Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CERVIKAL

Dosen Pembimbing : Suyanto, S.Kp., M.Kes.

Disusun oleh :

Indah Sari Melawati

P27220017062

PRODI D-III KEPERAWATAN

POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR CERVIKAL

A. DEFINISI
Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang
mendukung kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah
fraktur (patah atau retak) di salah satu tulang leher disebut fraktur
servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis,
vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan
lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997).

B. ETIOLOGI
Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma
pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi
dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam,
sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Cedera medulla spinalis
servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang
di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam
melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung
tersebut dapat berupa :
 Kecelakaan lalulintas
 Kecelakaan olahraga
 Kecelakaan industry
 Jatuh dari pohon/bangunan
 Luka tusuk
 Luka tembak
 Kejatuhan benda keras
C. EPIDEMIOLOGI
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker dan stroke, tercatat ᄆ 50 meningkat per 100.000 populasi tiap
tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis,
2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar
dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury
disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering
pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.

D. PATOFISIOLOG
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya terjadi
disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut.
Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah di tempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin
(hematom fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru.
Aktifitas osteoblas segera terangsang dan membentuk tulang baru imatur yang
disebut kalus. Bekuan fibrin di reabsorbsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan
lahan mengalami remodeling untuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan
kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan
beberapa minggu sampai beberapa bulan (Corwin 2001).
E. PATHWAY
F. KLASIFIKASI
Mekanisme klasifikasi cervical spine injury
1. Fleksi
- Anterior dislokasi (hiperfleksi sprain)
- Bilateral inter facetal dislokasi
- Simple wedge compression fracture
- Clay-Shovelerr fracture (spinasus process avulsion)
- Flexion tear drop fracture
- Flexion – rotation
- Unilateral facet dislocation
2. Extension
- Hyperextention dislocation
- Avulsion tear drop fracture of axis
- Fracture of posterior arch of atlas
- Lacunar fracture
- Traumatic spodylolistesis (Hangman’s Fracture)
- Hyperextension fracture dislocation)
3. Vertical Compresion
- Occipital condyle fracture
- Burst fracture
- Jefferson fracture (Bursting fracture of atlas)
4. Lateral Flexion
- Uncinate process fracture
Lesi spesifik dan penanganannya :
1. Occipital condyle fractures
Termasuk fracture yang jarang, klinis pasien datang dengan penurunan
kesadaran atau gangguan kranial nerve.
2. Condylar fracture terbagi 3 tipe:
Tipe I : fracture dikarenakan beban axial dari tengkorak ke tulang atlas,
fracture terjadi di occipital condyle tanpa/minimal displacement ke
foramen magnum
Tipe II : fracture dari condylus sampai foramen magnum. Tampak fracture
linien CT- Scan merupakan fracture stabil
Tipe III : Condyle fracture avulsi Mekanisme trauma biasanya rotasi atau
lateral bending atau keduanya merupakan fracture unstable dan harus dilakukan
craniocervical fusion.
3. Atlanto occipital dislocation
Pasien datang dengan quadri-plegia dan respiratory arrest Diagnosa ditegakkan
dari perhitungan lateral skull X-ray : >1 Normal: 0.7-0.009 Cervical traksi
merupakan kontra indikasi. Halo vest, atlanto occipital fusion. Occipital fusion
merupakan pilihan
4. Atlas Fracture
5 – 10 % cervical spine injury. Gambaran fracture: posterior arch fracture,
lateral mass fracture, Jefferson fracture, Horizontal fracture. Penanganan :
mobilisasi dengan halo vest, bila fracture avulsi dengan axial traksi
5. Axis Fracture
- fraktur
odontoid
- fraktur lateral
mass
- hangman’s
fractur
- combine
frakture
6. Odontoid fracture
7 – 14 % fracture cervical. Keluhan pasien: nyeri pada occipital
cervical
Pemeriksaan: open mount Ro, CT axial, coronal, sagital Dibagi 3 tipe:
1. Avulsi distal odontoid # cervical collar
2. Fracture pada basis odontoid # imobilisasi 12 mhh halo orthosis
3. Fracture melewati body axis # hale vest 12 mgg Basion – posterior arch
Anterior arch atlas for magnum
7. Traumatic spondylolistesis (Hangman’s fracture)
G. KOMPLIKASI
a. Syok neurogenik yaitu hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending
pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstermitas bawah
maka akan terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi
b. Syok spinal dimana keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlhat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Padas yok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak
c. Hipoventilasi, hal ini trejadi disebabkan karena paralisis otot intercostal yang
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di
daerah servikal bawah atau torakal atas
d. Hiperfleksia autonomic yang dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut,
keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Evaluas
i
Radiolo
gis
Setelah primary survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan external,
tahap berikutnya adalah evaluasi radiographic tercakup didalamnya, plain foto
fluoroscopy, polytomography CT-Scan tanpa atau dengan myelography dan
MRI.

