Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
ARDS bisa terjadi pada semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Akan tetapi
insiden lebih tinggi pada orang dewasa karena faktor predisposisi (seperti trauma,
sepsis, pankreatitis).
b. Riwayat Penyakit
1. Dosis terapi obat (narkotik, salisilat, trisiklik, paraquat, metadon, bleomisin).
2. Gangguan hematologi (DIC, transfusi massif, bypass kardiopulmonal).
3. Eklamsia.
4. Luka bakar.
5. Pneumonia (viral, bakterial, jamur, pneumositik karinii).
6. Trauma (emboli lemak, kontusio paru).
7. Aspirasi (cairan gaster, tenggelam, cairan hidrocarbon).
8. Pnemositis.
9. Cedera kepala.
10. Peningkatan tekanan intrakranial.
11. Pascakardioversi.
12. Pankreatitis.
13. Uremia.
c. Pemeriksaan fisik
1. B1 (Breathing-Pernafasan)
Subyektif : Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan bernafas.
Obyektif : Pernafasan : cepat, mendengkur, dangkal. Peningkatan kerja nafas:
penggunaan otot aksesori pernafasan (retraksi intercostal atau
substernal), pelebaran nasal, memerlukan konsentrasi tinggi.
Bunyi nafas : pada awal normal. Krekels, ronkhi, dan dapat terjadi bunyi
nafas bronkial.
Perkusi dada : bunyi pekak diatas area konsolidasi.
Ekspansi dada menurun atau tak sama.
Sputum sedikit, berbusa.
Pucat atau sianosis.
2. B2 (Blood-Kardiovaskuler)
Subyektif : Fenomena embolik (lemak, darah, udara).
Obyektif : Tekanan darah dapat normal atau menngkat pada awal. Hipotensi
terjadi pada tahap lanjut.
Frekuensi jantung : takikardi.
Bunyi jantung : normal pada tahap dini.
Dapat terjadi disritmia tetapi EKG sering normal.
Kulit dan membrane mukosa : pucat, dingin, pada tahap lanjut bisa
terjadi sianosis.
3. B3 (Brain-Persarafan)
Obyektif : Penurunan mental.
4. B4 (Bladder-Perkemihan)
Obyektif : Oliguri.
5. B5 (Bowel-Pencernaan)
Subyektif : Kehilangan selera makan, mual.
Obyektif : Hilang/berkurangnya bunyi usus.
6. B6 (Bone-Muskuloskeletal)
Obyektif : Kekurangan energy /kelelahan.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X dada
Terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit normal. Infiltrasi jaringan
parut lokasi terpusat pada regio perihiliar paru. Pada tahap lanjut interstitial
bilatralipus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus
paru.
2. ABG
Seri membedakan gambaran hipoksia (penurunan PaO2 meskipun konsentrasi
oksigen inspirasi meningkat).
Hipokabnea (penurunan kadar CO2) dapat terjadi pada tahap awal sehubungan
dengan kompensasi hiperventilasi.
Hiperkabnea (PaCO2 lebih besar dari 50) menunjukkan kegagalan ventilasi.
Alkalosis respiratori (pH > 7,45) dapat terjadi pada tahap dini, tapi asidosis
respiratori dapat terjadi pada tahap lanjut sehubungan dengan peningkatan area
mati dan penurunan area ventilasi alveolar.
Asidosis metabolik dapat terjadi pada tahap lanjut sehubungan dengan peningkatan
kadar laktat darah akibat dari metabolic anaerob.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekresi dan
penurunan gerakan silia.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoksemia refraktori dan kebocoran
interstitial pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
c. Kelebihan volume cairan di paru berhubungan dengan perpindahan protein dan cairan
ke alveoli.
d. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hipoksia.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
f. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan
selera makan, mual.
C. Intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekresi dan
penurunan gerakan silia.
a. Batasan karakteristik
1) Mayor :
a) Batuk tidak ada/tidak efektif.
b) Tidak mampu mengeluarkan sekret di jalan nafas.
2) Minor :
a) Jumlah, irama, kedalaman pernafasan tidak normal,
b) Suara nafas ronkhi.
b. Tujuan : mempertahankan jalan nafas paten
c. Kriteria hasil
1) Bunyi nafas vesikuler.
2) Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
3) Irama nafas teratur.
4) Frekuensi pernafasan 12-20 x/menit.
5) Kegelisahan, sianosis, dan dispone tidak ada.
6) Saturasi O2 95-100%.
d. Rencana tindakan
1) Bantu dengan batuk efektif.
2) Keadekuatan hidrasi (tingkatkan masukan cairan 2/4-3/4 perhari jika tidak
dikontraindikasikan pada penyakit ginjal atau penurunan curah jantung).
3) Nebulizer.
4) Lakukan pengisapan (suction) jalan nafas sesuai kebutuhan.
5) Kolaborasi pemberian ekspektoran. Pada batuk kronis.
6) Minimalkan zat-zat yang dapat menimbulkan iritasi pada udara yang dihirup.
7) Usahakan periode istirahat.
3. Kelebihan volume cairan di paru berhubungan dengan perpindahan protein dan cairan ke
alveoli.
a. Batasan karakteristik
1) Subyektif: Dispnea
2) Obyektif:
a) Bunyi nafas tidak normal (ronkhi basah halus atau ronkhi basah kasar).
b) Ansietas.
c) Oliguria.
d) Kongesti paru.
b. Tujuan: menunjukkan keseimbangan cairan.
c. Kriteria hasil:
1) Keseimbangan asupan dan haluaran dalam 24 jam.
2) Tidak terdapat bunyi nafas tambahan.
3) BB normal/stabil.
4) BJ urine 1,010 – 1,025.
d. Rencana tindakan
1) Awasi vital sign.
2) Timbang BB tiap hari.
3) Observasi intake dan output.
4) Kolaborasi cairan iv dalam observasi ketat, hindari cairan berlebihan. Monitor tanda
dan gejala overdehidrasi.
5) Berikan diuretic sesuai dengan keperluan.
4. Risiko perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
ke serebral.
a. Batasan karakteristik
1) Perubahan status mental.
2) Perubahan perilaku.
3) Perubahan respon motorik.
4) Perubahan reaksi pupil.
5) Kelemahan ekstremitas atau kelumpuhan.
6) Ketidaknormalan dalam berbicara.
b. Tujuan: peningkatan keadekuatan perfusi serebral.
c. Kriteria hasil:
1) TD: systole 100 – 200 mmHg, diastole 60 – 80 mmHg.
2) Berkomunikasi dengan jelas sesuai dengan usia serta kemampuan.
3) Menunjukkan perhatian, konsentrasi, dan orientasi.
d. Rencana tindakan:
1) Tinggikan bagian kepala tempat tidur 0-45 derajat, bergantung pada kondisi pasien.
2) Berikan oksigen.
3) Berikan obat yang menyebabkan hipertensi untuk mempertahankan perfusi
serebral.
4) Monitor vital sign.
5) Monitor kadar PO2 dan PCO2 serta HB.
6) Monitor perubahan perfusi jaringan serebral.