Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DHF adalah penyakit endemik dengan infeksi yang ditularkan melalui nyamuk

Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (Vyas, 2013; Kemenkes RI, 2016). DHF

atau Dengue Haemorrhagic Fever adalah penyakit endemik yang seringkali

ditemukan di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Pada penderita

DHF terjadi proses infeksi virus dengue dengan gejala demam fase pelana kuda

yang disertai mual hingga muntah dan menyebabkan permeabilitas pada

dinding kapiler yang dapat menimbulkan risiko ketidakseimbangan cairan

(Utami, 2010) (SDKI, 2017).

Risiko ketidakseimbangan volume cairan terjadi akibat gigitan nyamuk Aedes

Aegypti yang membawa virus dengue, virus tersebut masuk kedalam pembuluh

darah kapiler sebelum kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh dan

menyebabkan adanya peningkatan respon antibodi pada tubuh. Dalam tahap ini

tubuh pasien mengalami gejala demam, anoreksia, muntah yang mengakibatkan

pasien merasa haus dan berisiko dehidrasi (Candra, 2010).

Besarnya risiko ketidakseimbangan cairan pada anak lebih berbahaya karena

respon fisiologis terhadap infeksi penyakit pada anak lebih besar untuk terjadi

cold shock biasanya ditandai dengan akral dingin, nadi lemah, capillary refill

time yang memanjang (Kadafi, 2017). Hal ini terjadi karena pada anak-anak

masih terdapat fase pertumbuhan (Supartini, 2012). Selain itu, anak mempunyai
2

rasio luas permukaan tubuh jauh lebih luas dibandingkan dewasa sehingga

menimbulkan risiko yang lebih besar untuk kehilangan cairan lebih banyak

dibandingkan dengan dewasa (Kadafi, 2017). Apabila risiko

ketidakseimbangan cairan tubuh tidak segera ditangani maka dapat

mengakibatkan syok yang dapat berdampak mengganggu tumbuh kembang

pada pasien anak (Supartini, 2012).

Menurut data WHO, Indonesia berada pada urutan ke-2 dengan kasus DHF

terbesar diantara 30 negara dengan wilayah endemis (Depkes, 2018). Kejadian

DHF di Indonesia pada tahun 2016 tercatat sebanyak 204.171 orang dengan

golongan terbanyak yang mengalami DHF di Indonesia adalah usia 5-14 tahun

(43,44%) dan usia 15-44 tahun (33,25%) (Depkes, 2016). Provinsi Jawa Timur

berada pada urutan ke-2 tertinggi dengan total 7.838 kasus. Dengan angka

kematian tertinggi, yaitu sebanyak 105 kematian. Hasil survey yang dilakukan

Joharina (2014), menunjukkan presentase nilai House Index mencapai 27,58%

(lebih tinggi dari standar WHO: ≤10%) menunjukkan tingginya resiko

penularan DHF di kota Malang. Didapatkan data rekam medis pada Januari

2018 hingga Desember 2018 di Rumah Sakit Panti Waluya Sawahan Malang

tercatat dari 108 kasus, 60% kasus DHF adalah usia anak (RM RSPW, 2018).

Fenomena yang penulis temukan ketika praktik klinik bulan juni tahun 2017 di

RS Panti Waluya Malang, saat di IGD RS Panti Waluya Malang, menjumpai

pasien anak usia 11 tahun yang mengalami DHF dibawa oleh keluarganya. Saat

perawat melakukan pengkajian, didapatkan keluhan bahwa An. Y lemas,


3

demam naik turun sejak 5 hari yang lalu dan keringat dingin, mual muntah dan

terdapat bintik-bintik merah di kedua tapak kaki anak Y. Berdasarkan fenomena

yang didapat setelah dilakukan pengkajian, observasi tanda-tanda vital dan

dilakukan pemeriksaan laboratorium (hematologi, hematokrit 48%, trombosit

138.000 sel/ml) pasien tersebut oleh dokter didiagnosa DHF dan harus dirawat

di Rumah Sakit.

Upaya yang dapat diberikan oleh perawat untuk mencegah terjadinya

komplikasi saat muncul risiko ketidakseimbangan cairan yang dapat

mengakibatkan kematian yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan pada

pasien anak yang dimulai dari pengkajian, menentukan diagnose keperawatan

yang muncul, merencanakan tindakan keperawatan, implementasi, serta

mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan. Asuhan keperawatan yang dapat

dilakukan pada pasien anak yang mengalami DHF dengan masalah

ketidakseimbangan cairan, melalui tindakan keperawatan yaitu keadaan umum

pasien, observasi nadi, memantau gejala klinis seperti mual muntah, dan

berkolaborasi untuk pemberian cairan pada penderita, intervensi ini dapat

dijadikan acuan pada anak dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang

mengalami risiko ketidakseimbangan cairan (Kozier Barbara dkk, 2010).

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis judul Karya

Tulis Ilmiah dalam bentuk studi kasus yang berjudul “Asuhan Keperawatan

pada Anak dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami

Risiko Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang”.


4

1.2 Batasan Masalah

Masalah dalam studi kasus dibatasi pada “Asuhan Keperawatan pada Anak

dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko

Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang”.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Dengue Haemorrhagic

Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan Cairan di Rumah

Sakit Panti Waluya Malang?.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian studi kasus ini adalah untuk melakukan “Asuhan

Keperawatan pada Anak dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang

mengalami Risiko Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya

Malang”.

1.4.2 Tujuan Khusus

Melakukan pengkajian Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.


5

1. Menetapkan diagnosa Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.

2. Menyusun perencanaan Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.

3. Melakukan tindakan Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.

4. Melakukan Evaluasi Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.

5. Mendokumentasikan tindakan Keperawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Sebagai bahan penelitian tentang pemberian Asuhan Keperawatan pada Anak

dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko

Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.


6

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Perawat

Meningkatkan kinerja perawat dalam mengatasi masalah keperawatan,

menentukan diagnosa dan intervensi yang tepat dalam hal pencegahan

maupun menanggulangi masalah keperawatan yang telah terjadi,

khususnya pada Anak dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang

mengalami Risiko Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit Panti

Waluya Malang.

2. Bagi Rumah Sakit

Dapat memberikan pelayanan kesehatan dan kepuasan di Rumah Sakit

Panti Waluya Malang sehingga mutu rumah sakit dapat meningkat melalui

asuhan keperawatan pada Anak dengan Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan Cairan di Rumah Sakit

Panti Waluya Malang.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Menghasilkan lulusan keperawatan yang vokasional dan professional

untuk siap menghadapi masalah keperawatan di lahan praktik.

4. Bagi Pasien

Melalui penelitian ini dapat membantu pasien maupun keluarga untuk

mengatasi masalah dalam perawatan pada Anak dengan Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) yang mengalami Risiko Ketidakseimbangan

Cairan di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang teori “Risiko Ketidakseimbangan

Cairan dengan pasien Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) pada anak”. Pada bab

ini juga akan dijelaskan materi sebagai berikut: konsep anak, tahap pertumbuhan

dan perkembangan anak, konsep DHF, konsep DHF dengan Risiko Kekurangan

Volume Cairan pada anak, dan asuhan keperawatan DHF dengan masalah Risiko

Kekurangan Volume Cairan pada anak.

