Anda di halaman 1dari 3

Kemana dan Untuk Siapa Mahasiswa Berkiprah?

Mahasiswa sebagai generasi yang ideal adalah yang tumbuh di lingkungan masyarakat
kemudian berbakti kepada masyarakat. (W.S. Rendra)

Dunia kini sudah berubah, begitu kiranya jua yang terjadi pada kampus dan mahasiswa.
Sejatinya, kampus dan mahasiswa merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan. Pun, kehadiran
kampus seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi para mahasiswa. Namun, hal tersebut tidak
sepenuhnya demikian. Apathetic Syndrome (virus apatis) yang menjamur di tengah kalangan
mahasiswa adalah dalang utamanya. Hal ini jelas terlihat ketika problematika rakyat di segala lini
kehidupan tak lagi jadi tendensi utama arah perjuangan mahasiswa.

Fenomena mahasiswa apatis seperti ini jika kian hari dibiarkan menjamur tentu akan
berdampak buruk bagi kelangsungan peradaban baik sekarang maupun di masa mendatang.
Program- program yang dilakukan nyatanya tak mampu membendung pelebaran wabah apatisme.
Misal, revitalisasi peran mahasiswa melalui slogan Revolusi mental yang digaungkan selevel
Pemimpin Negeri, tak kunjung berbuah manis. Kenyataannya, mahasiswa belum bisa completely
move on dari kubangan apatisme. Limpahan berupa kenikmatan dan kemanjaan yang disodorkan
rezim seakan- akan jadi penghambat untuk meruntuhkan dinding apatisme yang bercokol dalam
diri mahasiswa. Bahkan, dunia aksi yang seharusnya menjadi ajang realisasi peranan mereka
seperti sudah menjadi aktivitas yang tak cinta damai dan usang. Solusi yang ditawarkan pun tak
mampu memecahkan masalah sampai ke akarnya. Sebatas wacana namun tak kunjung jua
terselesaikan. Lalu, kemana ribuan mahasiswa lainnya berkiprah?

Idealnya, peranan mahasiswa yang memiliki intelektual tinggi patut menjadi cerminan
generasi lainnya. Pun 3 slogan yang tak kan pernah lekang oleh zaman dan akan selalu disematkan
pada pundak mereka adalah Agent of Change, Iron Stock dan Social Control. Sebab, slogan
tersebut jua lah mereka dipercaya sebagai garda terdepan pembawa perubahan masyarakat.
Namun, ketika rupa mahasiwa hari ini tak mencerminkan yang demikian, maka slogan diatas patut
dipertanyakan.

Kenyataan pahitnya juga, di era rezim sekarang -- dimana Kapitalisme mulai terpatri dalam
setiap elemen kehidupan-- 3 slogan tersebut hanya menjadi penyemangat untuk segelintir
mahasiswa saja. Membakar jiwa namun tak mampu membangkitkan pola pikir mahasiswa
“kenapa mereka berjuang, bergerak demi perubahan”. Di sisi lain, bangsa ini dihadapkan dengan
berbagai problematika yang datang dari segala penjuru tanpa penyelesaian yang solutif. Jeritan
rakyat kian semakin lantang terdengar karena kesusahan hidup. Suara- suara mereka bagaikan
suara sumbang yang melengking tanpa ada batasan. Sayangnya, banyak mahasiswa acuh dengan
hal yang demikian. Lantas, pantaskah bangsa harus tetap bangga memiliki pemuda berstatus
mahasiswa yang hanya ditunggangi slogan semu semata?

Saking apatisnya, bahkan mahasiswa rezim sekarang seakan- akan menutup mata bahwa
negerinya hari ini dalam genggaman Neo- Liberalisme. Sebuah paham yang menghendaki nihilnya
peran Negara di bidang ekonomi. Pengurangan Negara yang bisa kita lihat hari ini salah tersebut
dilakukan melalui privatisasi penguasaan oleh swasta asing atau sektor publik seperti migas,
listrik, jalan tol, dan lainnya ( Undang- Undang tentang Penanaman Modal Asing No. 1 tahun
1967). Sederhananya, neoliberalisme ini jika tidak segera dihentikan, maka sesungguhnya
merupakan upaya pelumpuhan Negara. Rakyat akan diposisikan layaknya pembeli yang harusnya
membeli kepada Negara dan perusahaan yang menyediakan berbagai pelayanan kepada
masyarakat. Padahal, berdasarkan Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional Universitas Nasional,
Iskandarsyah Siregar, beliau menegaskan bahwa pemerintahan adalah abdi rakyat. Namun pada
realitanya,hari ini rakyat yang melayani Negara. Namun, adakah mahasiswa menyadari?
Nyatanya, slogan mahasiswa sebagai Social Control belum bisa mereka realisasikan dalam
kehidupan berbangsa.

