1
I. PENDAHULUAN
Selama beberapa tahun belakangan ini hampir semua negara-negara maju yang
tergabung dalam G -10 countries telah menerapkan sistem Real-Time Gross Settlement
(RTGS) untuk transaksi transfer antar bank. Menurut laporan BIS sampai saat ini
sekurang-kurangnya 30 negara telah menggunakan sistem RTGS. Lebih lanjut bank sentral
pada European Union (EU) telah memutuskan bahwa setiap anggota EU harus memiliki
sistem RTGS yang dapat diintegrasikan dengan EU RTGS system (TARGET) untuk
mendukung penyatuan ekonomi.
Langkah serupa telah dilakukan pula oleh negara-negara Asia – Pasifik seperti Hong
Kong, Korea, Australia, China, New Zealand, dan Thailand. Penerapan sistem BI-RTGS di
Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17 November 2000 dengan nama Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Kehadiran sistem BI-RTGS di Indonesia dinilai sangat penting mengingat transaksi
pembayaran bernilai besar (High Value Payment System – HVPS) yang memiliki potensi
terjadinya risiko sistemik sebelum adanya sistem BI-RTGS, menempati bagian mayoritas
(hampir 2/3) dari seluruh transaksi pembayaran.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa volume transaksi pembayaran antar
bank di Jakarta yang bernilai besar (high value) yang jumlah transaksinya lebih dari 10
ribu/hari tersebut hampir 70% berasal dari transaksi Forex (mata uang asing) dan Pasar
Uang Antar Bank (PUAB).
Pada umumnya penerapan RTGS di berbagai negara didasarkan pada beberapa alasan
pokok sebagai berikut: pertama, berbagai literatur dan studi empiris secara intensif telah
memunculkan kesadaran baru kepada berbagai bank sentral untuk dapat me-manage
berbagai risiko Large Value Trasfer System (LVTS). Sistem RTGS memiliki mekanisme
settlement yang dipandang mampu mengurangi risiko sistemik (risk minimising). Kedua,
sistem ini akan dapat mengurangi timbulnya float sehingga dapat mendukung efektivitas
pengawasan perbankan. Selain itu, pengelolaan likuiditas yang baik pada dunia perbankan
juga dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Ketiga, sistem RTGS ini
memungkinkan dilakukannya integrasi dengan berbagai aplikasi sistem pembayaran
seperti pasar uang dan pasar modal, Delivery versus Payment (DVP). Link dengan cross-
border payment juga dimungkinkan melalui aplikasi Payment Versus Payment (PVP).
A. PENGERTIAN
B. TUJUAN BI-RTGS
1. Menyediakan sarana transfer dana antar peserta yang lebih cepat, efisien, andal dan
aman.
2. Kepastian settlement dapat diperoleh dengan lebih segera (irrevocable dan
unconditional).
3. Menyediakan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh.
4. Meningkatkan disiplin dan profesionalisme peserta dalam mengelola likuiditasnya.
5. Mengurangi risiko-risiko settlement.
Saat ini terdapat 2 macam mekanisme penyelesaian transaksi antar bank, yaitu
melalui kliring atau sistem BI-RTGS. Berbeda dengan sistem BI-RTGS yang
menggunakan metode gross settlement dimana setiap transaksi diperhitungkan secara
individual, maka kliring menggunakan metoda net settlement dalam rangka penyelesaian
akhir. Net settlement adalah proses penyelesaian akhir transaksi-transaksi pembayaran
yang dilakukan pada akhir suatu periode dengan melakukan offsetting antara kewajiban-
kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan sehingga hanya ada 1 net hak atau
kewajiban yang akan disettle untuk masing-masing rekening bank.
Dalam sistem kliring terdapat risiko pada akhir hari bahwa suatu bank akan
mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar karena sebelum
diimplementasikannya sistem BI-RTGS seluruh transaksi antar bank baik yang bersifat
retail transactions maupun large value transactions dilaksanakan melalui kliring. Apabila
jumlah kekalahan kliring ini melampaui saldo rekeningnya di Bank Indonesia, maka saldo
bank tersebut di Bank Indonesia akan menjadi negatif (overdraft) yang pada gilirannya
nanti akan menyulitkan Bank Indonesia apabila bank tersebut tidak mampu menutup
overdraft keesokan harinya.
