Anda di halaman 1dari 10

Halaman 1542-1547

Spinotalamus. Misalnya, rizotomi dorsal dilakukan dengan memotong akar saraf dorsal
(posterior) melalui pembedahan karena akar tersebut memasuki medulla spinalis. Tindakan ini
efektif untuk menghilangkan nyeri akut yang terlokalisasi di daera yang disuplai akar saraf dan nyeri
visceral dalam. Klien mengalami kehilangan sensasi nyeri, tetapi dapat mempertahankan seluruh
fungsi motorik. Tindakan kordotomi lebih ekstensif dan dilakukan melalui reseksi traktur
spinotalamus. Prosedur ini digunakan untuk menangani nyeri yang tidak dapat dikendalikan atau
yang tidak dapat dihilangkan. Resiko prosedur ini esar karena dapat terjadi kelumpuhan permanen
sebagai akibat edema pada medulla spinalis atau reseksi yang tidak sengaja pada saraf motorik.
Setelah prosedur dilakukan, nyeri yang klien rasakan akan hilang secara permanen dan klien akan
kehilangan sensasi suhu daerah yang terkena.

Ketika perawat member asuhan keperawatan kepada klien-klien ini, sangatlah penting untuk
memperhatikan daerah reseksi untuk mengkaji apakah klien mengalami parestesia, perubahan
sensasi suhu, dan kehilangan fungsi motorik. Apabila dilakukan dengan benar, prosedur ini dapat
menghilangkan nyeri yang persisten tanpa menyebabkan deficit neurologi yang serius.

KLIEN YANG MENGALAMI NYERI YANG MEMBANDEL

Nyeri yang membandel (intractable pain) tidak dapat dihilangkan secara permanen. Nyeri bias
menjadi sangat melemahkan sehingga klien akan mencoba segala sesuatu untuk mengatasi nyeri.
Nyeri kronik yang membandel mempengaruhi keberadaan klien secara total dan seringkali
menyebabkan klien menolak program terapi aktif dan bahkan mempertimbangkan atau memutuskan
untuk bunuh diri (Jacox dkk, 1994). Salah satu tantangan terbesar dalam bidang keperawatan ialah
bagaimana cara merawat klien yang mengalami nyeri yang membandel. AHCPR mengeluarkan
pedoman praktik klinik untuk penatalaksanaan nyeri kanker (Jacox dkk 1994). Pedoman tersebut
dirancang untuk menangani nyeri kanker dengan cara yang lebih kmperhensif dan agresif. Dengan
cara yang sama, pedoman it juga member klien dan keluarga lebih banyak pilihan untuk
menghilangkan nyeri. Gbr. 43-16 merupakan suatu bagan alur yang menggambarkan
penatalaksaan nyeri kanker dari pengkajian sampai berbagai pilihan terapi. Pilihan terapi terbaik
seringkali berubah seiring dengan perubahan kondisi klien dan karakteristik perubahan nyeri. Terapi
nonfarmakologis dan terapi farmakologis dapat digunakan bersama-sama.

Pemberian analgesic untuk penanganan nyeri yang berhubungan dengan kanker


membutuhkan penerapan prinsip yang berbeda dari prinsip yang digunakan untuk nyeri akut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1990) merekomendasikan pendekatan yang terdiri dari tiga
langkah untuk penatalaksanaan nyeri kanker (Gbr. 43-17).

||||||

Pada dasarnya, terapi dimulai dengan penggunaan NSAID dan/atau obat adjuvant dan
meningkat ke opiate kuat, apabila nyeri menetap. Apabila seorang klien mengalami nyeri untuk
pertama kali, upaya yang paling baik dilakukan adalah memulai pemberian dosis obat yang sangat
tinggi daripada dosis untuk menghilangkan nyeri. Dokter menurunkan dosis obat sampai jumlah yang
dibutuhkan secara perlahan. Dengan demikian nyeri yang dirasakan klien dapat diatasi dengan
segera. Selain itu, dapat juga dilakukan terapi agresif untuk menangani efek samping analgesia,
seperti mual dan konstipasi sehingga analgesia dapat dilanjutkan.
Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan obat terlihat rendah diantara klien yang
menderita nyeri akibat kanker. Pemberian obat yang benar dan pemberian dosis yang dibutuhkan
pada interval yang benar menghilangkan ketakutan klien akan nyeri, melindungi klien sehingga ia
tidak mencari obat, dan menurunkan tingkat ketergantungan klien terhadap obat. Telah terbukti juga
bahwa klien yang menderita penyakit terminal dan mengalami nyeri dalam jangka waktu lama
mengembangkan toleransi terhadap analgesia. Akibatnya, klien membutuhkan dosis analgesic yang
lebih tinggi untuk menghilangkan nyeri. Pemberian analgesic yang lebih tinggi kepada klien yang
menjadi toleran terhadap narkotik tidak menyebabkan kematian (letal) karena toleransi klien ini
terhadap efek samping yang mengancam hidup juga berkembang.

Untuk klien yang menderita kanker, tujuan pemberian terapi obat adalah mengantisipasi dan
meminimalkan nyeri, bukan untuk mengobatinya. Dengan demikian, sangatlah penting pemberian
dosis yang dibutuhkan secara teratur. Pemberian resep analgesic berdasarkan pengaturan prn pada
klien kanker tidaklah efektif dan lebih menderita. Klien kanker harus mengonsumsi analgesic secara
teratur, bahkan ketika nyeri, mual, dan gejala-gejala lain mereda. Pemberian obat yang teratur akan
mempertahankan kadar obat dalam darah sehingga memungkinkan pengontrolan nyeri yang terus
menerus.

Berbagai obat dan rute pemberian obat dapat membantu para penderita nyeri kronik untuk
menghilangkan nyeri. Beberapa obat dapat menghilangkan nyeri. Analgesia epidural terbukti sangat
efektif. Infusi intratekal (pemberian opiate melalui kateter yang dipasang didalam ventrikel otak) juga
sangat bermanfaat pada klien tertentu. Selain itu, terdapat analgesia baru dengan efek samping yang
lebih rendah. Pemberian morfin sulfat yang dilepaskan-terkontrol atau yang aksi-lama terbukti sangat
berhasil. Dua dari obat-obatan ini adalah MS Contin dan Roxanol SR. upaya menghilangkan nyeri
diperoleh dengan pemberian MS Contin selama 8 sampai 12 jam dan Roxanol SR sampai enam jam
(Wilkie, 1990).

System obat transdermal merupakan pemberian obat, seperti fentanil, dengan kecepatan yang
ditentukan lebih dahulu, yakni 48 sampai 72 jam. Rute ini sangat bermanfaat, jika klien tidak mampu
mengonsumsi obat secara oral. Klien menemukan bahwa system ini mudah digunakan dan
memungkinkan pemberian opiate yang terus menerus tanpa menggunakan jarum atau pompa. Alat
yang merekat sendiri (self-adhecive patches) mengeluarkan obat dengan perlahan seiring waktu,
mencapai analgesia yang efektif. Pemberian koyo (patch) transdermal pada klien yang hipertermia
harus dilakukan dengan hati-hati. Hipertermia menyebabkan penyerapan obat lebih cepat.

Analgesic dapat diberikan melalui rectum, jika klien mengalami mual dan muntah atau jika
klien sedang puasa atau setelah pembedahan (Jacox dkk, 1994). Rute pemberian analgesic melalui
rectum menjadi kontraindikasi jika klien mengalami diare atau memiliki lesi kanker yang mengenai
anus atau rectum. Morfin, hidromorfin, dan oksimorfin dapat diberikan dalam bentuk supositoria.

Tindakan popular lain yang dilakukan untuk terapi nyeri kanker yang tidak terkendali adalah
pemberian morfin sulfat dengan tetesan intravena yang terus-menerus atau intermiten melalui
penggunaan pompa ADP. Infuse intravena yang terus menerus memungkinkan pengontrolan nyeri
yang seragam dan meningkat disertai dengan peningkatan dan penurunan konsentrasi plasma yang
lebih jarang, kerja obat yang lebih efektif, dan pemberian dosis obat lebih rendah secara
keseluruhan. Dengan demikian terdapat sedikit efek samping. Walaupun klien menerima infuse
morfin sulfat secara terus-menerus, dosis total harian yang diberikan dapat lebih kecil daripada dosis
yang diberikan melalui injeksi intramuscular konvensional. Kandidat untuk infuse yang terus-menerus
termasuk klien yang mengalami nyeri berat, yakni klien yang jika diberikan narkotik melalui injeksi
dan oral hanya mengalami sedikit penurunan nyeri; klien yang mengalami mual dan muntah yang
berat; klien yang mengalami gangguan pembekuan darah sehingga luka memar jika mendapat terapi
injeksi; dank lien yang tidak mampu menelan obat-obatan oral.

