Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA
DOSEN PENGAMPU : Qoriah Alibasyah Siregar Alamta Singarimbun

Kelompok 2 :
Ikaviviana Ayuningtyas (A018003)
Sri Rahayu (A018009)
Vienna Rossa (A018011)
Elsa Elida (A018012)
Shadrina Marini Kusuma (A018033)

PROGRAM D3 METROLOGI & INSTRUMENTASI


FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
Latar Belakang
As-Sunnah didalam kajian ilmu ushul fiqh adalah sumber hukum atau ajaran islam
kedua setelah Al Qur'an dan sebagai penjelas ataupun pelengkap Al-Qur’an bagi
ummat manusia dan sampai sekarang masih di pakai dalam kalangan masyarakat
pada umumnya, yakni golongan terbesar dari ummat Islam, yang umumnya terdiri
dari pengikut imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Mereka mengatakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan sunnah
sebagai sumber syaria’t yang kedua. Jadi, sunnah merupakan pelengkap dari Al-
Quran.
As-sunnah (hadits) menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian-
kajian keislaman. Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan lagi. Namun,
karena pembukuan hadits baru dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang
dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin
diperdebatkan oleh para ahli.
Para ulama terutama dizaman klasik islam (650-1250 M), Berusaha keras melakukan
penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat dipilahkan mana
hadits yang benar-benar dari Nabi, dan mana yang bukan. Untuk itu, mereka
membuat kaidah-kaidah, ketetuan-ketentuan, pedoman, dan acuan tertentu untuk
menilai hadits-hadits tersebut. Kaidah-kaidah dan ketentuan inilah kemudian
berkembang menjadi ilmu tersendiri, yang disebut dengan ilmu hadits.
Konsekuensinya adalah bahwa Al-Qur’an tidak dapat di tiadakan oleh sunnah, artinya
bila terdapat suatu ketentuan yang berlawanan antara Al-Qur’an dan sunnah, Al-
Qur’an yang dibenarkan.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian As-Sunnah ?
2. Bagaimana kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum kedua ?
3. Apa fungsi Sunnah terhadap Al-qur’an ?
4. Apa saja macam-macam hadits ?
5. Bagaimana sikap terhadap Sunnah Tasyri’yah dan Ghoiru Tasyri’iyah ?
HAKIKAT, KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN SUNNAH TERHADAP
AL-QUR’AN

Definisi As-Sunnah Menurut Bahasa, Istilah, Dan Para Ulama

Secara bahasa (etimologi), Sunnah (‫ ) سنة‬berarti kebiasaan atau yang biasa


dilakukan. Dalam islam, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Rasul; baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat fisik atau sifat perangainya.
Secara etimologi, sunnah berarti ‘thariqah’ (jalan). Makna ini ditunjukkan oleh sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaknya kalian berpegang kepada sunnahku
dan sunnah para khulafa rasyidin yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah dan
gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud: 4607, Tirmidzi: 2676, dinilai
shahih oleh al Albani (shahih al jami’: 1/499))

Demikian bunyi hadis yang diterima Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu.
Maka, setiap hal yang selaras dengan jalan beliau, ia termasuk sunnahnya. Sunnah
yang diperintahkan tersebut dapat berstatus mustahab (jika dikerjakan berpahala dan
jika ditinggalkan tidak berdosa -pent) dan dapat pula berstatus wajib, tergantung
kepada dalil-dalil yang menunjukkannya.

 Menurut ulama fuqaha (ahli fiqih), sunnah didefinisikan sebagai segala sesuatu
perbuatan (amalan) yang dianjurkan oleh syariat untuk diikuti umat muslim, namun
hukumnya tidak sampai derajat wajib.
 Menurut ulama aqidah, sunnah berarti amal perbuatan yang tuntunannya bersumber
dari Nabi Muhammad SAW, bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan atau diadakan
sendiri menurut keyakinan (bid’ah).
 Menurut pakar hadist (muhadditsun), sunnah adalah segala sesuatu (perbuatan,
perkataan, ataupun ketetapan) yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik
sebelum diutus menjadi rasul maupun sesudahnya.
 Menurut ahli ushul, sunnah merupakan hal-hal yang bersumber dari Rasulullah SAW
selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan yang bisa dijadikan dalil
bagi hukum syara’.

Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari’at Islam


Seluruh ulama dan umat muslim telah menyepakati bahwa kedudukan As-
sunnah dalam islam adalah sebagai hukum kedua setelah Al-Quran. Keputusan ini
juga didasarkan atas firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
‫سو ُل آَت َا ُك ُم َو َما‬ َّ ُ‫ّللاَ َواتَّقُوا فَانت َ ُهوا َعنهُ نَ َها ُكم َو َما فَ ُخذُوه‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫ّللاَ ِإ َّن‬
َّ ُ ‫شدِيد‬ ِ ‫ال ِعقَا‬
َ ‫ب‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya” (Al-Hasyr 59:7)
As sunnah adalah tuntunan yang berasal dari Rasulullah SAW. Dan Allah SWT
memerintahkan kita untuk menerima apa-apa yang diberikan Rasul serta
meninggalkan yang dilarangnya. Sebab Nabi sendiri adalah utusan Allah SWT yang
memiliki kepribadian mengagumkan. Maka dari itu, Allah menjadikan Rasulullah
sebagai suri tauladan bagi seluruh umat.
‫يرا‬ َّ ‫ّللاَ َوال َيو َم اْل ِخ َر َوذَك ََر‬
ً ِ‫ّللاَ َكث‬ َ ‫ّللاِ أُس َوة ٌ َح‬
َّ ‫سنَةٌ ِل َمن َكانَ َير ُجو‬ ُ ‫لَقَد َكانَ لَ ُكم فِي َر‬
َّ ‫سو ِل‬
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah Saw, itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S AL-Ahzab:21)
Al-Quran dan As-sunnah merupakan sumber hukum islam yang harus diikuti oleh
umat manusia agar memperoleh petunjuk di dunia dan kebahagiaan di akhirat.

Kembali kepada sunnah, Asas Keselamatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah


mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah dalam firman-Nya (artinya): “… Dan jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Surat an-Nisaa’: 59)
Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika
menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada al-
Qur’an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada as-Sunnah.”
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah upaya untuk menjelaskan al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar
atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan
dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama
Islam sudah sempurna.
Fungsi As-Sunnah Dan Keterkaitannya Dengan Al-Quran
َ‫اس َما نُ ِز َل إِلَي ِهم َولَعَلَّ ُهم يَت َ َف َّك ُرون‬
ِ َّ‫… َوأَنزَ لنَا إِلَيكَ الذِك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬..
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
(Q.S. al Nahl : 44)
Dari ayat diatas, terdapat makna tersirat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
SAW telah diberikan tugas oleh Allah SWT untuk menerangkan ayat-ayat Al-Quran
lebih terperinci kepada umat manusia. Nah, cara rasul memberikan penjelasan-
penjelasan tersebut yaitu lewat sunnahnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
as sunnah merupakan penjelas dari Al-Quran.
Lebih lengkapnya, berikut beberapa fungsi as-sunnah terhadap Al-Quran:

1. Memperkuat hukum dalam Al-Quran


Segala jenis hukum, syariat, dan hal-hal yang menyangkut muamalah kehidupan,
semuanya telah ditulis dalam Al-Quran secara sempurna. Seperti halnya hukum
shalat, puasa, zakat, larangan melakukan riba’, mencuri, membunuh, dan sebagainya.
Nah, keberadaan As-sunnah disini memperkuat hukum-hukum yang telah
disebuatkan di Al-Quran. Misalnya saja untuk melakukan shalat, seseorang harus
berwudhu terlebih dahulu.

2. Menjelaskan atau merinci isi Al-Quran


As sunnah juga berperan untuk menjelaskan atau merinci (menspesifikan) ayat-ayat
Al-Quran yang masih bersifat umum. Misalnya saja, Al-Quran menuliskan kewajiban
untuk berhaji bagi umat yang mampu. Maka As-sunnah memperjelas tata cara
manasik haji yang benar sesuai ajaran Rasulullah SAW.

3. Menetapkan hukum baru yang tidak dimuat dalam Al-Quran

Adakalanya As-sunnah menetapkan hukum baru, dimana hukum tersebut tidak


terdapat dalam al-Qur’an. Contohnya perihal larangan mengenakan kain sutera dan
cincin emas bagi laki-laki.
Penetapan hukum baru di as-sunnah tentunya tidak boleh asal-asalan. Hukum itu
harus benar-benar berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad SAW dan sesuai syariat
islam. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka
hal itu merupakan hukum Allah juga.

SELEKSI DAN KLASIFIKASI HADIS


Hadits menurut Bahasa adalah baru. Hadits juga secara Bahasa berarti
“sesuatu yang dibicarakan dan dinukilkan”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”.
Hadits menurut istilah ahli hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, dan penetapan.
1. Macam – macam hadist ditinjau dari kuantitasnya
a) Hadist Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya
berurutan. Sedangkan menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta
mulai dari awal hingga akhir sanad.
 Syarat Hadist Mutawatir
a. Diriwayatkan oleh banyak perawi, setidaknya mencapai 10 orang
b. Banyaknya orang yang meriwayatkan ini harus ada dalam setiap
tingkatan (tabaqat/generasi)
c. Menurut akal tidak mungkin perawi ini mempunyai kesepakatan untuk
berdusta ketika meriwatkan hadist.
d. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan pemberitaanya bersifat indrawi ( proses pendengaran dan
penglihatan langsung ). Berupa rangkuman suatu peristiwa ke peristiwa
yang lain atau hasil dari kesimpulan dari satu dalil.
 Macam-macam hadits mutawatir:
a. Mutawatir Lafzhi yaitu apabila sama dalam makna dan lafznya
b. Mutawatir Ma’ nawy yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan
lafaznya tidak.
c. Mutawatir Amaly sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa
Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau
serupa dengan itu.
b) Hadist Ahad
Ahad menurut bahasa artinya satu. Sedangkan menurut istilah adalah hadits
yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir.
Macam-macam hadits ahad :
a. Hadist Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih
pada setiap thabaqah (tingkatan) tetapi belum mencapai batas mutawatir.
b. Hadist ‘Aziz adalah Suatu hadits yang perawinya tidak lebih dari dua
orang dalam semua thabaqat sanad.
c. Hadist Gharrib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi secara sendiri
2. Hadist Ditinjau Dari Segi Kualitasnya
A. Hadist Shahih
Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki pada
jasmani. sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah satu hadits yang
sanadnya bersambung dan permulaan sampai akhir disampaikan oleh orang-
orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna, serta tidak
ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya.
 Syarat-syarat hadits shahih
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b. Kedhabitan perawinya sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak ada cacat atau illat.
e. Matannya tidak syaz atau janggal.
 Macam – macam hadist shahih :
a. Shahih li dzatihi yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat diatas.
b. Shahih li ghairihi yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan
dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya
berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih
kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
B. Hadist Hasan
Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus. Menurut istilah adalah hadits
yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh
orang-orang yang adil, kurang dhabthnya, serta tidak ada syudzudz dan illay
yang berat didalamnya.
 Macam – macam hadist Hasan :
a. Hasan Lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil
tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat
dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini
dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu
hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.
b. Hasan Lighairihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki
beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya
karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang
pernah tertuduh membuat hadits palsu.
c. Hadist Dha’if ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat
hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
 Macam – macam hadist Dha’if :
I. Karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya.
a. Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Hadits
mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad.
b. Hadits Munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus.
Hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya.
c. Hadits Mu’dhal menurut bahasa adalah hadits yang sulit dipahami.
Hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan
dalam sanadnya.
d. Hadits mu’allaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung.
Hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga
bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
II. Karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-
masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru,
banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada perawi.
a. Hadits Maudhu’ menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian
hadits palsu atau dibuat-buat. Hadis maudhu’ ialah hadits yang
bukan berasal dari Rasulullah SAW.
b. Hadits matruk atau hadits mathruh menurut bahasa berarti hadits
yang ditinggalkan / dibuang. Hadits yang diriwayatkan oleh orang-
orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan
hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan
maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
c. Hadits Munkar secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau
tidak dikenal. Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat.
d. Hadits Mu’allal menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits
yang terkena illat . Hadits ini adalah hadits yang mengandung
sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
e. Hadits mudraj, hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya
bukan bagian dari hadits itu.
f. Hadits Maqlub menurut bahasa, berarti hadits yang
diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam
sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
g. Hadits Syadz secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil.
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain
yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun
keduanya.

SUNAH TASRI’YAH DAN GHAIRU TASRI’YAH


Pengertian Sunnah Tasyri’iyah

Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian


sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Dalam
pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah adalah sunnah yang muncul dari
kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah.
Pada umumnya Sunnah Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan
ketetapannya yang mempunyai implikasi hukum yang mesti diikuti (Sunnah
Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap Al-Qur’an tentang beberapa
masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata
cara shalat dan lainnya. Karena itu, apayang datang dari beliau hendaklah
diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan
apa yang beliau larang haruslah dihindari.
Sunnah Tasyri’iyah adalah Sunnah yang mengandung unsur pensyariatan
bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan waktu serta tidak terpengaruh
dengan perubahan zaman.
Dengan demikian menurut penulis sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja yang
berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW yang bertugas
menyampaikan risalah kenabiannya yang bersifat religious kepada hamba Allah yang
ada di muka bumi ini.

Dasar Penetapan Sunnah Tasyri’iyah

Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hokum-hukum yang terdapat


dalam Al-Qur’an, dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan hukum di luar apa yang
ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan
hukum Al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena
memang untuk Nabi ditugaskan Allah SWT. Kedudukan sunnah sebagai sumber
hukum Islam setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yitu: dari segi ummat Islam
mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al-
Qur’an. Dari sisi pertama dapat dijelaskan secara singkat melalui Al-Qur’an, Allah
SWT memerintahkan kepada kita untuk mematuhi Rasulullah SAW.
Adapun dasar penetapan sunnahTasyri’iyah adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Hasyar ayat 7:
َ‫سبِي ِل كَي َل يَ هكون‬َ ‫ين َواب ِن ال‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِي القهربَى َواليَت َا َمى َوال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ‫سو ِل ِه ِمن أَه ِل القه َرى فَ ِللَ ِه َو ِل‬
‫لر ه‬ َ ‫َما أَفَا َء‬
‫ّللاه َعلَى َر ه‬
ِ ‫شدِيد ه ال ِع َقا‬
‫ب‬ َ ‫سو هل َف هخذهوهه َو َما نَ َها هكم َعنهه َفانت َ ههوا ۚ َواتَقهوا‬
َ ‫ّللاَ ۖ إِ َن‬
َ َ‫ّللا‬ ‫الر ه‬ ِ َ‫دهو َلة بَينَ اْلَغنِي‬
َ ‫اء ِمن هكم ۚ َو َما آت َا هك هم‬
Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyar: 7).
Selain itu terdapat juga dalam surat Al-Ahzab: 21, Allah SWT berfirman:
َ ‫سو ِل الل ِهأهس َوة َح‬
‫سنَة ِل َمن كانَ َير هجوا للاَ َو ال َيو َم اْل ِخ َر َو ذَك ََرللاَ كَثيرا‬ ‫لَقَد كانَ لَ هكم في َر ه‬

Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21).

Dari 2 firman Allah SWT diatas, secara tegas menjelaskan bahwa adanya
perintah untuk menerima dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan
menjaukan apa yang dilarangnya (QS. Al-Hasyir: 7). Perintah menta'ati Rasul karena
Ia merupakan suri tauladan yang baik bagi manusia (QS. Al-Ahzab: 21).
Dengan dmikian menjadi sangat jelas mematuhi dan meneladani Rasulullah
SAW berarti pula mengikuti aturan-aturan hokum yang ditetapkan oleh
beliau. Bahkan Al-Qur’an menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada
kepatuhan seseorang kepada keputusan hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW.

Kriteria Sunnah Tasyri’iyah

Banyak sekali hadits atau sunnahTasyri’iyah yang ditemukan dalam hadis.


Yang termasuk sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja yang berasal dari Nabi
dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan risalah
kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an, tentang hukum
halal dan haram, tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat secara umum kepada setiap
individu muslim sampai hari kiamat:
َ‫ لَ َي ِح ُّلدَ هم ام ِرئ همس ِلم َيش َهد ه أَن لَ ِإ َلهَ ِإل‬: ‫سو هل للاِ صلى للا عليه وسلم‬ ‫ َقا َل َر ه‬:َ‫ي للاه َعنه ه َقال‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َع ِن اب ِن َمسعهود َر‬
‫ار هق ِلل َج َما َع ِة (رواه بحر‬ ِ َ‫س بِال َنف ِس َوالت‬
ِ َ‫اركه ِلدِينِ ِه ال همف‬ َ ‫ الثَيِب‬: ‫سو هل للاِ إِلَ بِإِحدَى ثَالَث‬
‫ َوالنَف ه‬،‫هالزانِي‬ ‫للاه َوأَنِي َر ه‬
(‫ومسلم‬
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah
dan bahwa saya (Rasulullah) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab: Orang
tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan
agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
Adapun Sunnah Tasyri’iyah itu dengan kriteria sebagai berikut:
 Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi, dalam bentuk penyampaian
risalah dan penjelasan terhadap al-Qur’an, seperti menjelaskan apa-apa yang
dalam al-Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi
qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadah, halal dan haram,
‘aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai
seorang Rasul, termasuk Sunnah berdaya hukum yang wajib diikuti. Sebagai
salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar mentaati dan mengikuti
Rasulullah Saw. Maka apa yang datang dari beliau yang terkait berbagai
masalah agama adalah mutlak untuk diikuti, dan apa yang bukan dari Rasul
terkait masalah agama adalah tertolak.
 Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi, dalam kedudukannya sebagai
imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad,
membagi harta rampasan, menggunakan bait al-mal, mengikat perjanjian dan
tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin. Namun, Sunnah Tasyr’i dalam
bentuk ini, tidaklah berlaku secara umum untuk semua orang, dan dalam
pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
 Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim (qadhi)
yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Adapun daya hukum
dalam bentuk ini, tidak bersifat umum dan hanya dapat dilakukan oleh
perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa. Sunnah Tasyri’iyah
(Sunnah berdaya hukum) yang mesti untuk diikuti sebagaimana tersebut di
atas, secara garis besar mengandung berbagai bidang sebagai berikut:

