Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ganja adalah tanaman yang sering dipandang negatif oleh masyarakat

dunia. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang tanaman ini sangat jarang sampai

kepada masyarakat umum, baik mengenai jenis-jenis maupun pemanfaatannya.

Akan tetapi, dibalik image negatif dari tanaman ini, terdapat nilai-nilai positif

yang tidak mendapat expose yang cukup. Banyak pihak yang sudah menyadari

akan hal tersebut. Beberapa diantaranya berusaha untuk menyebarluaskan

informasi terkait pemanfaatan ganja secara positif, bahkan berusaha untuk

membawa ganja ke dalam kehidupan masyarakat luas sebagai komoditas yang

legal dan berdaya guna tinggi.

Upaya pelegalan penggunaan ganja telah lama dilakukan. Tercatat

beberapa negara telah memberikan ijin untuk penggunaan ganja dalam batas

tertentu, salah satunya adalah Belanda. Negara ini tercatat sebagai salah satu

negara yang telah melegalkan pemakaian maupun penjualan ganja. Namun,

kegiatan tersebut dibatasi dengan jumlah tertentu untuk konsumsi pribadi.

Pelegalan ganja di Belanda memiliki peraturan yang mengontrol laju

pemakaiannya.1 Usia minimal seseorang yang diperbolehkan memakai ganja di

1
Dutch Drug Policy diakses dari https://www.ohsu.edu/xd/education/schools/school-of-
medicine/departments/clinical-departments/public-health/people/upload/Dutch-Drug-Policy.pdf
pada 1 Juni 2014 pukul 12:30 WIB

1
negara ini adalah 18 tahun. Selain itu, konsumen ganja ini hanya diperbolehkan

untuk melakukan pembelian maksimal sebesar ± 5 gram.2

Kebijakan toleransi terhadap penggunaan maupun jual beli ganja tersebut

telah diberlakukan pemerintah Belanda semenjak tahun 1970-an. Di Belanda

sendiri terdapat kafe-kafe ganja yang memiliki lisensi yang lebih sering disebut

coffe shops. Penggunaan ganja di luar kafe-kafe tersebut bersifat illegal. Aturan

penjualan maksimal 5 gram pun berlaku di kafe-kafe ini. Peraturan lainnya yang

harus dipatuhi oleh kafe-kafe tersebut ialah tidak diijinkannya menyimpan stok

ganja lebih dari 500 gram di awal pembukaan kafe.3 Kebijakan ini ditujukan demi

adanya pengendalian penjualan ganja, agar tidak dikelola pasar gelap.

Kontradiksi lama dalam penerapan kebijakan toleransi ini adalah fakta

bahwa praktek kultivasi (pengolahan lahan pertanian) ganja sendiri tetap ilegal di

Belanda. Terdapat beberapa landasan yang menyebabkan Belanda melakukan

pelegalan ganja, yakni: 4

1. Penggunaan obat-obatan diperbolehkan dengan peraturan yang ketat


2. Penggunaan ganja dibidang kesehatan menjadi focus utama dalam alasan
pelegalannya.
3. Adanya kriminalisasi terhadap pengguna ganja memberikan dampak yang
buruk bagi pemerintah.
4. Adanya aturan mengenai perbedaan antara ―hard and soft drugs‖.
Selain negara, terdapat juga organisasi yang fokus terhadap penelitian

maupun melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat ganja, yakni

NORML (National Organization for Reform Marijuana Laws). NORML

2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.

