalah kesehatan publik.
Secara global, setidaknya hampir 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis
aktif pada tahun 2008 dan berisiko menularkan penyakit tersebut kepada janin
yang dikandungnya. Angka tersebut ditemukan lebih rendah jika dibandingkan
dengan laporan WHO pada periode sebelumnya (tahun 1997-2003), dimana
diperkirakan pada periode tersebut ada sekitar 2 juta ibu hamil yang terinfeksi
sifilis dan tidak terobati per tahunnya. Walaupun demikian, WHO tetap
menyatakan bahwa sifilis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang
penting pada masa kehamilan. Sedangkan enurut Survei Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2011, prevalensi sifilis masih cukup tinggi di Indonesia.
Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%, wanita penjaja seks komersial
2
10%, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki 9%, dan pengguna narkoba
4
suntik 3%. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pada tahun 2014, tercatat 20 kasus
baru, 3 orang sifilis primer, 11 orang sifilis sekunder dan 6 orang sifilis laten
dini.3,6,31
Berdasarkan analisis data surveilans antenatal multinasional oleh Newman
et al., pada tahun 2013, diperkirakan lebih dari 520.000 kehamilan dengan hasil
yang buruk akibat sifilis pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa
215.000 mengalami stillbirth dan kematian fetus secara dini, 90.000 mengalami
kematian neonatal, 65.000 mengalami kelahiran prematur atau berat bayi lahir
rendah, dan 150.000 merupakan bayi baru lahir yang terinfeksi sifilis. Estimasi
data tersebut belum mencakup jumlah kematian tambahan yang mungkin terjadi
setelah bulan pertama kehidupan khususnya untuk bayi dengan prematur, berat
3
lahir rendah dan infeksi kongenital.
Suatu review sistemik oleh Hawkes et al., pada tahun 2011 tentang
intervensi yang diberikan terkait skrining sifilis pada ibu hamil menyimpulkan
bahwa paket intervensi (layak dan hemat biaya) yang tercakup dalam Antenatal
Care (ANC) dapat menurunkan stillbirth dan kematian fetus secara dini yang
5
disebabkan oleh sifilis sebesar 50%. Antenatal Care sejak dini merupakan
intervensi penting dalam pencegahan transmisi sifilis dari ibu ke anak. Intervensi
ini sejalan dengan pilar kedua strategi global WHO terkait eliminasi transmisi
sifilis, yaitu peningkatkan akses dini perawatan maternal dan neonatal. Pilar
tersebut secara eksplisit merujuk pada tujuan, yaitu peningkatan presentase ibu
4
hamil yang melakukan ANC dini.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai dampak infeksi sifilis
pada kehamilan. Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
mengenai APOs serta komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi tersebut,
sehingga mampu meningkatkan kesadaran klinisi untuk melakukan skrining,
menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan sedini mungkin.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifilis
2.1.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten
tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan.
2.1.2 Mikrobiologi Treponema pallidum
Treponema merupakan anggota dari famili Spirochaetaceae dalam orde
Spirochaetales. Walaupun Treponema pallidum merupakan agen infeksi penting,
19,20
hanya sedikit dipahami mengenai mekanisme aksi atau virulensinya.
Treponema pallidum adalah organisme yang berbentuk spiral dan sangat
motil dengan ujung yang meruncing dan memiliki 6 sampai 14 spiral. Dari
bentuknya yang silinder, panjang bakteri mencapai sekitar 6 sampai 15 mm dan
lebar mencapai 0,25 mm. T. pallidum adalah organisme yang memiliki
7,8
metabolisme yang lambat. Bakteri T. pallidum memiliki beberapa karakteristik,
20,21,22
seperti:
a. Membran luar T. pallidum sebagian besar adalah lipid dan mengandung
sedikit protein. Hal ini menimbulkan tatangan dalam mengembangkan tes
diagnostik yang akurat dan vaksin yang efektif. Kondisi tersebut semakin
dipersulit karena T. pallidum hanya dapat dibudidayakan melalui inokulasi ke
dalam testis kelinci.
b. Urutan genom T. pallidum menunjukkan organisme tersebut memiliki
keterbatasan dalam biosintesis dan katabolik. T. pallidum dapat meggunakan
katbohidrat, namun tidak mampu untuk mensinstesis asam lemak. Selain itu,
T. pallidum juga memiliki beberapa set enzim yang digunakan untuk
membentuk set molekul.