2.1 Konsep Anak

2.1.1 Definisi Anak

Menurut WHO yang dikutip dari Hidayat (2012), anak adalah individu yang

berada dalam rentang perubahan perkembangan dimulai dari masa anak

hingga remaja, dan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

dimulai dari usia todler (1-3 tahun), usia prasekolah (4-6 tahun), hingga

remaja (13-21 tahun).

2.1.2 Klasifikasi Anak

Menurut Rizky, dkk (2015), usia anak dari 1-21 tahun pada karakteristik anak

adalah sebagai berikut:

1) Usia toddler : 1-3 tahun

2) Anak prasekolah : 4-6 tahun

3) Anak sekolah : 7-12 tahun


8

4) Usia Remaja : 13-21 tahun

a) Remaja awal : 13-14 tahun

b) Remaja pertengahan : 15-16 tahun

c) Remaja akhir : 17-21 tahun

2.1.3 Pertumbuhan dan Perkembangan

Dikutip dari Setiawan (2014), definisi dari pertumbuhan dan perkembangan

sebagai berikut:

1. Pertumbuhan (growth)

Merupakan masalah perubahan dalam jumlah, besar, maupun ukuran

yang dapat diukur

2. Perkembangan (pada anak)

Yaitu proses pematangan dalam struktur dan fungsi tubuh dengan

bertambahnya kemampuan (skill) dengan pola yang teratur.

a) Parameter Pertumbuhan

1. Berat Badan

Merupakan cerminan tingkat nutrisi dan gizi anak dan status hidrasi

(Setiawan, 2014).
9

2. Tinggi Badan

Pengukuran tinggi badan pada anak dilakukan secara berbaring,

sedangkan pada usia < 2 tahun dilakukan dengan berdiri (Dony, dkk,

2014).

Tabel 2.1 Pertumbuhan Tinggi Badan (Setiawan, 2014).


No Umur Tinggi Badan
1 Setelah lahir Lambat
2 4 tahun 6 cm/tahun
3 8 tahun Konstan
4 10-11 tahun 4 cm/tahun
5 13-15 tahun 12 cm/tahun
6 18 tahun keatas Berkurang sampai berhenti

3. Lingkar Kepala

Lingkar kepala berkaitan dengan tumbuh kembang otak anak, yang

perkembangannya bergantung dari makanan yang bergizi serta

stimulasi lingkungan (Setiawan, 2014).

Tabel 2.2 Pertumbuhan Lingkar Kepala


No Umur Besar Otak dan Lingkar Kepala
2 1 tahun 50% dari otak dewasa
3 2 tahun 75% dari otak dewasa
4 3 tahun 90% dari otak dewasa
7 LK usia 1 tahun 45-47 cm
8 LK usia 3 tahun 50 cm
9 LK usia 10 tahun 53 cm
10. LK 10 tahun keatas 55-58 cm

4. Lingkar Lengan Atas (LILA)

Salah satu penentuan gizi anak dengan pengukuran yang dilakukan

diantara pertengahan pangkal lengan atas dan ujung siku dalam

ukuran centimeter, dengan rentang normal LILA menurut usia todder:

16 cm, prasekolah: 17 cm, dan usia remaja: 24,5 cm (Dony, dkk, 2014)
10

5. Suhu dan metabolisme

Kenaikan suhu dengan frekuensi 0,5-1ºC masih dalam batas normal.

Pada anak kecil dan bayi suhu tubuh cenderung lebih tinggi (Setiawan,

2014).

6. Jumlah Cairan Tubuh Total

Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan dan

presentasi ini dipengaruhi oleh jumlah lemak dalam tubuh (pada orang

obes total cairan lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk), jenis

kelamin, dan umur (Hidayat, 2016). Pada bayi normal cairan total 70-

75% dari berat badan, pra-pubertas 65-70% dari berat badan. Kadar

lemak pada wanita umumnya lebih banyak dibanding dengan pria,

sedangkan kadar air pada pria lebih besar daripada wanita (Kadafi,

2017).

b) Parameter Perkembangan

1) Periode Toddler (1-3 tahun)

Periode ini adalah fase di mana anak mulai belajar toilet

Training,belajar otonomi, belajar independent

a) Perkembangan psikososial

Anak mulai dapat mengkontrol dirinya sendiri, bila hasilnya

negatif maka akan timbul perasaan malu pada dirinya. Namun bila

ia mampu melakukannya maka hal ini dapat meningkatkan kontrol

di dirinya.
11

b) Perkembangan psikointelektual

Anak belum mampu berpikir dari sudut pandang orang lain dan

masih bersifat egosentris.

c) Perkembangan psikoseksual

Pusat kenikmatan saat perkembangan ini terletak di anus.

d) Perkembangan Motorik

Tabel 2.3 Perkembangan Motorik Masa Toddler


No Umur Motorik Kasar Motorik Halus
(bulan)
1 15 Bisa berjalan - Bisa memegang cangkir
bulan sendiri - Memasukkan jari ke lubang
- Membawa kotak
- Membuang benda
2 18 - Berlari - Menggunakan sendok
bulan - Menarik - Membuka hal baru
mainan - Menyusun balok-balok
- Naik tangga
dengan
bantuan
3 24 - Berlari sudah - Membuka pintu dan kunci
bulan baik - Mengguntin
- Naik tangga - Minum dengan gelas
sendiri - Menggunakan sendok
dengan dua dengan baik
kaki tiap
tahap
4 36 - Naik trun - Menggambar huruf O
bulan tangga tanpa - Mencuci tangan sendiri
bantuan - Menggosok gigi
- Memakai
baju dengan
bantuan
- Mulai bisa
bersepeda

Ciri pertumbuhan fisik:

- Pada usia 2 tahun BB anak 4x bbl, TB 50% dari TB dewasa.


12

- Pada usia 3 tahun BB naik 2-3 kg/tahun, TB naik 6-8 cm/tahun,

lingkar kepala 50cm.

2) Periode Pra Sekolah (3-6 tahun)

Periode ini adalah fase di mana anak mulai belajar perbedaan seks dan

perilakunya, mempersiapkan diri untuk membaa dengan kemampuan

bicara dan bahasa, dan belajar membedakan yang benar dan salah seta

mulai mengembangkan hati nurani.

a) Perkembangan psikososial

Anak banyak inisiatif, mempunyai rasa ingin tahu yang bear, aktif

bermain maupun bekerja, aktif berada di luar ruma dan sering

bertanya.

b) Perkembangan psikointelektual

Dibagi menjadi 2 sub masa:

Tabel 2.4 Perkembangan Psikointelektual Usia Pra Sekolah


No Sub Masa Perkembangan
1 Pre Conceptual Pada masa ini anak masih egosentris
(2-4 tahun)
2 Berpikir intuitif Pola pikir didasarkan pada penampakan
(4-7 tahun) objek, masa transisi dari egosentris ke
lingkungan, daya nalar masih kaku, dan
tidak dapat dipaksa (Trozt Alter I).

c) Perkembangan psikoseksual

Anak mulai mengetahui perbedaan laki-laki dan perempuan.

d) Perkembangan motorik

Pada Usia 4 tahun, ciri pertumbuhan fisiknya: BB naik 2,3

kg/tahun, TB naik 6,75-7,5cm/tahun.

