Disusun oleh :
Shafira Putri Widjaja 11151030000014
Intan Aziz 11151030000048
Isna Khumairotin 11151030000106
RSUP FATMAWATI
INSTALASI FORENSIK DAN PELAYANAN JENAZAH
FK UIN SYARIF HIDAYATULLAH
KEPANITRAAN KLINIK
2019
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Malpraktik atau mal-practice berasal dari kata “mal” yang berarti
buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan
demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk”
yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para
tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical
malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut
kelalaian medik. Menurut Gonzales, dalam bukunya Legal Medical Pathology
and Toxicology menyebutkan bahwa malpractice is the term applied to the
wrongful or improper practice of medicine, which result in injury to the
patient.
Menurut Munir Fuady(2), malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap
tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah
pengawasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap
pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang
dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip
profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati yang
menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian
dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus
bertanggung jawab baik secara administratif, perdata maupun pidana.
Menurut Azrul Azwar(1) yang mengutip pendapat dari Benard Knight
bahwa dalam praktik sehari-hari ada tiga kriteria untuk menentukan adanya
kesalahan profesional:
Pertama, adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan
kedokteran bagi pasiennya, titik tolak dari kemungkinan terjadinya kesalahan
profesional yang menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut adalah
adanya kewajiban pada diri dokter melakukan tindakan medik atau pelayanan
kedokteran bagi pasiennya, kewajiban yang dimaksud disini, yang tunduk
pada hukum perjanjian, maupun mempunyai beberapa ciri khusus dan jika
disederhanakan dapat dibedakan atas:
- professional duties,
- doctor patient relationship,
- informed consent,
- professional medical standard, lingkup profesional yang dimiliki
tersebut hanya untuk upaya yang akan di laksanakan saja, bukan
untuk hasil akhir.
Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya,
sesuai dengan pengertian kewajiban sebagaimana dikemukakan di atas, maka
pelanggaran yang dimaksud disini hanyalah yang sesuai dengan kelima ciri
kewajiban profesional seorang dokter, misalnya, tidak melakukan kewajiban
profesional seorang dokter sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh setiap
dokter; telah terjadi kontra terapetik, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban
profesionalnya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang dokter pada
setiap pelayanan kesehatan;
- tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu
tindakan medik dan atau pelayanan kedokteran;
- tidak melaksanakan tindakan medik atau pelayanan kedokteran
sesuai dengan standar profesi;
- menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran yang
kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian.
Ketiga, sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian
terhadap pasien, kerugian yang dimaksud disini semata-mata terjadi karena
adanya kesalahan profesional, bukan karena resiko suatu tindakan medik.
B. Hukum
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran menyebutkan:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien,
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi,
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter
gigi.
C. Kriteria
Berdasarkan hukum perdata tenaga pelayanan kesehatan melakukan
malpraktik karena :
a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata);
→ Wanprestasi (cacat prestasi) atas perjanjian terapeu-tik, misalnya :
i. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dila-kukan;
ii. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagai-mana
dijanjikan. → contoh: Dokter spesialis plastik menjanjikan hidung
pasien akan mancung setelah di operasi, tetapi hasilnya malah
sebaliknya.
iii. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
iv. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata);
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan keru-gian (Pasal 1366
KUH Perdata); dan
d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab (Pa-sal 1367 KUH
Perdata).
untuk menentukan tindakan dokter merupakan malpraktik medik atau
bukan, sesuai dengan pendapat Leenen, menurut Guwandi, ada beberapa per-
tanyaan yang harus dijawab :
1. Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan
melakukan demikian?
2. Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa se-hingga
sebenarnya tidak akan dilakukan oleh te-man sejawatnya yang
lain?
3. Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, inten-tional)?
4. Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undang-undang?
5. Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu medical
error?
6. Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)?
7. Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan
kelalaian dari pihak dokter?
8. Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau di-bayangkan
(foreseeabilily) sebelumnya?
9. Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat (inherent
risk) pada tindakan medik tersebut?
10. Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipa-sinya,
misalnya jika timbul reaksi negatif karena obat-obat tertentu?
II. KASUS
Di Palembang, Sumatera Selatan, seorang dokter umum dr. Wim Ghazali dan
seorang pasien ditangkap Polda Sumsel diduga melakukan praktik aborsi pada tanggal
6 Desember 2017. Anggota kepolisian mendapatkan informasi bahwa oknum dokter
umum tersebut sering melakukan praktik aborsi dan anggota polisipun mendatangi
lokasi kejadian. Saat pemeriksaan lokasi, polisi menemukan tersangka, pasien yang
berada di ruang praktik dr. Wim beserta beberapa obat-obatan dan peralatan medis
yang diduga digunakan dalam praktik aborsi.
Pasien terdakwa mengatakan bahwa ia telah hamil dan ingin menggugurkan
kandungannya dan terdakwa menyanggupi permintaannya untuk menggugurkan
kandungannya dengan tarif Rp2.300.000. Terdakwa kemudian memeriksa kondisi
kesehatan pasien dan juga kondisi kandungannya dan mengatakan bahwa saat itu
kandungan pasien berusia kurang lebih satu bulan dan dapat digugurkan dengan cara
diberi suntikan. Pasien pun menyetujuinya.
III. ANALISIS
"Malpraktik menurut Azrul Azwar adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh
seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan
yang tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang
kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau pun kepercayaan
profesional yang dimilikinya."
Menurut KUHP, aborsi merupakan: Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium
perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu).
Hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam dua undang-
undang yaitu KUHP pasal 299, 346, 347, 348, 349 dan 535 yang dengan tegas
melarang aborsi dengan alasan apapun serta dalam UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan pasal 75,76,77,78 melarang aborsi tetapi masih mengijinkan tindakan
aborsi atas indikasi medis dan trauma psikis dengan syarat tertentu.
PP No. 61 Tahun 2014 Pasal 31 tentang Kesehatan Reproduksi ini berisi sebagai
berikut :
- Pasal 31 ayat (1), secara lengkap, berbunyi : “Tindakan aborsi hanya dapat
dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat
perkosaan”.
- Pasal 31 ayat (2) menyatakan “Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan
paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid
terakhir”.
Dalam Pasal 194 UU No. 36 th 2009 disebutkan bahwa “Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Selanjutnya di dalam Pasal 75 di dalam UU yang sama yang berbunyi:
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dalam Pasal 349 KUHP disebutkan bahwa “Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan
atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan.”
Pada kasus diatas, dr. Wim telah melakukan tindakan aborsi terhadap pasien
atas permintaan pasien dan tanpa adanya indikasi medis yang diperbolehkan sehingga
tergolong tindakan malpraktik.
IV. DAFTAR PUSTAKA
1. Azrul Azwar, 1996, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah
Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.
2. Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.2-3