Tak hanya itu, kondisi negeri yang sedang dalam bahaya Neo- Imperialisme pun belum
mampu meruntuhkan dinding keapatisan mahasiswa. Hal yang mudah teridentifikasi oleh
mahasiswa yakni di lapangan legislatif, kita bahkan dapat melihat dengan jelas campur tangan
asing dalam kebijakan negeri. Masih terngiang dalam benak masyarakat, pada tanggal 8 Oktober
- 14 Oktober 2018 International Monetary Fund (IMF) dan World Bank Group (WBG) memilih
Bali sebagai tempat pertemuan tahunan mereka. Dilansir dari detik.com Selasa (9/10/2018) ,
Indonesia berhasil mendapatkan investasi senilai Rp 207 triliun. Pemerintah menyampaikan,
Indonesia sebagai tuan rumah memeroleh tujuh manfaat berupa bantuan bencana, kesepakatan
investasi, dukungan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) serta teknologi, kerja
sama bilateral terkait devisa, pengenalan Green Sukuk, hingga kesempatan untuk menjelaskan
ketahanan ekonomi domestik. Bila ditelisik ke dalam kita pun melihat IMF adalah bagian dari
pepanjangan tangan penjajah. Peran IMF dengan permainan mekanisme utang luar negeri dalam
balutan investasi modal asing sanggup membungkam kekritisan mahasiswa. Bahkan, sikap acuh
dan tak mengapa tergambar di raut rupa mereka. Di lain sisi, sudah menjadi rahasia umum, hari
ini hukum tegak kokoh di kalangan rakyat kecil, namun loyo lunglai di depan orang kuat. Lantas,
apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa demikian? Bukankah ini tidak sebanding dengan harapan
bangsa bahwa mahasiswa itu adalah iron stock?

Keapatisan mahasiswa nyatanya juga membuat kasus demoralisasi bahkan liberalisasi di


segala penjuru negeri sudah tak lagi jadi arah perjuangan untuk dirundingkan solusinya. Hal ini
ditengarai semakin maraknya kasus LGBT dimana pengikutnya malah sarat akan kaum intelektual.
Selain itu, Konser, IPK tinggi, kejuaraan cabang Lomba, media sosial, dan Lomba Karya Tulis
Ilmiah yang mulai digandrungi mahasiswa tampaknya lebih sarat akan makna dibandingkan
problematika rakyat diatas. Memang bukan suatu kesalahan ketika mahasiswa berjibaku untuk
getol meningkatkan kemampuan hard skill nya. Nyatanya, hal ini malah memburamkan jati diri
mereka sebagai agen perubahan bangsa. Lantas, apakah yang demikian mampu menyudahi
kesusahan bangsa? Mengikuti kejuaraan nasional bahkan Internasional, itu hal yang benar bukan?
Namun, apa fungsi mereka berlomba- lomba jadi pemenang, bila pada akhirnya mereka kalah dan
membungkam diri ketika kebijakan diselewengkan? Bagaimana pula dunia harus bersikap ketika
mahasiswa berlepas tangan akan problematika yang ada? Lantas, pantaskah slogan Agent of
Change tersematkan di pundak mereka?

Sungguh ironis sekali, ketika rakyat mencari punggawa harapan bangsa, ternyata
punggawa itu sedang tertidur pulas dalam jeratan sikap apatis yang dinaungi Kapitalisme hari ini.
Kemanjaan yang diberikan Kapitalisme lewat sikap apatis ini ternyata mampu membungkam
bahkan menutup mata hati mereka akan penderitaan dan jeritan rakyat selama ini. Lantas
bagaimana, kita bergerak atau diam?

Anda mungkin juga menyukai