Tabel 2.5 Perkembangan Motorik Masa Pra Sekolah


13

No Umur Motorik Kasar Motorik Halus


1 4 tahun - Berjalan berjinjit - Menggunakan gunting
- Melompat dengan lancar
- Melompat dengan satu - Menggambar kotak
kaki - Menggambar garis lurus
- Menangkap dan - Membuka dan memasang
melempar bola dari atas kancing
kepala
2 5 tahun - Berjalan mundur - Menulis angk dengan
sambil jinjit huruf
- Menangkap dan - Menulis dengan kata-kata
melempar bola dengan - Menulis nama sendiri
baik - Mengikat tali sepatu
- Melompat dengan kaki
bergantian

3) Periode Sekolah (6-12 tahun)

Periode ini adalah fase di mana anak mulai belajar kemampuan fisik,

dapat bermain dan berolahraga, mengembangkan kemampuan

membaca, menulis dan berhitung, mengembangkan nurani, moralitasi

dan skala nilai, membentuk sikap terhadap kelompok sosial dan

institusi.

a) Perkembangan psikososial

Anak ingin dilibatkan dalam aktivitas karena ingin menghasilkan

sesuatu.

b) Perkembangan psikointelektual

Anak dapat berpikir lebih logis dan terarah. Anak dapat melihat

sudut pandang orang lain dan mengatasi persoalan menurut

persepsinya.

c) Perkembangan psikoseksual

Pada fase ini anak mengalami fase tenang, tidak aktif.


14

d) Perkembangan motorik

- Mampu memukul lebih baik daripada menulis dan melukis

- Anak laki-laki lebih aktif daripada anak perempuan

Perubahan ini dicirikan dengan adanya kenaikan BB 2-3 kg/tahun

dan kenaikan TB 6-7 cm/tahun.

4) Periode Masa Remaja

Periode ini dibagi menjadi 3, merupakan masa peralihan anak-anak

menjadi dewasa.

Ciri-ciri perkembangan:

Tabel 2.6 Tabel Perkembangan Masa Remaja


No Umur Sub Masa Ciri Perkembangan
1 12-14 Pra remaja a. Perkembangan seks sekunder
tahun nampak, namun organ reproduksi
belum berkembang
b. Adanya pereatan pertumbuhan berat
badan dan tinggi badan
c. Rasa ingin tahu yang kuat terutama
hal yang konkret
d. Rasa harga diri yang kuat
e. Rasa diri positif yang kuat, meliputi
tanggung jawab, rasa kebebasan dan
rasa AKU (masa Trozt Alter II)
f. Identifikasi diri karena lepas dari
keluarga ke lingkungan.
Masa Trozt Alter II dicirikan dengan
keras kepala, tidak patuh, suka mogok,
berlagak dewasa. Masa ini berlangsung
selama 2-10 bulan merupakan usaha
untuk melepaskan kewibawaan oran
tua dan guru serta rasa ingin mandiri.

2 14-17 Remaja awal a. Terjadi kematangan alat seksual dan


tahun (pubertas) tercapainya kematangan reproduksi
b. Panjang badan akan bertambah 10
cm/tahun
c. Perkembangan dan pertumbuhan
seks primer dan sekunder belum
mencapai ukuran yang matang
15

3. 17-21 Remaja akhir a. Organ seks mencapai ukuran yang


tahun matang
b. Perubahan internal pada sistem tubuh

a) Perkembangan psikososial

1) Menerima tubuhnya

2) mutuskan akan menjadi manusia semacam apa

3) Membuat Keputusan akan karir

4) Memperoleh kebebasan dari orang tua

b) Perkembangan psikointelektual

Ciri anak pada masa ini anak lebih fleksibel dan dapat menyesuaikan

diri. Anak apat menyimpulkan dengan logis dan dipengaruhi oleh

beberapa konsep diri, yaitu: usia kematangan, penampilan diri,

kebutuhan seks, julukan untuk nama, hubungan keluarga, teman-

teman sebaya, cita-cita dan kreativitas.

c) Perkembangan psikoseksual

Pusat kenikmatan anak berada pada alat kelamin dan daerah erogen.

Kesulitan akan cinta akan timbul jika terdapat perbedaan dari moral,

sosial budaya antara anak dengan orang tua maupun masyarakat.

2.2 Konsep Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

2.2.1 Definisi DHF

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit endemik yang

disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam golongan aarbovirus dari

genus flavivirus (dengan 4 serotipe) yang didapat melalui gigitan nyamuk


16

jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit ini dapat menyerang dan

mengakibatkan kematian pada anak (Susilaningrum, 2013).

2.2.2 Etiologi

Nyamuk betina jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus menularkan virus

dengue yang dibagi menjadi empat serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-

4) melalui gigitan pada manusia (Sucipto, 2011) dengan jam gigitan saat pagi

hari pukul 06.00-09.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00 (nyamuk betina akan

bertelur selain jam tersebut di air jernih tergenang) (Handrawan, 2009)

2.2.3 Klasifikasi

Dikutip dari Desmawati (2013), WHO melakukan klasifikasi DHF menjadi

IV derajat, yaitu:

 Derajat I

Panas 2-7 hari disertai gejala klinis lain (seperti mual) tanpa perdarahan

spontan. Saat dilakukan uji tourniquet didapatkan hasil positif, pemeriksaan

menunjukkan trombositopenia, dan hemokonsentrasi.

 Derajat II

Sama seperti derajat I, namun terdapat gejala perdarahan spontan seperti

petekie, hematemesis, ekimosis, perdarahan gusi dan dapat disertai dengan

melena.

 Derajat III

Ditandai dengan gejala peredaran darah seperti nadi yang cepat namun lemah,

tekanan nadi sempit, dan adanya penurunan tekanan darah.

 Derajat IV
17

Tekanan darah yang tidak teratur, tidak terabanya nadi, ekstremitas teraba

dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

2.2.4 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala DHF menurut Ridha (2014):

a. Derajat I

Demam selama 2-7 hari, dan satu-satunya manifestasi klinis adalah

adanya perdarahan di bawah kulit.

b. Derajat II

Demam disertai dengan perdarahan spontan di kulit dan/atau perdarahan

lainnya seperti epitaksis (perdarahan hidung), hematemesis (Muntah

darah), pada air seni mungkin ditemukan albuminuria ringan (Riyadi,

2010) atau hematuria (buang air kecil darah) (Soegijanto, 2012).

c. Derajat III

Pada grade III didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat, nadi

lambat, tekanan darah menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis disekitar mulut, kulit dingin, lembap, dapat ditemukan

albuminuria ringan (Riyadi, 2010) atau hematuria (buang air kecil darah

dan anak tampak gelisah (Soegijanto, 2012).

d. Derajat IV

Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

2.2.5 Patofisiologi

Masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes betina akan

mengakibatkan reaksi antibodi berupa respon peradangan yang menyebabkan


18

gejala seperti demam, mual dan muntah. Hal ini dilanjutkan dengan reaksi

antibodi dengan membentuk kompleks antibodi dalam sirkulasi sehingga

dapat mengaktivasi sistem komplemen (pelepasan C3a dan C5a) yang

menyebabkan permeabilitas pada dinding kapiler (bersamaan dengan

peningkatan hematokrit dan trombositopeni) hal ini menyebabkan koagulasi

dan penurunan jumlah cairan tubuh yang dapat mengakibatkan risiko

ketidakseimbangan cairan. Setelah dilakukan rehidrasi pada pasien DHF

diperlukan pemantauan tanda klinis dan pemeriksaan laboratorium sebagai

indikasi bahwa rehidrasi telah terpenuhi dan tidak terjadi kelebihan cairan

pada penderita sehingga risiko ketidakseimbangan cairan tidak terjadi

(Desmawati, 2013).
19

2.2.6 Pathway

Virus dengue

Melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti

Reinfeksi oleh virus dengue dengan serotipe berbeda

Bereaksi dengan antibodi

Respon peradangan Terbentuk kompleks antibodi dalam


sirkulasi darah

hipertermia Stimulasi Pengaktifan system komplemen


vomitting (pelepasan C3a dan C5a)

Pelepasan histamine yang bersifat


Mual vasoaktif
Muntah

Permeabilitas dinding kapiler

Risiko Ketidakseimbangan Cairan

Bagan 2.1 Pathway dengan Risiko Ketidakseimbangan Cairan

(Hidayat, 2015)
20

2.2.7 Komplikasi (Desmawati, 2013)

1. Perdarahan Luas

Infeksi virus dengue dapat menyebabkan pembentukan antibodi-antigen

yang mengaktivasi sistem komplemen. Hal ini juga dapat menyebabkan

agregasi, trombosit dan aktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel

endotel pembuluh darah. Hal ini yang menyebabkan perdarahan pada

DHF.

