Anda di halaman 1dari 18

APENDISITIS PADA ANAK

I. DEFINISI
Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks. Peradangan ini pada
umumnya disebabkan oleh infeksi yang menyumbat apendiks. Apendisitis akut
adalah kejadian akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera untuk
mencegah komplikasi yag lebih buruk.

II. ANATOMI APENDIKS


Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog
dengan Bursa Fabricus) yang membentuk produk immunoglobulin. Appendiks
adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada
bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada
Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal
appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm,
diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica,
dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada
titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang
berjarak 1/3 dari SIAS kanan.1
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a. ileocolica). Orificiumnya terletak
2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang
mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.1
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang
merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke
ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan
lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari
satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta
lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular
layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga
taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan
sebagai pegangan untuk mencari appendiks.2
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-
8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan
berpindah dari medial menuju katup ileosekal.3
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal.
Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung
pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau
ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.1
Jenis posisi1:
Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri
Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas
ke belakang caecum.
Gambar 1. Variasi posisi appendiks.

Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan


parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilikus.1
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis, cabang dari a.
Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada
infeksi, appendiks akan mengalami gangren.1

III. FISIOLOGI APPENDIKS


Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.4
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran
cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.4

IV. ETIOLOGI
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteri yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya5 :
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena
benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan
cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-
macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus
apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa
tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.5
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi
feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan
adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus,
lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.5
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan
letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan
kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat
memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.5
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-
hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai
resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan
mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya
memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.5

V. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat
berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.6
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.6
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.6
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.6
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.6
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.6
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus
yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus
tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses
melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).6
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.6

VI. GEJALA KLINIS


Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan
menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya
tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak sering tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis
appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Akibatnya lebih dari separo
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.6

VII. PEMERIKSAAN FISIK


Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1C.6
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa
atau abses appendikuler.6
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu6:
 Nyeri tekan di Mc. Burney
 Nyeri lepas
 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal,
defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.2
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.6
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-
12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan
colok dubur. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang,
pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.6
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada
hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan. Dasar anatomi dari tes psoas.
Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang
saat dilakukan manuver (pemeriksaan).6 Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam
secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah
kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang),
menghasilkan rotasi femur kedalam.6 Dasar Anatomi dari tes obturator :
Peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot obturator internus yang
meregang saat dilakukan manuver.6

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein
meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.7
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.7
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.8
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG
dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dan sebagainya.7,8
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi
sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.7
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.8
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung.
Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat
itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.8
IX. SISTEM SKOR ALVARADO
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak,
orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar
20-30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen
skor Alvarado.
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan
mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem
skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko
meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis
dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis
mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1,
sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10.9
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:9
Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,30C 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
Total skor: 10
Keterangan Alavarado score :9
 Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1–4 dipertimbangkan appendicitis akut
5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7–9 appendicitis akut perlu pembedahan
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1–4 : observasi
5–6 : antibiotik
7 – 10 : operasi dini

X. DIAGNOSIS BANDING
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis.7
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.7
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.7
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,
leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.7
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak
sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika
uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.7
6. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan
ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-
gejala appendisitis.7
7. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.7

XI. TATA LAKSANA


Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.7
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini
dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika
peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga
penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.7
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa
perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa
ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya
maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.7
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.7
Pada periapendikular infiltrat, dilarang untuk membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih
bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau pun tanpa peritonitis umum.6
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya.6
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :7
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Apabila terjadi abses, dianjurkan drainase
saja. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.7
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur
rectal dan aksiler)
o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih
kecil dibanding semula.
o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Operasi periapendikular infiltrat dapat dilakukan apabila:
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.

APPENDEKTOMI
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. M. Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
Garis insisi pada appendektomi10:
1. Insisi Gridiron
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis
miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik
dari pada insisi gridiron.
3. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di
atas pubis.
4. Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks
terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

XII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk
usus halus.6
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :6
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance Muskular yang menyeluruh
 Bising usus berkurang
 Perut distended
Akibat lebih lanjut dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :6
 Pelvic Abscess
 Subphrenic absess
 Intra peritoneal abses lokal.(4)
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.7

XIII. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila appendiks tidak diangkat.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Van De Graaff. Human Anatomy 6th Ed.New York: Mc Graw Hill. 2001.

2. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology 3rd Ed. Massachusets:
Saunders. 2002.

3. Sadler TW. Langman’s Medical Embriology 9th Ed. New York: Mc Graw
Hill. 2002.

4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 11th Ed.


Philadelphia: Saunders. 2006.

5. Bashin SK et al.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK


Science.2007.

6. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.


2004.

7. Craig S. Appendicitis di http://emedicine.medscape.com/article/773895-


overview

8. Humes DJ, Simpson J. Acute Appendicitis. BMJ. 2007

9. Khan I. Application of Alvarado Scoring System in Diagnosis of Acute


Appendicitis. J Ayub Medical Collection. 2005.

10. Noor, UA., Putra, DA., Oktaviati, Syaiful, RA., Amaliah, R. 2011,
Penatalaksanaan Appendisitis, Jakarta: Bedah Umum, Departemen Ilmu
Bedah FKUI/RSCM.

Anda mungkin juga menyukai