2
merupakan organisasi yang lahir pada tahun 1970. Dalam sejarahnya, organisasi

ini pernah memberikan suara dalam kebijakan publik Amerika Serikat yang

melarang penggunaan ganja dan juga mendukung diakhirinya pelarangan

penggunaan ganja.5 Selain melakukan aksi melalui jalur kebijakan, NORML juga

gencar melakukan penelitian mengenai manfaat ganja. Hasilnya, dari segi

kesehatan, ganja mampu memberikan manfaat yang baik untuk mengobati

beberapa macam penyakit, salah satunya adalah penyakit nyeri neuropatik (nyeri

akibat kerusakan saraf).6 Selain bagi dunia kesehatan, ganja juga memiliki

manfaat dalam segi industri, berbagai bagian tanaman ganja dapat dimanfaatkan

dalam pembuatan tekstil, kertas, cat, pakaian, plastik, kosmetik, bahan makanan,

pakan ternak dan produk lainnya.7

Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, masyarakat di suatu

negara dapat dengan mudah menerima informasi tentang apa saja, termasuk

tentang penelitian pemanfaatan ganja. Penelitian mengenai pemanfaatan ganja

yang telah banyak dilakukan mampu memberikan pengaruh kepada banyak

kalangan, tidak terkecuali di Indonesia. Informasi-informasi tersebut diolah dan

bisa didapat dari organisasi-organisasi, perguruan tinggi maupun institusi

pemerintah di negara-negara lain.

Di Indonesia, terdapat sebuah organisasi yang memiliki tujuan melegalkan

ganja dan melakukan penelitian terhadap pemanfaatannya, yaitu LGN (Lingkar

Ganja Nusantara). LGN resmi berdiri pada Juni 2010. Ide legalisasi ganja muncul

5
About NORML dari http://norml.org/about diakses pada 22 Mei 2014, 16:05 WIB
6
Medical Use diakses dari http://norml.org/marijuana/medical diakses pada 22 Mei 2014, 16:32
WIB
7
Industrial Use diakses dari http://norml.org/marijuana/industrial diakses pada 22 Mei, 17 :00
WIB

3
dari obrolan para pendiri LGN di kampus UI Depok. Diskusi ini kemudian

berlajut ketika salah seorang dari pendiri LGN tersebut membuat grup Facebook

yang diberi nama DLG (Dukung Legalisasi Ganja). Tanpa disadari, jumlah

pendukung DLG mencapai angka 11.000 pada tahun 2009. Di tahun itu pula DLG

berkumpul untuk pertama kali, yang diinisiasi oleh salah seorang aktivis NAPZA

(Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif). Dari sinilah LGN bermula

dan mulai menggerakkan ide legalisasi ganja di Indonesia.

Pada bulan mei 2010, LGN memutuskan untuk mengambil bagian dalam

merayakan event tahunan dunia ―Global Marijuana March‖, yang pada tahun

2009 dilaksanakan di beberapa kota di dunia seperti Toronto, Philadelphia,

Cleveland, Seattle dan Phoenix.8 Para anggota LGN melakukan aksi damai

dengan membagikan selebaran yang berisi informasi objektif terkait pohon ganja

di sekitar bundaran HI, Jakarta. Pada waktu itu jumlah anggota yang ikut hanya

30 orang. Para anggota LGN tetap menggelar spanduk bertuliskan ―legalisasi

ganja‖, ―keluarkan ganja dari golongan narkotika‖, serta melakukan sosialisasi

mengenai pemanfaatan tanaman ganja9. Berdasarkan latar belakang ini, penulis

pun tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dan mengangkat judul “Upaya

LGN (Lingkar Ganja Nusantara) dalam pelegalan Ganja di Indonesia”.

8
Cannabis Culture, http://www.cannabisculture.com/content/2009-global-marijuana-march-video
diakses pada pada 22 Mei, 17 :00 WIB
7
. Profil LGN (Lingkar Ganja Nusantara), diakses dari http://www.legalisasiganja.com/sejarah/
pada 22 Mei, 17 :20 WIB

4
1.2 Rumusan Masalah

Dari penjabaran di atas, rumusan masalah yang akan penulis angkat adalah

―Bagaimana upaya LGN (Lingkar Ganja Nusantara) dalam mendorong

pelegalan ganja medis dan industri Di indonesia?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh

cultural framing tentang pemanfaatan ganja medis dan industri di berbagai negara

terhadap upaya pelegalan ganja oleh LGN (Lingkar Ganja Nusantara) Di

Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain :

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih intelektual baru

dalam hubungan internasional mengenai pengaruh cultural framing tentang suatu

isu internasional dan diadopsi oleh organisasi domestik.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan juga memberikan pengetahuan baru kepada

khalayak/masyarakat mengenai upaya pelegalan ganja organisasi LGN (lingkar

ganja nusantara) Di Indonesia.