P
l
a
i
n

f
o
t
o
Cervical foto series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri lokal,
deformitas, krepitasi atau edema, perubahan status mental, gangguan neurologis
atau cedera kepala, pasien denganmultiple trauma yang potensial terjadi
cervical spine injury. Komplit cervical spine seri terdiri dari AP, lateral view,
open mount dan oblique. Swimmer dan fleksi ekstensi dilakukan bila
diperlukan.
Computer
tomograph
y
Pada saat ini CT-Scan merupakan metode yang terbaik untuk akut spinal
trauma, potongan tipis digunakan untuk daerah yang dicurigai pada plain
foto. CTScan juga dilakukan bila hasil pemeriksaan radiologis tidak sesuai
dengan klinis, adanya defisit neurologis, fraktur posterior arcus canalis
cervicalis dan pada setiap fraktur yang dicurigai retropulsion fragmen tulang ke
kanal saat ini CT dapat dilakukan paad segital, coroval atau oblig plane. 3
dimensi CT imaging memberikan gambaran yang lebih detail pada fraktur yang
tidak dapat dilihat oleh plain foto.

M
y
e
l
o
g
r
a
f
i
Pemberian kontras dengan water soluber medium diikuti dengan plain atau CT
dapat melihat siluet dari spinal cord, subarachnoid space, nerve root, adanya
lesi intra meduler, extrameduler, obstruksi LCS, robekan duramater, tetapi
dalam kasus trauma pemeriksaan ini masih kontraversial.

Magentic Resonance
Imaging (MRI)
MRI banyak digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal,
mendiagnosis akut spinal cord dan cervical spinal injury karena spinal cord
dan struktur sekitarnya dapat terlihat.

I. PENATALAKSANAAN
1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2.Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal
Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat
medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin
terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan
kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher .
Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh
digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu
jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang
terkena benturan, jatuh atau tabrakan.
Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala,
nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian
belakang leher.

2. Penanganan
Operasi
Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment,
decompresi elemen neural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior dan
posterior Anterior approach, indikasi:
- ventral kompresi
- kerusakan anterior collum
- kemahiran neuro surgeon
Posterior approach,
indikasi:
- dorsal kompresi pada struktur neural
- kerusakan posterior collum Keuntungan:
- dikenal banyak neurosurgeon
- lebih mudah
- medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen
- minimal morbility
3. Pembatasan
aktivitas
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa
pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan
yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi. Pada tahap
akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan.
Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu
untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya :
penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan
menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan
ekstensi leher
yang berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada
lapangan terbuka , maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk
yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.

4. Penggunaan collar brace


Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher.
Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi.
Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Pada
salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk
menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama
mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya
pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak
digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk
menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan
berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan
defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.

5. Modalitas terapi lain


Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri.
Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal
untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit,
1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit
, 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak
efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik
tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan
meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi
sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat
dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari
selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit
selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih
dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis
berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial.
Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya
dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher
isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf
(meskipun inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks
saraf maupun diskus).
Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas , aktivitas
dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas
diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan
sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan
MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian
steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai
berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif.
Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar
dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa
terjadi pada herniasi diskus di servikal.
6. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin
lip, jaw thrust.
Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
7. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
8. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1
- C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan
rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
9. Menyediakan oksigen tambahan.
10. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
11. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
12. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh
dari hipotensi dan bradikardi.
13. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
14. Berikan antiemboli
15. Tinggikan ekstremitas bawah
16. Gunakan baju antisyok
17. Meningkatkan tekanan darah
18. Monitor volume infus.
19. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
20. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika
terjadi gejala bradikardi.
21. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
22. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
23. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan
spinal cord steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari
24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
a.Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
b.Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan
aspirasi jika ada indikasi.
c.Memasang kateter urin untuk pengosongan
kandung kemih.
d.Mengubah posisi pasien untuk menghindari
terjadinya dekubitus.
e.Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika
diperlukan).
f.Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara
konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
g.Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