a. Aqidah
Bidang ‘aqidah ini dibatasi oleh Islam, dalam hal perbedaan antara iman
dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat- sifat-Nya, para Rasul
dan hari kiamat. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar ‘aqidah karena ‘aqidah
ini menimbulkan kepercayaan. sedangkan kepercayaan itu adalah keyakinan
yang pasti. Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti
itu, kecuali yang pasti pula.
b.Akhlak
Dalam Sunnah atau Hadis, banyak sekali disampaikan Nabi mengenai
hikma-hikmah, adap sopan santun dalam pergaulan ataupun nasehat, baik
secara langsung maupun dalam bentuk pujian tentang keadilan, kebenaran
dan menepati janji, dan atau celaan terhadap perbuatan perbuatan buruk yang
dilakukan umat.
c. Hukum-Hukum Amaliah
Hukum amaliah berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadah,
pengaturan mu’amalah antar manusia, memisahkan hak-hak dan
kewajiban, menyelesaikan persengketaan di antara umat secara bijak dan
adil. Maka hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah dalam bentuk inilah
yang disebut “Fiqh Sunnah”, sedangkan hadisnya sendiri disebut “Hadis
Ahkam”.
Sikap Terhadap Sunnah Tasyri’iyah
Oleh Karena Sunnah tasyri’iyah merupakan Sunnah yang berdasarkan
hukum. Dan merupakan sebuah risalah kenabian maka sikap kita sangat dianjurkan
untuk mengikutinya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima
dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan apa
yang beliau larang haruslah dihindari Karena beliau melarang sesuatu yang sudah
pasti memiliki dampak negatif bagi kehidupan. Sebab yang diperintahkan Allah itu
tidak akan menjerumuskan kita kedalam keburukan, melainkan akan membawa
kepada kebahagian abadi di akhirat nanti. Jadi sebaiknya kita mengikuti sunnah
yang sudah disyariatkan karena itu pasti baik untuk kita.

Pengertian Sunnah Ghairu Tasyri’iyah


Al-Qaradhawi mendefinisikan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah Sunnah
yang tidak ada maksud untuk diteladani. Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah sunnah
yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan
konteks saat di mana Nabi Muhammad SAW mengeluarkan sabda tersebut (ghairu
Tasyri’iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu’ayyan).
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan tidak
mengikat. Misalnya ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang timbul dari
hajat insani dalam kehidupan keseharian beliau, seperti makan, cara berpakaian,
urusan pertanian dan lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk
tentang tata cara makan dan minum, berpakaian dan lainnya, maka menurut pendapat
jumhur ulama hukum mengikutinya adalah sunnat.
Menurut Dr. Tarmizi M. Ja'far, dalam memahami pendapat Abdul Wahhab
Khallaf tentang hadis atau sunnah nabi yang tidak termasuk kedalam katagori sunnah
Ghairu Tasyri’iyah yang wajib untuk di ikuti adalah sebagai berikut:
a. Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at
kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua itu bukan
merupakan Tasyri’iyah. Kenapa? Karena ia berasal dari sumber kemanusiaannya
bukan risalah. Namun apabila ia datang dari sifat kemanusiaan dan ada dalil yang
menunjukkan sebagai teladan, ia berubah menjadi Tasyri’iyah disebabkan adanya
dalil ini.
b. Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-insaniyyah),
keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian, misalnya adalah
perdagangan, pertanian, pengaturan pasukan tentara dan peperangan, pemberian
resep obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan sejenisnya, semua itu juga bukan
Tasyri’iyah, karena ia berasal dari bukan ruang lingkup risalah, melainkan hasil
dari pengetahuan keduniawian dan penilaian Nabi Muhammad SAW yang
bersifat pribadi.
c. Apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syari'at yang menunjukkan bahwa itu
khusus berlaku baginya, maka itu bukan tasyri' umum.

Dasar Penetapan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah


Prilaku Rasulullah SAW tergolong kepada Ghairu Tasyri’iyah apabila memenuhi
kategori berikut ini:
a. Perilaku itu berkaitan dengan tabiat manusiawi.
b. Perilaku itu terjadi tanpa adanya kesengajaan.
c. Perilaku yang dikhususkan untuk Nabi.

Dasar penetapan terhadap adanya sunnah ghairu Tasyri’iyah ini adalah hadis yang
diriwayatkan Muslim:

‫ كنا‬:‫ ما تصنعون؟ قالوا‬:‫ فقال‬,‫ يلقحون النخل‬:‫قدم نبي للا المدينة وهم يأبرون النخل يقولون‬
,‫ فذكروا ذلك له‬:‫ قال‬,‫ فنفضت أو فنقصت‬,‫ فتركوه‬,‫ لعلكم لولم تفعلوا كان خيرا‬:‫ قال‬,‫نصنعه‬
‫ انما انا بشرا ذاامرتكم بشيئ من د ينكم فخذوه وا ذا امرتكم بشيئ من رأ يى فإنما انا بشر‬:‫فقال‬
(‫(رواه مسلم‬
Artinya: Rasulullah SAW. Datang ke Madinah pada saat penduduknya melakukan
penyerbukan kurma. Nabi bertanya, "Apa yang kalian lakukan?" mereka menjawab,
"Kami melakukan sesuatu yang biasa kami lakukan (penyerbukan kurma).
"Barangkali kali kalian tidak melakukannya, itu lebih baik."Merekapun tidak
melakukan hal itu lagi, dan ternyata kurma mereka hasilnya berkurang.Rafi' berkata,
"Lalu mereka ceritakan kejadian itu pada Rasulullah.Maka rasulpun bersabda,
"Saya hanya seorang manusia, apabila aku perintahkan kalian mengenai sesuatu
tentang Agama, pegangilah dengan teguh perintah itu, apabila aku perintahkan
kalian berdasarkan pendapatku, maka aku hanyalah manusia. (HR. Muslim).
Dari hadis yang tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan Nabi yang
seakan melarang penduduk agar tidak menyerbuki kurma hanyalah asumsi Nabi yang
mengira bahwa tidak perlu menyerbuki kurma, ternyata penyerbukan kurma itu akan
menghasilkan kurma yang lebih baik. Ini bukanlah risalah agama, akan tetapi ini
menyangkut dengan persoalan keduniawian (pertanian) yang terkadang mereka lebih
tau daripada Nabi, karena kebiasaan mereka yang menyerbuki kurma. Maka disini
menunjukkan ada sunnah-sunnah yang merupakan sifat kemanusiaannya (basyariah)
dan itu tidak harus di ikuti (Ghairu Tasyri’iyah).
Adapun maksud dan tujuan dari syari’at dalam setiap penetapan hukum itu
adalah adanya kemaslahatan bagi umat manusia, hal ini sebagaimana yang
diterangkan oleh Ibn Qayyim berikut ini:
Sesungguhnya syari’at islam itu dibangun atas kemaslahatan manusia untuk
kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Syari’at Islam seluruhnya keadilan rahmat,
maslahat, dan hikmah. Karenanya, setiap masalah yang menyimpang dari keadilan
menuju kezaliman, dari rahmat menuju kekerasan, dari maslahah menuju kerusakan,
dan dari hikmah menuju kepada kesia-siaan belaka, maka semua itu bukan termasuk
syari’at Islam, sekalipun semua itu diupayakan untuk dimasukkan dengan cara
mengadakan interpretasi (penakwilan). Syari’at Islam merupakan keadilan Allah bagi
hamba-hamba-Nya, rahmat bagi makhluk-Nya, dan merupakan tempat bernaung di
bumi-Nya, serta hikmahnya menunjukkan atas adanya Allah dan kebenaran Rasul-
Nya sebagai bukti yang paling sempurna dan yang paling benar.