5
1.4 Penelitian Terdahulu

Sebelum memulai untuk menulis penelitian mengenai pengaruh cultural

framing tentang pemanfaatan ganja di bidang medis dan industri di berbagai

negara di dunia terhadap upaya pelegalannya oleh LGN (Lingkar Ganja

Nusantara) di indonesia, penulis terlebih dahulu melakukan eksplorasi berbagai

macam tulisan-tulisan ilmiah yang berkaitan dengan topik utama.

Penelitian terdahulu yang pertama adalah tulisan Robin Room, The

Cultural Framing of Addiction.Dalam tulisannya Room menjelaskan mengenai

bagaimana konsepsi “addiction” lebih ditentukan pada cultural framing yang

terbentuk di tengah masyarakat, konsepsi ini kemudian dikaitkan lebih pada

pandangan konstruktivis dimana opini atau sebuah konsepsi tergantung pada

bagaimana konsep itu sebetulnya dibangun dalam suatu masyarakat di wilayah

tertentu.

Dalam penelitian tersebut, Room tidak berfokus pada apa sebetulnya

pengaruh alkohol atau bagaimana alkohol menjadi penyebab kecanduan di tengah

masyarakat atau “addiction”. Tetapi, Room mengetengahkan argumen bahwa

konsepsi addiction itulah yang culturally specific.10 Lebih jelasnya, apabila dalam

suatu masyarakat konsep kecanduan berkaitan dengan hal-hal buruk yang terjadi

dikarenakan kecanduan itu, belum tentu di tengah masyarakat lain—dengan

budaya yang lain—memiliki pengertian dan asumsi yang sama.

Dalam kaitannya dengan lingkungan, Room kemudian memfokuskan

penelitiannya terhadap delapan cultural frame yang dapat digunakan oleh

10
Robin Room, The Cultural Framing of Addiction. Hal. 2

6
organisasi yang dianalisanya. Fokus pada isu sosial mengenai perlindungan

lingkungan juga didorong oleh fakta bahwa isu-isu tersebut sudah ada sejak lama,

memiliki gabungan elemen sosial dan teknis yang memiliki dampak lebih luas

daripada isu lain, serta memiliki dimensi yang hampir sama dengan isu-isu gender,

aksi afirmatif maupun tenaga kerja.11

Adanya hubungan sebab akibat antara kecanduan dengan tindakan buruk

setelahnya ternyata merupakan sebuah pilihan kultural. Kemudian, mengenai

konsepsi tersebut Room lebih jauh juga mengungkapkan karakterisasinya dari

berbagai budaya. Karakterisasi tersebut meliputi faktor biologis atau psikologis,

dan dianalisa baik dari kebudayaan di Amerika maupun di Eropa. Lebih jauh

Room kemudian memberikan penjelasan tentang bagaimana konsepsi tersebut

digunakan dalam penceritaan kisah-kisah di Amerika.

Kesamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang teliti adalah pada

konsep yang digunakan yaitu cultural framing. Hanya saja perbedaannya dalam

penelitian terdahulu cultural framing dilihat sebagai sebuah proses yang

membentuk sebuah konsepsi dalam masyarakat. Sementara penelitian ini berfokus

pada cultural framing untuk membentuk kesamaan ide, visi dan misi dalam suatu

organisasi level domestik yang dipengaruhi oleh isu atau organisasi lain di level

internasional.

Penelitian terdahulu yang kedua oleh Jennifer A Howard-Grenville dan

Andrew J. Hoffmann: The Importance of Cultural Framing to the Success of

Social Initiatives in Business, dalam penelitian terdahulu yang kedua ini,

11
Ibid.

7
dijelaskan mengenai bagaimana cultural framing digunakan untuk meningkatkan

inisiatif sosial dalam bisnis, mengambil contoh dari sebuah organisasi

internasional, penggunaan konsep cultural framing di sini hampir mirip dengan

dalam penelitian ini, yaitu dimana cultural framing merupakan pembentuk inisiatif

yang kemudian menyatukan setiap anggota organisasi dalam satu visi dan misi

yang sama. Sehingga isu ini kemudian memiliki data dan contoh yang kaya yang

dapat digunakan baik untuk melakukan framing dalam menggalang dukungan

sosial maupun untuk mempertimbangkan tindakan yang dapat dilakukan dalam

organisasi tersebut.