4
c. Bakteri T. pallidum merupakan bakteri gram negatif yang memiliki membran
luar dengan membran dalam yang hanya berisi beberapa membran protein
integral. Karateristik ini membantu dalam memberikan pemahaman mengenai
bagaimana organisme dapat menimbulkan proses inflamasi dan respon
imunologis. T. pallidum memiliki keterbatasan dalam jumlah protein
permukaan sehingga permukaan sel bakteri T. pallidum hanya dapat
dipresentasikan pada beberapa target untuk respon imun host. Dengan
demikian bakteri T. pallidum dapat menghindari kliren imunologis.
d. Organisme T. pallidum bereplikasi secara lambat, waktu untuk membelah diri
dikalkulasikan mencapai 30-33 jam pada tahap awal penyakit. Atas dasar
tersebut, maka untuk mencapai pengobatan sifilis dini yang efektif sangat
diperlukan pemeliharaan konsentrasi serum minimal selama 7-10 hari tanpa
interupsi. Selain itu, keterbatasan biosintesis T. pallidum juga tercermin dari
tidak adanya fakta mengenai strain T. pallidum yang resisten terhadap
penisilin.
5
menyebar secara sistemik dalam waktu 24 jam. Infeksi akan menunjukkan
manifestasi klinis dalam rentang waktu 10 – 30 hari setelah T. pallidum masuk dan
9
menimbulkan lesi primer.
6
Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari
penyakit. Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun
proses penyakit dapat berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi
noduloulseratif destruktif yang disebut gumma, osteomielitis, osteitis, kekakuan
dan nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya meningitis, kejang,
10
penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis.
10
Gambar 2.2 Perjalanan penyakit sifilis yang tidak diobati
7
hasil tes skrining positif. Uji nontreponemal juga dapat digunakan untuk
7
memonitor respon pengobatan.
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang
tidak khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat
perivaskuler yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan
endarteritis obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan
dinding pembuluh darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi
obliterasi dan trombosis pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis
sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada sayatan yang diberi pewarnaan
Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk gumma dapat dijumpai
9
vaskulitis granulomatosa.
8
dari 2 minggu, dapat dikategorikan mengalami kegagalan pengobatan atau re-
infeksi. Individu-individu tersebut harus diobati ulang dan re-evaluasi terkait
11
infeksi HIV.
9
13
Gambar 2.3 Perubahan Volume Plasma Selama Kehamilan
2.2.1.4 Platelet
Trombositopenia merupakan kondisi yang relatif sering terjadi dalam kehamilan.
Jumlah platelet <150 g/l telah dilaporkan terjadi pada 6% sampai 15% pada ibu
hamil and 1% dari ibu hamil memiliki platelet <100 g/l. Pada sebagian besar
14
kasus, penurunan platelet terjadi semala trimester ketiga.
10
2.2.1.5 Jantung
Murmur pada ejeksi sistolik merupakan kondisi yang normal pada ibu hamil. Hal
ini disebabkan karena adanya turbulensi sekunder terhadap peningkatan aliran
darah melalui katup jantung yang normal. Murmur diastolik dapat terdengar
sesekali. Curah jantung dapat meningkat akibat dari peningkatan denyut jantung,
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan stroke volume.
Denyut jantung meningkat 15% lebih tinggi dari kondisi tidak hamil pada akhir
trimester pertama. Denyut jantung dapat meningkat sampai 25% pada akhir
trimester kedua, namun tidak ada perubahan lebih lanjut pada trimester ketiga.
Stroke volume meningkat sekitar 20% pada usia 8 minggu kehamilan dan
meningkat hingga 30% pada akhir trimester kedua, dan kemudian menetap hingga
12
kehamilan matur.
Pada kehamilan normal, terdapat peningkatan pada volume diastolik akhir
pada ventrikel kiri yang terjadi pada usia kehamilan 10 minggu dan puncaknya
terjadi selama trimester ketiga. Selain itu, dimensi atrium kiri dan kanan serta
diastolik ventrikel kanan juga mengalami peningkatan. Beban awal dipengaruhi
oleh posisi maternal, posisi supine menyebabkan kompresi pada vena cava
inferior dan menyebabkan obstruksi dari aliran balik vena serta penurunan curah
13
jantung.