Tetesan-kontinu morfin sulfat diberikan kepada klien pada keadaan perawatan akut dan
dirumah. Sulfat morfin diberikan melalui pompa pengontrol infuse untuk memastikan kecepatan
infuse tetap, akurat, dan aman. Setiap institusi mempunyai pedoman pemberian dosis morfin dan
kecepatan infuse. Obat menimbulkan banyak efek samping yang membutuhkan pengkajian perawat
yang terus-menerus. Klien yang menerima obat dirumah diajarkan cara memantau efek obat (lihat
kotak di hlm. 1544). Obat adjuvant, seperti antiemetic, kortikosteroid, antikon-vulsan,
neuroleptik, bifosfat, dan kalsitonin (yang diberikan untuk mengatasi nyeri tulang), atau antidepresan
dibutuhkan untuk meningkatkan pengontrolan nyeri dan mencegah efek samping (Paice, 1991; Jacox
dkk, 1994).

Apabila klien untuk pertama kali diberikan tetesan morfin sulfat, sangatlah penting
memastikan bahwa akses intravena paten dan tidak terjadi komplikasi di lokasi intravena (lihat
Bab 45). Selang kateter pusat, seperti Hickman, suatu implantasi port akses vena, atau kateter
sentral yang diinsersi di perifer (PICC) biasanya paling paling cocok untuk infuse intravena jangka
panjang. Saat infuse mulai dilakukan, perawat mencatat tekanan darah dasar dan kecepatan napas
untuk mulai memantau, yang bertujuan untuk melihat adanya depresi system saraf pusat. Setelah
infuse dimulai, perawat memantau tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai 30 menit selama
beberapa jam pertama sampai klien merasakan nyerinya hilang dengan pemberian dosis yang
konstan. Apabila tekanan darah atau pernapasan menurun, maka kecepatan infuse diturunkan sesuai
dengan program dokter atau kebijakan institusi. Apabila klien memperlihatkan tanda-tanda depresi
pernapasan yang berat, maka dokter akan member perintah supaya dihentikan pemberian infuse.
Agens narkotik antagonis nalokson (Narcan) harus diberikan untuk memperbaiki depresi pernapasan.

Di rumah, klien dapat menggunakan pompa infuse yang dapat berjalan. Pompa berjalan
dengan sentuhan kesenian merupakan peralatan berukuran kecil, seringkali tidak lebih panjang
daripada dek kartu, yang berisi suplai obat untuk 1 sampai 30 hari. Pompa tersebut ringan dan
memungkinkan untuk bergerak bebas. Pompa tersebut digerakkan oleh baterai yang ditempatkan
dalam sebuah kantung, yang ditempelkan pada ikat pinggang atau pakaian. Kantung obat dan cairan
intravena dapat dimuat di pompa.

Klien harus mempunyai motivasi yang tinggi untuk merawat pompa dengan cara yang benar,
walaupun pompatersebut diprogramkan oleh dokter, ahli farmasi, atau perawat. Klien harus
memperlihatkan kapasitas untuk mempelajari prosedur dan bertanggung jawab dalam
mengoperasikan pompa dengan benar (Bernstein dkk, 1993). Selain itu, sangatlah penting bahwa
klien memiliki kapabilitas fisik untuk membuat penyesuaian pada pompa (mis. Penggantian batere).
Klien dan keluarga belajar menatalaksana pompa, mengobservasi adanya efek samping, dan
mempertahankan fungsi kateter vena pusat. Karena sejak awal klien telah menerima morfin sulfat di
rumah sakit sebelum pulang ke rumah, maka resiko klien mengalami efek samping dari obat tersebut
tidaklah besar, kecuali klien atau anggota keluarga meningkatkan dosis obat. Seorang perawat
pelaksana perawatan kesehatan di rumah melakukan kunjungan rutin untuk memastikan bahwa klien
menatalaksana pompa dengan benar. Kantung dan selang cairan intravena diganti secara rutin oleh
perawat. Hal ini mempertahankan sterilisasi system.
Perawat menggunakan semua tindakan penghilang nyeri bagi klien yang mengalami kanker.
Hubungan klien-perawat dapat membantu klien beradaptasi dengan nyeri kronik. Klien harus merasa
bahwa tanggung jawab penanganan nyeri membutuhkan kompetensi dan ketergantungan kepada
perawat dalam melakukannya.