Cultural frame dalam penelitian ini digunakan sebagai inisiatif sosial, yang

kemudian meningkatkan kebersatuan dalam suatu organisasi. Kepentingan yang

sama juga dibentuk oleh cultural framing yang kemudian menjadi lebih penting

untuk kesuksesan sebuah organisasi dibandingkan dengan tujuan awal dari

organisasi tersebut. Namun, di sini cultural frame lebih digunakan untuk

membangun organisasi dan anggota-anggotanya, sementara dalam penelitian yang

diteliti oleh peneliti adalah informasi yang diterima dari suatu negara menjadi

bagian dari proses cultural framing dan memberikan pengaruh bagi pergerakan

organisasi di negara lain. Selain itu, penelitian terdahulu dilakukan di bidang

bisnis, sementara penelitian ini dilakukan di bidang sosial untuk menjelaskan

fenomena pengaruh cultural frame terhadap legalisasi ganja oleh LGN (Lingkar

Ganja Nusantara) di Indonesia.

8
Tulisan berikutnya berjudul The Federal Response to State Marijuana

Legalization: Room for Compromise?12 Dari Alex Kreit ini mencoba untuk

menjabarkan bagaimana perjuangan legalisasi ganja di Amerika Serikat, negara

yang notabene adalah induk paham liberal, tidak semulus yang dibayangkan.

Semenjak tahun 1996, Amerika Serikat untuk pertama kalinya menelurkan

kebijakan untuk melegalkan penggunaan ganja di California, Los Angeles. Akan

tetapi, dalam peraturan ini hanya penggunaan ganja medis / ganja untuk keperluan

medis yang diperbolehkan. Hal ini kemudian menjadi pembuka jalan bagi

masyarakat di distrik—distrik lain yang memiliki ide dan kepentingan yang sama

dengan masyarakat California, hingga sampai saat ini terdapat delapan belas

negara bagian yang berhasil memperjuangkan ide tersebut. Tantangan yang baru

kemudian muncul, ketika masyarakat negara bagian Colorado dan Washington

mencoba memperjuangkan aspirasi mereka untuk melegalkan penggunaan ganja

untuk tujuan rekreasi. Tentu hal ini tidak bisa diberikan perlakuan yang sama

dengan usaha-usaha pelegalan sebelumnya. Penelitian ini berusaha untuk

memberikan alternatif yang bisa digunakan pemerintah Amerika Serikat untuk

menghadapi aspirasi tersebut.

Dalam penelitian ini, Kreit melakukan komparasi antara proses pelegalan

yang sudah terjadi di Amerika Serikat dengan di Belanda. Ia melakukan

perbandingan dalam hal komersialisasi serta efek-efek yang ditimbulkan –atau

yang mungkin ditimbulkan di Amerika Serikat- ketika penggunaan ganja untuk

kegiatan rekreasi dilegalkan. Dijelaskan bahwa di Belanda penggunaan ganja

12
Alex Kreit, The Federal Response to State Marijuana Legalization: Room for Compromise?,
Center for Law and Social Justice, Thomas Jefferson School of Law.

9
untuk rekreasi sebenarnya masih berstatus semi-legal. Hal ini dikarenakan

penggunaannya yang sangat dibatasi – seperti hanya dijual di beberapa coffee

shops yang mendapat lisensi, kriteria konsumen yang ketat, serta jumlah

penggunaan yang hanya beberapa gram saja. Bentuk kebijakan seperti ini bisa

menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah Amerika Serikat

untuk mengakomodasi kepentingan masyarakatnya.

Penelitian Kreit, jika dibandingkan dengan penelitian ini, lebih mengacu

pada bagaimana proses pelegalan ganja di negara federal seperti amerika Serikat.

Terjadinya perdebatan akan hukum pelegalan ganja dan juga pertentangan antara

negara bagian satu dan lainnya menjadi fokus penelitain Kreit. Sementara

penelitian ini lebih berfokus pada bagaimana proses upaya pelegalan ganja di

Indonesia oleh satu organisasi tertentu. Di akhir penulisannya, Kreit menunjukkan

bahwa dalam menyikapi hukum pelegalan itu, dapat dilakukan kompromi yang

disesuaikan dengan kepentingan masing-masing negara bagian.