Kriteria Sunnah Ghairu Tasyri’iyah


Berangkat dari perkataan Nabi “‫” أنتم أعلم بأمر دنيكم‬, (kalian lebih mengetahui dengan
urusan dunia kalian), mengindikasikan bahwa hanya persoalan dunia saja yang
termasuk sunnah Ghairu Tasyri’iyah. Menurut Tarmizi M. Jakfar sebagaimana hasil
telaah dari buku Al-Qardhawi bahwasanya ada 5 (lima) kriteria yang termasuk
kedalam sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu:
a. Perbuatan dan perkataan Nabi berdasarkan keahlian eksperimental dan aspek-
aspek teknisnya. Nabi menjelaskan kepada penduduk Madinah mengenai
pendapatnya yang bersifat dugaan tidak perlu menyerbuki kurma yang beliau
tidak memiliki pengalaman tentangnya, yang kemudian menyebabkan kualitas
hasil kurma penduduk madinah menjadi rendah, karena mengikuti anjuran
Rasul yang mereka anggap sebagai agama dan hokum syari'at yang harus
mereka ikuti. Karena itu, Nabi bersabda, "Kalian lebih mengetahui tentang
urusan dunia kalian"
b. Perbuatan dan perkataan Nabi sebagai kepala Negara dan hakim
Kriteria untuk membedakan sunnah yang lahir dari Nabi Muhammad sebagai
seorang penyampai risalah dan sunnah yang muncul dari beliau sendiri
sebagai pemimpin Negara hanya dengan memahami konteks dan konsideran
yang melatarbelakangi lahirnya sunnah tersebut. Di samping itu, topik
masalah dalam sunnah itu merupakan kemaslahatan yang berkaitan dengan
dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan sebagainya.
Diantara bukti yang menunjukkan suatu pesan hadis merupakan keputusan
seorang kepala Negara adalah adanya sebuah teks (nash) lain, atau beberapa
teks lain yang bertentangan dengan teks yang ada karena perbedaan tempat,
waktu atau keadaan yang menunjukkan bahwa hal itu dilakukan untuk
menjaga kemaslahatan parsial dan temporer yang sifatnya kondisional, tidak
dimaksudkan sebagai hukum syari'ah yang abadi dan berlaku umum.Untuk
mengetahui tentang hadis tersebut sangat diperlukan mempelajari asbabul
wurud dari suatu hadis.
c. Perintah dan larangan Nabi yang bersifat Anjuran
Perintah atau larangan tersebut harus berkaitan dengan kemaslahatan atau
kemanfaatan duniawi.Hal ini dapat dilihat dimana para sahabat tidak merasa
keberatan meninggalkan sebagian perintah Nabi manakala perintah atau
larangan tersebut menurut mereka hanya bersifat anjuran atau penyuluhan
untuk mencari kemaslahatan atau kebaikan duniawi. Seperti: perintah nabi
untuk menyemir uban.
d. Perbuatan Murni Nabi (al-fi'l al-mujarrad)
Perbuatan murni Nabi yang dimaksudkan disini adalah perbuatan yang tidak
ada indikasi ibadahnya, seperti masalah makan, Nabi makan dengan tangan
kanan dan tidak menggunakan sendok, makan pun dengan menggunakan tiga
jari serta duduk lesehan di lantai, maka jika tidak ada sunnah qauliyah yang
menegaskan harus makan demikian, berarti ia tergolong sebagai perbuatan
murni dan bukan syari'at yang harus diikuti (Ghairu Tasyri’iyah). Maka
dalam hal ini bukanlah bid'ah (melawan sunnah) jika kita makan dengan
sendok dan duduk di meja makan. Akan tetapi makan dan minum dengan
tangan kanan itu adalah syari'at yang harus di ikuti karena ada hadis qauliyah
mengenai hal ini, yaitu Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kalian
makan hendaknya ia makan dengan tangan kanan dan minum hendaknya ia
minum dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan itu makan dengan
tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya." Riwayat Muslim.
e. Perbuatan Nabi sebagai Manusia (al-fi'l al-jibillyy)
Beberapa contoh perbuatan Nabi sebagai manusia yang disebutkan oleh al-
Qardhawi sebagai mana yang disebutkan oleh Dr. Tarmizi M. Ja'far adalah
adanya riwayat shahih bahwa beliau senang makan sampil kamping dan suka
kepada sayur dubba' (sejenis sayuran buah labu).
Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:
"Seorang penjahit mengundang Rasulullah SAW. untuk menghadiri suatu jamuan
makan. Kata Anas: Aku berangkat bersama Rasulullah SAW. menghadiri jamuan
makan tersebut. Kepada Rasulullah SAW. tuan rumah menghidangkan roti dari
gandum serta kuah berisi labu dan dendeng. Anas berkata: Aku melihat Rasulullah
SAW. Mencari labu dari seputar mangkuk kuah itu. (Shahih Muslim No.3803)
