Anda di halaman 1dari 9

Penerapan Etnomatematika dalam

Pembelajaran
(Disajikan dalam rangka Seminar Pendidikan Matematika di
HMPS Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma)
Oleh Yakobus Dwi Wahyuono

Latar Belakang

Pembelajaran matematika pada tingkat dasar hingga menengah setiap saat mengalami
pembaharuan seiiring dengan bergantinya peserta didik yang dihadapi. Pembaharuan tersebut
memang wajar terjadi karena karakter peserta didik yang tiap tahunnya berbeda. Dalam hal
ini pendidik (guru) memang sudah seharusnya memiliki daya kreasi yang luar biasa luas.
Daya kreasi ini tentu saja di dukung dengan adanya teknologi informasi yang sangat pesat
perkembangannya. Pendidik dapat dengan mudah mengakses pengetahuan-penmgetahuan
baru terutama tentang pendekatan-pendekatan dalam proses pembelajaran dalam ranah kelas.
Tentu saja dengan kreativitas guru ini hasil dari proses pembelajaran akan lebih baik dan
berkembang dari hari-ke hari. Dengan demikian bangsa Indonesia dapat mengejar
ketertingggalan dalam segala bidang dari bangsa lain.

Ilustrasi di atas bagi saya pribadi masih merupakan mimpi. Mimpi yang masih jauh
dari kenyataan. Sudah demikian banyak pelatihan-pelatihan yang di ikuti oleh guru-guru.
Bahkan tidak sedikit pula yang sudah studi lanjut. Namun di lapangan masih selalu saja
kembali ke cara-cara konvensional. Cara-cara yang terbanyak masih menganngap pusat
pembelajaran adalah pengetahuan guru. Cara-cara yang masih menganggap bahwa guru
adalah satu-satunya sumber ilmu. Cara-cara nyang mengabaikan keunikan peserta didik.
Cara-cara yang mengabaikan pula perkembangan teknologi yang sangat mempengaruhi
kondisi peserta didik. Meskipun sebenarnya secara sederhana tidaklah memerlukan suatu
teknologi canggih apalagi pengetahuan yang tinggi dalam mengadakan pembaharuan dalam
pembelajaran terlebih-lebih dalam pembelajaran matematika.

Pentingnya mengakomodir budaya peserta didik dalam belajar matematika

Perkembangan peserta didik seiring dengan perkembangan masyarakat. Apa yang


terjadi pada masyarakat baik regional ataupun global tentu saja mempengaruhi pola
kehidupan peserta didik. Secara langsung maupun tidak hal ini membentuk suatu kebiasaan-
kebiasaan yang kadang merupakan sesuatu hal yang baru. Kebiasan-kebiasaan yang terbentuk
tentu saja terbawa pada ranah pendidikan. Peserta didik dengan membawa kebiasaan mereka
yang dapat kemungkinan sama sekali berbeda antar mereka, bertemu dalam suatu wadah
sekolah, berinteraksi dan akhirnya memunculkan suatu kebiasaan-kebiasaan yang baru lagi.
Kejelian dalam melihat hal inilah yang harus dilihat oleh pendidik. Sejauh mana pendidik
dapat memanfaatkan “budaya” yang dibawa peserta didik atau yang terbentuk di antara
peserta didik untuk menyampaikan sesuatu yang akan mereka berikan.

Nampaknya dalam hal ini para ahli pendidikan matematika sudah melihatnya, dan
mengembangkan apa yang mereka sebut “Etnomatematika”

Definisi

Apa itu budaya?

Budaya dalam berbagai perspektif memiliki makna yang luas. Pada dasarnya budaya
merupakan suatu hasil dari budi manusia untuk bagaimana memahami bumi dan daya agar
selaras (hasil diskusi bersama teman-teman pemerhati dan pelaku budaya). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1996: 149), etno atau budaya yaitu pikiran, akal budi, dan adat
istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia,
seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat (dalam Astri dkk, 2013). Menurut Ernst
Cassirer (dalam Astri dkk, 2013 ), ada 5 aspek kebudayaan, yaitu (1) Kehidupan Spritual; (2)
Bahasa dan Kesusastraan; (3) Kesenian; (4) Sejarah; dan (5) Ilmu Pengetahuan. Jika
dipandang secara umum dalam masyarakat kebudayaan ini dapat diartikan sebagai ide-ide
atau gagasan-gagasan yang diwujudkan dalam bentuk benda-benda kebudayaan, maupun
perilaku masyarakat. Di sisi lain menurut ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan
keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll) yang berkembang dalam
masyarakat. Lain lagi dengan pandangan ahli sejarah yang mengartikan kebudayaan sebagai
warisan atau tradisi suatu masyarakat.
Menurut E.B.Tylor budaya didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas manusia,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan lain (Inda Rachmawati, 2012). Sedangkan menurut ilmu antropologi, budaya
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat,
1985). Hal tersebut mengartikan bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya
atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya.

