Tujuan :
- Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menegakkan diagnosis
- Dapat melakukan tatalaksana terhadap diagnosis tersebut
Bahan bahasan □ Tinjauan pustaka □ Riset √ Kasus □ Audit
Cara membahas □ Diskusi √ Presentasi dan diskusi □ Email □ Pos
Data Utama untuk bahan diskusi :
1. Data Pasien
Nama : By Ny S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor RM :
Alamat : Alian, Kebumen
Pekerjaan ortu : Ayah : Buruh
Ibu : Ibu rumah tangga
Tanggal lahir : 09 Januari 2016
Masuk RS : 09 Januari 2016
Anamnesis
A. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis dengan keluarga dan bidan desa)
B. Keluhan utama : Bayi lahir spontan tidak langsung menangis
1
Pasien datang diantar keluarga dan bidan desa dengan keluhan bayi
tidak ada usaha nafas semenjak dilahirkan dua jam yang lalu. Proses kelahiran
secara spontan di rumah dibantu oleh bidan desa pada tanggal 09 Januari 2016
pukul 22.00. Pada saat dilahirkan dikatakan bayi tidak langsung menangis,
tidak ada usaha napas dan bayi terlihat biru. Bayi kemudian segera dibawa
Bidan desa dan keluarga ke UGD RSUD Soedirman. Suction (-). Oksigenasi
(-).
C. Riwayat Kehamilan
Bayi lahir dari ibu P1A0. Ibu jarang memeriksakan kehamilannya
pada bidan dan jarang kontrol selama kehamilan. Kehamilan ini merupakan
kehamilan yang tidak diinginkan. Sebelum persalinan pasien mengaku
mengkonsumsi obat obatan peluruh kehamilan. Riwayat ibu sakit tekanan
darah tinggi selama kehamilan disangkal. Riwayat memelihara hewan
disangkal. Selama hamil ibu diperiksa golongan darahnya, yaitu golongan
darah B, rhesus tidak tahu.
D. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 09 Januari 2016 dari seorang ibu 18 tahun
P1A0 dengan usia kehamilan 28 minggu. Ketika datang ke Bidan, sudah
dalam masuk fase persalinan dengan pembukaan lengkap. Letak kepala, lahir
spontan, ditolong bidan, lahir tidak langsung menangis, nafas spontan (-),
merintih, kulit kebiruan, tidak bergerak. Berat badan bayi saat lahir 800 gram,
panjang badan 26 cm.
E. Riwayat Makanan
(-)
F. Riwayat Imunisasi
(-)
2
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 09 Januari 2015 jam 23.45 di ruang
Ponek IGD RSUD Soedirman.
A. Keadaan umum : tampak lemah, merintih
B. Tanda Vital
Denyut Jantung : 60 kali/ menit
Pernapasan : 0 kali/ menit
Suhu : 340 C
Saturasi 02 : 88 %
APGAR Score
1’ 5’
Appearance 1 1
Pulse 1 1
Grimace 1 1
Activity 0 1
Respiration 0 1
3 5
C. Antropometri
Berat badan : 800 gram
Panjang badan : 26 cm
D. Status Generalis
1) Kepala : normocephali, ubun- ubun besar terbuka datar, ubun- ubun kecil
terbuka datar, cephal hematoma (-)
2) Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera ikterik -/-, pupil isokor, reflek
cahaya +/+
3) Hidung : napas cuping hidung (+)
4) Mulut : bibir tidak kering, sianosis (+)
5) Leher : retraksi suprasternal (+), pembesaran kelenjar getah bening colli
tidak ditemukan
6) Thorax : Bentuk dan gerak simetris, retraksi intercostal (+)
Paru : suara dasar (-), suara tambahan (-)
Jantung : ictus cordis tidak tampak dan teraba di SIC V LMCS, bunyi
jantung 1 > bunyi jantung 2, regular, tidak ada suara tambahan
7) Abdomen
Inspeksi : cembung, Retraksi epigastrial (+)
Auskultasi : bising usus + normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
3
8) Ekstremitas
Akral : dingin
Sianosis : ke empat ekstremitas
3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap (09/01/2016)
Nama test Hasil Nilai Satuan
Rujukan
Index
Differential
Netrofil 52 50 – 70 %
Limfosit 34.2 25 – 40 %
Monosit 14.7 2–8 %
Eosinophil 2.2 2–4 %
Basophil 0.8 0–1 %
Daftar Pustaka :
4
1. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Asfiksia Neonatorum. Pedoman Pelayanan Medis
Kesehatan Anak 2011:401-403
2. IDAI. Asifiksia Neonatorum Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta.
Badan Penerbit IDAI;2004:272-276
3. IDAI. Perinasia. UKK-Perinatologi. Panduan resusitasi neonates. Edisi ke-6 . Juni 2006
4. Leuthner SR, Ug D. Apgar Score and the definition of birth asphyxia. Pediatric Clinic N Am
2004:51:737-45
5. Martin AA, Gracia AA, Gaya F,dkk. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia.
Journal Pediatric 2005;127:786-93
6. McGuiver W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid 2006;15:1-2
7. Misra PK, Thakur S. Perinatal mortality in rural India with special references to high risk
pregnancies. Journal of Tropical Pediatrics. 2004;33:242-252
8. Pencegahan dan Penatalakasanaan Asfiksia Neonatorum. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008
9. Suradi R, Aminullah A, Kosim S. Pencegahan dan panatalaksaan afiksia neonatorum.
Health Technology Assesement Indonesia, Departmen Kesehatan Indonesia.2008
10. Williams CE, Mallard C and Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal asphyxia.
Clin Perinatof 2003;20:305-23
11. Yu VYH. Prognosis in infants with birth asphyxia. Academic Pediatric Singapore.
2000;35:481-86
Hasil Pembelajaran :
1. Subjektif
5
- Keluhan utama : Bayi lahir spontan tidak langsung menangis
- Onset : 2 jam SMRS (usia 1 hari)
- Durasi : terus menerus
- Usaha napas (-) dan bayi terlihat biru. Suction (-). Oksigenasi (-).
- Kontrol selama kehamilan (-). Kehamilan ini merupakan kehamilan yang
tidak diinginkan. Konsumsi obat obatan peluruh kehamilan (+).
- Bayi lahir dari ibu usia 18 tahun P1A0, usia kehamilan 28 minggu, lahir
spontan ditolong bidan.
2. Objektif
Keadaan umum : tampak lemah, merintih
Tanda Vital
Denyut Jantung : 60 kali/ menit
Pernapasan : 0 kali/ menit
Suhu : 340 C
Saturasi 02 : 88 %
APGAR Score
1’ 5’
Appearance 1 1
Pulse 1 1
Grimace 1 1
Activity 0 1
Respiration 0 1
3 5
Antropometri
Berat badan : 800 gram
Panjang badan : 26 cm
Pemeriksaan generalis :
Sianosis ke empat ekstremitas (+)
Napas cuping hidung (+)
Retraksi suprastrenal (+)
Retraksi intercostal (+)
Retraksi epigastrial (+)
a. Pemeriksaan Penunjang
Leukosit : 8.200 / mm3
Hb : 11 gr/dL
3. Assessment
Neonatus laki-laki preterm usia 1 hari dengan asfiksia neonatorum.
6
4. Plan
Penatalaksanaan asfiksia neonatorum
Neonatus lahir
7
Berikan O2 flow aliran bebas dalam 10 lpm
8
Perawatan observasi/ suportif :
Jaga kehangatan, Injeksi vitamin K1 1 mg (IM), pantau tanda vital. monitoring :
tanda vital, cairan masuk dan keluar, berat badan, dan tanda-tanda distress napas
BAB I
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada tahun
pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada bulan pertama. Dua
pertiga dari yang meninggal pada bulan pertama meninggal pada minggu pertama.