11
15
Gambar 2.3 Perubahan Kapasitas Paru Pada Ibu Hamil
Pada ibu hamil PaCO2 mengalami penurunan pada akhir trimester pertama,
kondisi ini menimbulkan terjadinya alkalosis respiratorik. Alkalosis respiratorik
menyebabkan terjadinya kompensasi metabolic sehingga terjadi penurunan serum
12
bikarbonat dan kelebihan basa.
12
pada sfingter esofagus bagian bawah akan kembali normal saat 48 jam setelah
12
kelahiran.
13
yang memiliki stimulasi melanogenik. Kehamilan juga dapat menimbulkan
beberapa kondisi pada kulit seperti linea nigra, melisma, spider nevi, striae
12,17,18
gravidarum, dan eritema palmar.
14
terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap berpotensi untuk
19
menularkan infeksi pada fetus.
2.3.2.1 Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari (rata-
rata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-1,5 cm
dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan chancre
tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi yang
mengeras sebanyak 1-2 cm).
19
Gambar 2.5. Chancre pada sifilis primer
15
Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa
disertai rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis
primer, biasanya ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi
primer pada area non-genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi
atipikal, khususnya pada area anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi
di area genital, perineal atau anal. Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh
yang lainnya juga dapat terkena. Kebanyakan chancre ditemukan pada penis
(untuk pria), dan labia atau servik (untuk wanita). Chancre pada wanita ini
cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri. Akibatnya, sifilis primer pada
wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang menjadi sifilis sekunder. Di
lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6 minggu melalui
19
mekanisme imun tubuh, walaupun tanpa mendapatkan pengobatan.
2.3.2.2 Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai beberapa
perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang tenggorokan,
nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada tahap ini terjdi
penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan limpatik, hal ini
dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan
serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan pada cairan
serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan
T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang hilang
dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien sehingga
terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi
makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak
tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-
2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada
kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki.
16
Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan
tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer
yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih
besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih
atau keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat
dan lembab. Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami
perubahan kulit pada area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat
paha. Saat ini kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre
primer, utamanya daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan
oleh penyebaran secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder
merupakan penyakit sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya
memperhatikan manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun hasil
tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga dilakukan
pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis asimptomatis,
walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada semua pasien
dengan kemungkinan sifilis laten.
19
Gambar 2.6. Manifestasi kutaneus dan mukosa sifilis sekunder
2.3.2.3 Tersier
Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan oleh
manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf pusat (SSP),
17
ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh darah besar. Interval
waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit ini
bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan
antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan
berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis merupakan
komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang
tidak diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis
asimtomatik, ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik.
Perkembangan selanjutnya dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12
tahun pasca infeksi primer) atau terus berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%),
and kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala umum seperti
pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan mood selama beberapa
minggu hingga bulan, yang diakibatkan gangguan perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi
granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan
terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan
viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa
nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter.
18
Kendati sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua tahun
terinfeksi, wanita dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius terhadap
janin yang dikandungnya hingga beberapa tahun lamanya. Sejumlah penelitian
terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang tidak
mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang
mendapat terapi selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami
stillbirth, dan angka rerata usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu.
Penelitian lain menunjukkan adanya insiden kelahiran prematur sebesar 28% pada
kelompok wanita penderita sifilis yang mendapat terapi selama masa kehamilan.
Bukti presumtif adanya sifilis kongenital tampak pada 15 (26%) kasus dari 57
wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang ditemukan pada usia kehamilan
24 minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat terapi pada
19
trimester ketiga.
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel
mengenai adverse pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan
kematian janin, kematian neonatus, kelahiran prematur, serta berat badan lahir
rendah merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sifilis
ditemukan pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan
27
terapi.
Gambar 2.7 Kelahiran prematur sebagai salah satu dampk infeksi sifilis pada
kehamilan
19
2.4 Dampak Infeksi Sifilis Pada Bayi
Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin
sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada
trimester kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi
sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60-
90%), pada sifilis laten dini risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis
laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis memberikan gejala
asimtomatis saat bayi lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi
segera setelah lahir ataupun bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun
manifestasinya dapat diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis
kongenital lanjut. Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh namun
meninggalkan jaringan parut dan beberapa kelainan, disebut juga stigmata sifilis
28,29
kongenital.