Di sisi lain secara nyata dapat dilihat bahwa Matematika tumbuh dan berkembang di
berbagai belahan bumi ini jadi tidak hanya di satu lokasi atau wilayah saja. Ada yang tumbuh
dan berkembang di wilayah India, Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan harus di akui di
Indonesia berkembang matematika tersendiri demikian di negara-negara yang lain meski
kurang atau tidak terpublikasikan. Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi
karena adanya tantangan hidup yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai
latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya dan subbudaya mengembangkan
matematika dengan cara mereka sendiri. Sehingga matematika dipandang sebagai hasil akal
budi (pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini meyimpulkan bahwa
matematika merupakan produk budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran manusia, serta
alat pemecahan masalah. Sebagaimana diungkapkan oleh Sembiring dalam Prabowo (2010)
bahwa matematika adalah konstruksi budaya manusia.

Apa itu etnomatematika

Kita mulai mencoba memahami etnomatematika dari pandangan Sardjiyo Paulina


Pannen (melalui Supriadi, 2005) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya
merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih mengutamakan aktivitas siswa
dengan berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki, diintegrasikan dalam proses
pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil belajar dapat menggunakan
beragam perwujudan penilaian. Dalam hal ini pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui
budaya. Paling tidak terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis
budaya, yaitu isi atau substansi dan kompetensi bidang ilmu/bidang studi, kebermaknaan dan
proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta peran budaya. Harapannya pembelajaran
berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu dari pada sekedar
pemahaman mendalam meski keduanya dapat bdicapai secara bersamaan.
Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki
beberapa komponen, yaitu tugas yang bermakna, interaksi aktif, penjelasan dan penerapan
ilmu secara kontekstual, dan pemanfaatan beragam sumber belajar (diadaptasi dari Brooks &
Brooks,1993, dan Krajcik, Czerniak Berger,1999). Dalam pembelajaran berbasis budaya,
budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka
ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang ilmu. Salah satu wujud pembelajaran
berbasis budaya adalah etnomatematika (Ethnomathematics).
Secara keilmuan Etnomatematika diperkenalkan pertama kali oleh D'Ambrosio,
seorang matematikawan asal Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut
D'Ambrosio adalah: The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the
socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths,
and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to
understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and
modeling. The suffix tics is derived from techné, and has the same root as technique (Rosa &
Orey 2011)
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu
pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan symbol. Kata
dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan
kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan.
Akhiran “tics“ berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik.
Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai: "The mathematics which
is practiced among identifiable cultural groups such as national- tribe societies, labour
groups, children of certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985). Yang
artinya:
“Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya yang dapat diidentifikasi seperti
masyarakat nasional, suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas
profesional" (D'Ambrosio, 1985).
Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi: "I have been using the word
ethnomathematics as modes, styles, and techniques (tics) of explanation, of understanding,
and of coping with the natural and cultural environment (mathema) in distinct cultural
systems (ethno)" (D'Ambrosio dalam Inda Rachmawati, 2012).
Yang berarti "Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik
(tics) menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema)
dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, dalam Inda Rachmawati, 2012).
Selain itu D'Ambrosio (1985) juga mengatakan Ethnomathematics adalah studi
tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya dimana matematika
muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka gunakan. Kajian
etnomatematika dalam pembelajaran matematika mencakup segala bidang: arsitektur, tenun,
jahit, pertanian, hubungan kekerabatan, ornamen, dan spiritual dan praktik keagamaan sering
selaras dengan pola yang terjadi di alam atau memerintahkan sistem ide-ide abstrak.

Ruang Lingkup

Hal-hal yang menjadi kajian dalam etnomatematika (Prof. Dr. St. Suwarsono, 2015)

 Lambang-lambang, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan


matematis yang ada pada kelompok-kelompok bangsa, suku, ataupun kelompok
masyarakat lainnya.

 Perbedaan ataupun kesamaan dalam hal-hal yang bersifat matematis antara suatu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dan faktor-faktor yang ada
di belakang perbedaan atau kesamaan tersebut.
 Hal-hal yang menarik atau spesifik yang ada pada suatu kelompok atau beberapa
kelompok masyarakat tertentu, misalnya cara berpikir, cara bersikap, cara berbahasa, dan
sebagainya, yang ada kaitannya dengan matematika.
 Berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat yang ada kaitannya dengan matematika,
misalnya :
 Literasi keuangan (financial literacy) dan kesadaran ekonomi (economic
awareness)
 Keadilan sosial (social justice)
 Kesadaran budaya (cultural awareness)
 Demokrasi (democracy) dan kesadaran politik (political awareness)

Penerapan

Penerapan etnomatematika dalam pembelajaran (sharing pengalaman penulis sebagai gurui)

