Anda di halaman 1dari 4

The Urgency of Self Analysis

Sebagian dari kita mungkin bertanya, akan pentingnya analisa diri sendiri, dan sebagian yang
lain bahkan merasa hal ini tidak perlu dan justru membuang waktu; bukankah kita sudah pasti (lebih)
paham tentang diri kita sendiri. Berangkat dari keadaan ini penulis ingin menawarkan jawaban atas
pentingnya menganalisa diri, dengan menyodorkan pernyataan “being is not always knowing” atau
dengan ungkapan lain “being doesn’t automatically mean knowing”.

Karena ‘menjadi’ belum berarti serta merta ‘mengetahui’, maka analisa diri sangat perlu
dilakukan oleh masing-masing individu. Tentunya, tidak semua manusia merasa perlu melakukannya.
Hanya manusia yang ingin progressif lah yang merasa perlu melakukan analisa diri. Manusia progressif
adalah manusia yang tidak mau merugi apalagi celaka. Dengan bahasa lain, manusia progressif adalah
‘hari ini lebih baik (dan lebih bermanfaat tentunya) daripada hari kemarin, dan hari esok adalah lebih
baik dari hari sekarang.’ Dia lah manusia yang beruntung.

Mari kita memahami diri kita sendiri semaksimal mungkin. Semakin kita dapat memahami diri
semakin mampu kita mengontrol dan menguasainya. Ironis jika yang lebih memahami diri kita justru
adalah orang lain. Dari sini pula kita mengenal adanya kolonialisasi bangsa satu atas bangsa lainnya.

Dalam tingkatan teoritis ada banyak aliran atau metode yang digunakan dalam melakukan
analisa diri. Sebelum abad kesembilan-belas hal semacam ini menjadi kajian para ahli teologi dan
filsafat. Sekarang, tepatnya dimulai era Wilhelm Wundt(1832-1920) kajian diri atau tingkah laku
manusia beralih menjadi “urusan” ilmuan psikologi. Dalam psikologi sendiri, ada perdebatan-
perdebatan antar aliran terkait memahami diri (tingkah laku manusia). Beberapa diantaranya adalah
antara Freudiansme versus Behaviorisme, dan Eksistensialsme versus Esensialisme. Namun, pada
kesempatan kali ini, kita tidak akan membahas lanjut secara detail tentang aliran-aliran tersebut.
Mungkin hanya beberapa teori atau wacana dari beberapa pemikir yang kita gunakan untuk
mengantarkan pada Analisa Diri.

Who am I?

Siapa sebenarnya kita? Pertanyaan ini sengaja penulis munculkan untuk mengawali proses
analisa diri. Sebab ini adalah akar terdalam, sebelum lebih lanjut kita menggali apa saja potensi diri,
meski oleh kaum eksistensialisme pertanyaan ini belum dianggap sebagai pertanyaan yang paling
mendasar. Ada hal yang lebih mendasar dan patut dipertanyakan lebih awal.

Jika ada pilihan pertanyaan, mana yang patut dipertanyakan lebih dulu, ‘(si)apa’ ataukah ‘ada’?
kaum eksistensialisme menyarankan untuk mempertanyakan ‘ada’; sebelum kita sibuk bertanya-
tanya ingin menjadi (si)apa, hendaknya terlebih dahulu mempertanyakan sudah ‘adakah kita’. Hal ini
kelihatannya mungkin tidak penting, padahal justru dari sinilah kita harus jeli. Banyak orang yang
secara ambisius ingin menjadi ‘yang wah’, semisal ingin menjadi presiden BEM atau ketua dalam
sebuah organisasi yang dianggap bergengsi. Tetapi mereka tidak terlebih dulu ‘meraba’diri, sudah kah
benar-benar ‘ada’. Dalam hal ini, indikator sangat dibutuhkan untuk mengetahui ‘ada’ dan tidaknya.
Tentunya, beda masalah/ranah, beda pula indikatornya. Dalam ranah berfilsafat misalnya, kaum
rasionalis, menjadikan ‘berfikir’ sebagai indikator utama, ada-tidaknya seorang. Atau, semisal dalam
sebuah aksi demonstrasi yang dihadiri ratusan orang, boleh jadi hanya 30 % yang
dianggap/didefinisikan ‘ada’ oleh analis gerakan massa atau agen inteligen. Yang jelas mereka
mempunyai beberapa indikator dalam menilai. Sehingga, sisa 70% dari demonstran dikategorikan
tidak ‘ada’ atau dengan kata lain ‘’wujuduhum ka ’adamihim.’’ Oleh sebab itu, ‘ada’kan diri mu,
kemudian baru hendak menjadi (si)apa! Kokohlah bangunan ke-diri-an mu.