20
2.4.2 Sifilis Kongenital Lanjut
Pada stadium ini, manifestasi klinis muncul setelah usia 2 tahun, meski dapat pula
asimtomatis. Titer serologis sering berfluktuasi. Adapun gejala klinisnya dapat
berupa keratitis interstitialis, gigi Hutchinson, gigi mulberry, gangguan syaraf
pusat VIII yang mengakibatkan ketulian, Neurosifilis, skeloris pada tulang hingga
tulang kering menyerupai pedang (saber sign), perforasi palatum durum dan
septum nasi akibat destruksi dari gumma, tulang frontal yang menonjol, fisura di
28,29
sekitar rongga mulut dan hidung disertai ragade (sifilis rinitis infantil).
21
d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal
terdokumentasi, tidak dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya
skrining.
e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan
harus dilakukan pemeriksaan sifilis.
f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka
memiliki dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis
yang tepat sesuai dengan pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.
g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap
pengobatan dan memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) < 1: 2 dan RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.
h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat
mengindikasikan terjadinya infeksi ulang.
22
pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, diberi fluoresen. Namun hasilnya tidak
sebaik mikroskop lapangan gelap dan tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan antibodi non spesifik yang dapat dilakukan :
1. Tes Non-treponemal (RPR, VDRL)
Kedua tes RPR dan VDRL dapat mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin, yang
merupakan komponen membran sel dari T.pallidum. Hasil tes yang positif perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan treponema. Tes non-treponemal berfungsi untuk
menentukan aktifitas penyakit dan respon terhadap terapi. Contohnya peningkatan
empat kali lipat dari titer dari hasil sebelumnya (1:2 menjadi 1:8)
mengindikasikan re-infeksi; penurunan titer empat kali lipat pasca pengobatan
(1:32 menjadi 1:8) mengindikasikan respon yang baik terhadap pengobatan.
2. Tes Treponemal (TPHA, Elisa, FTA-Abs)
Hasil tes yang reaktif akan tetap reaktif seumur hidup bahkan sesudah diterapi
secara tepat. Hasil ini mengindikasikan adanya paparan infeksi sifilis dan tidak
menjadi indikator aktifitas penyakit.
23
Jika subyek berisiko tinggi
Tes Non-treponemal (RPR) maka tes serologi diulang
Negatif
atau tes treponemal (TPPA, pada 28-32 minggu dan
EIA) saat melahirkan
25
Gambar 2.6. Algoritma skrining antenatal:
24
SEROPOSITIF
(skrining dan pengobatan pasangan
PENETAPAN STADIUM
(riwayat klinis, pemeriksaan, hasil tes
PENGOBATAN MATERNAL
PENGOBATAN
Desensitisasi
DENGAN PENISILIN
SESUAI STADIUM
25
Gambar 2.7. Algoritma diagnosis dan pengobatan sifilis pada kehamilan
25
2.7 Penatalaksanaan Sifilis pada Kehamilan
Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Hingga
saat ini belum ditemukan adanya strain T. pallidum yang resisten terhadap
penisilin secara signifikan. Tujuan terapi penisilin pada ibu hamil adalah untuk
menangani penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin dan menangani penyakit
sifilis yang telah terjadi pada janin. Penanganan sifilis pada ibu hamil mengikuti
23,26
regimen yang sesuai dengan stadium penyakitnya (tabel 3).
23,26
Tabel 1. Terapi Sifilis pada Kehamilan
26
pengunaan ceftriaxone belum diketahui secara pasti karena kurangnya data
26
mengenai efikasi.
Terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan alergi penisilin
adalah desensitisasi penisilin. Desensitisasi penisilin merupakan prosedur dimana
pasien dipaparkan penisilin dengan dosis bertahap hingga mencapai dosis efektif.
Setelah itu pasien diberikan terapi penisilin yang sesuai. Prosedur desensitisasi
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dengan ketersediaan alat
untuk menangani reaksi anafilatik. Desensitisasi oral umumnya lebih sederhana
26
dan aman.
Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer.
Reaksi ini merupakan reaksi febril akut yang disertai dengan nyeri kepala,
mialgia, bercak dan hipotensi. Gejala-gejala ini diperkirakan terjadi akibat
pelepasan liposakarida treponema dari spirosit yang mati. Umumnya reaksi mulai
muncul satu hingga dua jam setelah terapi, mencapai puncak pada delapan jam
dan berkurang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi ini dapat memicu kontraksi uterus,
kelahiran pre-term, dan gangguan irama jantung fetus. Namun resiko terjadinya
reaksi Jarisch-Herxheimer bukan merupakan kontraindikasi pemberian penisilin
26
pada ibu hamil. Reaksi Jarisch-Herxheimer ditangani secara suportif.
Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1,
3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi. Jika terapi efektif, maka dapat diharapkan
titer berkurang 4-6 kali dalam 6 bulan pasca terapi dan menjadi non reaktif dalam
12 hingga 24 bulan. Titer yang meningkat hingga 4x atau tidak berkurang
26
menunjukan kegagalan terapi atau reinfeksi.
27
World Health Organization telah mencanangkan Global Strategic Plan untuk
mengeliminasi sifilis kongenital, yang terdiri dari 4 pilar, yaitu a) memastikan
komitmen politik yang berkelanjutan dan advokasi; b) meningkatkan akses,
kualitas serta pelayanan kesehatan maternal dan bayi baru lahir; c) melakukan
skrining dan pengobatan pada wanita hamil dan pasangannya; seta d) membangun
pengawasan, pemantauan dan system evaluasi. Selain itu, WHO bersama-sama
dengan Program for Appropriate Technology and Health (PAHO) menginisisasi
dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital. Metode pada program
tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan HIV
secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh
wanita hamil akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara
bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa skrining sejak
awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk mencegah transmisi sifilis
28,29
dari ibu ke bayi.
28
BAB III
RINGKASAN
Sifilis merupakan salah satu penyakit Sexually Transmitted Diseases (STDs) yang
dapat menginfeksi ibu hamil. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema
Pallidum. Diseluruh dunia, setidaknya 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis
aktif pada tahun 2008. Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema
pallidum dapat ditransmisikan kepada fetus dan mengakibatkan Adverse
Pregnancy Outcomes (APOs) seperti still birth, early fetal death, bayi berat lahir
rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau infan dengan serologi reaktif.
Sifilis pada kehamilan diperoleh melalui kontak seksual. Penularan
melalui kontak seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit
pada sifilis primer atau sekunder. Transmisi treponema pada ibu hamil telah
didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan, maka dari itu
perlu adanya skrining semua wanita hamil pada kunjungan pertama antenatal.
Secara klinis sifilis pada kehamilan bermanifestasi sesuai dengan stadium
klinis. Pada sifilis primer dicirikan dengan papul yang berulserasi menjadi
chancre klasik. Sifilis sekunder dicirikan dengan makulopapular kemerahan pada
kulit pada telapak tangan, kaki, dan membran mukosa dengan menyisakan wajah.
Pembentukan gumma, gejala kardiovaskular, dan neurosifilis umumnya
merupakan manifestasi sifilis tersier. Diagnosis sifilis dapat ditegakan dengan
mikroskop lapang gelap, tes antibodi treponemal (TPHA, FTA-ABS), dan tes
antibodi non treponemal (VDRL, RPR).
Penisilin merupakan baku emas terapi sifilis ibu hamil hingga saat ini.
Regimen penisilin disesuaikan dengan stadium infeksi ibu. Pada pasien dengan
alergi penisilin sebaiknya dilakukan desensitasi karena pengunaan antibiotik lain
belum menunjukan efikasi yang baik. Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu
reaksi Jarisch-Herxheimer, namun bukan merupakan kontraindikasi pemberian
penisilin pada ibu hamil. Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus
dilakukan dalam 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi. Transmisi infeksi sifilis
29
dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan program skrining sifilis sejak dini pada
awal kehamilan.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Santis, M.D., Luca, C.D., Mappa, I., Spagnuolo, T., Licameli, A., Straface,
G., & Scambia1, G. Syphilis infection during pregnancy: Fetal risks and
clinical management. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2012. doi:10.1155/2012/430585
2. Casal, C., Araujo, E. C., & Corvelo, T.C.O. Risk factors and pregnancy
outcomes in women with syphilis diagnosed using a molecular approach.
Sex Transm Infect. 2013;89:257–261.
3. Newman, L., Kamb, M., Hawkes, S., Gomez, G., Say, L., Seuc, A., &
Broutet, N. Global estimates of syphilis in pregnancy and associated
adverse outcomes: Analysis of multinational antenatal surveillance data.
PLoS Med. 2013;10(2):e1001396.
4. Hawkes, S. J., Gomez, G.B., & Broutet, N. Early antenatal care: does it
make a difference to outcomes of pregnancy associated with syphilis? A
systematic review and meta-analysis. PLOS ONE. 2013;8(2): e56713.