Dua pertiga dari yang meninggal pada minggu pertama, meninggal pada hari pertama.
Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi
kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah.
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan (35,9%), prematuritas (32,4%)
dan sepsis neonatorum (12.0%).1
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena
gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat
gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Perubahan pertukaran
gas dan transport oksigen selama kehamilan dan persalinan akan mempengaruhi
oksigenasi sel–sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel.
Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi ibu selama
kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit
menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada gangguan
yang terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenasi serta
kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan gangguan fungsi
plasenta.1
9
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir
kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental
dan gangguan belajar. Asfiksia neonatorum adalah kegawat daruratan bayi baru lahir
berupa depresi pernapasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi.1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahir tidak bernafas
secara spontan, teratur, dan adekuat. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi
multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidosis metabolik. Bayi
yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda : 2,3,4
1) Ikatan Dokter Anak Indonesia: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
2) WHO: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.
3) ACOG dan AAP: Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila
memenuhi kondisi sebagai berikut:
a) Nilai Apgar menit kelima 0-3
b) Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
c) Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
d) Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem
renal).
2.2 Etiologi
10
Asfiksia neonatorum akan terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 dari ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia pada bayi baru
lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama
kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau
kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
11
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli 2,4,6.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara
dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami
relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi
tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri
pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru
meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun.
Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis
dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,
kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan,
udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah
paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi,
duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus
arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh6.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan4,6.
12
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik)6.
13
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian.
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih
tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak,
otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena
kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di
dalam darah4,6.
2.3.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam
kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer
(gambar 1)2. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali
usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk
mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen2.
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana
diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah
pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu
primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum
atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi
telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat
14
membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang
ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang
membahayakan.6
15
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorum, baik faktor neonates, faktor ibu, dan faktor plasenta. Anamnesis yang
kuat dan menunjukkan tanda-tanda asfiksia neonatus ini dapat membantu
menegakkan diagnosis.4
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Asfiksia dapat terjadi selama periode intrauterine atau antepartum, durante
partum maupun post partum. Bila bayi mengalami asfiksia intrauterine berarti ia
mengalami kejadian gawat janin atau fetal distress. Penegakan diagnosis asfiksia
durante atau postpartum dapat ditegakkan dengan menentukan nilai APGAR score
pada menit 1, 5, 10, dan 15.4
Cara menentukan skor APGAR7,8,9:
1. Bayi baru lahir diletakkan di bawah radiant heater
2. Pemeriksaan dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir
3. Bila penilaian menit ke-5 <7, penilaian dilanjutkan setiap 5 menit sampai
menit ke-20
4. Penilaian APGAR meliputi 5 kriteria (Tabel 1)
16
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Nilai APGAR diperhatikan pada menit ke-1 dan menit ke-5. bila nilai APGAR
5 menit masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru
lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi
dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. 9
17
2.6 Tatalaksana
Prinsip tatalaksana bayi baru lahir yang mengalami asfiksia meliputi 5:
1) Segera dilakukan sesudah bayi lahir
2) Intervensi harus cepat, tepat, jangan sampai terlambat (jangan menunggu
hasil penilaian APGAR menit 1)
3) Pada dasarnya pada setiap bayi baru lahir kita harus melakukan penilaian
terhadap 5 hal : Apakah air ketuban tanpa meconium? Apakah bayi
bernapas atau menangis? Apakah tonus otot baik? Apakah warna kulit
merah muda? Apakah bayi cukup bulan?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di
dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila
terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan
satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan 8,9:
(1) Langkah awal dalam stabilisasi
(a) Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam
keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan
eksplorasi seluruh tubuh.8 Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi
menjadi hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa
kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan
seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah
pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa
digunakan adalah alas penghangat8,9.