Penelitian berikutnya adalah The Legalization of Medical and

Recreational Marijuana in the United States’ state of Washington and the Impact

on Mexican Cartels oleh J. Michael Olivero.13 Dalam penelitian tersebut diperiksa

tentang dampak legalisasi marijuana untuk keperluan medis di Washington

terhadap organisasi criminal Mexico yang bergerak di bidang ganja. Organisasi

kriminal ini disebut cartels yang mendapatkan keuntungan dari perdagangan

ganja. Adanya larangan ganja yang dahulu diterapkan oleh AS menciptakan

cartel-cartel yang kaya dan kejam. Dengan adanya legalisasi ganja untuk
13
J. Michael Olivero, The legalization of Medical and Recreational Marijuana in the United
States’ state of Washington and the Impact on Mexican Cartels. Department of Law and Justice.
Central Washington University

10
keperluan medis dan rekreasional di Washington, maka cartel-cartel ini kemudian

merasa kesulitan untuk bergerak di kawasan tersebut. Beberapa Negara bagian

lain selain Washington bahkan sudah melegalkan produksi ganja dalam skala

tertentu. Tentu saja hal ini kemudian berimbas pada pengurangan pembelian pada

cartel-cartel Meksiko tersebut.

Dampak yang terjadi adalah banyaknya konsumsi ganja yang diproduksi

di dalam AS sendiri yang mengurangi konsumsi ganja hasil produksi Meksiko.

Analisa awal yang terjadi adalah kemungkinan terjadi persaingan antara cartel-

cartel Meksiko dengan produsen di AS yang menyebabkan cartel Meksiko ini

akan semakin kejam. Sehingga pada akhirnya legalisasi ganja yang terjadi tidak

menghentikan kekejaman cartel Meksiko tersebut, namun jelas berdampak pada

hasil penjualan mereka. Hal ini dibuktikan dengan data meningkatnya penjualan

ganja hasil produksi AS dan menurunnya konsumsi ganja hasil produksi Meksiko.

Perbedaan penelitian terdahulu Olivero dengan penelitian ini adalah

penelitian Olivero sudah membahas mengenai dampak yang terjadi setelah

pelegalan ganja di kawasan Negara bagian Washington. Sementara, penelitian ini

hanya befokus pada bagaimana upaya pelegalan yang terjadi di Indonesia oleh

LGN dengan mengadopsi fenomena-fenomena di Negara-negara lain. Sementara

persamaan dengan penelitian ini adalah keduanya meneliti secara umum mengenai

pelegalan ganja di suatu Negara. Walaupun penelitian terdahulu lebih focus pada

permasalahan hokum dan dampak yang terjadi setelah pelegalan tersebut.

11
Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No Judul dan Nama Jenis Penelitian Hasil

Peneliti dan Teori/ Konsep

1 Robin Room : The Cultural Framing, Room menjelaskan mengenai


Cultural Framing Addiction bagaimana konsep ―addiction‖ ini
of Addiction (Eksplanatif) dibangun dalam perspektif konstruktif.
Jadi konsep tersebut menjadi sebuah
anggapan tertentu karena adanya
cultural framing yang terbentuk di
tengah masyarakat di wilayah tertentu.
Dalam penelitiannya Room mengambil
contoh Amerika Serikat. Namun bukan
berarti konsepsi tersebut semata-mata
menjadi salah atau benar. Hanya saja
konsepsi tersebut harus dikaji lebih
jauh karena terkait dengan cultural
framing yang dibangun dalam persepsi
konstruktivis masyarakat setempat.

2 Jennifer A Cultural Framing, Howard-Grenville dan Hoffmann disini


Howard-Grenvill Social Initiatives menemukan bahwa cultural framing
e dan Andrew J. (Eksplanatif) sangat penting untuk pembentukan
Hoffmann : The inisiatif sosial dalam bisnis.
Importance of Mengambil contoh tentang organisasi
Cultural Framing lingkungan, Howard-Grenville dan
to the Success of Hoffmann menunjukkan bahwa
Social Initiatives in cultural framing justru lebih berperan
Business untuk kesuksesan sebuah bisnis atau
organisasi dibandingkan dengan tujuan
asli atau visi asli dari organisasi
tersebut.

12
3 Alex Kreit: The Federal Law and Munculnya undang-undang pelegalan
Federal Response Policy ganja di California memunculkan
to State Marijuana Eksplanatif perdebatan antara pemerintah dan juga
Legalization: Room praktisi hukum di beberapa negara
for Compromise? bagian lainnya. Kreit melakukan
komparasi antara proses pelegalan yang
sudah terjadi di Amerika Serikat
dengan di Belanda. Ia melakukan
perbandingan dalam hal komersialisasi
serta efek-efek yang ditimbulkan –atau
yang mungkin ditimbulkan di Amerika
Serikat- ketika penggunaan ganja untuk
kegiatan rekreasi dilegalkan.

4
J. Michael Olivero Marijuana Dampak legalisasi marijuana untuk
: The Legalization Legalization, keperluan medis di Washington
of Medical and Medical and terhadap organisasi criminal Mexico
Recreational Recreactional yang bergerak di bidang ganja. Adanya
Marijuana in the (deskriptif) larangan ganja yang dahulu diterapkan
United States’ state oleh AS menciptakan cartel-cartel yang
of Washington and kaya dan kejam. Dengan adanya
the Impact on legalisasi ganja untuk keperluan medis
Mexican Cartels dan rekreasional di Washington, maka
cartel-cartel ini kemudian merasa
kesulitan untuk bergerak di kawasan
tersebut. Beberapa Negara bagian lain
selain Washington bahkan sudah
melegalkan produksi ganja dalam skala
tertentu. Sehingga data menunjukkan
terdapat peningkatan konsumsi ganja
produksi AS dibandingkan produksi
Meksiko.

13
5
Lalu Wimbarda Cultural Framing Informasi mengenai legalisasi dan
P.N : Upaya LGN (deskriptif) pemanfaatan ganja di bidang medis,
(Lingkar Ganja industri, rekreasi dari negara-negara
Nusantara) dalam luar melalui berbagai macam media
pelegalan ganja di yang kemudian diterima oleh
Indonesia masyarakat di Indonesia.
Hal ini mampu menjadi salah satu
faktor cultural framing yang
mempengaruhi LGN (Lingkar Ganja
Nusantara) untuk melakukan berbagai
upaya untuk mendorong pelegalan
ganja di Indonesia.

1.5 Kerangka Teori dan Konsep

1.5.1 Cultural Framing

Howard Grenville dan Hoffmann menyatakan bahwa cultural frame

mengacu pada pemaknaan bersama oleh beberapa orang yang membentuk

pemahamannya mengenai situasi-situasi tertentu dan kemudian menjadi pedoman

mereka dalam menentukan tindakan di suatu organisasi.14 Lebih lanjut kemudian

dijelaskan bahwa kultur dalam sebuah organisasi dapat menjadi sangat kuat untuk

membentuk kepercayaan bersama karena adanya kultur spesifik tersebut tidak

hanya memberikan pandangan tentang apa yang ada di sekitar mereka namun juga

memberikan acuan mengenai apa yang seharusnya ada dan tidak ada serta apa

yang seharusnya ditindaklanjuti dan tidak ditindak lanjuti.15

Kemudian, disebutkan bahwa atribut-atribut dari kultur itu bisa saja

merupakan kosakata yang digunakan, reward, protokoler, pengukuran performa,

14
Hal. 71. Howard-Grenville dan Hoffmann. ―The importance of cultural framing to the success of
social initiatives in business‖ diambil dari tulisan Howard-Grenville dan Hoffmanndi Academy of
management executive tahun 2003, Vol 17. No. 2 di dalamnya dijelaskan bahwa cultural frame ini
dibentuk melalui proses kolektif dan bukan hanya pemikiran dari satu individu saja.
15
Op.Cit Hiward-Grenville hal.72

14
struktur dan kontrol koordinasi, dan lain-lain.16 Sementara cultural framing adalah

proses yang digunakan dengan frame yang ada untuk menjadi panduan tindakan

dalam organisasi, termasuk juga untuk memobilisasi suatu aksi atau mencari

solusi sebuah permasalahan.17

Kemudian, Sidney Tarrow dalam Power in Movement juga membahas

mengenai konsep cultural frame untuk menganalisa gerakan transnasional baru.18

Argumen Tarrow menyatakan bahwa gerakan sosial secara umum—yang

kemudian menjadi gerakan transnasional baru—adalah ― triggered by the

incentives created by political opportunities, combining conventional and

challenging forms of action and building on social networks and cultural

frames‖19 pernyataan tersebut apabila dikaitkan dengan keseluruhan pendapat

Tarrow, menunjukkan bahwa gerakan transnasional baru ini dipengaruhi oleh

adanya kesempatan dan peluang dari gerakan yang sama di dunia internasional

kemudian diadopsi oleh gerakan di level domestik.

Selain itu, Tarrow juga mengidentifikasi enam proses kontensi

transnasional yaitu Global Framing, Internalization, Diffusion, Scale Shift,

Externalization dan Coalition Forming.20 Tahapan tersebut merupakan tahapan

yang digunakan oleh para aktivis dalam gerakan transnasional baru untuk

mencapai kepentingannya dengan melakukan pendekatan internasionalisme.

16
Ibid
17
Ibid
18
Sidney Tarrow, ―A New Transnational Activism‖, diambil dari resume tulisan Tarrow yang
dimuat di Canadian Journal of Sociology Online. November- December 2005. Hal. 1. Tarrow
disini mengungkapkan bahwa transnasional yang baru bukan lagi dikaitkan dengan
globalisasi.Namun, gerakan transnasional baru ini lebih terkait dengan internasionalisme
19
Sidney Tarrow, dalam sebuah review mengenai tulisannya yang diakses dari
http://www.gvpt.umd.edu/lichbach/publications/lichbach6.95.pdf ( diakses pada 08 / 06/ 2014)
20
Ibid Tarrow dalam Canadian Journal of Sociology online hal. 2

15
Global Framing dan Internalization meliputi pengadopsian tema global untuk

digunakan dalam perjuangan level domestic. Externalization dan Coalition

Forming meliputi proyeksi klaim secara vertikal dan horizontal, kepada institusi-

institusi internasional dan kelompok-kelompok dengan kesamaan visi-misi.21

Mengenai cultural frame, Tarrow menyatakan bahwa cultural frame ini

merupakan dasar dalam melakukan aksi kolektif dan memobilisasi anggota

organisasi. Sebagai gambaran, sebuah pergerakan tentunya akan mengalami

berbagai permasalahan baik dari dalam maupun dari luar. Sebagai contohnya

adalah masalah egoisme masing-masing anggota, disorganisasi sosial, atau

tekanan dari Negara. Organisasi ini kemudian dituntut untuk tetap bertahan di

tengah permasalahan tersebut. Ketahanan aksi kolektif organisasi ini sangat

bergantung pada kemampuannya untuk memobilisasi masyarakat melalui jaringan

sosial dan simbol-simbol yang ditawarkan melalui cultural frame.22

Ditinjau dari konsep cultural frames yang telah dijabarkan oleh Sidney

Tarrow, cultural frames adalah dasar sebuah pergerakan dari suatu organisasi

untuk memobilisasi dan menarik massa dalam sebuah kepercayaan yang sama,

dari penjelasan tersebut penulis kemudian akan menggunakan bagian dari kontensi

transnasional milik Sidney tarrow, yaitu Global Framing dan Internalization,

dalam konteks ini tema globalnya adalah tentang pelegalan, pemanfaatan ganja di

berbagai Negara di dunia internasional untuk digunakan dalam perjuangan level

21
Tarrow kemudian mengemukakan bahwa hanya dua tahapan terakhir yang kemudian
menunjukkan keberlangsungan hubungan antara organisasi internasional dengan yang level
domestic. Lebih jauh Tarrow mengungkapkan bahwa terkadang organisasi/ gerakan di level
domestic tetap memperjuangkan nosi-nya tanpa menjalin hubungan lebih jauh dengan organisasi
di level internasional.
22
Sidney Tarrow, Power in Movement. Introduction.Hal. 7

16
domestik oleh LGN (Lingkar Ganja Nusantara) dalam mengupayakan pelegalan

ganja di indonesia.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian

deskriptif, yakni penelitian yang menyajikan suatu gambaran yang terperinci

tentang satu situasi khusus, setting sosial, atau hubungan sosial. Penelitian

deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau

penyebaran suatu gejala adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat23

1.6.2 Teknik Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga

tahapan, yaitu: (1) Pemeriksaan, dilakukan untuk memeriksa apakah data-data

yang diperlukan sudah lengkap dan benar; (2) Pengolahan, dilakukan dengan

memilah-milah data yang akan digunakan sesuai dengan kategorinya masing-

masing; (3) Analisa dan Interpretasi, data-data yang telah dipilah dalam

pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh peneliti.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka,

yaitu mencari data mengenai penelitian ini melalui berbagai media cetak yakni
23
Ulber Silalahi, 2009, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama, hal. 27.

17
buku, jurnal, catatan, website, dan lain sebagainya, yang telah diolah oleh orang

lain atau lembaga yang berupa data sekunder.24

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

1.6.4.1 Batasan Materi

Agar penelitian yang dilakukan bisa lebih fokus pada bahasan utama maka

batasan materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh

cultural framing tentang pelegalan pemanfaatan ganja di berbagai Negara

terhadap upaya pelegalan ganja oleh LGN (Lingkar Ganja Nusantara) Di

Indonesia.

1.6.4.2 Batasan Waktu

Batasan waktu yang digunakan dalam penelitian cultural framing tentang

pemanfaatan dan regulasi ganja medis di berbagai Negara terhadap upaya

pelegalan ganja oleh organisasi LGN (Lingkar Ganja Nusantara) Di Indonesia.

dimulai dari terbentuknya LGN (Lingkar Ganja Nusantara) di Indonesia yaitu

pada tahun 2010 dan akan dianalisa perkembangannya sampai tahun 2014.

1.7 Argumen dasar

Dalam memperjuangkan pelegalan ganja di Indonesia, LGN (Lingkar

Ganja Nusantara) –dengan menggunakan informasi tentang hasil penelitian

pemanfaatan ganja berbagai negara- telah melakukan beberapa upaya antara lain.

24
Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, hal. 61.

18
 Ikut melaksanakan event tahunan yang telah dilaksanakan di berbagai

Negara di dunia yaitu GMM (Global Marijuana March) setiap tahun dari

tahun 2010 sampai 2014.

 Menyusun dan menerbitkan buku HPG (Hikayat Pohon Ganja) yang berisi

tentang sejarah dan pemanfaatan ganja dalam berbagai bidang di berbagai

negara.

 Melakukan bedah buku HPG (Hikayat Pohon Ganja) di beberapa universitas

di indonesia antara lain di Aceh, Malang, Medan, Makassar dan Bali sebagai

upaya edukasi

 Melakukan diskusi dengan BNN (badan narkotika nasional) di Universitas

Indonesia.

 Melakukan audiensi dengan kementerian kesehatan Indonesia.

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan, skripsi ini dibagi menjadi empat bab, yang

setiap babnya terdiri atas sub-sub bab yang masing-masing saling berhubungan.

BAB I, merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, penelitian terdahulu, tabel posisi penelitian, kerangka teori dan konsep,

metodologi penelitian, argumen dasar, dan sistematika penulisan.

BAB II, berisi tentang informasi pelegalan dan pemanfaatan ganja

diberbagai aspek terutama dalam bidang medis, dan memberikan informasi

tentang Negara-negara yang telah melegalkan pemanfaatan ganja. Dalam bab ini

19
juga akan disertakan profil organisasi LGN (Lingkar Ganja Nusantara) di

Indonesia.

BAB III, meliputi analisa cultural framing terkait dengan berdirinya LGN

(Lingkar Ganja Nusantara) model aktifitas LGN Di Indonesia dan pembahasan

mengenai bagaimana upaya pelegalan ganja yang dilakukan oleh LGN(Lingkar

Ganja Nusantara) di Indonesia mulai dari masa pembentukan hingga

perkembangannya sampai pada tahun 2014.

BAB IV, berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat digunakan untuk

acuan atau referensi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan pengaruh

cultural framing terhadap organisasi tertentu, lebih utamanya yang bergerak dalam

legalisasi ganja.

20

Anda mungkin juga menyukai