5. Hawkes S, Matin N, Broutet N, Low N. Effectiveness of interventions to
improve screening for syphilis in pregnancy: a systematic review and
metaanalysis. Lancet Infect Dis. 2011;11: 684–691.
6. World Health Organization. Over a million pregnant women infected with
syphilis worldwide. 2012. Retrieved from:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/pregnancy/en/
7. Sato, N. S. Syphilis – recognition, description and diagnosis. Croatla:
InTech. 2011.
8. Braccio, S., Sharland, M., & Ladhani, S. N. Prevention and treatment of
mother-to-child transmission of syphilis. Paediatric and Neonatal
Infections. 2016;23:3. p268-274.
9. Cohen, S. E., Klausner, J. D., Engelman, J., & Philip, S. Syphilis in the
modern era: An update for physicians. Infect Dis Clin N Am. 2013:27:705–
722
31
10. Ballard R, Hook EW. Syphilis In: Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D,
Ndowa F, Peeling R. Laboratory diagnosis of sexually transmitted
infections, including human immunodeficiency virus. World Health
Organization. Switzerland:Geneva. 2013.p107-130
11. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. Centers for Disease Control and Prevention Recommendation
and Reports. 2015; 64: 3.p34-9
12. Yanamandra N Chand, Raharan E. Anatomical and physiological changes
in pregnancy and their implications in clinical practice. Cambridge
University Press. 2012.p1-8
13. Bartling, S. J., & Zito, P. M. Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016; 31.p38-40
14. Valera M, Parant O, Vayssiere C, Arnal J, Payrastre B. Physiologic and
pathologic changes of platelets in pregnancy. Platelets. 2010;21:8.p587-
595.
15. Pillay PS, Catherine NP, Tolppanen H, Mebazaa A.Physiologic Changes
in Pregnancy. Cardiovascular Journal of Africa. 2016 Mar-Apr; 27(2): 89–
94
16. Datta, S. Maternal Physiological Changes during Pregnancy, Labor, and
the Postpartum Period in Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetric
th
Anesthesia Handbook. 4 Eds. Nottingham University Hospital. 2010. P1-
14
17. Bartling, S. J., & Zito, P. M. (2016). Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016;31:38-40
18. Geraghty, L. N., & Pomeranz, M. K. Physiologic changes and dermatoses
of pregnancy. International Journal of Dermatology. 2011;50:7.p771-782
19. Hitti J, Watts DH. Bacterial Sexually Transmitted Infections in Pregnancy
In: Holmes, K.K, Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N.,
Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases.
th
4 Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.p.1542-55
32
20. Berman, S.M. (2004). Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment.
Bulletin of the World Health Organization. 2004;82:6
21. Fraser CM, Norris SJ, Weinstock GM, White O, Sutton GG, Dodson R, et
al. Complete genome sequence of Treponema pallidum, the syphilis
spirochete. Science. 1998;281:375-88.
22. Radolff JD, Steiner B, Shevchenko D. Treponema pallidum: doing a
remarkable job with what it's got. Trends in Microbiology.1999;7:7-9.
23. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis in Pregnancy in
Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR
Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 43-4
24. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Recommendations
Referenced in in Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines,
2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 45-7
25. Women and Newborn Health Service. Infections in Pregnancy: Syphillis in
Pregnancy and The Newborn, Diagnosis and Treatment. 2015.p1-8
26. Norwitz E., Lockwood C., Bartlett J., Barss V. Syphilis in Pregnancy.
Uptodate Mar 2016. Available from:
http://www.uptodate.com/contents/syphilis-in-pregnancy#H1 Last update:
Nov 23, 2016
27. Gomez GB, Kamb ML, Newman LM, Mark J, Broutet N, Hawkes SJ.
Untreated Maternal Syphilis and Adverse Outcomes of Pregnancy: A
Systematic Review and Meta-Analysis. Bull World Health Organ.
2013;91:217-26
28. Moline HR, Smith JF. The Continuing Threat of Syphilis in Pregnancy.
Current Opinion Obstetric and Gynocology. 2016;28:101-4
29. Braccio S, Sharland M, Landhani SN. Prevention and Treatment of
Mother-to-Child Transmission of Syphilis. Current Opinion Infectious
Disease. 2016;29:268-74
30. Herberts C, Melgert B, Laan JWV, Faas M. New Adjuvanted Vaccines in
Pregnancy: What is Known About Their Safety? Expert Review of
Vaccines. 2010;9(12):1411-22
33
31. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Infeksi Menular Seksual,
Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar. 2014.
34