Secara umum terdapat dua jenis risiko dalam sistem pembayaran yakni risiko kredit
dan risiko likuiditas. Risiko kredit adalah risiko dimana counterparty tidak dapat
memenuhi kewajibannya untuk membayar secara penuh baik pada saat jatuh tempo
maupun pada saat sesudahnya. Termasuk dalam kategori risiko ini adalah unrealized gains
atas kontrak-kontrak yang gagal dilaksanakan (replacement cost risk) dan yang lebih parah
lagi adalah risiko tidak terbayarnya suatu transaksi secara keseluruhan (principal risk).
Sedangkan risiko likuiditas adalah risiko dimana counterparty tidak mampu membayar
secara keseluruhan pada saat jatuh tempo melainkan membayar sesudah jatuh tempo. Hal
ini tentu akan dapat menimbulkan kesulitas likuiditas bagi peserta penerima yang pada
gilirannya nanti mungkin akan meningkatkan cost of fund dari peserta karena harus
mencari dari money market dengan cepat.
Selain risiko-risiko di atas, Bank Indonesia sebagai pengawas sistem pembayaran
di Indonesia juga sangat concern terhadap systemic risk yang mungkin dapat timbul pada
sistem pembayaran di Indonesia. Systemic risk adalah risiko kegagalan salah satu peserta
dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga
mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Kegagalan tersebut, dalam kondisi yang sangat ekstrem,
mungkin akan dapat memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam
stabilitas sistem pembayaran atau bahkan stabilitas suatu perekonomian secara keseluruhan.
Berkaitan dengan risiko-risiko sistem pembayaran tersebut di atas, dengan
diimplementasikannya sistem BI-RTGS diharapkan akan dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya risiko-risiko dimaksud. Dengan kemampuannya untuk melakukan transfer
secara real time dan terus menerus selama window time, BI-RTGS akan mampu
mengurangi bahkan mengeliminir risiko-risiko dalam proses settlement karena transaksi
akan dijalankan apabila saldo rekening peserta di BI mencukupi. Dengan sistem BI-RTGS,
apabila saldo peserta mencukupi maka peserta dapat segera melakukan settlement saat itu
juga kepada peserta lain yang selanjutnya akan mengkredit rekening nasabah sehingga
dananya dapat segera langsung digunakan oleh nasabah yang bersangkutan.
Selain itu, dengan implementasi sistem BI-RTGS diharapkan akan mampu
memenuhi kebutuhan berbagai pihak terhadap tersedianya mekanisme pembayaran yang
sangat cepat yang dibutuhkan oleh transaksi yang mensyaratkan DVP seperti transaksi jual
beli saham dan securities paper lainnya. Dalam transaksi ini, transfer dana melalui BI-
RTGS (the payment leg) akan dapat dikoordinasikan dengan final transfer of assets
(delivery leg) sehingga terjadi match antara penyerahan aset dengan pembayaran. Hal ini
sangat penting untuk menurunkan risiko dalam pasar-pasar sekuritas tersebut.
Dapat ditambahkan bahwa dengan implementasi sistem BI-RTGS ini maka
diharapkan systemic risk akan dapat dikurangi melalui tiga cara. Pertama, penurunan
secara signifikan intraday interbank exposure akan dapat mengurangi kemungkinan
ketidakmampuan suatu peserta dalam menutup kerugian atau menutup kekurangan
likuiditas karena peserta lain tidak mampu memenuhi kewajibannya. Kedua, sistem BI-
RTGS akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya unwinding payment yang dapat
merupakan penyebab terjadinya systemic risk dalam net settlement. Ketiga, karena peserta
dapat melakukan settlement setiap saat selama window time, maka waktu settlement tidak
lagi hanya terfokus pada suatu waktu tertentu saja. Hal ini akan memberikan waktu yang
cukup bagi peserta untuk menyelesaikan kesulitan likuiditasnya dengan cara meminjam
dari peserta lain atau menunggu incoming transfer dari peserta lain.
A. V-SHAPED STRUCTURE
Sebagaimana digunakan oleh sebagian besar sistem RTGS di dunia, BI-RTGS juga
menggunakan V-shaped structure dalam pengiriman message dari peserta pengirim kepada
peserta penerima melalui Bank Indonesia sebagai penyelenggara BI-RTGS dibawah ini.
PESERTA PESERTA
PENGIRIM PENERIMA
RCC
2. SETTLEMENT
V-shaped
Dalam struktur ini, seluruh informasi yang terkandung dalam suatu transaksi akan
dikirimkan oleh peserta pengirim kepada RTGS Central Computer (RCC) dan akan
diteruskan kepada peserta penerima apabila transfer sudah di-settle oleh Bank Indonesia.
B. PESERTA BI-RTGS
Jumlah keseluruhan peserta langsung Sistem BI-RTGS saat ini berjumlah 150 yang
terdiri 149 bank dan 1 non bank. Sedangkan jumlah peserta tidak langsung terdiri dari 3
bank. Jumlah peserta Sistem BI-RTGS tersebut akan terus berkembang.
Secara umum dapat digambarkan bahwa mekanisme transfer dana antar peserta BI-
RTGS adalah sebagai berikut:
1. Peserta pengirim menginput credit transfer ke dalam terminal RTGS (RT) untuk
selanjutnya ditransmisikan ke RCC di Bank Indonesia.
2. Selanjutnya, RCC memproses credit transfer dengan mekanisme sebagai berikut :
i. Mengecek kecukupan saldo apakah saldo rekening giro peserta pengirim lebih
besar dari atau sama dengan nilai nominal credit transfer.
ii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim mencukupi akan dilakukan posting secara
simultan pada rekening giro peserta pengirim dan rekening giro peserta penerima.
iii. Jika saldo rekening giro peserta pengirim tidak mencukupi, credit transfer tersebut
akan ditempatkan dalam antrian (queue) sistem BI-RTGS.
3. Informasi credit transfer yang telah diselesaikan (settled) akan ditransmisikan secara
otomatis oleh RCC ke RT peserta pengirim dan RT peserta penerima.
D. WINDOW TIME
Waktu transfer antar peserta untuk kepentingan nasabah saat ini dibatasi mulai
pk.06.30 - 16.30 WIB. Window time tersebut diharapkan akan dapat memberikan
keleluasaan kepada pelaku ekonomi di seluruh Indonesia yang terdiri dari 3 zona waktu
untuk bertransaksi dengan lebih lancar.
Meskipun demikian, apabila dalam kasus-kasus tertentu diperlukan window time
yang lebih lama, Bank Indonesia dapat melakukan perpanjangan untuk mengakomodasi
kebutuhan perpanjangan tersebut.
E. NO MONEY NO GAME
F. CAPPING
Untuk memperkecil berbagai risiko sistem pembayaran sebagai akibat penggunaan
net settlement dalam proses kliring, maka Bank Indonesia menetapkan batas maksimum
nominal transaksi yang diperbolehkan melalui kliring (capping kliring). Pada tahap awal,
capping kliring ditetapkan sebesar Rp. 1 milyar dan pada tanggal 1 Oktober 2002 diubah
menjadi Rp. 100 juta. Selanjutnya secara bertahap capping kliring tersebut akan diturunkan
sehingga transaksi yang melewati kliring akan berkurang dan pada gilirannya risiko akibat
penggunaan net settlement dapat diturunkan.
III. BYE-LAWS
Sedangkan bagi Bank Indonesia, pemberlakuan CSA akan memberikan manfaat dalam hal:
1. Memudahkan Bank Indonesia untuk memantau ketaatan peserta dalam memenuhi
kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM).
2. Bank Indonesia juga akan lebih mudah dalam memantau likuiditas peserta karena
posisi rekening giro peserta sudah bersifat nasionall (consolidated) dan dapat
dimonitor recara real-time.
3. Memberikan informasi yang lebih akurat untuk early warning system terhadap
peserta yang mengalami kesulitan likuiditas