J. RENCANA ASUHAN
KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan
Aktifitas dan istirahat : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal

Sirkulasi : Berdebar-debar, pusing saat melakukan


perubahan posisi, hipotensi, bradikardia
ekstremitas dingin atau pucat
Eliminasi : Inkontenensia defekasi dan berkemih,
retensi urine, distensi perut, peristaltik usus
hilang
Integritas ego : Menyangkal, tidak percaya, sedih dan
marah, takut cemas, gelisah dan menarik
diri.
Pola makan : Mengalami distensi perut, peristaltik usus
hilang Pola kebersihan diri : sangat
ketergantungan dalam melakukan ADL
Neurosensori : Kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya
tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis.

Nyeri/kenyamanan : Nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah


trauma, dan mengalami deformitas pada derah
trauma.
Pernapasan : Nafas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis

Keamanan : Suhu yang naik turun

Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma),
kompresi medulla spinalis.
2. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d adanya cedera pada cervikalis
3. Gangguan pola eliminasi uri : inkontinensia uri b.d kerusakan saraf perkemihan
4. Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat
kerusakan persarafan usus & rectum.
5. Hambatan mobiltas fisik b.d kelumpuhan pada anggota gerak

Intervensi Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil :
a) ventilasi adekuat
b) PaCo2<45
c) PaO2>80
d) RR 16-20x/ menit
e) Tanda-tanda sianosis(-) : CRT 2 detik
Intervensi keperawatan:
- Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan
-untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
- Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
- Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret
yang berakibat pnemonia.
- Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan
tindakan segera
- Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
- Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi
sekret sebagai ekspektoran.
- Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus
menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
- Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas
sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6 dalam
waktu 2 X 24 jam
Intervensi keperawatan :
- Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
- Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih dan berbaring lama.

- Berikan tindakan kenyamanan.


Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol
nyeri.
- Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
- Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat

3. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat


perkemihan. Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama
perawatan
Kriteria hasil :
a) Produksi urine 50cc/jam
b) Keluhan eliminasi urin tidak ada
Intervensi keperawatan:
- Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
- Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
- Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
- Pasang dower kateter.
Rasional membantu proses pengeluaran urine

4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan


persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
- Auskultasi bising usus, catat lokasi dan
karakteristiknya. Rasional : bising usus
mungkin tidak ada selama syok spinal.
- Observasi adanya distensi perut.
- Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT
- Berikan diet seimbang TKTP cair
Rasional : meningkatkan konsistensi feces
- Berikan obat pencahar sesuai pesanan.
Rasional: merangsang kerja usus

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan


Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
a) Tidak ada konstraktur
b) Kekuatan otot meningkat
c) Klien mampu beraktifitas kembali secara bertahap
Intervensi keperawatan :
- Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
- Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
- lakukan log rolling.
Rasional : membantu ROM secara pasif
- pertahankan sendi 90 derajat terhadap papan kaki
Rasional mencegah footdrop
- Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional :
mengetahui adanya hipotensi ortostatik
- Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
- Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas.

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama


Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
- Inspeksi seluruh lapisan kulit.
Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
- Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan.
Rasional : untuk mengurangi penekanan kulit
- Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
- Jagalah selimut tetap kering.
Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
- Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan.
Daftar Pustaka

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.
Jakarta : EGC
Cowin, J Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC
Emma. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggaun Persyarafan. Jakarta:
Salemba Medika
Hudak, Gallo. 2006. Keperawatan Kritis Holistik Edisi VI. Jakarta: EGC
Ivones, J Hidayat.2011. Buku Ajar Orthopedi dan fraktur. Jakarta: Widya Medika
Keliat, Budi Anna, dkk . 2015. Diagnosis Keperawaan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selecta Kedokteran Edisi ke III. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2013. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi pada Praktik
Klini Keperawaatan. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat, Win De Jang. 2005. Buku Ajar ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai