Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

MENINGITIS TUBERKULOSIS

oleh :
Kurnia Fitra Hasana
12101313080

Pembimbing
Prof. dr. H. Basjiruddin A, Sp S (K)
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp S (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP DR. M. DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak

(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.1 Penyakit

ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit

tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara

limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti

perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.2

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis. 1

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang

pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat

hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat

bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis

bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain

Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan

2
tuberkulosis adalah Mycobacterium. bovis, Mycobacterium africanum, dan

Mycobacterium microti.1,3

1.2 Anatomi
Anatomi sistem saraf terutama sistem saraf pusat perlu dipahami dalam

membahas meningitis. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis.

Otak yang berada di dalam tengkorak dan medula spinalis yang berada di dalam

kolumna vertebralis diselimuti oleh tiga lapis membran pelindung yang disebut

meningen. Tiga lapisan itu adalah dura mater, araknoid mater, dan pia mater.5
1. Duramater
Duramater terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan

meningeal. Kedua lapisan dura mater ini bersatu dengan dengan sangat erat

kecuali pada bagian tertentu berpisah dan membentuk sinus venosus. Lapisan

endosteal tidak lebih hanya periosteum yang melapisi bagian dalam

permukaan tengkorak. Lapisan meningeal adalah bagian dura mater yang

tebal, membran fibrosa kuat yang melapisi otak yang melalui foramen

magnum bersambung melapisi medula spinalis.5


2. Araknoid
Araknoid adalah membran tipis impermeabel yang berada diantara pia

mater (pada sisi dalam) dan dura mater (pada sisi luar). Lapisan ini dipisahkan

oleh ruang luas yang disebut ruang subaraknoid. Ruang subaraknoid berisi

cairan serebrospinal.5

3. Piamater
Piamater merupakan membran dengan vaskularisasi yang dilapisi oleh

sel mesotelial. Lapisan ini sangat melekat pada otak melapisi girus bahkan

sampai sulkus terdalam.5

3
Gambar 2. Lapisan Meningen6
1.3 Epidemiologi

Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam

tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya

sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa

meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara

endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus

tuberkulosis.4

Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena

morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang

semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih

rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan

4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah

ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%

anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati.3 Angka kematian pada

4
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan

gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan

intelektual.5

1.4 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran

tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat

juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak

ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke

sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat

menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan

beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.6

Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.

Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,

selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen

selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik

walaupun jarang.6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka

akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan

meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi

dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi

tersebut adalah trauma kepala5.

5
Gambar 3. Penyebaran Mycobacterium tuberculosis Dari Tempat Infeksi.6

Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau

ventrikel. Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan

merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan

menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak.

Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.6

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis

tuberkulosis:6

A. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa

fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus

pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan

adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara

mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis

perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi

dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf

6
kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering

terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul

gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka

kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur

bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai

saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang

sifatnya permanen.
B. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal

yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal

ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark

serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien

selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau

arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya

bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri

yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi.

Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa

pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak

tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan

fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,

proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena

adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri

karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat

yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau

7
total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas

tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.


C. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis

yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.

Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla

spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.3 Gambaran patologi

yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu :6

a. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;


b. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan

meningitis yang difus;


c. Acute inflammatory caseous meningitis
- Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
- Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
d. Meningitis proliferatif
- Terlokalisasi, pada selaput otak
- Difus dengan gambaran tidak jelas

Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi

bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien,

lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga

merupakan faktor yang mempengaruhi.

1.5 Manifestasi Klinis


Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa

dikelompokkan dalam tiga stadium :7

A. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)


- Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
- Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan

neurologis

8
- Demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah

- Nafsu makan menurun (anorexia), nyeri perut


- Sakit kepala, tidur terganggu
- Mual, muntah, konstipasi
- Apatis, irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi

yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua

memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi

sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam

dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan

sekitar 10-15%.
- Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka

stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan

akan langsung masuk ke stadium III.


B. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
-
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
-
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang

terbentuk diatas lengkung serebri.


-
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+)

kecuali pada bayi.


-
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna

abu) di dasar otak  menyebabkan gangguan otak / batang otak.


-
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan

kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran,

papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis

menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla

spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia,

9
quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang

berat.
-
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala

utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada

anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan

kesadarannya makin menurun.


-
Gejala : Akibat rangsang meningen  sakit kepala berat dan muntah

(keluhan utama)
-
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
- Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
o Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan

VII
o Tanda: - strabismus - diplopia
o ptosis - reaksi pupil lambat
o gangguan penglihatan kabur

C. Stadium III (koma / fase paralitik)

- Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu

- Gangguan fungsi otak semakin jelas.

- Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau

strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.

- Gejala:

o Pernapasan irregular
o Demam tinggi
o Edema papil

10
o Hiperglikemia
o Kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,

stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,

opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.


o Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
o Hiperpireksia
o akhirnya, pasien dapat meninggal.

Tabel 1. Klasifikasi menurut British Medical Research Council

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu

dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum

pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1

minggu.

Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang

penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila

pengobatan terlambat atau tidak adekuat.7

1.6 Kriteria Diagnosis


Dari anamnesis, dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri

kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,

mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran, dan adanya

11
riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya mungkin

minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress

pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan

ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).3

Dari pemeriksaan fisik : tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang

meningeal seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang

dari 2 tahun.3

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada

anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling

bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak

dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga

saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan

penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium

tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas

lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian

uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari

pembengkakan (indurasi) yang terjadi.8

Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :10

1. Pembengkakan : 0–4 mm → uji mantoux negatif.

(Indurasi) Arti klinis : tidak ada infeksi

Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan : 3–9 mm → uji mantoux meragukan.

12
(Indurasi) Hal ini bisa karena kesalahan teknik,

reaksi silang dengan Mycobacterium

atypic atau setelah vaksinasi BCG.


3. Pembengkakan : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.

(Indurasi) Arti klinis : sedang atau pernah

terinfeksi Mycobacterium

Gambar 5. Uji Mantoux. 10

13
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi

reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak

dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.8

Dari hasil pemeriksaan laboratorium :9



Darah : anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80%

kasus.

Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan

cara pungsi lumbal) :9


- Warna : jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan

membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom

bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di

medulla spinalis.
- Jumlah sel : 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel

polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya, atau

kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis

mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat

mencapai 1000 / mm3.


- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal

ini menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna

xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang laba-

laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar

fibrinogen.
- Kadar glukosa: biasanya menurun liquor cerebrospinalis

dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal

14
pada liquor cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa

darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat

ditemukan kuman.

Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi

lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa

menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.9

Dari pemeriksaan radiologi :4

 Foto toraks : Dapat menunjukkan adanya gambaran

tuberkulosis.
 Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan

kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau

fokal.
 CT-scan kepala : Dapat menentukan adanya dan luasnya

kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya

hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI

(Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis

tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring

berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan

adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus

komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau

iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga

15
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks

serebri atau talamus.

1.7 Diagnosa Banding

Gejala pada seluruh tipe meningitis hampir sama, sehingga baku

standar dari diagnosis merupakan pemeriksaan CSS dari lumbal pungsi.

Berikut adalah perbedaan dari jenis meningitis :

Tabel 2. Perbandingan perbedaan jenis meningitis. 10

1.8 Pengobatan

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan

tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada

kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.4

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:

16
- Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.


- Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan

rifampisin hingga 12 bulan.

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang

digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis :4

a.) Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman

intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan

cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites,

jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid

diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg /

kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali

pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg

dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak

di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu

1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat

dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar

darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni

hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak,

biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang

meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya

17
neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu

kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.4

b.) Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang

tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik

melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum

makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin

diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis

maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.

Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh

melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari.

Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,

termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor

cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang

mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping

rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air

mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah

mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin

umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.4

c.) Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi

baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis.

18
Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan

diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB /

hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml

tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif

karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang

timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping

pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan

hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam

bentuk tablet 500 mg.4

d.) Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan

dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada

pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi

drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular

dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar

puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik

melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput

otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada

jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan

utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap

isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama

19
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung

(tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena

dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita

tuli berat.4

e.) Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat

bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.

Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya

resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg /

kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar

serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam

bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik

oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau

dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga

pada keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol

adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali

penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian

etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan

kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun

20
pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai

pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan

penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.

Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan

TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat

digunakan.4

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis

sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat

menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai

adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah

itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu

sesuai dengan lamanya pemberian regimen.4 Pada bulan pertama pengobatan,

pasien harus tirah baring total.4

1.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah

gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,

paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa

kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan

spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan.

Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau

oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien

yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan

dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal.

21
Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima

pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan

akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon

pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.5

1.10 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien

didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk

prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis

dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang

berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada

pasien yang lebih tua usianya.5

22
BAB 2

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 67 tahun

Suku bangsa : Minangkabau

Alamat : Siteba Padang

Pekerjaan : Tani

Alloanamnesis

Seorang pasien laki-laki, Tn. A, umur 67 tahun dirawat di bangsal saraf RSUP

Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 24 Agustus 2017 dengan:

Keluhan Utama

Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang

 Penurunan kesadaran sejak 2 hari yang lalu yang terjadi secara berangsur-

angsur. Awalnya pasien banyak tidur namun masih menyahut dan membuka

mata saat dipanggil keluarga.

 Keluhan diawali nyeri kepala sejak 3 bulan yang lalu, nyeri terutama

dirasakan pada seluruh bagian kepala. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,

nyeri berkurang saat dibawa istirahat dan minum obat penghilang nyeri.

23
 Tidak tampak kelemahan anggota gerak oleh keluarga.

 Demam sejak tiga minggu yang lalu, tidak tinggi, terus menerus dan tidak

menggigil. Demam tidak disertai dengan batuk dan sesak nafas.

 Penurunan BB drastis tidak ada.

 Kejang tidak ada

 Muntah tidak ada

 Riwayat trauma kepala tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat diabetes melitus, hipertensi, stroke, dan penyakit jantung tidak ada
 Riwayat tumor dibagian tubuh lain, yaitu tumor di paru kanan
 Riwayat batuk-batuk lama ada, batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.


 Tidak ada keluarga dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi, stroke, dan

penyakit jantung.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

 Pasien seorang petani dengan aktivitas harian berat.

PEMERIKSAAN FISIK
I. Umum
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Somnolen. GCS 12 (E3M5V4)
Nadi/ irama : 80x/menit, teratur
Pernafasan : 20x/menit
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Suhu : 36,2oC
II. Status Internus
Kulit : turgor kulit kembali cepat, tidak ditemukan adanya kelainan
Kelenjar getah bening

24
Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila : tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
+/+, Doll’s eye movement bergerak bebas, reflek
kornea +/+
Telinga : reflex occuloauditorik (+)
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorok : reflek muntah (+), uvula ditengah
Gigi dan Mulut : plika nasolabialis simetris kiri dan kanan
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru :
Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas menurun pada lapangan paru kanan setinggi RIC

IV, ronkhi -/-, wheezing -/-


Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama murni, teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak membuncit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Korpus vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibus (-)
Alat kelamin : tidak diperiksa
III. Status Neurologikus
1. Tanda rangsangan selaput otak
 Kaku kuduk : (+)
 Brudzinsky I : (-)
 Brudzinsky II : (-)
 Tanda Kernig : (+)
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Pupil isokor dengan diameter 4mm/4mm, reflek cahaya +/+
3. Pemeriksaan nervus kranialis
 Nervus I : Baik

25
 Nervus II : Tajam penglihatan menurun ODS, Reflek cahaya
+/+
 Nervus III, IV,VI : Ptosis (-), bola mata bergerak

bebas, reflek cahaya (+), pupil isokor, diameter

4mm/4mm
 Nervus V : Baik
 Nervus VII : Plica nasolabialis simetris
 Nervus VIII : Baik
 Nervus IX : Reflek muntah (+)
 Nervus X : Baik
 Nervus XI : Baik
 Nervus XII : Baik
2. Koordinasi : tidak dapat dinilai
3. Motorik
Gerakan : aktif
Kekuatan : 555 555
555 555
Tonus : eutonus
Tropi : eutrofi
4. Sensorik
Proprioseptif dan eksteroseptif baik
5. Fungsi otonom
Miksi : neurogenic bladder (-)
Defekasi : baik
Sekresi keringat : ada
6. Refleks
Reflek Fisiologis
Biseps : ++/++
Triseps : ++/++
KPR : ++/++
APR : ++/++
Reflek Patologis
Babinsky : -/-
Chaddok : -/-
Oppenheim : -/-
Schaefer : -/-
Gordon : -/-
Hoffman trommer : -/-

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah :

26
Rutin : Hb : 12,4 gr/dl
Leukosit : 18.290/mm3
Trombosit : 350.000/mm3
Hematokrit : 38%
Kimia darah : Ureum : 23 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Gula darah sewaktu : 88 mg/dl

RENCANA PEMERIKSAAN TAMBAHAN

 Rontgen Foto Thorak: Tampak perselubungan di lapangan paru dextra


 Lumbal Pungsi :

- -
Warna : Bening Volume : ± 2 cc
- -
Aliran : cepat Kekeruhan : negatif
- -
None :+ Warna : bening
- -
Pandi : ++ Jumlah sel : 2/mm3
-
Lab : Glukosa : 70 mg/dl

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : Meningitis subakut

Dianosis Topik : Leptomeningen


Diagnosis Etiologi : Mycobacterium TB DD/ bakteri
Diagnosis Sekunder : Tumor paru dextra
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
TERAPI
1. Umum :
-
Elevasi kepala 30O
-
O2 nasal 3L/menit
-
IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
- NGT MC TKTP 1800 kkal
- Kateter: balance cairan
2. Khusus :
- Inj Dexametason 4x10 mg tapp off
- Inj Ranitidin 2x50 mg
- Ceftriaxon 2x2 gr

27
FOLLOW UP
25 Agustus 2016:
S/ pasien sadar, nyeri kepala, demam, dan sesak nafas tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
sedang CM 90/50 60x/ menit 20x/menit 36,40C
Status Internus : suara napas menurun di lapangan paru dextra setinggi RIC IV
Status Neurologikus :
GCS 15 (E4M6V5)
↑ TIK (-), TRM: kaku kuduk (+) kernig (+) brudzinsky I II (-)
Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
Motorik: ekstremitas kanan atas 555 kiri atas 555 kanan bawah 555 kiri
bawah 555
A/ Meningitis TB
Susp. Tumor paru dextra
P/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
Inj Dexametason 4x10 mg tapp off
Inj Ranitidin 2x50 mg
Ceftriaxon 2x2 gr
Paracetamol 3x750 mg

26 Agustus 2017:
S/ Sadar (+), nyeri kepala (-), demam (-)
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 110/70 80x/ menit 18x/menit 36,50C
Status Internus : Rh -/-, Wh -/-
Status Neurologikus :
GCS 15 (E4M6V5)
TRM (+), ↑ TIK (-)
N. cranialis : pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+
A/ Meningitis TB
Tumor paru dextra
P/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf
Inj Dexametason 4x10 mg tapp off
Inj Ranitidin 2x50 mg
Ceftriaxon 2x2 gr
Paracetamol 3x750mg

28
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien, Tn A, laki-laki, umur 67 tahun di bagian saraf

RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 24 Agustus 2017 dengan diagnosis klinik

pada saat pasien masuk adalah meningitis subakut. Diagnosis topik adalah

leptomeningen. Diagnosis etiologi adalah infeksi bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan Penurunan

kesadaran sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit yang terjadi secara berangsur-

angsur. Awalnya pasien banyak tidur namun masih menyahut dan membuka mata saat

dipanggil keluarga. Keluhan ini diawali nyeri kepala sejak 3 bulan yang lalu, nyeri

terutama dirasakan pada seluruh bagian kepala. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,

nyeri berkurang saat dibawa istirahat dan minum obat penghilang nyeri. Tidak

tampak kelemahan anggota gerak oleh keluarga. Pasien memiliki riwayat demam

sejak tiga minggu yang lalu, tidak tinggi, terus menerus dan tidak menggigil. Demam

juga tidak disertai dengan batuk dan sesak nafas. Penurunan BB drastis tidak ada.

Kejang, muntah dan riwayat trauma kepala tidak ada. Pasien memiliki riwayat tumor

dibagian tubuh lain, yaitu tumor di paru kanan. Selain itu, riwayat batuk-batuk lama

ada pada pasien, dimana batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Pasien merupakan

seorang petani dengan aktivitas harian berat.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien somnolen dengan GCS

12 (E3M5V4). Suara nafas terdengar melemah pada lapangan paru kanan setinggi RIC

29
IV. Pada status neurologis, nervus kranialis baik, namun didapatkan kaku kuduk

positif dan tanda kernig positif. Tanda-tanda peningkatan TIK tidak ada. Pupil isokor

Ø 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, bola mata bergerak bebas, plika nasolabialis

simetris, reflek muntah (+), motorik dan sensorik normal, serta reflek fisiologis dan

reflek patologi tidak ada kelainan.


Pada pasien ini dianjurkan untuk melakukan rontgen foto thorak dan lumbal

pungsi. Rontgen foto thorak dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya tanda-

tanda infeksi TB pada paru dan untuk melihat kelainan lain. Lumbal pungsi dilakukan

untuk memastikan penyebab infeksi pada pasien karena dengan hasil pemeriksaan

penunjang, dapat diberikan terapi khusus yang sesuai.


Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum infus NaCl 0,9% 12 jam per

kolf, O2 3L/menit, dan MB TKTP. Untuk penatalaksanaan secara khusus diberikan inj

dexametason 4x10 mg tapp off, inj ranitidin 2x50 mg, Ceftriaxon 2x2 gr, Paracetamol

3x750mg.
Prognosis pada pasien dengan meningitis TB ini mengarah ke perbaikan,

dilihat dari perkembangan pasien setiap hari. Pasien harus diterapi TB sampai tuntas

selama 6 bulan.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Meningitis Research Foundation. 2008. Understand Meningits And

Septicaemia. Cited 22 Agustus 2017. Available from

http://www.meningitis.org/.
2. Microbiology Bytes. 2007. Mycobacterium tuberculosis. Cited 22 Agustus

2017. Available from

http://www.microbiologybytes.com/video/Mtuberculosis.html.
3. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. Infeksi

Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda Melinda.

Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.


4. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional

Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.


5. Soetomenggolo T S, Ismael S, 1999, Buku Ajar Neurologi Anak, IDAI,

Jakarta, halaman 363- 371.


6. Hill, Mark. 2008. Mycobacterium tuberculosis. Cited 23 Agustus 2017.

Available from

http://embryology.med.unsw.edu.au/Defect/images/Mycobacterium-

tuberculosis.jpg.
7. Gerdunas TBC. 2005. Penemuan Penderita TBC Pada Anak. Cited 23

Agustus 2017. Available from

http://update.tbcindonesia.or.id/module/article.php?

articleid=11&print=1&pathid=.
8. Japardi, Iskandar. 2002. Cairan Serebrospinal. . Cited 24 Agustus 2017.

Available from http://72.14.235.104/search?

q=cache:xphPjYDb40J:library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar

31
%2520japardi5.pdf+sarang+laba-laba

%2Bmeningitis&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id&client=firefox-a. April 13 th,

2008.
9. Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. 7th ed.

Jakarta: Dian Rakyat.


10. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana meningitis

bakterialis. Jurnal Departemen Neurologi FKUI. 2015;42(1):15-1

32

Anda mungkin juga menyukai