(b) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan
pipa endotrakeal.9
(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah
18
aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam
mencegah aspirasi mekonium.9
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada
keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,
tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera
dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian
dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun
bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada
bayi tanpa mekoneum.10
19
(4) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)
(5) Penilaian
20
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya
resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:
(1) Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang
megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan
intervensi lanjutan.9
Terapi medikamentosa9 :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik
dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Cara :
21
- IV atau endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu
.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia
dan tidak ada respon dengan resusitasi
- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.
Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan
pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah
banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 ml/kg BB . IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klini
- Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan
hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas
darah dan kimiawi
Dosis :
- 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak
diberikan secaraintravena dengan kecepatan minimal 2 menit
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak
.
22
- Nalokson :
Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi
harus adekuat dan stabil
Indikasi :
- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan Jangan diberikan
pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai
pemakaiobat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with
drawl tiba-tiba pada sebagian bayi
Dosis :
- 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara :
- Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan im atau sc
Antibiotika
- Diberikan pada asfiksia berat, yaitu golongan ampisilin atau
aminoglikosid)
2.7 Komplikasi
Penyulit terpenting pada asfiksia neonatorum adalah 8:
Perdarahan dan oedema otak
Hipoksik iskemik ensefalopati (HIE)
NEC
GGA
Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan
dapat pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan
hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti
otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak
dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ
rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus
gastrointestinal.8
23
Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi
vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular
di perifer. Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994) yang
melaporkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan kaitan
yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran darah serta
meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika superior.
Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. Perubahan resistensi
vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung
pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut
pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi
serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya
aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan
vasopresin. Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat
pada aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu.
Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak
mengalir ke batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa
putih. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis
anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH
darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan
metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik
sementara ataupun menetap9.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat
dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor
redistribusi aliran darah terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya
gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian
pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan
payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada hipoksia berat,
angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang
mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%.9
24
Sistem Susunan Saraf Pusat
Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih
dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan
hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang
selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak. Penelitian Yu,
menyebutkan 8-17% bayi penderita serebral palsi disertai dengan riwayat
perinatal hipoksia. Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling
sering ditemukan pada masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik
iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat terjadinya
hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering
timbul sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestasi gambaran
klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses
hipoksia dan iskemianya. 4,10
Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia
terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan
peri/intraventrikular. Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi
menimbulkan vasodilatasi serebral dan peninggian aliran darah serebral.
Keadaan tersebut menimbulkan peninggian tekanan darah arterial yang
bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula pada sirkulasi kapiler di
daerah matriks germinal yang mengakibatkan perdarahan. Selanjutnya
keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat perdarahan ataupun renjatan
pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada proses
kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat
adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di
daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan perdarahan.
Proses yang mana yang lebih berperan dalam terjadinya perdarahan
tersebut belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi gangguan sirkulasi
yang terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati mempunyai peran
yang menentukan dalarn perdarahan tersebut.4,10
Sistem Pernapasan
25
Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia
neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori
mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan
iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri,
gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun penggunaan
ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium.10
Sistem kardiovaskuler
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi
miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium
terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel
miokard terutama di daerah subendokardial dan otot papilaris kedua bilik
jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita asfiksia hanya 29% bayi
yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang ditemukan bersifat ringan
berupa bising jantung akibat insufisiensi katup atrioventrikuler dan
kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskernia miokardium.
Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita asfiksia
berat antara lain gangguan konduksi jantung, aritmia, blok atrioventrikuler
dan fixed heart rate.10
Sistem urogenital
Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan
perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah
yang kurang menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula.
Dalam penelitian terhadap 30 penderita asfiksia neonatus Jayashree G,
dkk.(1991) menemukan disfungsi ginjal pada 43 % bayi dengan gejala
oliguria disertai urea darah >40 mg% dan kadar kreatinin darah >1 mg
%.34 Sedangkan Martin-Ancel, dkk. menemukan 42% dari 72 bayi
penderita asfiksia menderita berbagai gangguan fungsi ginjal yang
tercermin dari pemeriksaan klinik dan laboratorium penunjang.10
Sistem gastrointestinal
26
Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang
terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan
koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus.
Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat
sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi makanan atau
adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan perforasi saluran
cerna, enterokolitis nekrotikans kolestasis dan nekrosis hepar.10
Sistem audiovisual
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi
secara langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak
langsung akibat hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang
terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan
penglihatan. Johns ,dkk. pada penelitian terhadap 6 bayi prematur yang
menderita kelainan jantung bawaan sianotik, 3 bayi di antaranya menderita
retinopati. Retinopati yang ditemukan ternyata tidak hanya karena
peninggian tekanan oksigen arterial tetapi pada beberapa penderita
disebabkan oleh hipoksemia yang menetap. Selain retinopati, kelainan
perdarahan retina dilaporkan pula pada bayi penderita perinatal hipoksia.
Penelitian Luna (1995) yang memeriksa secara berkala (antara usia 1
sampai 36 bulan) ketajaman dan lapangan penglihatan 66 bayi penderita
asfiksia, menemukan bahwa nilai ketajaman serta luas lapangan
penglihatan bayi prematur lebih rendah dan lebih sempit bila dibandingkan
dengan bayi cukup bulan normal. Gangguan ketajaman dan lapangan
penglihatan tersebut semakin nyata apabila bayi juga menderita kelainan
susunan saraf pusat seperti perdarahan intraventrikuler atau leukomalasi
periventrikuler. Penelitian jangka panjang dengan alat brainstem auditory
evoked responses yang dilakukan pada bayi dengan riwayat asfiksia,
menemukan gangguan fungsi pendengaran pada sejumlah bayi.
Selanjutnya dari penelitian tersebut dilaporkan bahwa kelainan
pendengaran ditemukan pada 17,1% bayi pasca asfiksia yang disertai
27
gangguan perkembangan otak, dan 6,3% pada penderita tanpa gangguan
perkembangan otak.10
2.8 Prognosis
Tergantung pada apakah komplikasi metabolik, kardiopulmonal
(hipoksia,hipoglikemia,syok) dapat diobati, umur kehamilan bayi (paling jelek
preterm), tingkat keparahan encefalopati hipoksik iskemik, Apgar score rendah
pada menit ke-20, tidak ada respirasi spontan pada usia 20 menit, menetapnya tanda-tanda
kelainan neurologis pada usia 2 minggu dapat menyebabkan kematian atau defisit kognitif dan
motorik yang berat.10
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Asfiksia Neonatorum. Pedoman Pelayanan
Medis Kesehatan Anak 2011:401-403
2. IDAI. Asifiksia Neonatorum Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta. Badan Penerbit IDAI;2004:272-276
3. IDAI. Perinasia. UKK-Perinatologi. Panduan resusitasi neonates. Edisi ke-6 . Juni 2006
4. Leuthner SR, Ug D. Apgar Score and the definition of birth asphyxia. Pediatric Clinic N
Am 2004:51:737-45
5. Martin AA, Gracia AA, Gaya F,dkk. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia.
Journal Pediatric 2005;127:786-93
6. McGuiver W. Perinatal Asphyxia. Clin Evid 2006;15:1-2
7. Misra PK, Thakur S. Perinatal mortality in rural India with special references to high risk
pregnancies. Journal of Tropical Pediatrics. 2004;33:242-252
8. Pencegahan dan Penatalakasanaan Asfiksia Neonatorum. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2008
9. Suradi R, Aminullah A, Kosim S. Pencegahan dan panatalaksaan afiksia neonatorum.
Health Technology Assesement Indonesia, Departmen Kesehatan Indonesia.2008
10. Williams CE, Mallard C and Tan Gluckman PD. Pathophysiology of perinatal
asphyxia. Clin Perinatof 2003;20:305-23
11. Yu VYH. Prognosis in infants with birth asphyxia. Academic Pediatric Singapore.
2000;35:481-86
29