KLINIK NYERI DAN HOSPICES


Selama decade terakhir, tenaga profesi kesehatan dari Amerika Serikat dan Kanada telah
mengakui nyeri sebagai masalah kesehatan yang berarti. Dengan adanya peningkatan kesadaran
tentang berbagai masalah yang dapat ditimbulkan nyeri pada klien, program kemudian dirancang
untuk penanganan nyeri. Klinik nyeri menawarkan beberapa pilihan. Pusat nyeri dengan pelayanan
yang komprehensif menangani individu melalui program rawat jalan atau rawat inap. Anggota staf
dari semua bidang disiplin perawatan kesehatan, seperti bidang keperawatan, kedokteran, terapi
fisik, dan ahli gizi bekerja sama dengan klien untuk menemukan tindakan penanganan nyeri yang
paling efektif. Klinik dengan pelayanan yang komprehensif tidak hanya menyediakan berbagai terapi,
terapi juga penelitian untuk terapi baru dan pelatihan untuk para profesi.

Terdapat juga pusat-pusat nyeri yang berorientasi pada sindrom dan pada modalitas. Pusat
yang berorientasi pada sindrom memberi perawatan bagi klien yang mengalami hanya jenis nyeri
tertentu, sepertinyeri punggung atau arthritis. Pusat yang berorientasi pada modalitas menawarkan
hanya jenis terapi tertentu, seperti biofeedback, akupuntur, dan TENS.

Hospice merupakan program untuk merawat individu yang menderita penyakit terminal.
Hospice berasal dari kata latin hospes, yang berarti “suatu tempat untuk beristirahat”. Seringkali,
program hospice bergabung dengan rumah sakit. Program tersebut membantu klien yang mengalami
penyakit terminal melanjutkan hidup di rumah sehingga dapat merasa nyaman dan memperoleh
privasi dengan bantuan dari tim perawatan kesehatan pada hospice. Pengontrolan nyeri merupakan
prioritas pada hospice. Klien menerima dosis dan bentuk analgesic yang tepat untuk menghilangkan
nyeri. Dibawah pengarahan perawat hospice, keluarga belajar memantau gejala klien dan berfungsi
sebagai pemberi perawatan kesehatan primer. Klien yang tinggal di hospice dapat dirawat di rumah
sakit, jika terjadi krisis perawatan yang akut atau timbul masalah keluarga.

Evaluasi
Evaluasi nyeri merupakan salah satu dari berbagai tanggung jawab keperawatan yang
membutuhkan pemikiran kritis yang efektif. Respons perilaku klien dan petunjuk tentang nyeri tidak
selalu terlihat jelas. Misalnya, beberapa klien merasa takut akan kehilangan control karena pengaruh
obat-obatan nyeri sehingga klien tidak bersikap jujur tentang efektifitas obat. Perawat harus
melakukan observasi dengan penuh perhatian dan mengetahui respons apa yang akan diantisipasi
berdasarkan jenis terapi nyeri, waktu pemberian terapi, sifat fisiologis setiap cedera atau penyakit,
dan respons klien terdahulu.
Klien biasanya merupakan sumber paling baik untuk mengevaluasi keefektifan upaya
penanganan nyeri. Perawat harus secara kontinu mempertimbangkan apakah karakter perubahan
nyeri yang klien alami dan apakah terapi secara individual itu efektif. Keluarga seringkali menjadi
sumber lain yang berharga, khususnya dalam kasus klien yang mengalami kanker, yang tidak mampu
mengungkapkan rasa tidak nyaman selama tahap lanjut penyakit terminal. Perawat berhasil
menangani nyeri, jika telah dicapai tujuan perawatan. Perawat menggunakan criteria evaluasi dalam
menetapkan hasil akhir terapi penanganan nyeri (lihat kotak evaluasi di atas).
Pengkajian
Apabila perawat menetapkan bahwa klien terus merasa tidak nyaman setelah pemberian
Nyeriterapi,
yang tidak
mungkin perlu dilakukan terapi yang berbeda atau dilakukan terapi tambahan. Misalnya,
Nyeri kanker Tidak ada nyeri jika
berhubungan denganmenghilangkan sebagian nyeri, maka perawat dapat menambahkan latihan relaksasi
analgesic hanya
kanker
atau latihan imajinasi yang dibimbing. Perawat juga dapat berkonsultasi dengan dokter untuk
mencoba analgesic yang berbeda.
Tangani sesuai dengan Mulai tangga analgesik
Perawat juga mengevaluasi persepsi klien tentang keefektifan terapi. Klien dapat membantu
sumber nyeri
memutuskan waktu yang paling baik untuk mencoba terapi. Misalnya, klien merupakan orang yang
paling baik dalam memutuskan apakah suatu terapi bekerja dengan lebih baik saat ansietas dan
Tambahkan sesuai
iritabilitas tidakindikasi: Pengkajian
timbul atau kapan nyeri ulang terasa.
tidak terlalu Penanganan nyeri