2. Syok

Infeksi sekunder oleh virus dengue akan menyebabkan respon antibodi

amnestik yang terjadi dalam beberapa hari dan menimbulakn proliferasi

dan tranformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG

anti dengue. Replikasi virus dengue terjadi dalam limfosit yang

bertransformasi karena adanya virus dalam jumlah banyak. Syok yang

tidak segera ditanggulangi menyebabkan asidosis dan anoreksia yang

dapat berakhir dengan kematian.

3. Ensefalopati Dengue

Hal initerjadi akibat komplikasi syok yang berkepanjangan dengan

pendarahan, namun dapat pula terjadi dengan DHF yang tidak disertai

syok. Namun disebabkan oleh gangguan metabolik seperti hipoksemia,

hiponatremia, atau perdarahan. Melihat ensefalopati DHF bersifat

sementara, maka kemungkinan ini terjadi akibat koagulasi trombosit

dalam pembuluh darah dan sebagai akibat koagulasi intravaskular yang

menyeluruh.
21

4. Kelainan Ginjal

Hal ini disebabkan karena syok yang tidak teratasi dengan baik. Maka

untuk mencegah hal ini terjadi, setelah melewati masa syok cairan

intravaskular harus segera diganti dan penting diperhatikan kebutuhan

cairan telah diatasi dengan baik, karena masih ada kemungkinan terjadi

syok berulang pada penderita.

5. Oedema Paru

Komplikasi ini mungkin terjadi karena pemberian cairan yang berlebihan.

Pada hari ketiga hingga kelima dimaksutkan untuk mengatasi perembesan

cairan yang tidak akan menyebabkan oedema paru. Namun saat ruang

ekstravaskuler mulai terjadi reabsorbsi plasma dan pemberian cairan

berlebihan maka pasien dapat mengalami distress pernapasan yang disertai

foto oedem pada paru dalam foto rontgen dada.

6. Penurunan Kesadaran

Saat infeksi virus dengue bereplika maka akan terdapat kompleks virus

antibodi ynag menyebabkan permeabilitas kapiler mengikat sehingga

terjadi penurunan transportasi O2 ke otak yang dapat menimbulkan

penurunan kesadaran.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang (Desmawati, 2013)

1. Pemeriksaan Darah lengkap

Hal ini ditujukan untuk melihat adanya kelainan pada hematokrit

(Hematokrit naik hingga ≤20%) dan trombosit (adanya penurunan, nilai

normal <150.000/mm3).
22

2. Pemeriksaan dengue blood

Hal ini ditujukan untuk melihat antibodi IgG (infeksi pertama kalinya

pasien terkena DHF) dan IgM (infeksi kedua kalinya pasien terkena DHF).

Nilai normal : ( - ) negatif

3. Pemeriksaan rumple leed

Pemeriksaan ini sederhana dan cepat untuk menentukan apakah terkena

demam berdarah atau tidak. Pemeriksaan hemaologi dengan

pembendungan lengan atas selama 10 menit ini bertujuan unuk uji

diagnostik kerapuhan vaskuler dan fungsi trombosit.

4. Pemeriksaan NS 1

Sebagai prediktor lebih lanjut setelah terjadi gejala klinis (Paranavitane,

2014), pemeriksaan laboratorium ini bertujuan ntuk melihat hasil antigen

(Desmawati, 2013).

Nilai normal : ( - ) negatif

5. Rontgen toraks

Apakah ada efusi pleura pada pasien.

2.2.9 Penatalaksanaan

Menurut Soegijanto (2012), penatalaksanaan pada DHF dibagi sebagai

berikut:

1. Kasus DHF berobat jalan

Hal ini dilakukan apaila penderita hanya mengeluh panas dapat saat

memeriksakan diri di pelayanan kesehatan diperkenankan memberikan

obat panas 10-15 mg/kgBB setiap 3-4jam diulang jika symptom panas
23

masih nyata diatas 38,5°C (penderita dianjurkan tidak memberikan obat

panas salisilat karena dapat beresiko terjadinya penyulit perdarahan dan

asidosis). Namun apabila manifestasi menunjukkan hipertermi berlanjut

serta gejala lain seperti perdarahan dibawah kulit, mual, mulai lemas saat

beraktivitas, baiknya penderita dianjurkan untuk rawat inap.

2. Kasus DHF derajat I dan II

Pada hari ke-3,4, dan 5 panas, sangat dianjurkan penderita untuk rawat

inap karena sangat beresiko terjadi kebocoran plasma yang

memungkinkan syok. Hal ini dapat diantisipasi dengan infus cairan

kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3. Pada saat fase panas

penderita dianjurkan meminum air oralit. Apabila pada pemeriksaan

ditemukan peningkatan Hematokrit sebesar ≤20% maka indikator

tersebut menunjukkan adanya risiko besar kebocoran plasma dan

diperlukan rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.

Tanda hematokrit yang tinggi dapat dilihat pada penderita dengan

manifestasi ekstremitas teraba dingin, gelisah, nyeri perut. Penderita

dengan manifestasi tersebut harus segera memperoleh cairan tubuh

pengganti. Kebutuhan cairan tubuh saat rehidrasi harus sangat

diperhatikan sehinggan jumlah cairan tubuh penderita cukup dan tidak

terjadi kelebihan cairan tubuh saat rehidrasi sehingga tidak tejadi risiko

ketidakseimbangan cairan.

3. Penatalaksanaan DHF Derajat III dan IV

Pada derajat ini biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit

(hiponatremi). Sehingga diperlukan cairan pengganti secara cepat untuk


24

mengganti plasma yang hilang digunakan larutan garam isotonik dengan

jumlah 10-20 ml/kg/1 jam. Pada derajat IV dapat diberikan bolus 10

ml/kg (1 atau 2x).

Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang

diatur sesuai plasma yang hilang dengan petunjuk pemeriksaan

hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu

24-48 jam. Infus dapat dihentikan bila hematokrit sampai pada nilai

normal (35-38%) dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urin

juga dapat menjadi indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik (dikutip

dari Hidayat, 2015 bahwa pada anak produksi <25 ml/jam atau

600ml/hari). Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi

urin yang cukup merupakan tanda penyembuhan.