Sigmund Freud (1856-1939), seorang pakar psikologi dan pencetus psikoanalisa, telah
mengemukakan sebuah pertanyaan, yang mampu merubah sebagian besar pandangan manusia
tentang diri. Ia berhasil membuat antitesis terhadap tesis yang dipercayai khalayak. Inti dari
pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya kita, ‘yang kita tampilkan’ ataukah ‘yang kita
sembunyikan/simpan’? Dan bagi dia, kita yang sesungguhnya adalah ‘kita yang kita sembunyikan’.
Oleh Freud, jiwa dianalogikan seperti gunung es yang puncaknya adalah bagian sadar, yang ukurannya
lebih kecil dari pada bagian dasar yang cenderung tidak tampak.

Freud, selanjutnya menjelaskan dalam teori psikoanalisanya dengan menguraikan jiwa atau diri
(human psyche). Menurutnya, human psyche terdiri dari tiga bagian: Id, Ego dan Superego. Id oleh dia
didefinisikan sebagai sesuatu yang berisi naluri (instinct) dan energi dasar kehidupan—dia
menyebutnya libido— yang menjadi pengatur atau penggerak segenap organ. Id befungsi di alam
bawah sadar manusia, sehingga ia tidak mengenal nilai (baik-buruk); tidak ada moralitas baginya. Ia
hanya mengenal dorongan untuk memperoleh kepuasan bagi kebutuhan-kebutuhan naluriahnya
selaras dengan prinsip kenikmatan.

Ego adalah bagian sadar manusia yang bersifat rasional yang berusaha menyesuaikan antara
alam bawah sadar (id) dengan tuntutan realita. Ego lah yang menjaga (to protect) gerak atau sikap
organ-organ. Meski begitu, ego bersifat anti-sosial dan cenderung ‘membahayakan’.

Adapun superego adalah bagian diri—atau lebih jelasnya kata hati (conscience)— yang
denganya seseorang dapat mengetahui mana yang benar dan salah (right and wrong) menurut aturan
sosial, dimana ia tinggal, sehingga ia akan merasa bersalah ketika melakukan kesalahan.

Id dan Superego selamanya saling bertentangan (contradict), dan Ego berusaha ‘merukunkan’
daya-daya keduanya sehingga menghasilkan tingkahlaku atau tindakan. Oleh karena itu, Freud yakin
bahwa selamanya manusia berada dalam konflik dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungan
(masyarakat). Orang saleh, menurut Freud, adalah orang yang mampu menekan atau merepresikan
impuls-impulsnya, dan sebaliknya seorang pendosa menikmati impuls-impulsnya.

So, who are You............???

Menggali Potensi Diri

Setelah mengetahui siapa kita, kemudian kita beranjak pada penggalian potensi. Potensi adalah
daya atau kekuatan. Bentuk negatifnya adalah impotensi, yang pada dasarnya berarti tak berdaya.
Seorang berpotensi adalah seorang yang kuat atau berdaya. Dalam bahasa Inggris ada beberapa kosa
kata yang berarti daya/kekuatan, diantaranya adalah potency yang berarti daya atau kekuatan yang
terdapat pada manusia (as creature), dan almighty yang secara khusus dimiliki Tuhan.

Untuk menggali atau memahami potensi diri, khususnya dalam kajian psikologi, kita bisa
menggunakan beberapa metode. Salah satunya—yang seringkali digunakan dan mungkin yang paling
sederhana—adalah analisa SWOT.

Analisa SWOT adalah sebuah cara menganalisa masalah, termasuk diri (as a text), yang bertolak
pada empat sudut berbeda, yang terbagi dari dua aspek (internal dan eksternal). SWOT (bukan
SeWOT) adalah singkatan dari empat kosa
kata:Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities(kesempatan),
dan Threaths (ancaman). Pada awalnya analisa—yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Albert
Humphrey—ini digunakan dalam menganalisa terkait spekulasi bisnis, namun kemudian juga
digunakan untuk menganalisa (potensi) diri.

Modal awal dalam menjalankan analisa SWOT adalah jujur. Kita dituntut jujur, apa adanya
dalam mengungkap data baik internal atau eksternal. Tanpa kejujuran, analisa ini tak punya arti. Isilah
data SWOT selengkap mungkin. Disini kita juga dituntut jeli (rinci). Lakngkah selanjutnya adalah
menentukan strategi. Dalam penulisan data atau pun strategi biasanya penganalisa memanfaatkan
bentuk kolom seperti di bawah ini:

STRENGTHS WEAKNESSES

Strategi (SO): Strategi (WO):

Mengembangkan suatu dalam Mengembangkan strategi


OPPORTUNITIES memanfaatkan kekuatan (S) untuk dalam memanfaatkan
mengambil manfaat dari peluang (O) peluang (O) untuk mengatasi
yang ada. kelemahan (W) yang ada.

Strategi (ST): Strategi (WT):

Mengembangkan suatu strategi dalam Mengembangkan suatu


THREATHS memanfaatkan kekuatan (S) untuk strategi dalam mengurangi
menghindari ancaman. kelemahan (W) dan
menghindari ancaman (T).

Setelah kita mengetahui data (SWOT) beserta strateginya, kita minimal puya gambaran
langkah berikutnya.

What will You do? What do You want to be?

Self Actualization

Aktualisasi diri adalah suatu hal yang pasti dibutuhkan (secara naluriah) oleh setiap manusia
untuk melakukan yang terbaik dari yang ia bisa dalam hidup. Oleh Abraham Maslow aktualisasi diri
dianggap sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Ia menjelaskannya melalui hierarchy of needs dalam
bentuk piramida, dimana bagian paling bawah adalah kebutuhan paling dasar dan yang terpuncak
adalah kebutuhan tertinggi.

Bagi Maslow, kebutuhan dasar adalah syarat awal keberlanjutan pemenuhan kebutuhan
berikutnya. Mulai yang bersifat fisik, aman-nyaman, cinta/rasa memiliki, sampai aktualisasi diri—yang
lebih bersifat abstrak. Dan untuk mengaktualisasi diri, ia mensyaratkan dua hal: inner
explorationdan action.
Sahabat PMII Beraksi

Semasa masih kecil, kita mungkin sudah cukup puas dengan diberi mainan atau makanan yang
kita sukai, dan menginjak lebih besar atau remaja kepuasan sudah bisa kita temui dengan bermain
dengan teman sebaya atau yang lainnya. Sudah pasti, ketika dewasa seperti saat ini, kita tidak bisa
puas dengan mainan masa kecil lagi. Kira-kira itulah kita, manusia yang selalu tidak pernah puas.
Ketidak puasan ini bisa menjadi hal yang positif atau bahkan bisa menjadikan kita semakin produktif,
progressif dan juga kreatif, tatkala kita bisa memaknainya sebagai suatu anugerah yang harus dikelola.
Atau justru sebaliknya, ketidak puasan bisa mengakibatkan kita terperosok pada jurang kehancuran,
jika tidak kita kelola dengan benar.

Ketidak puasan tersebut (saat ini) bisa kita jawab dengan aktualisasi diri di organisasi. Dan PMII
adalah organisasi pergerakan yang dikelola diantaranya untuk menggali dan mengembangkan potensi
diri mahasiswa. Sehingga, aktif di PMII sudah sepatutnya kita anggap sebagai kebutuhan, bukan
keterpaksaan atau ketidaksengajaan.

Mengapa harus PMII?

Barang kali beberapa diantara kita ada yang bertanya seperti itu. Dan diantara alasannya
adalah: action, movement, harakah. Ya, karena di PMII mengajak para Sahabat-Sahabatinya beraksi,
bergerak, dan berbuat tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk kemajuan (Islam-Indonesia
dan kemanusiaan) melalui beberapa cara. Bukan kah ada ungkapan “al-harakah barakah”. Lagi pula,
aktualisasi diri mempunyai implikasi al-barakah: proses pengembangan dan up-datekualitas diri.

Saleh individual, saleh sosial

Saleh individual dan sosial secara tidak langsung adalahthe dream of PMII. Anggota dan kader
PMII diharapkan menjadi aktifis yang tidak hanya saleh individual (habl min Allah) saja, tetapi juga
sosial (habl min an-nas & al-alam).

Kata ‘saleh’ sendiri mengindikasikan sikap / gerak proposional—alias menempatkan sesuatu


pada tempatnya/ pada porsinya—dan profesional dalam kinerja. Hal ini tercermin juga pada motonya:
dzikir, fikir, dan amal saleh. Jadi, aktifis PMII secara ideal adalah sebuah manifestasi dari nilai-nilai
tersebut. Oleh karena itu, kita sebagai Sahabat-Sahabati PMII sudah semestinya harus selalu berusaha
menyeimbangkan kedua saleh ini. Kita bisa mewujudkannya pada penyeimbangan antara tri khidmat
perguruan tinggi: belajar-mengajar, berkarya, mengabdi. Jadi jangan takut ber-PMII.

Anda mungkin juga menyukai