Perawat juga menetapkan toleransi klien terhadap terapi dan tingkat penanganan
Terapi paliatif Lanjutkan terapi
nyeri sesuai
yang
Terapi radiasiMisalnya, apabila perawat memberikan analgesic, maka perawat kebutuhan
dicapai. harus mengkaji efek
Nyeri menetap
Biokir saraf
samping akibat pengobatan dan laporan tingkat keberhasilan penanganan nyeri. Begitu juga setelah
Pembedahan
perawat mengubah posisi klien, perawat harus kembali menentukan apakah klien mampu
Terapi antineoplastik
mentoleransi posisi yang baru dan apakah nyeri mereda dengan perubahan posisi tersebut. Apabila
Pertimbangkan etiologi dan
suatu terapi
Obat adjuvant memperburuk rasa tidak nyaman klien, maka perawat menghentikan terapi tersebut
terapi yang lain
dengan segera dan
Intervensi psikososial mencari alternative lain.
Modalitas fisik
Perawar dank lien sebaiknya tidak menjadi frustasi, apabila terapi tidak bekerja dengan cepat.
Waktu dan kesabaran merupakan factor yang dibutuhkan untuk memaksimalkan keefektifan terapi.
Perawat mempertimbangkan factor-faktor yang mempengaruhi persepsi atau reaksi klien terhadap
Efek samping Nyeri tulang yang Nyeri neuropati Nyeri yang Mukositis
nyeri.
yang tidak Misalnya, usapan
menyebar dipunggung mungkin tidak tidak memberikan
berhubungan hasil yang efektif, jika klien
baru
dapat saja mempelajari hasil pemeriksaan
diterima diagnostiknya
(neuropati perifer dan tidak gerakan
dengan memiliki kesempatan untuk oral
Pencuci mulut
mengungkapkanOptimalkan
rasa khawatirnya.
dosis Perawat mengevaluasi seluruh pengalaman dan
pleksopati, nyeri untuk
berkumur
Gunakan obat- terapi
menetapkan penggunaan
yang paling efektif kompresi
dan kapanmedulla Pembedahan atau
terapi harus dilakukan. dengan anestesi
obatan yang NSAID dan oplat spinalis) stabilisasi fisik dari: local
berbeda atau
ubah rute Radiofarmasi Obat adjuvant Bagian yang Opiate
pemberian terkena
Bifosfat Titrasi opiate yang Transdermal
Lakukan diatur supaya Blokir saraf
penatalaksanaa Terapi setengah member efek Pasien yang
n efek samping badan (hemibody Pembedahan dikontrol oleh
Obat-obatan therapy) Terapi radiasi neuroablatif dan analgesic, secara
adjuvant prosedur neurolitik
intravena, dan
Modalitas Hipofisektomi Opiate spinal
perilaku dengan anastesia subkutan
kognitif untuk nyeri tubuh
antibiotik
bagian bawah yang
tidak dapat
dikendalikan

Prosedur neurolitik

Pengkajian kembali
Gambar 43-16 bagian alur: penatalaksanaan nyeri secara berkesinambungan pada pasien kanker. (dari
Jacox A, Carr DB, Payne, R dkk: Management of cancer pain. Clinical practice guideline No. 9 AHCPR Pub.
No. 94-0592, Rockville, MD, 1992, Agency for health care policy and research, USDHHS, PHS.)

Langkah 3
Opiate kuat

Langkah 2 ± adjuvant

Opiate lemah Nyeri menetap

± adjuvant

Langkah 1 Nyeri menetap

Nonopiat ± adjuvant

nyeri

Gambar 43-17 tangga analgesic WHO merupakan pendekatan tiga langkah dalam penggunaan obat-
obatan pada penatalaksanaan nyeri kanker. ± adjuvant, dengan atau tanpa obat adjuvant. (dari
organisasi kesehatan dunia: cancer pain relief palliative care: report of a WHO expert committee,
WHO tech Rep Series NO 804, Geneva, 1990, The Organization.)

PENYULUHAN KLIEN

Tentang Pompa Infus Ambulatori


OBJEKTIF
Klien dan keluarga akan mengidentifikasi dan mewaspadai efek samping infuse morfin yang
berlebihan.
Klien dan keluarga akan melakukan tindakan yang tepat jika terjadi pompa yang tidak berfungsi
dengan benar.
Klien dan keluarga akan mengidentifikasi tindakan pencegahan yang dilakukan dalam menatalaksana
perawatan pompa setiap hari.
Keluarga akan mengetahui kapan dan bagaimana bertindak ketika dalam situasi darurat.

STRATEGI PENYULUHAN
 Anjurkan klien dan keluarga untuk mengobservasi efek samping berikut ini: pising atau pingsan,
mual, muntah, pernapasan lambat dan dangkal, konstipasi, perubahan suasana hati (mood),
eutoria, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih sampai tuntas, mulut kering, kelemahan,
agitasi, tremor, mimpi yang aneh.
 Beri keluarga penjelasan tentang cara pemberian nalokson (Narcan) secara intramuscular untuk
memperbaiki depresi pernapasan.
 Ajarkan klien dan keluarga cara mempertahankan kepatenan kateter vena pusat, cara
mempertahankan kecepatan aliran pompa, dan cara mengirigasi kateter secara rutin dengan
membilas menggunakan heparin.
 Anjurkan klien untuk mencegah udara masuk kateter vena sentral dan mengklem kateter saat
infuse berhenti.
 Jelaskan cara mencegah infeksi pada lokasi kateter dan menjaga lokasi tersebut tetap bersih
dengan sabun dan air.
 Minta klien untuk melakukan defekasi secara rutin untuk tujuan pencegahan dengan menggunakan
pelunak tinja, laksatif, mengonsumsi serat dalam diet, hidrasi, dan melakukan latihan fisik secara
rutin.
 Ingatkan klien untuk tidak menggunakan pompa saat mandi dengan cara disiram (shower) atau
saat berendam di bak mandi. Alat ini dapat dihentikan sementara selama klien mandi atau
ditempatkan di kantung plastic, yang digantungkan di sisi luar shower atau bak mandi.
 Selama tidur, tempatkan pompa di atas tempat tidur atau di tiang yang diletakkan dekat tempat
tidur. Selama koitus, pompa dapat diletakkan di sisi tubuh sehingga tidak mengganggu keintiman
dan kedekatan.
 Berikan klien dan keluarga penjelasan tujuan alarm pompa dan cara berespons saat pompa
tersebut mati.
 Tempatkan nomor telepon kedaruratan 24 jam di dekat klien.

EVALUASI
Minta klien dan keluarga untuk menjelaskan efek samping yang sering timbul akibat overdosis
morfin.
Berikan klien dan keluarga situasi ketika pompa tidak berfungsi dan minta mereka menjelaskan
tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki masalah tersebut.
Minta klien dan keluarga untuk menguraikan tindakan pencegahan rutin yang akan dilakukan saat
menggunakan pompa.
Minta keluarga untuk menjelaskan tindakan yang harus dilakukan bila klien mengalami depresi
pernapasan.

TUJUAN
Klien dan pasangan akan berpartisipasi aktif delam rencana penanganan nyeri.
Klien mencapai control nyeri.
TINDAKAN EVALUATIF
Minta klien dan pasangan untuk menjelaskan jadwal pemasangan tempelan fentanil.
Minta klien mendiskusikan teknik distraksi yang digunakan untuk mengontrol nyeri.
Minta klien dan pasangan mendiskusikan kepuasan dari tindakan pengontrolan nyeri.
Minta klien untuk memperlihatkan kepada anda catatan pengontrolan nyeri saat anda melakukan
kunjungan rumah (bahan peninjauan ulang).
Minta klien mengukur tingkat keparahan nyeri dengan menggunakan skala analog visual.

HASIL YANG DIHARAPKAN


Klien dan pasangan memulai terapi pengontrolan nyeri
Klien mempertahankan catatan harian terapi pengontrolan nyeri dan respons klien.
Klien melaporkan tingkat keparahan nyeri kurang dari 4.

KONSEP INTI
 Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif.
 Pengertian konsep perawat yang keliru tentang nyeri seringkali menimbulkan keraguan tentang
tinkat penderitaan klien sehingga klien tidak bersedia untuk mengatasi nyeri.
 Pengetahuan tentang tiga komponen pengalaman nyeri, resepsi, persepsi, dan reaksi-memberi
perawat pedoman untuk menetapkan tindakan penanganan nyeri.
 Interaksi antara factor kognitif dan psikososial mempengaruhi persepsi nyeri.
 Latar belakang budaya individu mempengaruhi makna nyeri dan bagaimana individu tersebut
mengungkapkan nyeri.
 Merupakan hal yang umum terjadi pada klien lansia bahwa mereka tidak melaporkan nyeri.
 Klien yang menderita nyeri kronik kemungkinan memperlihatkan perubahan perilaku yang lebih
tidak kentara daripada klien yang mengalami nyeri akut.
 Perbedaan antara nyeri akut dan nyeri kronik meliputi durasi ketidaknyamanan, tanda dan gejala
fisik, dan persepsi klien tentang upaya penanganan nyeri.
 Perawat tidak mengumpulkan riwayat nyeri saat klien mengalami rasa tidak nyaman yang berat.
 Skala nyeri digunakan untuk mengevaluasi keefektifan terapi nyeri secara objektif.
 Nyeri dapat menimbulkan tanda dan gejala fisik yang sama dengan tanda dan gejala proses
penyakit tertentu.
 Klien yang sedang menunggu untuk menjalani pemeriksaan invasive dapat menghilangkan nyeri
dengan melakukan pedoman antisipatori.
 Untuk memberikan penanganan nyeri yang maksimal, perawat mengembangkan hubungan
perawatan yang terapeutik dengan klien.
 Perawat melakukan terapi nyeri secara individual dengan melakukan kolaborasi dekat dengan
klien, mengguanakan hasil penemuan pengkajian, dan mencoba berbagai terapi.
 Menghilangkan sumber stimulus nyeri merupakan tindakan keperawatan dasar untuk
meningkatkan rasa nyaman.
 Untuk memberikan analgesic dengan tepat, perawat perlu mengetahui respons klien terhadap
obat-obatan, menyeleksi obat yang tepat, dan memberikan dosis obat yang akurat secara teratur.
 Penggunaan jadwal yang teratur dalam pemberian analgesic lebih efektif daripada pengontrolan
nyeri yang dijadwal dengan pengaturan sesuai kebutuhan (prn).
 Peralatan analgesic dikontrol-pasien (ADP) memungkinkan klien untuk mengontrol nyeri dengan
resiko over dosis yang rendah.
 Saat merawat klien yang menerima anastesi local, perawat melindungi klien dari cedera.
 Implikasi keperawatan dalam pemberian analgesia epidural meliputi upaya pencegahan infeksi
dan pemantauan ketat untuk mendeteksi depresi pernafasan.
 Tujuan terapi klien yang kanker diarahkan pada antisipasi dan pencegahan nyeri, bukan pada
upaya pengobatan nyeri.
 Evaluasi terapi nyeri pada klien dilakukan dengan mempertimbangkan perubahan karakter nyeri,
respons terhadap terapi, dan persepsi klien terhadap keefektifan terapi.

Anda mungkin juga menyukai