2.3 Konsep Risiko Ketidakseimbangan Cairan

2.3.1 Definisi Risiko Ketidakseimbangan Cairan

Risiko Ketidakstabilan Cairan adalah suatu risiko penurunan volume cairan

karena gejala klinis seperti demam, mual dan muntah hingga adanya risiko

proses peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perpindahan

cairan intravaskular ke ekstravaskular (Lumpaopong, 2010). Risiko

Ketidakseimbangan Cairan juga dapat terjadi apabila terjadi hidrasi yang

berlebih sehingga terjadi risiko kelebihan cairan dengan tanda klinis terdapat

oedema perifer hingga ekstremitas (Susilaningrum,2013).


25

2.3.2 Etiologi

Pada dengue haemorrhagic fever setelah tubuh penderita terinfeksi virus

dengue akan menyebabkan proses inflamasi sehingga muncul gejala demam

2-7 hari disertai suhu tubuh yang naik turun, petekie, disertai mual hingga

muntah yang menimbulkan risiko terjadinya dehidrasi pada penderita.

Trombositopenia dan hiperemia juga dapat terjadi sebagai gejala adanya

aktivasi pada sistem kompelemen (pelepasan C3a dan C5a) sehingga

meningkatkan kemungkinan terjadinya permeabilitas pada dinding kapiler

yang dapat menimbulkan penderita berisiko mengalami ketidakseimbangan

cairan pada tubuh (Lumpaopong, 2010).

2.3.3 Karakteristik Ketidakseimbangan Cairan

1. Hipovolume atau Dehidrasi

Kekurangan cairan eksternal dapat terjadi karena penuruna asupan cairan

dan kelebihan keluaran cairan. Pengosongan cairan ini dapat terjadi

dengan cara diare dan muntah. Hal ini dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Dehidrasi isotonik (tubuh kehilangan sejumlah cairan dan elektrolit

secara seimbang)

b) Dehidrasi hipertonik (tubuh kehilangan lebih banyak air daripada

elektrolit)

c) Dehidrasi hipotonik (tubuh kehilangan lebih banyak elektrolit

daripada air)
26

Kehilangan cairan terjadi karena volume ekstrasel berkurang dan terjadi

perubahan hematokrit (meningkat hingga 20%). Macam dehidrasi

berdasarkan derajatnya:

a) Dehidrasi Berat

Kehilangan cairan mencapai 10% volume cairan tubuh. terjadi

hipotensi, turgor kulit buruk, oliguria, nadi dan pernapasan

meningkat.

b) Dehidrasi Sedang

Kehilangan cairan mencapai 5-10% cairan tubuh total, mata cekung,

turgor kulit jelek, adanya peningkatan suhu, nadi penderita cepat dan

lemah.

c) Dehidrasi Ringan

Terdapat kehilangan cairan mencapai ≤ 5% total volume cairan tubuh,

turgor kulit normal, suara serak, haus, gelisah, kesadaran baik dan

penderita belum jatuh pada keadaan syok (Hidayat, 2016).

2. Hipervolume atau Overhidrasi

Hal ini ditimbulkan akibat kelebihan cairan, yaitu peningkatan volume

darah dan edema (kelebihan cairan pada interstisial). Pitting edema dapat

terjadi sebagai akibat perpindahan cairan ke jaringan melalui titik tekan.

Edema anasarka atau edema seluruh tubuh da[at terjadi sebagai akibat dari

peningkatan tekanan hidrostatik dalam tubuh sehingga sejumlah cairan

tertekan menuju membran kapiler paru, sehingga menyebabkan edema

paru. Maka dari itu perawat harus melakukan observasi secara cermat saat

pemberian cairan intravena sebab kelebihan cairan dapat mengakibatkan


27

penumpukan pada kapiler paru yang sangat berbahaya bagi anak. Pada

kelebihan ekstrasel, gejala yang sering timbul yaitu edema perifer (pitting

edema), asites, kelopak mata membengkak, suara napas ronki basah,

penambahan berat badan secara cepat, dengan nilai hematokrit normal

(Hidayat, 2016).

2.3.4 Faktor yang mempengaruhi risiko ketidakseimbangan cairan

Menurut Hidayat (2015), keseimbangan cairan dipengaruhi oleh:

1. Asupan Cairan (intake).

Hal ini dapat berupa cairan atau dintambah dari makanan lain. Pengaturan

keseimbangan cairan ini menggunakan mekanisme haus. Pusan

pemgaturan rasa haus dalam rangka mengatur keseimbangan cairan adalah

hipotalamus. Sangat berisiko mengalami ketidakseimbangan cairan

apabila asupan cairan kurang, adanya perdarahan.

2. Pengeluaran Cairan (output).

Pengeluaran cairan paling banyak keluar berasal dari ekskresi ginjal

(berupa urine) sebanyak ±600 cc per hari pada anak-anak. Pengeluaran

cairan dapat pula dilakukan melalui kulit (berupa keringat) dan saluran

pencernaan (berupa feses). Pasien dengan ketidakadekuatan pengeluaran

cairan memerlukan pengawasan asupan dan pengeluaran cairan secara

khusus. Peningkatan jumlah dan kecepatan pernapasan, demam, keringat,

dan diare dapat menyebabkan kehilangan cairan secara berlebihan.

Kondisi lain yang menyebabkan cairan secara berlebihan adalah muntah

secara terus menerus.


28

2.3.5 Menghitung Keseimbangan Cairan

a) Berdasarkan luas permukaan tubuh (BSA = Body surface area) =

(mL/m2)/24 jam, paling tepat untuk BB > 10 kg

b) Berdasarkan kebutuhan kalori = 100-150 cc/100 Kal

c) Berdasarkan berat badan

Rumus umum:

a. 100 ml/kg = 10kg pertama

b. 50 ml/kg = 10 kg kedua

c. 20 ml/kg = berat > 20 kg

2.3.6 Konsep Teori Asuhan Keperawatan pada Anak yang mengalami Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) dengan masalah Risiko Ketidakseimbangan

Cairan

Asuhan keperawatan pada DHF meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi, dan evaluasi.

2.3.7 Pengkajian

Menurut Nursalam (2016) pengkajian pada anak yang mengalami DHF yaitu:

1. Identitas pasien

a. Meliputi nama lengkap pasien hal ini dimaksutkan untuk

membedakan antara klien satu dengan yang lain.

b. Umur (DHF seringkali menyerang anak-anak dengan usia kurang dari

15 tahun)
29

c. Alamat, hal ini dimaksutkan untuk mengetahui keadaan lingkungan

rumah, kelembapan serta pencahayaan rumah. Hal ini karena pada

anak DHF seringkali lingkungan rumahnya tidak terjaga seperti

menampung air tidak ditutup, pembuangan air tidak mengalir dengan

baik sehingga terjadi genangan air, jika hal ini tidak dijaga maka akan

mempengaruhi kesehatan dan kesembuhan pasien.

2. Keluhan utama

Merupakan keluhan yang menonjol yang dirasakan pasien DHF untuk

datang ke rumah sakit adalah demam naik turun selama 2-7 hari, anak

mengalami mual muntah, dan merasa lemas saat beraktivitas.

3. Riwayat penyakit sekarang

Didapatkan keluhan demam naik turun disertai menggigil dengan

kesadaran baik. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan ke-7, anak

semakin lemah. Kadang disertai keluhan mual, muntah, sakit kepala,

nyeri otot dan persendian, nyeri ulu hati dan adanya perdarahan pada

kulit, gusi (III, IV), melena atau hematemesis. Dan didapatkan data

apakah pasien sudah dibawa ke pelayanan kesehatan atau belum dan

dapat ditanyakan riwayat pengobatan yang didapat pasien sebelum

pasien dibawa ke rumah sakit (Nursalam, 2013).

4. Riwayat penyakit yang pernah diderita

Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, anak dapat

mengalami serangan ulang karena tipe virus DHF yang lain (Nursalam,

2013)
30

5. Riwayat imunisasi

Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, kemungkinan untuk

timbul komplikasi dapat dimimalkan.

6. Riwayat gizi

Variasi dapat terjadi pada anak yang menderita DHF. Semua status gizi

pada anak yang status gizi nya baik maupun buruk masih berisiko bila

terdapat faktor predisposisi.

Pada anak mungkin terdapat keluhan mual, muntah, dan penurunan nafsu

makan, bila hal ini tidak diatasi dan disertai nutrisi yang mencukupi,

maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga status

nutrisinya berkurang.

7. Kondisi lingkungan

Lingkungan yang mendukung DHF biasanya padat pejduduk dan berada

pada lingkungan yang kurang bersih (dengan kebiasaan menyimpan

genangan air yang tenang dan menggantung baju di kamar).

8. Pola kebiasaan

1) Eliminasi alvi (buang air besar): pada anak kadang terdapat keluhan

diare atau konstipasi. Sementara pada derajat III-IV dapat terjadi

melena

2) Eliminasi urin (buang air kecil): perlu dikaji apakah pada anak sering

kencing, volume cairan urin anak (adanya penurunan dari volume

normal ±600ml/24 jam) (Hidayat, 2015), terdapat nyeri saat kencing.

Pada derajat IV sering terjadi hematuria (Andra & Yessie, 2013).


31

9. Tidur dan istirahat.

Demam naik turun hingga tubuh menggigil dan sakit/nyeri otot dapat

menjadi penyebab kurang tidur pada anak sehinga kualitas maupun

kuantitas tidur pada anak kurang.

10. Kebersihan diri.

Adakah upaya lanjut pada keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan

lingkungan cenderung kurang terutama tempat bersarangnya nyamuk

Aedes aegypti yang biasanya berada di tempat air yang menggenang.

11. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada dengue haemorrhagic fever pada anak meliputi

inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi yang dilakukan head to toe.

Berdasarkan tingkatan (derajat) DHF, keadaan fisik pada anak adalah:

1) Keadaan umum : pada pasien anak yang mengalami DHF tampak

lemas dan terkadang mual.

Kesadaran : pada grade I dan II pasien anak yang terkena DHF

mengalami kesadaran composmentis, pada grade III kesadaran

pasien bisa mengalami apatis atau somnolen.

Tanda-tanda vital : pada pasien anak yang mengalami DHF tanda-

tanda vital yang mungkin terjadi,

a. Suhu tinggi > 37,5°C

b. Nadi tidak teraba atau teraba cepat

1) Usia toddler > 90-140x/menit

2) Usia prasekolah >80-110x/menit

3) Usia sekolah >75-100x/menit


32

4) Usia remaja >60-90x/menit

c. Pernafasan tidak teratur dan atau cepat

1) Usai 1 tahun, >20-40x/menit

2) Usia 3-≤6 tahun, >20-30x/menit

3) Usia 6-13 tahun, >16-22x/menit

4) Usia 14-17 tahun , >14-20x/menit

5) Usia dewasa 18-21, 12-20x/menit

2) Kulit

Pada kasus DHF, pada kulit terdapat petekie, turgor kulit menurun,

kadang terjadi keringat dingin, lembab, akral hangat CRT > 2 detik

menunjukkan risiko syok hipovolemik.

Pada pemeriksaan kulit dapat dilakukan uji tourniquet = dengan

mengukur tekanan darah kemudian diklem antara systole dan diastol

dalam waktu 10 menit untuk dewasa, jika pada anak 3-5 menit. Hasil

pada pemeriksaan ini bila kapiler rusak maka dengan membendung

akan tampak bercak merah kecil pada permukaan kulit (petekie)

(Soedarto, 2012).

3) Kepala

Inspeksi : pada DHF pemeriksaan kepala biasanya normal seperti

bentuk kepala normal, rambut terlihat bersih, tidak ada benjolan,

kepala dapat menoleh kekiri dan kanan.

4) Mata

Inspeksi : pada kasus DHF pemeriksaan mata biasanya tampak

kemerahan karena adanya demam, konjungtiva anemis, sklera


33

anikterik, kedua pupil mata isokor, reflek cahaya mata (+/+)

(Rekawati, 2013).

Palpasi : bola mata teraba kenyal. Pada pemeriksaan DHF biasanya

tidak ada masalah.

5) Hidung

Inspeksi : biasanya ditemukan perdarahan hidung pada grade II, III,

IV.

Palpasi : palpasi hidung normal, biasanya pada pemeriksaan DHF

tidak terdapat pembesaran sinus maxilaris, frontalis, edmoidalis,

sfenoidalis.

6) Mulut

Inspeksi : pada DHF biasanya pada mulut terlihat, membran mukosa

bibir kering, terjadi perdarahan gusi pada derajat II, lidah kotor.

7) Leher dan Telinga

Inspeksi : leher tidak ada pembesaran vena jugularis, terdapat nyeri

telan.

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan sekitar leher.

Telinga : pada kasus DHF biasanya ditemukan perdarahan telinga

pada grade II, III, IV (Utami, 2013).

8) Pemeriksaan Paru

Inspeksi : pada pasien DHF pemeriksaan bentuk dada simetris dan

kadang terasa sesak karena penderita DHF derajat III dan IV terdapat

efusi pleura pada pemeriksaan foto thorax.


34

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, taktil fremitus kemungkinan getaran

suara antara kanan dan kiri teraba sama bisa juga teraba tidak sama

dimana pada pasien DHF derajat III dan IV bisa terjadi komplikasi

efusi pleura yang menyebabkan adanya bunyi tambahan berupa

ronchi.

Perkusi : hasil perkusi pada pasien derajat I dan II menghasilkan

bunyi normal (sonor), pada pasien derajat III dan IV menghasilkan

bunyi pekak karena ada penumpukan cairan pada paru.

Auskultasi : pada pasien DHF derajat III dan IV pada saat

pemeriksaan auskultasi terdapat suara nafas tambahan rales, ronchi.

9) Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Iktus Kordis : denyutan jantung (saa kontraksi ventrikel)

dapat dilihati di permukaan dinding dada pada ICS 5 midklavikular

garis sinistra (Debora, 2013).

Perkusi : jika hasil perkusi terdengar pekak lebih dari patas

sepanjang ICS 3-5, dapat dicurigai adanya kardiomegali (jantung

yang membesar), pada kasus DHF dapat menjadi komplikasi.

Auskultasi jantung : bunyi jantung S1 dan S2 murni, tidak ada suara

jantung tambahan, pada foto thorax pada penderita DHF terdapat

cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan dan hasil foto

menyatakan terdapat efusi pleura.

10) Abdomen

Inspeksi : persebaran warna kulit merata, pada keadaan dehidrasi

turgor kulit menurun.


35

Palpasi : saat dilakukan pemeriksaan biasanya terdapat nyeri tekan

pada abdomen, pembesaran hati.

Perkusi : terdengar hipertimpani pada klien DHF, pembesaran limfe,

nyeri pada ulu hati.

Auskultasi : pada pemeriksaan auskultasi pada pasien DHF bising

usus terdengar normal (sesuai dengan rentang usia).