Dengan demikian lanndasan utama dari adanya sunnahGhairu Tasyri’iyah ini
adalah sunnah Nabi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa
dan alasan pendukung adalah amalan atau praktik para sahabat, kebolehan Nabi untuk
berijtihad sunnah nabi sebagai Ijtihad atau sunnah atau hadis nabi yang bukan berasal
dari wahyu.
Sikap Terhadap Sunnah Ghairu Tasyri’iyah
Argumen yang dilontarkan oleh mereka yang pro sunnah ghairu tasyri’iyyah,
menurut Musa Shahin adalah lemah. Kebanyakan argumen mereka dilandasi oleh
kaburnya pemahaman mereka terhadap produk hukum yang lazim dilaksanakan
(tasyri’ mulzim) dan produk hukum yang tidak lazim dilaksanakan (tasyri’ ghairu
mulzim). Tetapi mereka sepakat meski berbeda metode dalam menegasikan sebagian
perbuatan Rasulullah SAW, bahkanada sebagian yang menegasikan nilai kerasulan
dari beberapa perbuatan Rasul. Masing-masing berbeda dalam menerapkan sunnah
ghairu tasyri’iyah pada af’al Rasul. Syaikh Syaltut misalnya menerapkannya pada
af’al Rasul terkait dengan kebutuhan- kebutuhan manusiawi seperti makan, minum,
tidur berjalan, berkunjung. Af’al Rasul terkait dengan pengalaman dan tradisi
individual atau masyarakat. Af’al Rasul terkait dengan strategi manusia yang diambil
sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam hal ini, Syaltut tidak membedakan antara
yang haram atau makruh, wajib, sunnah dan mubah.10 Sementara Abdul Mun’im An-
Nimr menerapkannya dalam af’al Rasul terkait dengan muamalat yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an. Sementara Yusuf al-Qardhawi menerapkannya pada
perkataan dan perbuatan (aqwal wa af’al) Rasul terkait kebutuhan manusiawi, yang
datang dari Rasul dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa. Hal-hal ini menurut al-
Qardhawi tidak memiliki sifat-sifat tasyri’.11 Mereka menafikan 10 Lihat Mahmud
Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Cairo: maktabah wahbah, 1985), hlm.508 11
Lihat Yusuf al-Qardhawi, as-sunnah an-Nabawiyyah masdaran li al- Ma’rifah wa al-
Hadarah, (Cairo: Dar asy-Syuruq, 1998) hlm. 12 dan seterusnya. Para pengkaji
lainnya yang konsen dengan tema ini di antaranya; Mahmud Abu Rayyah,
menerapkan sunnah ghairu tasyri’iyah pada ucapan-ucapan rasul yang berkaitan
dengan urusan duniawi dan merupakan pendapat Rasulullah semata, dalam bukunya
Adhwa` ala as-Sunnah an Nabawiyah, Muhammad Imarah membatasi sunnah
tasyri’iyah pada hal-hal ghaib yang tidak bisa dinalar oleh akal saja dan pokok-pokok
agama yang paten (tsawabit diniyyah).
Kesimpulan
Sunnah merupakan segala sesuatu dari Nabi baik perkataaan, perbuatan,
maupun ketetapan yang telah ada. Selain itu pengertian hadits merujuk kepada
pengertian sunnah. Jadi scara makna pengertian sunnah sama dengan pengertian
hadits. Hadits berdasarkan kuantitas ada dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad,
menurut kualitas ada 2 yaitu hadits shahih dan hadits hasan. Fungsi utama sunnah
atau hadits adalah menjelaskan atau merinci isi alquran yang masih bersifat umum.
Dan sunnah merupakan hukum kedua setelah al-qur’an.

Daftar Pustaka

Al-Furaih, Abdullah bin Hamoud. 2017. “Sunnah Rasulullah Sehari-hari”. Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 1992. “Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam”.
Jakarta: Pustaka At-Taqwa
Safitri, Khanza. 2016. Fungsi As-sunnah Terhadap Al-Qur’an dan kedudukannya di
https://dalamislam.com/landasan-agama/fungsi-as-sunnah-terhadap-al-quran
Diakses: 9 Februari 2019 pukul 11.51
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. “Pengantar Studi Ilmu Hadits”. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
Yaqub, Ali Mustafa. 2001. “Dasar-Dasar Hadis”. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zainaleqin. 2011. Klasifikasi Hadits Secara Umum di
https://zainaleqin.wordpress.com/2011/10/16/klasifikasi-hadits-secara-umum/
(diakses tanggal 11 Februari 2019 pukul 6.30)
Tumad Aceh. 2017. Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyyah di
http://www.tuankumuhammad.com/2017/02/sunnah-tasyriiyyah-dan-ghairu.html
(diakses tanggal 11 Februari 2019 pukul 11.32)

Anda mungkin juga menyukai