Berdasarkan pada pengalaman (meski belum paham benar apa itu etnomatematika
saat itu) penulis, dengan berani mencoba mengeplorasi budaya yang ada pada peserta didik
dan menggunakannya dalam pembelajaran matematika ternyata dapat meningkatkan minat
mereka untuk belajar matematika. Budaya yang saat itu penulis gunakan adalah “budaya
kolong”. Budaya kolong banyak berkembang di masyarakat Jawa Tengah sekitar lereng
Gunung Merapi. Budaya Kolong adalah budaya tentang adu tangkas merpati pada suatu arena
yang diberi nama kolong. Hal yang berkaitan dengan matematika misalnya : kecepatan
merpati (untuk belajar fungsi), luas arena, banyak penonton, penghasilan warung-warung
sekitar kolong, dll

Sumber http://teamphyranhayogya.blogspot.co.id/2016/11/hasil-selengkapnya-lomba-
merpati-kolong.html

Sumber : https://i.ytimg.com/vi/IlqKsfA4ddY/maxresdefault.jpg

Selain itu ada budaya yang terjadi di mayarakat lereng merapi yaitu penggalian pasir.
Kebetulan pula banyak peserta didik yang ikut terlibat dalam depo-depo pasir. Pembelajaran
matematika yang melibatkan penggalian pasir memang dapat juga menarik perhatian mereka.
Banyak hal-hal yang berkaitan dengan matematika di sana. Misal seperti perhitungan volume
pasir (dimensi 3), berkaitan dengan fungsi atau persamaan (penghasilan pekerja di depo,
pemilik depo, sopir truk dan lain-lain)
Sumber : https://hargapasirmerapi.wordpress.com/

Sumber : https://hargapasirmerapi.files.wordpress.com/2013/12/pasir-merapi1.jpg

Di samping itu masih ada dalam bidang Pertanian : seperti penanaman cabai, padi, dll
berkaitan dengan Aritmatika sosial. Masalah berbelanja atau “jajan” di kantin sekolah :
dapat berkaitan dengan Persamaan Linear satu Variabel, Sistem Persamaan Linear dua
Variabel, Perkalian, Penjumlahan, dll. Ada juga kebiasaan yang dibentuk seperti kebiasaan
bersalaman jika bertemu teman dan guru atau karyawan, hal ini dapat di kaitkan dengan
peluang, fungsi, dll.

Budaya yang saya gunakan terlebih-lebih merupakan budaya yang boleh dikatakan
muncul sebagai kebiasaan-kebiasaan baru. Bukan budaya yang merupakan peninggalan
leluhur berupa candi, prasasti, tari tradisional, dll. Hal ini harapannya tidak menjadikan
etnomatematika dipandang sebagai ilmu yang hanya berkaitan dengan peninggalan-
peninggalan sejarah masa lalu. Siswa dapat diajak membentuk suatu budaya baru yang lebih
relevan dengan kehidupan mereka di masa sekarang.

Penutup

Kegiatan belajar sebaiknya tidak mencerabut peserta didik dari budaya mereka.
Dengan memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik maka pendidik dapat
menentukan dengan tepat bagaimana dia harus mengajak peserta didik untuk belajar.
Melibatkan budaya perlu ditekankan bukan menjadikan peserta didik menjadi orang kuno
tapi justru di satu sisi dapat semakin mengajak peserta didik mencintai warisan budaya dan
melestarikannya.

Saran kepada para mahasiswa sebagai calon guru apa saja yang dapat dilakukan
a. Pahami budaya yang ada disekitar kita
b. Kritisi budaya tersebut
c. Kreasikan dan kaitkan dengan pembelajaran
d. Selain itu dapat juga ciptakan budaya baru yang dapat digunakan untuk pembelajaran
e. Setelah jadi guru terapkan di lingkungan sekitar tempat peserta didik.
f. Gunakan teknologi atau lebih baik ciptakan teknologi
g. Jangan terlalu memandang rendah tapi juga jangan terlalu memandang tinggi

Semoga bermanfaat
Daftar Pustaka

Astri dkk, 2013, Peran Etnomatematika Dalam Membangun Karakter Bangsa, Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 113 - 118

D’Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its place in the history and pedagogy of
mathematics. For the Learning of Mathematics, 5(1), 44-48.

Inda Rachmawati, 2012, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoharjo,


ejournal.unesa.ac.id/article/402/30/article.pdf, Surabaya

Prabowo, Agung dan Pramono S. 2010. Internasional Conference on Teacher Education.


Memahat Karakter Melelui Pembelajaran Matematika. Bandung:
Prof. Dr. St. Suwarsono. 2015. Etnomatematika (etnomathematics). Prgram S2. Universitas
Sanata Dharma.

Rosa, M. & Orey, D. C. (2011). Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics.


Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). 32-54

Supriadi. 2010. Pembelajaran Etnomatematika dengan Media Lidi dalam Operasi Perkalian
Matematika untuk Meningkatkan Karakter Kreatif dan Cinta Budaya Lokal Mahasiswa
PGSD. Jurnal Seminar Nasional STKIP Siliwangi. Serang: Sekolah Pascasarjana UPI.

Anda mungkin juga menyukai