11) Ekstremitas

Akral teraba panas, serta terjadi nyeri otot, sendi, serta tulang,

terdapat respon positif dari reflek patela pada tangan kiri kanan dan

kaki kiri kanan.

12) Pengkajian Pertumbuhan

1. Tinggi Badan

Pada klien DHF biasanya tidak ada masalah terhadap tinggi badan

pasien.

2. Pengukuran Berat Badan (BB)

Berat badan pada pasien anak yang mengalami DHF cenderung

menurun. Hal ini karena dipengaruhi oleh nafsu makan yang

menurun, mual dan muntah.

3. Lingkar lengan atas / LILA

Merupakan cerminan pertumbuhan jaringan lemak dan otot.

4. Lingkar dada

Pada klien DHF lingkar dada biasanya normal.


36

5. Lingkar Perut / LP

Lingkar perut biasanya mengalami peningkatan pengukuran

karena adanya pembesaran hati dan limfe.

13) Pengkajian perkembangan

a) Keterampilan motorik kasar

Keterampilan yang menggunakan otot-otot besar pada anak saat

mengalami DHF seperti berjalan, meloncat, melempar dapat

mengalami penurunan karena pada anak cenderung rewel dan

tidak beraktivitas saat di rumah sakit (Hidayat, 2013).

b) Motorik halus

Pada kasus DHF anak cenderung mengalami penurunan aktivitas

dikarenakan aktivitas yang berlebih dapat meningkatkan suhu

tubuh, dan memicu mual muntah pada pasien. Karena motorik

halus cenderung kepada kemampuan pengendalian gerak

menggunakan otot-otot kecil (Snyder, 2011).

c) Bahasa

Tidak ada masalah dalam bahasa pada anak yang mengalami

DHF.

12. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah pasien DHF pada anak akan dijumpai:

1) Hematokrit meningkat hingga 20% (Nursalam, 2016)

2) Trombositopenia (≤150.000) (Soegijanto, 2012)

3) Leukopenia (hasil mungkin normal atau lekositosis) (Susilaningrum,

2013)
37

4) IgD dengue menujukkan hasil positif (Susilaningrung, 2013)

5) Pada pemeriksaan hematologi (kimia darah) menunjukkan:

hipoproteinemia, hipokloremia, hiponatremia. (Nursalam, 2016)

6) Pada hasil pH darah dan konsentrasi urin mungkin meningkat

(Nursalam, 2016). Dikutip dari Hidayat, 2015 bahwa pada anak

produksi <25 ml/jam atau 600ml/hari. Warna urine kuning jernih,

kuning keruh atau merah (bergantung pada permeabilitas kapiler dan

fungsi endotel).

7) Asidosis metabolik pCO2 <35-40 mmHg dan HCO3 rendah.

(Nursalam, 2016)

8) SGOT/SGPT mungkin meningkat. (Susilaningrum, 2013)

9) Pemeriksaan Elektrolit: nilai normal: serum kalium: anak 3,5-5,5

mmol/L, serum natrium: 135-145 mmol/L) (Yaswir, 2012).

2.3.8 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada anak yang mengalami DHF adalah:

Risiko Ketidakseimbangan Cairan b.d kehilangan volume tubuh secara aktif.

Menurut Riyadi (2010), batasan karakteristik dari diagnosa risiko

ketidakseimbangan cairan pada anak yang mengalami DHF adalah:

1) Kulit kemerahan / timbul petekie

2) Haus dan rewel

3) Penurunan turgor kulit

4) Membran mukosa/ kulit kering


38

5) Peningkatan denyut nadi namun lemah (takikardi: toddler >140x/menit,

usia prasekolah >110x/menit, remaja >90x/menit) (Debora, 2013)

(takipnea: umur 1-2 tahun > 40x/menit, usia 3-6 tahun >30x/menit, usia

6-13 tahun >22x/menit, 14-21 tahun >20x/menit).

6) Konsentrasi urine meningkat (pada anak produksi <25 ml/jam atau

600ml/hari). Warna urine kuning jernih, kuning keruh atau merah

(bergantung pada permeabilitas kapiler dan fungsi endotel).

7) Pemeriksaan elektrolit (nilai normal: serum kalium: anak 3,5-5,5

mmol/L, serum natrium: 135-145 mmol/L) (Yaswir, 2012).

8) Temperatur tubuh meningkat ( > 37,5°C)

9) Hematokrit meningkat ( hingga 20%)

Faktor-faktor yang berhubungan (SDKI, 2017):

1) Kehilangan volume cairan secara aktif (muntah).

2) Kegagalan mekanisme risiko (risiko permeabilitas kapiler).

3) Gangguan absorbsi cairan.

4) Kekurangan intake cairan.


39

2.3.9 Intervensi Keperawatan Ketidakstabilan Cairan Tubuh

Tabel 2.7 Intervensi Keperawatan Pada DHF dengan Diagnosa Keperawatan

Resiko Ketidakstabilan Cairan Tubuh.

Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Tupen: tidak Mandiri:
terjadi
muntah, 1. Nadi (nilai 1. Monitor frekuensi 1. Mendeteksi dini
penurunan normal: toddler: dan kekuatan kekurangan cairan
produksi 90-140x/menit, nadi, frekuensi serta mengetahui
urine, prasekolah: 80- napas dan tekanan keseimbangan cairan
setelah 110x/menit, darah (SIKI, dan elektrolit dalam
dilakukan sekolah: 75- 2017) tubuh (Desmawati,
asuhan 100x/menit, usia 2013)
keperawata remaja 60-
n 1x24 jam 90x/menit), 2. Monitor 2. Indikasi
Tupan: risiko suhu tubuh (nilai elastisitas atau keadekuatan
ketidakseim normal 36,5 - turgor kulit dan sirkulasi perifer
bangan 37,5°C) CRT (SIKI, 2017) (Desmawati, 2013)
cairan pada (Nurafif, 2016) (Desmawati,
anak hilang 2013)
setelah 2. Elasititas turgor
dilakukan kulit membaik 3. Monitor jumlah,
3. penurunan haluaran
asuhan (kembali < 2 warna, dan berat
urine pekat diduga
keperawata detik, membran urine (SIKI,
dehidrasi
n mukosa lembap, 2017)
(Desmawati, 2013).
selama3x24 tidak ada rasa
jam haus yang
berlebihan 4. Monitor hasil 4. Untuk mengetahui
(Nurafif, 2016) pemeriksaan tingkat resiko
serum (mis. kebocoran pembuluh
3. Mempertahanka Osmolalitas darah yang dialami
n urine output serum, pasien dan untuk
sesuai (± 600cc) hematokrit, acuan tindakan lebih
(Nurafif, 2016). natrium, kalium) lanjut (Desmawati,
(SIKI, 2017) 2013)

5. Identifikasi 5. Mendeteksi dini


tanda-tanda kekurangan cairan
hipovolemia (mis. serta mengetahui
Frekuensi nadi keseimbangan cairan
meningkat, nadi dan elektrolit dalam
teraba lemah, tubuh (Desmawati,
tekanan darah 2013)
40

menurun, turgor
kulit menurun,
membran mukosa
kering, volume
urin menurun)
(SIKI, 2017)

6. Bila terjadi tanda- 6. Memenuhi


tanda syok kebutuhan cairan
hipovolemik, yang hilang
baringkan pasien (Susilaningrum,
terlentang tanpa 2013)
bantal
(Susilaningrum,
2013)

7. Identifikasi 7. Sebagai intervensi


tanda-tanda penting dari
hipervolemia intervensi hidrasi
(mis. Dispnea, dan mencegah
edema perifer, terjadinya over
JVP meningkat, hidrasi (Amin &
BB menurun Hardhi, 2015)
dalam waktu
singkat) (SIKI,
2017)

8. Identifikasi faktor 8. Mendeteksi dini


risiko risiko
ketidakseimbanga ketidakseimbangan
n cairan cairan serta
(mis.perdarahan) mengetahui
(SIKI, 2017) keseimbangan cairan
dan elektrolit dalam
tubuh (Desmawati,
2013)

9. Monitor output 9. Memantau asupan


dan intake (SIKI, dan haluaran untuk
2017) deteksi dini adanya
hidrasi (Desmawati,
2013)

10. Catat warna urin 10. Urin normal


dan jumlah urin berwarna kuning
(SIKI, 2017) jernih, urin yang
berwarna gelap
41

dengan peningkatan
berat jumlah sebagai
cerminan adanya
risiko defisit volume
cairan (Desmawati,
2013)

11. Monitor hasil lab 11. Penurunan


seperti trombosit, trombosit
hemoglobin, merupakan tanda
hematokrit, adanya kebocoran
elektrolit (Elyas, pembuluh darah
2013) yang pada tahap
tertentu dapat
menimbulkan
tanda klinis seperti
epistaksis, ptekie.
Adanya kenaikan
pada hematokrit
menunjukkan
adanya
permeabilitas
dinding kapiler
(Desmawati, 2013)

12. Hitung kebutuhan 12. Memberikan cairan


cairan (SIKI, yang tepat sehingga
2017) (menurut tidak terjadi risiko
Hidayat (2016) hipovolemi
kebutuhan cairan ataupun
berdasarkan hipervolemi pada
umur: pasien (Desmawati,
1 tahun: 120-135 2013)
ml/kgBB,
tahun: 115-125
ml/kgBB,
4 tahun: 100-110
ml/kgBB,
10 tahun: 70-85
ml/kgBB,
14 tahun: 50-60
ml/kgBB,
18 tahun: 40-50
ml/kgBB
18 tahun keatas:
20-30 ml/kgBB)
42

13. Dokumentasikan 13. Memantau


hasil pemantauan perkembangan
(SIKI, 2017) status kesehatan
pasien (Desmawati,
2013)

14. Anjurkan 14. Secara dini


orangtua untuk menurunkan risiko
memberikan anak syok lebih lanjut
banyak minum (Susilaningrum,
(Hidayat, 2015) 2013)

Kolaborasi

15. Kolaborasi 15. Dapat


pemberian cairan meningkatkan
IV isotonis (mis. jumlah cairan
NaCL, RL) (SIKI, tubuh (Desmawati,
2017) 2013)

16. Larutan IV yang


16. Kolaborasi tepat sangat
pemberian cairan penting bagi tubuh
IV hipotonis (mis. untuk
Glukosa 2,5%, menggantikan
NaCL 0,4%) volume cairan
(SIKI, 2017) untuk mencegah
terjadinya syok
hipovolemik(Desm
awati, 2013)

17. Kolaborasi 17. Larutan IV yang


pemberian cairan tepat sangat
koloid (mis. penting bagi tubuh
Albumin, untuk
plasmanate) menggantikan
(SIKI, 2017) volume cairan
untuk mencegah
terjadinya syok
hipovolemik
(Desmawati, 2013)
43

18. Kolaborasi 18. Mendeteksi dini


dengan dokter adanya resiko
jika muncul tanda kelebihan cairan
klinis kelebihan (Susilaningrum,
cairan muncul 2013)
(Riyadi,2010)

2.3.10 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah fase perawat melaksanakan intervensi

keperawatan untuk mencapai tujuan spesifik implemen keperawatan

berdasarkan intervensi yang telah disusun dan diterapkan selama tiga hari

adalah memonitor keadaan pasien (Potter Perry, 2011).

2.3.11 Evaluasi Keperawatan

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah

sebagai berikut:

1) Tanda vital stabil dan dalam batas normal (sesuai dengan rentang usia).

2) Turgor kulit, CRT normal ( kembali < 2 detik).

3) Mukosa bibir lembap.

4) Produksi urin baik (tidak menunjukkan penurunan konsentrasi urine).

5) Nafsu makan yang meningkat sehingga menjadi normal.

6) Kolaborasi cairan infus dapat dihentikan bila hematokrit menyentuh nilai

normal.

7) Tidak ada penurunan BB mendadak (menunjukkan tidak adanya risiko

hipervolemik) (Nurafif, 2013).


44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan

keperawatan pada anak dengue haemorrhagic fever dengan risiko

ketidakseimbangan cairan di RS Panti Waluya Sawahan Malang.

3.2 Batasan Istilah

Asuhan keperawatan pada anak dengue haemorrhagic fever dengan risiko

ketidakseimbangan cairan:

1. Pasien anak yang dirawat di RS Panti Waluya Malang dan di diagnosa

awal OF (observasi febris) atau pasien DHF dengan Grade I – III dengan

penurunan trombosit ≤150.000 sel/ml dan terdapat peningkatan

hematokrit hingga 20%.

2. Pasien usia anak sampai remaja mulai usia 1-21 tahun dan belum

menikah.

3. Pasien dengan tanda klinis: mukosa bibir kering, kulit kering,

mengalami demam naik turun 2-7 hari (Suhu >37,5°C).

4. Pasien yang datang dengan keluhan mual muntah.

3.3 Partisipan

Pada penelitian ini yang menjadi partisipan peneliti adalah 2 orang anak

dengue haemorrhagic fever dengan masalah risiko ketidakseimbangan


45

cairan di RS Panti Waluya Sawahan Malang tanpa melihat berapa kali anak

pernah terkena dengue haemorrhagic fever.

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi kasus ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap RS Panti Waluya

Sawahan Malang dan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juli

2019 dengan 3 hari perawatan untuk masing-masing pasien (jika hanya 2

hari perawatan maka homecare).

3.5 Pengumpulan Data

1) Wawancara, pengumpulan data didapatkan dari pasien, keluarga dan

perawat lainnya.

2) Observasi dan pemeriksaan fisik

3) Dokumentasi

3.6 Uji Keabsahan Data

Disamping integritas penulis uji keabsahan data dilakukan dengan cara:

1) Memperpanjang waktu pengamatan/ tindakan

2) Sumber informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber

utama yaitu klien, perawat, dan keluarga klien yang beraitan dengan

masalah yang diteliti.


46

3.7 Analisis Data

1) Pengumpulan data

Data dikumpulkan dari hasil WOD (Wawancara, Observasi,

Dokumentasi). Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian

disalin dalam bentuk transkrip (catatan terstruktur)

2) Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun

teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan identitas klien

dibuat inisial.

3) Kesimpulan

Data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku

kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi.

Data dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis,

perencanaan, tindakan dan evaluasi.

3.8 Etik Penelitian

Dicantumkan etika yang mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari:

1) Informed consent (persetujuan menjadi klien)

Lembar persetujuan penelitian diberikan klien responden, tujuannya

adalah subyek mengetahui maksut dan tujuan penelitian serta dampak

yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia diteliti

maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak


47

untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati

haknya.

2) Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan. Peneliti tidak mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

3) Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu yang dilaporkan hasil tertentu.

Anda mungkin juga menyukai