Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH ISLAM
(Perkembangan Islam Pada Masa Wali Songo)

Dosen Pembimbing
Umi hani, S.ag.,M.ag

Disusun Oleh:
Noorhidayati Shofi (16.41.00.21)

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN

MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

KALIMANTAN SELATAN

2019
BAB1
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Sejarah masuknya Islam ke wilayah Nusantara sudah berlangsung
demikian lama, sebagian berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-7 M
yang datang lansung dari Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk
pada abad ke-13, dan ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada sekitar
abad ke 9 M atau 11 M . Perbedaan pendapat tersebut dari pendekatan historis
semuanya benar, hal tersebut didasar bukti-bukti sejarah serta peneltian para
sejarawan yang menggunakan pendekatan dan metodenya masing-masing.
Berdasarakan beberapa buku dan keterangan sumber referensi sejarah,
bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara sekitar abad 13 M. Hal tersebut tak
lepas dari peran tokoh serta ulama yang hidup pada saat itu, dan diantara tokoh
yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di Nusantara terutama di tanah Jawa
adalah “ Walisongo”. Peran Walisongo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa
sangat besar. Tokoh Walisongo yang begitu dekat dikalangan masyarakat muslim
kultural Jawa sangat mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran dan
dakwahnya yang unik serta sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap
masyarakat Jawa sehingga dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah
Nusantara.
Walisongo adalah sekelompok manusia pilihan Allah swt untuk
menyebarkan agama islam dan memberi petunjuk kepada umatnya ke jalan yang
benar. Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa yang terbagi dari
Surabaya-Gresik-Lamongan JawaTimur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
dan Cirebon di Jawa Barat. Keberhasilan Islamisasi Jawa merupakan hasil
perjuangan dan kerja keras Walisongo. Proses Islamisasi berjalan dengan damai,
baik politik maupun kultural, meskipun terdapat konflik itupun sangat kecil
sehingga tidak mengesankan sebagai perang maupun kekerasan ataupun
pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut dengan suka rela. Walisongo
menerapkan metode dakwah yang lentur atau baik sehingga dapat diterima baik
oleh masyarakat jawa. Kehadiran para Wali ditengah-tengah Pulau Jawa tidak
dianggap sebagai ancaman.
Para Wali ini menyebarkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan
budaya dengan cara akuluturasi seni budaya lokal yang dikemas dengan Islam
seperti wayang, tembang jawa, gamelan , upacara-upacara adat yang digabungkan
dengan Islam dan dengan kepiawaan para Wali menggunakan unsur-unsur lama
(Hindu-Buddha) sebagai media dakwah mereka dan sedikir demi sedikit mereka
memasukan nilai-nilai ajaran agama islam kedalam unsur dan bisa juga disebut
metode ini metode sinkretisme yang berarti pencampuradukan sebagai unsur
aliran atau paham sehingga yang bentuk abstrak yang berbeda membentuk
keserasiaan. Walisongo merupakan simbol penyebaran agama Islam di Indonesia
khususnya Pulau Jawa. Pada masa era itu didominasinya agama Hindu Buddha
dan budaya Nusantara dan kemudian yang digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran islam di Indonesia khususnya di Jawa. Tentu
banyak tokoh yang lain juga berperan. Namun peranan sangat besar yang mereka
mainkan hanya tidak hanya dalam kontek sejarah pendirian Islam di Jawa ,juga
pengaruhnya begitu besar dalam pembentukannya kebudayan masyarakat
Pemikiran dan gerakan yang dilakuakn oleh para Wali dalam pengembangan
dakwah Islam secara langsung, membuat para “Sembilan Wali” ini disebut
dibanding yang lain. Dalam kata lain, masing-masing tokoh peranan yang unik
dalam penyebaran agama Islam.
BAB II
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA WALI SONGO

2.1 Wali Songo

2.1.1 Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh


para ulama yangkemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik
atau Maulana Malik Ibrahim adalahsosok ulama pertama yang diberi gelar
sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419
M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang
pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di
desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur. Tidak terdapat bukti sejarah yang
meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana MalikIbrahim, meskipun pada
umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh
Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan
asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.Babad Tanah
Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahimas-
Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim
Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di
Samarkand, Asia Tengah, pada paruhawal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal
mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut
penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal
berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen
(sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya
di Desa Leran di Jang'gala". Namun demikian, kemungkinan pendapat yang
terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan
pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik;yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran
sekarang. Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim.
Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui
jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,Muhammad al-Baqir, Ja'far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi,Ahmad al-
Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-
Tsani, AliKhali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan),Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar),dan Maulana Malik
Ibrahim.
Penyebaran Agama Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah
seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan
merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi
babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah
Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia
lalu mulai menyiarkan agama Islam ditanah Jawa bagian timur, dengan
mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar. Pertama-tama yang
dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-
hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari
penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan
yang dibawa oleh agama Islam.
Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk
ke dalam agama Islam. Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya,
aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia
berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa
Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan
masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta
dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelakujual-beli, pemilik kapal
atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim
kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja
Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik,
bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah
itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat
tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut
Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit
telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat. Demikianlah, dalam
rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren
yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya.
Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai
usahanya menyebarkan agama Islam ber abad-abad yang silam. Setiap malam
Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual
ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal,
sesuai tanggalwafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan
khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan
dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Wafat Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat.
Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, JawaTimur. Saat ini,
jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
2.1.2 Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Sunan Ampel dilahirkan pada tahun 1401 di champs. Setelah Syekh


Maulana Ibrahim wafat maka Sunan Ampel diangkat menjadi sesepuh
Walisongo sebagai mufti atau pemimpin agama Islam. Nama asil dari Sunan
Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan Sunan merupakan gelar
kewaliannya. Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana
Malik Ibrahim. Ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren
di Ampel Denta, dekat Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran
Islam yang pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam
sebagai anggota yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke berbagai
tempat di seluruh pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku yang
kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Sunan Ampel sangat
berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun berasal dari
kalangan istana. Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya, raja Majapahit,
menjadi murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana
membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di
pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan
mendapat restu dari penguasa kerajaan.Sunan Ampel tercatat sebagai
perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro.
Dan akhirnya Beliau wafat pada tahun 1478 . Dimakamkan disebelah barat
Masjid Sunan Ampel.
2.1.3 Sunan Giri – Raden Paku – Syekh Maulana Ishaq

Sunan Giri Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad


Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang
dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya-seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut.
Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah
Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung
Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya,
tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan
keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana
Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai.
Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”.
Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan
sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat
pengembangan masyarakat. Raja Majapahit-konon karena khawatir Sunan
Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk
mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin
pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri
Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah
bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari
pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun.
Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh
paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih
ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang
luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan
Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai
kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi
bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

2.1.4 Raden Maknum Ibrahim (Sunan Bonang)

Sunan Bonang Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana
Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila,
puteri seorang adipati di Tuban Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-
menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah
dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan
wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi
yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional
Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang
Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
2.1.5 Raden Qosim (Sunan Drajad)
Sunan Drajat Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel.
Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan
Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah
ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog -
pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya
Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan
santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun
demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah
sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si
buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan
Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan
fakir miskin.
2.1.6 Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati. Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan
dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi
Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar
tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran
Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain,
ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
“wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau
Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah
yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon
(dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
2.1.7 Raden Jafar Sadiq (Sunan Kudus)

Sunan Kudus lahir pada 9 September 1400 M. Sunan Kudus lahir


di Kudus Jawa Tengah. Beliau adalah penyebar agama Islam di Indonesia
yang tergabung dalam Walisongo dan beliau meninggal pada 5 mei 1550
M. Sunan Kudus. Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan
Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di
Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun
diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada
Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa
Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya
pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para
wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti
“sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah
cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang
Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.

2.1.8 Raden Said (Sunan Kalijaga)

Sunan Kalijaga Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut


masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah
Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi
menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di
Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya
dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali)
atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa
Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid
Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu
dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia
punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap:
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran
Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap
pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
2.1.9 Raden Umar Said (Sunan Muria)

Raden Umar Said diperkirakan lahir pada abad ke-15. Sunan


Muria adalah salah seorang walisongo yang banyak berjasa dalam
menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau Jawa. Ia adalah putra Sunan
Kalijaga. Nama aslinya Raden Umar Said atau Raden Said. Sedang nama
kecilnya adalah Raden Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama
Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di
Gunung Muria. Beliau wafat diperkirakan pada abad ke-15. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng
Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan
sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan
rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok
tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali
dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan
berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya
pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
2.2 Peran Walisongo Dalam Berbagai Bidang
1.1 Bidang Pendidikan
Peran walisongo di bidang pendidikan terlihat dari aktivitas mereka
dalam mendirikan pesantren, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan
Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan Ampel mendirikan pesantren
di Ampel Denta yang dekat dengan Surabaya yang sekaligus menjadi pusat
penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Di tempat inilah, ia mendidik
pemuda-pemudi Islam sebagai kader, untuk kemudian disebarkan ke berbagai
tempat di seluruh Pulau Jawa. Muridnya antara lain Raden Paku (Sunan Giri),
Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan
Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama dari Kerajaan
Islam Demak), Maulana Ishak, dan banyak lagi mubalig yang mempunyai
andil besar dalam islamisasi Pulau Jawa. Sedangkan Sunan Giri mendirikan
pesantren di daerah Giri. Santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat
ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik keberbagai daerah di luar
Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Sunan
Bonang memusatkan kegiatan pendidikan dan dakwahnya melalui pesantren
yang didirikan di daerah Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan
Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putera raja Majapahit, yang
kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan
tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
2.2.2 Bidang Politik
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa, Walisongo mempunyai peranan yang sangat besar. Di antara mereka
menjadi penasehat Raja, bahkan ada yang menjadi raja, yaitu Sunan Gunung
Jati. Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit. Istrinya
berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah
murid beliau. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah Jawa tidak mendapat hambatan, bahkan
mendapat restu dari penguasa kerajaan. Sunan Giri fungsinya sering
dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul
masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain selalu menantikan
keputusan dan pertimbangannya. Sunan Kalijaga juga menjadi penasehat
kesultanan Demak Bintoro.
2.2.3 Bidang Dakwah
Sudah jelas sepertinya, peran Walisongo cukup dominan adalah di
bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan. Sebagai mubalig, Walisongo
berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam.
Sunan Muria dalam upaya dakwahnya selalu mengunjungi desa-desa
terpencil. Salah satu karya yang bersejarah dari walisongo adalah mendirikan
mesjid Demak. Hampir semua walisongo terlibat di dalamnya. Adapun sarana
yang dipergunakan dalam dakwah berupa pesantren-pesantren yang dipimpin
olehpara Walisongo dan melalui media kesenian, seperti wayang. Mereka
memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah
Islam, dengan membungkuskan nafas Islam ke dalamnya. Syair dari lagu
gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah
Allah dan tidak menyekutukanya atau menyembah yang lain.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Walisongo menyebarkan agama Islam dipulau Jawa, yaitu dengan proses
perdagangan, berdakwah serta usaha-usaha yang dilakukan oleh para Walisongo
untuk memperluas agama Islam. Perluasan penyebaran agama Islam di Indonesia
dilakukan secara bertahap-tahap dan dengan proses yang sistematis sehingga tidak
banyak menimbulkan konflik pada zaman itu karena pada zaman tersebut
terdapatnya kebudayaan Hindu-Budha.
3.2 Saran
Diperlukannya proses pembelajaran untuk lebih mengenal bagaimana
proses masuknya Islam di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai