Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

ANALISIS PEMAHAMAN HADIS TENTANG PENUNDUKAN

HAWA NAFSU

A. Analisis Tekstual dan Kontekstual

1. Analisis Tekstual

Berikut dijelaskan teks matan hadis yang menjadi objek penelitian pada
skripsi ini yang berbunyi:

‫اليؤمن احدكم حتى يكون هواه تبعا لما‬


‫جعة به‬
a. ‫ال‬

Al-Laits mengatakan bahwa ‫ ال‬adalah huruf yang digunakan untuk menafikan


sesuatu dan mengingkarinya. ‫ ال‬juga bisa merupakan suatu huruf tambahan yang
tidak memiliki arti dalam kalimat ‫( اليمين‬sumpah), misalnya: ‫ال أقسم‬
‫( باهلل‬demi Allah).
Abu ishaq mengatakan hal tersebut dalam menafsirkan firman Allah Ta'a>la>
‫ ال أقسم بيوم القيامة‬1
b. ‫يؤمن‬

Kata kerja ‫ِن‬


‫ أم‬dari kata ‫ األمان‬dan ‫األمانة‬yang memiliki
makna yang sama (rasa aman). Dalam kalimat kita mengatakan ‫قدأمنت‬.
Orang yang merasa aman disebut ‫ِن‬‫أم‬. Adapun kalimat ‫آمنت غيري‬
(saya memberikan rasa aman kepada orang lain) berasal sari kata ‫ األمن‬dan

1
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 11, h. 464.

83
84

‫األمان‬. Antonim kata ‫ األمن‬adalah ‫( الخوف‬rasa takut). Antonim kata


‫ األمانة‬adalah ‫( الخيانة‬khianat).2
Dan kata ‫ اإليمان‬memiliki antonim ‫( الكفر‬kekufuran).
‫ اإليمان‬berarti ‫( التصديق‬pembenaran) yang lawan katanya adalah
‫( التكذيب‬pendustaan). Contoh penggunaan nya dalam kalimat adalah
‫وكذب به قوم‬ ّ ‫آمن به قوم‬. Adapun kalimat ‫آمنته‬
(saya memberikannya rasa aman) memiliki lawan kata ‫( أخفته‬saya
menakutinya). Dalam al-Qur'an Allah ta'aala berfirman ‫وآمن هم من‬
‫ خوف‬yang artinya bahwa Allah yang memberikan mereka rasa aman dari
ketakutan.3

‫ األمن‬lawan dari ‫الخوف‬. Dikatakan


Ibnu Sida>h mengatakan bahwa
dalam kalimat ‫منا‬ َ‫أمن فال نيأمن أمنا وأ‬. Imam al-
Zajja>j menyatakan bahwa kata ‫ األمنة‬juga berarti rasa aman, sebagaimana
dalam al-Qur'an {‫وإذ يغشا كما لنعاس أمنة منه‬
di mana kata ‫ أمنة‬hukumnya mans}u>b karena ia adalah maf'u>llahu
sebagaimana contoh kalimat ‫فعلت ذلك حذر الشر‬. Demikian
pendapat al-Zajja>j. Dalam hadis tentang turunnya Nabiyulla>h I<sa> as.juga
dikatakan: ‫وتقعا ألمنة في األرض‬ (Dan rasa aman pun
menyelimuti bumi).4

c. ‫احد‬
Kata ‫ احد‬dalam nama Allah swt. adalah suatu yang utama/ fardu yang
tidak dapat ditambah dengan sesuatu yang lain, dan dia merupakan pembangun untuk

2
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 11, h. 563.
3
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 11, h. 563.
4
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 11, h. 563.
85

mengecualikan apa yang disebut bersamanya dari bilangan, seperti dalam kata: tidak
datang kepadaku sesuatu pun, dan Hamzah adalah pengganti dari Lawu yang asalnya
‫َح‬
‫َد‬ ‫و‬ karena sesungguhnya dia berasal dari kata ‫احد‬. Dan kata‫االحد‬
bermakna satu dan dia awal dari bilangan, seperti dalam kata‫ االحد‬dan
‫( اثنان‬dua) dan sebelas. Dan adapun firman Allah ta’ala: Katakanlah!, Dialah
Allah Yang Esa/Satu5.

d. ‫كم‬
‫( ضمير جمع مذكر‬kata ganti orang kedua jamak
Merupakan
laki-laki) yang berfungsi sebagai ‫( مخاطب‬lawan bicara) dimana kedudukan
i’rabnya ‫( مفعول به‬objek) ketika dimasuki fi‘il; atau berfungsi sebagai
‫( مضاف إليه‬yang disandari) ‫( فى محل جر‬di ja>r) ketika
dimasuki isim. Juga dapat dimasuki ‫( حروف الجار‬huruf ja>r ) seperti
contoh: ‫ لكم‬,‫( بكم‬bagi kalian, untuk kalian).

Potongan lafal matan hadis "‫"أحدكم‬ mempunyai susunan


‫(مضاف و مضاف إليه‬menyandari dan disandari) dimana
kata“‫ “ كم‬dimasuki isim “‫ ”أحد‬sehingga bermakna ‘salah seorang di antara
kalian'.

e. ‫حتى‬
Suatu huruf dalam i’ra>b yang memiliki empat bentuk yakni;

o ‫( حرف جر‬huruf ja>r) apabila masuk ke isim, contoh: ‫سرت‬


‫حتى اخر الطريق‬
o ‫( حرف نصب‬huruf nasab) apabila masuk ke fiil, contoh: ‫ال‬
‫يذهب شيخي حتى أبير مالكا‬

5
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 11, h. 70.
86

o ‫( حرف عطف‬huruf ataf) sebagai kata sambung, contoh: ‫ذهب‬


‫الطالب إلى القرية حتى الصغار‬
o ‫( حرف إبتداء‬huruf ibtida) berfungsi sebagai awalan, contoh:
‫فوا عجبا حتى كليب تسبني‬
Potongan lafal matan “ ‫ ”حتى يكون‬sesuai dengan bentuk kedua dari
‫ حتى‬yaitu sebagai ‫ حرف نصب‬sehingga huruf akhir fiilnya berbaris fathah

َ) yang berarti ‘hingga’
f. ‫يكون‬

Bentuk muda>ri‘ (kata kerja bermakna sedang) dari kata ‫ كان‬. Dalam
ilmu saraf, kata ini merupakan bentuk ‫‘( أجوف واوى‬ain fi‘il-nya huruf
‘illat waw). Sedangkan dalam ilmu nahwu, kata ini adalah ‫فعل ماض‬
‫ ناقص‬yang berfungsi ‫ترفع اإلسم و تنصب الخبر‬
(me-rafa’ isim me-nasab khabar). Pada lafal matan hadis ini yang menjadi isim
adalah ‫ هوا‬dan khabarnya adalah ‫تبعا‬
g. ‫هواه‬

‫ الهواء‬:‫ هوا‬Dengan memakai "ma>d" sebelum huruf hamzah.


Artinya adalah ruang antara langit dan bumi, bentuk jamaknya ‫األهوية‬.
Adapun kata ‫أهال ألهواء‬, maka bentuk tunggal dari kata ‫األهواء‬
pada frase itu adalah ‫هوى‬. Dan semua yang kosong disebut ‫هواء‬. Kalimat
‫ الهواء‬juga bermakna "pengecut" karena ia tidak memiliki hati yang teguh,
maka seakan-akan dadanya kosong tidak memiliki hati. Bentuk tunggal dan jamak
‫ هواء‬sama (tidak berbeda), maka sebagaimana kita mengatakan
dari kata
‫( قلب هواء‬hati yang kosong/pengecut) dalam bentuk tunggal, kita juga
87

mengatakan ‫( قلوب هواء‬hati-hati yang kosong/pengecut) dalam bentuk


plural/jamak.6

Adapun kata ‫الهوى‬yang berarti hawa nafsu maka dikarenakan hawa


nafsu itu kosong (tidak terdapat kebaikan didalamnya) dan karena ia menjerumuskan
orang yang mengikutinya kedalam hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Allah
‫وماينطق عن‬
Ta'a>la menyifati Rasul-Nya dalam al-Qur’an: {
‫ الهوى إنهو اال وحي يوحى‬yang artinya bahwa
Rasulullah saw. itu tidak berbicara atas dasar hawa nafsunya. Ia berbicara dengan
petunjuk wahyu Allah Ta'a>la>.

h. ‫تبعا‬
‫ءتبعاوتباعا‬ َ‫ تبعالشي‬Artinya meniru atau menyerupai
َ‫تبعتالشي‬
seseorang dalam suatu perbuatannya. Adapun kata ‫ءابوعا‬
maknanya adalah mengikuti seseorang dan berjalan di belakangnya. Sinonim-sinonim
untuk kata tersebut adalah ّ
‫ات‬ ‫تتب‬،‫َه‬
‫ّع‬ ‫ّع‬‫تتب‬،‫َه‬
‫َع‬ ْ‫أ‬،‫َه‬
‫تب‬ ‫بع‬َ
ّ
‫تطلبه‬،‫قفاه‬ .Sebagaimana yang dikatakan oleh al-qothomi dalam syair
nya: َ
‫ْس‬‫ََلي‬ ‫ و‬... ،‫ْه‬ ‫َ م‬
‫ِن‬ ‫لت‬َْ‫ْب‬‫َق‬ ‫مااسْت‬ َِ‫مر‬ َْ‫ْراأل‬ ‫َي‬ ‫وخ‬
‫ِباعا‬ ‫ت‬ّ‫َه ا‬ ‫َب‬
‫َّع‬ ‫َن تت‬ ‫ بأ‬7
i. ‫لما‬

Terdiri dari ...‫ لـ‬dan ‫ما‬, lam-nya adalah huruf jar sedangkan ‫ما‬
merupakan ‫الموصول‬ ‫( اإلسم‬kata sambung ‘yang’).Isim mausul
merupakan isim yang bermakna ‘yang’ sebagai kata sambung pada kata setelahnya,
biasanya fiil karena dia membutuhkan ‫ عائد‬dan ‫ صلة‬.
j. ‫جعت‬
6
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 15, h. 370.
7
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Juz 8, h. 27.
88

‫ جاء‬yang bersambung dengan ‫تاء‬


Kata ini berasal dari fiil madi
‫ الفاعل‬merupakan ‫( ضمير متكلم وحده‬kata ganti orang
pertama tunggal). Yang menjadi ‫( فاعل‬pelaku) di sini adalah Rasulullah saw.

k. ‫به‬

Potongan lafal matan hadis ini merupakan gabungan dua huruf, yakni: huruf
‫ الباء‬dan isim d}ami>r‫ الهاء‬. ‫اإلسم الضمير‬
jar (kata
ganti) ‫ الهاء‬ini kembali kepada ‫هوى‬

2. Analisis Kontekstual

a.‫اليؤمن احدكم‬
‫َدكم‬‫َح‬ ‫ْم‬
‫ِن أ‬ َ artinya: tidak beriman salah seorang di antara
‫ال يؤ‬
kalian. Begitu juga dengan hadis:
8‫مؤمن‬ ‫ال يزني الزاني حين يزني وهو‬
artinya:
Seorang pezina tidak berzina ketika berzina dan dia dalam keadaan beriman.

Berkata Ibnu S{ali>h} ketika mengomentari makna ‫ْم‬


‫ِن‬ َ
‫ال يؤ‬
‫َح‬
‫َدكم‬ ‫ أ‬: ‫ال يكمل ايمان احدكم‬ yang artinya: tidak
sempurna iman salah seorang di antara kalian9.

Kemudian perhatikan pada hadis yang kedua: dari hadis di atas banyak dari
kaum muslimin yang mempunyai pemahaman yang salah dan keliru, yaitu

8
Muslim ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim,
Bab Baya>n Naqas}a>n al-I<ma>n bi> al-Ma’a>s}i>, Juz 1, (No. 100, 104), (Beirut: Da>r Ihya>’
al-Tira>s\ al-‘Arabi>ya, t.th.), h.76, 77.
Muh}ammad ‘A<li> ibn Muh}ammad ibn ‘Ala>n ibn Ibra>hi>m al-Bakri> al-S{iddi>qi> al-
9

Sya>fi’i>,Dalilu al-Fa>lihi>n Lituru>qi> Rayud}u al-S{a>lihi>n, Bab Fi> al-‘Amri bi> al-
Ma’ru>f,Juz 2 (Beirut-Libanon: Da>r al-Ma’ri>fah littiba’ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi’, 2004 M./
1425 H.)h.156, Lihat juga Ima>m Nawa>wi>, al-Tuhfatu al- Rabba>niyyah Syarhu al-Arba>’in al-
Nawa>wi>, jilid 42, h.1
89

menganggap kafir orang yang melakukan perbuatan zina, karena berdasarkan hadis di
atas: yaitu tidaklah seorang pezina berzina dan dia dalam keadaan beriman,.

Perkataan mereka ini dapat terbantahkan dengan hadis Rasulullah saw. yang
diriwayatkan dari Ab>u Z|a>r,berkata Rasulullah saw.:

‫ ثم مات‬.‫ ال إله إال هللا‬:‫ما من عبد قال‬


‫ وإن زنى‬:‫ قلت‬.‫على ذلك إال دخل الجنة‬
.‫ وإن زنى وإن سرق‬:‫وإن سرق؟ قال‬
‫ وإن زنى‬:‫ وإن زنى وإن سرق؟ قال‬:‫قلت‬
‫ وإن زنى وإن سرق؟‬:‫ قلت‬.‫وإن سرق‬
‫ على رغم أنف‬،‫ وإن زنى وإن سرق‬:‫قال‬
10‫أبي ذر‬

Artinya:
Tidaklah seorang hamba mengatakan : LA ILAA HA ILLALLAH.
Kemudian dia mati atas persaksiannya itu melainkan dia akan masuk surga.
Saya berkata( Abu dzar) : walaupun ia berzina dan mencuri?? Bliau katakan
ini sampai 3 kali. Kemudia Rasulullah saw. berkata: walaupun ia berzina dan
mencuri.

Berkata Ibnu Hajar,

‫وفي الحديث أن أصحاب الكبائر ال‬


‫ وأن الكبائر ال‬،‫يخلدون في النار‬
‫ وأن غير الموحدين‬،‫تسلب اسم اإليمان‬
11،‫ال يدخلون الجنة‬

Artinya:

10
Muh}ammad ibn Isma>’i>l ibn ‘Abdulla>h al-Bukha>ri> al-Ja’fi>, S{ah}i>h} al-
Bukha>ri>, Bab al-Siya>b al-Baid, Juz 7, (Cet. I, tp.: Da>r T{u>q al-Naja>h, 1422 H), h. 149.
11
Ah}mad ibn ‘A<li> ibn Hajar Abu> al-Fad}l al-‘Asqala>ni> al-Syafi>’i>, Fath} al-Ba>ri>
Syarhu S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Bab Qawlahu Bismilla>hi al-Rah}ma>ni al-Rah}i>mi Kita>ba al-
Jana>iz, Juz 3.(Beirut: Da>r al-Ma’ri>fah, 1379 H.) h. 111.
90

Di dalam hadis tersebut, bahwasanya pelaku kabair (selain syirik) mereka


tidak kekal di neraka, dan dosa-dosa besar itu tidak menghilangkan yang
namanya iman, dan orang-orang selain ahli tauhid, mereka tidak akan masuk
surga.

Dari penjelasan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa makna


dari hadis Rasulullah dengan arti tidak beriman, bukan berarti dia keluar dari daerah
iman seluruhnya, yang mengharuskan ia masuk ke dalam neraka dan kekal di
dalamnya. Melainkan kurang imannya, yang boleh saja dengannya ia mendapat siksa
dari Allah berupa di masukkan ke dalam api neraka, tapi dia tidak kekal di dalamnya.

b. ‫حتى يكون هواه‬


Menurut Syaikh Us\aimin, kalimat “Hingga hawa nafsunya”, maksudnya
adalah kecenderungan dan keinginan diri manusia12.Memperturutkan hawa nafsu
adalah mengikuti sesuatu yang disenangi oleh jiwa tanpa didahulukan oleh
pertimbangan akal sehat, tanpa mengindahkan hukum syari’at, dan tanpa
mempertimbangkan akibat yang akan muncul13.

Nafs selalu ingin menikmati kesenangan-kesenangan badani serta memenuhi


hasrat-hasrat dan berbagai keinginan hawa nafsu itu. Ia sangat menginginkan
kesenangan-kesenangan duniawi serta menganggap nafsu nafs sebagai
tuhannya,“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya... QS. Al-Ja>s\iyah/ 45: 23”

c. ‫تبعا لما جعة به‬


Kalimat “Mengikuti apa yang aku bawa”, maksudnya apa yang diterangkan
oleh syari’at. Jadi ia tidak boleh berpaling kepada lainnya 14. Mengikuti apa yang di
12
Imam Nawawi>, Syarhu al-Arba’in al-Nawawi>yah, terj. Abdul Rosyad Siddiq, Syarah
Arba’in Nawawiyah, (Cet. I, Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 63.
13
Firdaus, Tazkiyah al-Nafs; Upaya Solutif Membangun Karakter Bangsa, (Cet. I, Makassar:
Alauddin Press, 2011), h. 223.
Imam Nawawi>, Syarhu al-Arba’in al-Nawawi>yah, h. 64.
14
91

bawa oleh Rasulullah saw. atau dengan kata lain Ittiba’ al-Rasu>l merupakan
keharusan bagi setiap mukmin, karena dengan mengikuti Rasulullah saw. maka
terkekanglah dorongan hawa nafsu di dalam diri. Sebagaimana tonggak diutusnya
para Rasul untuk menyucikan jiwa setiap manusia QS. al-Baqarah/ 2: 151.

Rasulullah saw. adalah sosok pribadi yang sempurna dalam segala aspek
kehidupannya. Oleh karena itu, seorang mukmin harus berupaya menjadikan figur
Nabi Muhammad saw. sebagai teladan dalam persoalan akhlak, perbuatan, perkataan
dan dakwah (pengajaran agama).15 Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al-
Ahza>b/ 33:21;

    


   
  
  
. 

Terjemahnya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah16.

Dalam persoalan tersebut, seseorang dianjurkan untuk mengenal dan


mengikuti ketinggian sifat yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Yang
mendorong seseorang untuk mengidentifikasi dirinya dengan akhlak dan kepribadian
Nabi saw. Dalam membina nafs-nya.17

B. Pandangan Ulama tentang Hawa Nafsu

15
Firdaus, Tazkiyah al-Nafs; Upaya Solutif Membangun Karakter Bangsa, h. 230.
16
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 420.
17
Firdaus, Tazkiyah al-Nafs; Upaya Solutif Membangun Karakter Bangsa, h. 231.
92

1. Ima>m al-Ghaza>li> dalam kitabnya ‘Ulum al-Di>n li Ima>m al-

Ghaza>li>’.

Menurut Imam al-Ghaza>li> ra. bahwa nafsu itu terdiri dari empat bagian

yaitu18:

a. Keserakahan nafsu terhadap harta benda.

Seseorang yang telah mendapat anugerah Allah maka kewajiban baginya


untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Nya. Jika engkau menjadi orang kaya, maka

syukurilah. Jika dirimu berkedudukan, manfaatkanlah kekuasaan dan kedudukanmu

untuk memakmurkan rakyat, bukan memanfaatkan kuasa untuk mengumpul harta

benda sampai tidak habis dimakan tujuh keturunan19.

b. Nafsu amarah akan membakar dan membutakan hati.

Cara terbaik untuk bisa mengendalikan nafsu amarah yang ada dalam diri

sendiri dengan berusaha selalu bersabar dalam menghadapi kemarahan dan kezaliman

orang lain, bersikap lapang dada, suka memaafkan dan bermurah hati. Sesungguhnya

akhlak yang terpuji adalah bagi mereka yang mampu memaafkan kesalahan

(kezaliman) orang lain terhadap diri kita20.

Sebagaimana pesan Rasul saw. : Ingat dua perkara dan lupakan dua perkara,

yaitu:

18
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n li Ima>m al-Ghaza>li>, terj. Moh. Zahri,
Terjemahan Ihya’ Ulumiddin, Jilid V, (Cet. I, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), h. 144.
19
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 145.
20
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 146.
93

Ingat kebaikan orang lain pada kita, dan ingat kezaliman kita pada orang lain,

serta lupakan kebaikan kita pada orang, dan lupakan kezaliman orang lain pada kita,

Insya Allah kita menjadi pribadi muslim yang sejati.

c. Kesenangan duniawi mendorong nafsu.

Kesenangan duniawi merupakan racun pembunuh yang mengalir dalam urat.

Manusia selalu diingatkan agar tidak terjerumus akan kesenangan duniawi, karena hal
itu akan mendorong nafsu menjadi liar. Orang berlomba mengejar kuasa, tanpa

memperdulikan kaidah yang di ajarkan agama, apalagi norma-norma pekerjaan yang

sebenarnya, yang terpenting ia dapat memperoleh kekuasaan walau dengan cara

apapun21.

d. Nafsu syahwat.

Imam Al-Ghaza>li> mengingatkan bahwa setan menggoda manusia di dunia

ini melalui berbagai cara. Dan yang paling berbahaya ialah harta, wanita dan tahta

(kekuasaan). Setan telah memasang perangkap godaannya, tidak sedikit manusia yang

hancur dan rusak kehidupannya karena mencari kesenangan dunia semata. Dalam

ajaran Islam, nafsu itu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dijaga dan di kawal.

Rasulullah mengajak kita untuk meninggalkan satu peperangan, satu

perjuangan atau satu jihad yang kecil untuk dilatih melakukan satu perjuangan atau

jihad yang besar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Orang yang berperang melawan

nafsu ini nampak seperti duduk-duduk saja, tidak seperti orang lain mungkin bisa

21
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 148.
94

dengan bebas berekspresi, akan tetapi sebenarnya sedang membuat kerja yang besar

yaitu berjihad melawan hawa nafsu22.

Melawan hawa nafsu atau muja>hadah al-nafs sangat susah. Mungkin kalau
nafsu itu ada di luar jasad maka bisa kita pegang, mudah kita akan menekan dan
membunuhnya sampai mati. Tetapi nafsu kita itu terletak ada dalam diri kita,
mengalir bersama aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu tanpa
kesadaran dan kemauan yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat
sesukanya. Nafsu jahat dapat dikenal melalui sifat keji dan kotor yang ada pada
manusia23.

Nafsu jahat dan liar sering disebut dengan istilah sifat maz}mu>mah. Di
antara sifat-sifat maz}mu>mah itu seperti cinta dunia, tamak, sum’ah, riya’, ujub, gila
pangkat dan harta, hasud, iri hati, dendam, sombong dan lain-lain. Sifat-sifat itu
melekat pada hati seperti daki melekat pada badan. Kalau kita malas menggosok sifat
itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Sebaliknya kalau kita rajin meneliti
dan kuat menggosoknya maka hati akan bersih dan jiwa akan suci24.

Nafsu itulah yang lebih jahat dari setan. Setan tidak dapat mempengaruhi
seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah
highway(jalan tol) atau jalan bebas hambatan untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan akan
membesar, maka semakin luaslah highway setan. Jika nafsu dapat diperangi, maka
tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini
sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat dalam QS. Yu>suf/ 12: 53;

22
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 200.
23
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 201.
24
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 205.
95

‫َة‬ ََّ‫ْسَ أل‬


‫مار‬ ‫َّف‬
‫ن الن‬ َِّ
‫ِي إ‬ ‫ْس‬
‫نف‬َ ‫ِىء‬ ّ
‫بر‬َ‫ما أ‬ ََ
‫و‬:
‫َفور‬
‫ِي غ‬ َّ
‫ب‬‫ن ر‬ َِّ َّ
‫ِيَ إ‬
‫ب‬ ‫َ ر‬
‫َحِم‬
‫ما ر‬َ َّ‫ِال‬
‫ء إ‬ِ‫ِالسُّو‬
‫ب‬
25‫ِيم‬‫َّح‬
‫ر‬
Terjemahnya:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang26.

Dan ini dikuatkan dengan sabda baginda Nabi saw. “Musuh yang paling

memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu “. Nafsu inilah

yang menjadi penghalang utama dan pertama, kemudian barulah setan dan golongan-

golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi

dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.

Nafsulah penghalang yang paling jahat. Mengapa? Jika musuh dalam selimut, itu

mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah sebahagian dari badan kita. Tidak

sempurna diri kita jika tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian

diri kita memusuhi kita. Ia adalah jizm al-latif tubuh yang halus yang tidak dapat

dilihat dengan mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak (akal) atau mata hati.

Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati27.

Siapa sanggup melawan hawa nafsu, maka Allah akan tunjukkan satu jalan

hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang benar. Inilah

rahasia untuk mendapat pembelaan dari Allah. Hidup ini adalah perjuangan melawan

25

26
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 242.
27
Imam al-Ghaza>li>, Ihya>’ ‘Ulum al-Di>n, h. 237.
96

hawa nafsu (setan). Kadangkala kita menang dan kadangkala kita kalah melawan

hawa nafsu setan kita.

2. Ibnu Quda>mah dalam kitabnya Minha>j al-Qa>s}idi>n

Ibnu Quda>mah mengemukakan bahwa nafsu jiwa tidak diciptakan melainkan

karena ada faedahnya. Andai kata tidak ada nafsu makan tentu manusia tidak mau

mencari makan. Andaikata tidak ada nafsu seksual, keturunan tentu akan terputus.
Yang tercela adalah nafsu yang berlebih-lebihan dan melampaui batas. Banyak orang

yang belum memahami takaran ini, lalu mereka pun meninggalkan apa yang diingini

jiwa28. Tentu saja ini merupakan kezaliman karena mengabaikan haknya.

Ibnu Quda>mah juga menyebutkan bahwa nafsu perut termasuk perusak yang

amat besar. Karena nafsu ini pula Adam as. dikeluarkan dari Surga. Dari nafsu perut

pula muncul nafsu kemaluan dan kecenderungan kepada harga benda dan akhirnya

disusul dengan berbagai bencana yang banyak. Semua itu berasal dari kebiasaan

memenuhi tuntutan perut29. Rasulullah saw. bersabda :

َِ
‫د‬ ‫َّم‬
‫ْد الص‬ ‫َب‬‫َا ع‬ ‫ثن‬َ‫د‬ََّ
‫ٍ ح‬‫بشَّار‬َ ‫بن‬ْ ‫َّد‬ ‫َا مح‬
‫َم‬ ‫ثن‬َ‫د‬
ََّ
‫ح‬
‫ِع‬‫ناف‬ َ ْ
‫َن‬‫ٍ ع‬ ‫َّد‬
‫َم‬ ‫بنِ مح‬ ْ ِ‫ِد‬ ‫َاق‬‫ْ و‬
‫َن‬‫َة ع‬ ‫َا شع‬
‫ْب‬ ‫ثن‬َ‫د‬
ََّ
‫ح‬
ٍ
‫تى‬َْ
‫َّى يؤ‬ ‫ْكل ح‬
‫َت‬ ‫يأ‬َ ‫ََال‬ ‫َر‬
‫بن عم‬ ْ‫ن ا‬ َ‫َا‬
‫ل ك‬ َ‫َا‬‫ق‬
‫ْكل‬‫يأ‬ َ ‫َجال‬ ‫لت ر‬ َْ َْ
‫دخ‬ ‫َأ‬‫َه ف‬ ‫مع‬َ ‫ْكل‬ ‫يأ‬َ ٍ‫ِين‬‫ِسْك‬
‫ِم‬‫ب‬
ْ ْ‫ال ت‬
‫دخِل‬ َ ‫ِع‬ ‫ناف‬ َ ‫يا‬ َ ‫ل‬ َ‫َا‬ ‫َق‬
‫ِيرا ف‬ ‫َث‬‫َ ك‬‫َل‬‫َك‬
‫َأ‬‫َه ف‬‫مع‬َ
‫ْه‬
ِ ََ
‫لي‬ َّ
‫اَّلل ع‬ ‫لى‬ََّ
‫ِيَّ ص‬ ‫َّب‬
‫ْت الن‬ ‫ِع‬ ََ
‫ليَّ سَم‬‫ذا ع‬ َ‫ه‬َ

28
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, Mukhtasar Minha>jal-Qa>s}idi>n, terj. Kathur Suhardi,
Minhajul Qashidin, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, (Cet. I, Jakarta Timur: Pustaka Al-
Kautsar, 2006), h. 138.
29
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, Mukhtasar Minha>jal-Qa>s}idi>n,h. 138.
97

ٍِ‫َاح‬
‫د‬ ‫ِعى و‬
‫ِي م‬ ‫ْكل ف‬‫يأ‬َ ‫ِن‬ ‫ْم‬ ْ ‫يقول‬
‫المؤ‬ َ َ
‫لم‬ََّ‫َس‬
‫و‬
‫َمعاء‬
30 ٍ َ ْ
‫َة‬
‫ِ أ‬ ‫ِي سَب‬
‫ْع‬ ‫ْكل ف‬
‫يأ‬ ‫َاف‬
َ ‫ِر‬ ْ َ
‫الك‬ ‫و‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muh}ammad bin Basysya>r Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdu al-S{amad Telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dari Wa>qid bin Muh}ammad dari Na>fi' ia berkata; Biasanya
Ibnu Umar tidak makan hingga didatangkan kepadanya seorang miskin lalu
makan bersamanya. Maka aku pun memasukkan seorang laki-laki untuk
makan bersamanya, lalu laki-laki itu makan banyak, maka ia pun berkata,
"Wahai Na>fi', jangan kamu masukkan orang ini. sesungguhnya aku telah
mendengar Rasulullah saw. bersabda: 'Seorang mukmin itu makan dengan
satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus.'

Ibnu Quda>mah juga menyebutkan bahwa nafsu kemaluan merupakan nafsu

yang tidak mungkin dihindari anak keturunan Adam, karena mempunyai dua

manfaat31:

a. Mempertahankan keturunan.

b. Agar manusia bisa membandingkan kenikmatan yang dirasakannya di

dunia dan kenikmatan yang bakal dirasakannya di akhirat.

Siapa yang belum merasakan kenikmatan birahinya, tentu tidak akan


merindukannya. Hanya saja jika nafsu ini tidak dikembalikan ke jalan pertengahan,

tentu akan menimbulkan bencana dan cobaan yang amat besar. Andaikata tidak ada

hal ini, tentunya wanita tidak menjadi tali-tali setan32. Dalam sebuah hadis, Nabi saw.

bersabda :

30
Muh}ammad ibn Isma>’i>l..., S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, No. 5827, h. 71.
31
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, Mukhtasar Minha>jal-Qa>s}idi>n,h. 140.
32
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, Mukhtasar Minha>jal-Qa>s}idi>n, h. 142.
98

‫َان‬‫ْي‬‫َا سف‬ ‫ثن‬َ‫د‬ََّ


‫ٍ ح‬ ‫ْصور‬ ‫من‬َ ‫بن‬ ْ ‫ِيد‬ ‫َا سَع‬ ‫ثن‬َ‫د‬ ََّ
‫ح‬
ّ‫ِي‬
ِ ‫َّي‬
‫ْم‬ ‫ن الت‬ َ‫َا‬‫ْم‬‫لي‬ َ‫ْ س‬ ‫َن‬‫ن ع‬ َ‫َا‬‫ْم‬
‫لي‬َ‫بن س‬ ْ ‫ِر‬ ‫َم‬
‫ْت‬‫َمع‬ ‫و‬
ِ‫بن‬ْ ‫ة‬ َ‫م‬
َ‫ْ أسَا‬ ‫َن‬‫ّ ع‬ ‫ِي‬
ِ ‫هد‬ َّْ
‫ن الن‬ ‫ْم‬
َ‫َا‬ ‫ِي عث‬ ‫َب‬
‫ْ أ‬ ‫َن‬‫ع‬
‫ْه‬
ِ ََ
‫لي‬ َّ
‫اَّلل ع‬ ‫لى‬ ََّ َّ
‫اَّللِ ص‬ ‫َسول‬ ‫ل ر‬َ‫َا‬ َ َ
‫الق‬ ‫ٍ ق‬ ‫يد‬ َْ‫ز‬
‫لى‬ََ
‫ُّ ع‬ ‫َض‬
‫َر‬ ‫ِيَ أ‬‫َة ه‬ ‫ْن‬
‫ِت‬‫ِي ف‬ ‫ْد‬
‫بع‬َ ‫ْت‬‫َك‬
‫تر‬َ ‫ما‬ َ َ‫لم‬ََّ‫َس‬‫و‬
33‫ء‬ ‫ْ الن‬
ّ
ِ‫ِسَا‬ ‫ِن‬‫ِ م‬‫َال‬‫ِج‬ّ
‫الر‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Mans}u>r telah menceritakan
kepada kami Sufya>n dan Mu'tamir bin Sulaima>n dari Sulai>man al-Taimi>
dari Abi> 'Us\ma>n al-Nahdi> dari Usa>mah bin Zaid dia berkata;
"Rasulullah saw. bersabda: 'Sepeninggalku, tidak ada (sumber) bencana yang
lebih besar bagi laki-laki selain dari pada wanita.

Meladeni nafsu kemaluan ini secara berlebih-lebihan, akan membuat hasrat

seorang laki-laki hanya tertuju kepada wanita, lalu membuatnya lalai mengingat

akhirat, dan bahkan bisa menyeretnya kepada perbuatan cabul dan keji. Ini adalah

Nafsu yang paling buruk. Cukup banyak orang yang bernafsu terhadap harta benda,

kedudukan, dan lain-lainnya sehingga membuat mereka tidak kuat menahan dirinya

untuk terjun ke kancahnya. Lebih baik segera bersikap waspada selagi ada tanda-

tanda untuk meladeni nafsu ini, Sebab jika sudah ketagihan dan menjadi kebiasaan

dibutuhkan sara pengobatan yang keras, yang kadang-kadang justru tidak berhasil

sama sekali34.

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Tazkiyah al-Nafs,

33
Muslim ibn al-H{ajja>j, S{ah}i>h} Muslim, Bab Aks\aru Ahlu al-Jannah al-Fuqara>u, Juz
4, (No. 97), h. 2097.
34
Ibnu Quda>mah al-Maqdisi>, Mukhtasar Minha>jal-Qa>s}idi>n, h. 143.
99

Ibnu Taimiyah mengemukakah bahwa sumber keburukan adalah kelalaian dan

hawa nafsu, sebagaimana firman Allah swt. :

‫بهم‬ََّ
‫ن ر‬ َ‫دعو‬ْ‫ي‬َ َ‫ِين‬ َّ
‫الذ‬ َ
‫مع‬ َ َ‫ْسَك‬
‫نف‬َ ْ‫ِر‬ ‫َاص‬
‫ْب‬ ‫و‬
‫ْد‬
‫تع‬َ ‫ال‬ ََ
‫هه و‬َْ‫َج‬ َ‫ِيدو‬
‫ن و‬ ‫ِ ير‬ ‫َش‬
ّ‫ِي‬ ْ َ
‫الع‬ ‫ِ و‬ ََ
‫داة‬ ْ ‫ب‬
‫ِالغ‬
‫َا‬
‫ني‬ْ‫الد‬
ُّ ‫َاة‬
ِ ‫َي‬ ْ ‫ة‬
‫الح‬ ََ
‫ِين‬ ‫ِيد ز‬ ‫ْهم‬
‫ْ تر‬ ‫َن‬ ‫َاك‬
‫َ ع‬ ‫ْن‬‫َي‬
‫ع‬
َِ
‫نا‬ ‫ْر‬‫ِك‬‫َن ذ‬ ‫َه ع‬ َْ
‫لب‬‫َا ق‬ َْ
‫لن‬‫ْف‬ َ
‫ْ أغ‬ َ ْ
‫من‬ ‫ِع‬
‫ال تط‬ ََ
‫و‬
35‫مره فرطا‬ َ
ْ‫ن أ‬ َ‫َا‬ ‫َك‬
‫َاه و‬‫هو‬َ َ
‫َع‬ َّ َ
‫اتب‬ ‫و‬
Terjemahnya:
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas36.

Hawa nafsu tidak berdiri sendiri dalam melakukan keburukan kecuali diserta

kebodohan, sebab jika ia mengetahui bahwa sesuatu itu berbahaya dan berdosa untuk

dilakukan, maka secara otomatis ia akan menolak untuk mengerjakan hal tersebut,

Allah swt. telah menjadikan dalam jiwa kecintaan terhadap apa yang mendatangkan

manfaat dan membenci sesuatu apa yang mendatangkan mudharat37.

Oleh karena itu musibah terbesar yang datang dari setan bukan hanya dari

nafsu semata, karena setan membuat indah kejelekan dan menyuruhnya untuk

melakukannya serta menyebutkan kebaikan-kebaikan yang terdapat padanya.

35
QS. Al-Kahfi [18]: 28.
36
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 297.
37
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tazkiyatun Nafs, (Cet. III, Jakarta: Darus Sunnah Press,
2010), h. 85.
100

4. Syaikh Dr. Ahmad Farid dalam bukunya “Manajemen Qalbu Ulama Salaf”.

Menurut beliau, nafsu bisa membuat hati tidak sampai kepada Allah dan

bertemu dengan-Nya kecuali setelah berhasil mematikan nafsu, meninggalkannya

dengan cara menyalahi kemauannya dan mengalahkannya. Siapa yang berhasil

mengalahkan nafsunya akan beruntung dan sukses, siapa yang dikalahkan oleh

nafsunya akan merugi dan celaka38. Allah berfirman :


َّ
‫إن‬ َِ
‫َاف‬ ْ‫الد‬
‫ني‬ ُّ َ‫َا‬
‫ة‬ ‫َي‬ ْ َ
‫الح‬ َ َ
‫آثر‬ ‫َغ‬
‫و‬,‫َى‬ ‫من ط‬َ ‫ما‬ ََّ
‫َأ‬‫ف‬
‫َام‬
َ ‫مق‬ ‫َاف‬
َ َ ‫ْ خ‬ َ ‫ما‬
‫من‬ ََّ
‫َأ‬ ‫ْو‬
‫َىو‬ ‫َأ‬ ْ َ‫ِي‬
‫الم‬ ‫َ ه‬ ‫َحِيم‬ ْ
‫الج‬
ََّ
‫ة‬ ‫َن‬ ْ ‫ن‬
‫الج‬ َِ
َّ‫إ‬‫ف‬,‫َى‬ ‫هو‬ ْ ِ
َ‫ال‬ ‫َن‬‫ْسَ ع‬‫َّف‬
‫هى الن‬ َ‫ن‬ََ
‫ِ و‬ ‫ِه‬َّ
‫ب‬ ‫ر‬
.39َ ْ َ‫ِي‬
‫الم‬ ‫ه‬
Terjemahnya:
Adapun orang yang melampaui batas , dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). ) Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)40.

Memang nafsu selalu mengajak untuk melampaui batas dan lebih

mengutamakan kehidupan dunia. Sementara Allah mengajak hambanya untuk takut

kepada-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa dan hati manusia, nafsu berada

diantara dua ajakan, kadang ia cenderung kepada ajakan yang satu terkadang

cenderung kepada ajakan yang lain. Disinilah letak ujian dan cobaan41.

38
Ahmad Farid, Manajemen Qalbu Ulama Salaf, (Surabaya: Pustaka Elba, 2008), h. 72.
39
QS. Al-Na>zi’a>t [79]: 37-41.
40
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 584.
41
Ahmad Farid, Manajemen Qalbu Ulama Salaf, h. 73.
101

5. KH. Noerhidayatullah, MA dalam buku beliau “Insan Kamil; Metoda Islam

Memanusiakan Manusia”.

KH. Noerhidayatullah mengemukakan bahwa ciri utama zaman sekarang

adalah kebebasan untuk mengumbar dorongan hawa nafsu dan memenuhi keinginan

naluri-naluri rendahan sepuasnya. Padahal pemuasan keinginan naluri-naluri itu

hanya menambah derita, sebab ia akan selalu menuntut pemenuhan tanpa merasa
kenyang42.

Masyarakat yang hidupnya berputar pada kisaran hawa nafsu ini adalah

masyarakat yang berat sekali dosanya dan buruk sekali akibatnya. Masyarakat yang

akrab dengan pergulatan antara kekuatan kejahatan dan kepentingan-kepentingan

egoistik yang tak pelak di dalamnya lahir sifat-sifat iri, dengki dan kebencian43.

Bertolak dari semua itu maka diperlukan langkah untuk memerangi hawa

nafsu agar tunduk dibawah kendali akal dan iman. Ketika manusia berusaha

memenuhi kewajiban-kewajibannya yang berkaitan dengan ketaatannya kepada Allah

swt., maka hawa nafsu akan mendorongnya untuk memungkiri dan menolak

dilaksanakannya kewajiban akan ketaatan tersebut. Karenanya ketika hawa nafsu

bertingkah seperti itu maka dorongannya harus dicegah dan tuntutan-tuntutannya

harus ditolak44.

Memerangi hawa nafsu dalam konteks ini merupakan kewajiban yang harus

segera dilakukan oleh seorang mukmin, tidak bisa ditunda-tunda atau dianggap

42
Noerhidayatullah, Insan Kamil Metoda Islam Memanusiakan Manusia, (Bekasi: Nalar,
2002), h. 216.
43
Noerhidayatullah, Insan Kamil, h. 216.
44
Noerhidayatullah, Insan Kamil, h. 216.
102

enteng. Keluhuran derajat orang mukmin dan cahaya orang-orang takwa hanya diukur

dengan kemampuan mereka memenangkan perang melawan hawa nafsu dan seberapa

jauh kemampuan mereka mengendalikan diri45.

C. Cara Menundukkan Hawa Nafsu (Tazkiyah al-Nafs)

1. Pengertian Tazkiyah al-Nafs


Kata tazkiyah berasal dari kata kerja zaka yang dalam pengrtian verbalnya
berasal dari akar kata dengan huruf z, k, w atau z, k, y ( ‫زكو‬ atau ‫)زكى‬.
Berdasarkan penelusuran kamus, kata kerja zakawa ( ‫)زكو‬ini menjadi zaka – yazku
– zakaan – wa zukawan – wa zakatan, yang bermakna dasar al-nama’ (tumbuh) atau
tambahan, seperti tanaman itu tumbuh ‫الزرع يزكو‬. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang bertambah dan tumbuh dikatakan yazku.46 Juga bermakna
tumbuh subur, berkembang, murni dalam hati, saleh, dan baik.47
Dengan penambahan satu huruf maka terbentuk kata kerja – ‫ّى‬
‫زك‬
‫تزكية‬ - ‫ّى‬
‫ يزك‬yang dapat berarti mengembangkan, menyucikan,
membersihkan, memperbaiki dan memuji.48
Katatazkiyah berasal dari bahasa Arab, yakni mashdar dari zakka yang berarti
pembersihan dan penyucian serta pembinaan dan peningkatan jiwa menuju kepada
kehidupan spiritual yang tinggi.

45
Noerhidayatullah, Insan Kamil, h. 217.
46
Abu> al-Fadl Jama>l al-Di>n, Lisan al-Arab, Jilid 15, h. 358. Lihat Abu> al-H{usain
Ah}mad ibn Fari>s ibn Zakari>ya, Mu’jam Muqayis al-Lughah, Juz 3, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), h.
17.
47
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic; Arabic-English, (Wiesbaden:
Harrassowitz, 1979), h. 441.
48
Louis Ma’luf, al-Munji>b fi> al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Da>r al-Musyriq, 1986), h.
303. Lihat Muh}ammad Isma>’i>l Ibra>hi>m, Mu’jam al-Alfa>z} wa al-A’lam al-Qur’a>niyah
(Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th.), h. 221.
103

Menurut Isfaha>ni>, kalimat ‫زكى‬ pada dasarnya mengandung arti tumbuh


karena berkah dari Tuhan, seperti yang terkandung dalam arti zakat, jika dihubungkan
dengan makanan mengandung halal, tetapi jika dihubungkan dengan nafs maka di
dalamnya mengandung sifat-sifat terpuji49.
Menurut Said Hawwa, tazkiyah secara etimologi mempunyai dua makna,
yakni penyucian dan pertumbuhan50.Tazkiyah dalam arti yang pertama adalah
membersihkan dan mensucikan diri dari sifat-sifat tercela, sedangkan arti yang kedua,
berarti menumbuhkan dan memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Dengan
demikian tazkiyahal-nafs tidak saja terbatas pada pembersihan dan penyucian diri,
tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan diri.
Sedangkan menurut istilah membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-
cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan
menjadikan nama-nama Allah sebaik akhlaknya, di samping ‘ubudiyah yang
sempurna kepada Allah dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah51.
Padanan atau sinonim yang mirip dengan pengertian tazkiyah, adalah tat}hi>r
yang berasal dari kata t}aha>ra yang artinya membersihkan. Kata tat}hi>r atau
t}aha>ra konotasinya adalah membersihkan sesuatu yang bersifat material atau
jasmani yang bisa diketahui oleh indera-indera manusia. Misalnya, membersihkan
tangan dari kotoran, baik berupa najis maupun noda-noda yang menempel pada
jasmani manusia. Sedangkan kata tazkiyah konotasinya adalah membersihkan sesuatu
yang bersifat immaterial. Misalnya membersihkan pikiran dari angan-angan kosong,
nafsu jahat, dan sebagainya52.

49
Al-Raghi>b al-Isfaha>ni>, Mu’jam Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut; Da>r al-
Fikr, t.th.), h. 208.
50
Said Hawwa, al-Mustakhlas} fi> Tazkiyah al-Anfus, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tahmid,
Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 2
51
Said Hawwa, al-Mustakhlas} fi> Tazkiyah al-Anfus, h. 173.
52
M. Solihin, Kamus Tasawuf, h. 232-233.
104

Semua kamus menyatakan bahwa kata tazkiyah mempunyai dua arti, meski
para ahli bahasa berbeda pendapat mana di antaranya yang lebih mendasar. Arti
pertama adalah menyucikan dan membersihkan, sedangkan arti kedua adalah
memperbesar jumlah atau menambah. Dengan demikian, frase tazkiyahal-nafs,
seperti banyak diakui oleh para mufassir al-Qur’an, dapat diartikan sebagai
“penyucian” jiwa maupun “penumbuhan” jiwa. Kebanyakan ahli tafsir menekankan
makna yang pertama, terutama karena alasan-alasan teologis. Singkatnya, kewajiban
primer kaum muslim adalah tunduk kepada Allah, dan ini tidak akan tercapai kecuali
dengan cara membersihkan diri dari semua hal-hal yang dibenci Allah. Inilah yang
disebut “penyucian”. Namun, jelas bahwa jiwa harus pula tumbuh atas bantuan Allah.
Bertumbuh juga dapat disebut tazkiyah. Dengan demikian, kedua arti itu, yakni
penyucian dan pertumbuhan bisa saja berlaku bagi kata tazkiyah53. Kita dapat pula
menganggap penyucian sebagai usaha menumbuhkan jiwa sehingga kedua arti itu
bisa diartikan saling berkait satu sama lain.
Dengan demikian, tazkiyahal-nafs tidak saja mengandung arti mensucikan
jiwa, tetapi juga mendorongnya untuk tumbuh subur dan terbuka terhadap karunia
Allah. Terjemahan yang lebih baik dalam hal ini adalah merawat jiwa54.
Muh}ammad ‘Abduh mengartikan tazkiyahal-nafs (penyucian jiwa) dengan
tarbiyahal-nafs (pendidikan jiwa) yang kesempurnaannya dapat dicapai dengan
tazkiyahal-aqli (penyucian dan pengembangan akal)dari aqidah yang sesat dan akhlak
yang jahat. Sedangkan tazkiyahal-aqli kesempurnaannyadapat pula dicapai dengan
tauhid murni55.

53
William C. Chittick, Sufism: A short Introduction,terj. Zaimul, Tasawuf di Mata Kaum Sufi,
(Bandung, Mizan, 2002), h. 84-85.
54
William C. Chittick, Sufism: A short Introduction, h. 84-85.
55
Muh}ammad Rasyid Rid}a, Tafsi>r al-Mana>r, juz 4, (Mesir: Maktabah al-Qahirah), h.
222-223.
105

Dalam kitab keajaiban jiwa al-Ghazali mengartikan tazkiyahal-nafs


(penyucian jiwa) dengan istilah t}aha>rahal-nafs dan ima>rahal-nafs. T{aha>rahal-
nafs berarti pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan ima>rahal-nafs dalam arti
memakmurkan jiwa (pengembangan jiwa) dengan sifat-sifat terpuji. Kalau orang
sudah sampai melakukan proses tersebut, dapatlah ia sampai pada tingkatan jiwa
mut}mainnah dan bebaslah ia dari pengaruh hawa nafsu56.
Para sufi mengartikan tazkiyahal-nafs dengan takhalliyahal-nafs dan
tahliyahal-nafs dalam arti melalui latihan jiwa yang berat mengosongkan diri dari
akhlak tercela, dan mengisinya dengan akhlak terpuji serta sampai pada usaha
kerelaan memutuskan segala hubungan yang dapat merugikan kesucian jiwa dan
mempersiapkan diri untuk menerima pancaran nur Ilahi (tajalli). Dengan bebasnya
jiwa dari akhlak tercela dan penuh dengan akhlak terpuji, maka orang mudah
mendekatkan diri kepada Allah dalam arti kualitas, serta memperoleh nur-Nya,
kemuliaan dan kesehatan mental dalam hidup57.
2. Langkah-langkah Tazkiyah al-Nafs

a. Memiliki ilmu pengetahuan

Tazkiyah al-nafs adalah sebuah proses mengantarkan manusia pada


kesempurnaannya. Untuk sampai kepada kesempurnaan itu, manusiaharus
menyempurnakan ilmu pengetahuannya, karena mereka terlahir dalam keadaan tidak
mengetahui, seperti dijelaskan oleh Allah dalam QS. al-Nahl/ 16: 78:

  


  
  
  
56
Muh}ammad Rasyid Rid}a, Tafsi>r al-Mana>r, juz 8, h. 17.
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 45
57
106

  


Terjemahnya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar kamu bersyukur58.

Ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan dan mendekatkan diri kepada


Allah. Dengan memperoleh pengetahuan yang benar manusia dapat mengenal nafs-
nya, meluaskan pandangan serta menumbuhkan harga diri, kepercayaan dari dan
martabat diri. Apabila seseorang telah mampu menyerap ilmu pengetahuan dan
menjadikannya sebagai dasar dalam beramalserta sebagai jalan mendekatkan diri
kepada Allah, dia akan mendapatkan ketenangan pikiran dan rasa dekat kepada Allah.
Ilmu juga dapat berfungsi menghindarkan manusia dari pandangan yang sempit dan
picik, serta selamat dari godaan setan dan pengaruh hawa nafsu, sebab setiap kali
manusia memperoleh tambahan ilmu berarti manusia telah membina dirinya dengan
wawasan yang luas.59

Dengan demikian, ilmu merupakan instrumen manusia untuk


mengaktualisasikan kebebasan spiritualnya dalam pemenuhan kebutuhan
materialnya.60 Ilmu yang hanya teori sama sekali tidak bisa terwujud dalam sebuah
kenyataan yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari hawa nafsu, bahkan
menyesatkannya dari jalan yang lurus.61 Oleh karena itu, ilmu seharusnya mengantar

58
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 275.
59
A.F. Jaelani, Penyucian Nafs (Tazkiyah al-nafs) dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Amzah,
1992), h. 97.
60
Arhamedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam Revolusi
Integralisme Islam, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2004), h. 226.
61
Syaikh Salim bin ‘I><d al-Hila>li>, Manha>j al-Anbiya>’ fi> Tazkiyah al-Nufu>s. Terj.
Beni Sarbeni dengan judul Manajemen Qalbu Para Nabi Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah (Cet.I;
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 1426 H/ 2005 M), h. 168.
107

pemiliknya semakin meningkatkan keimanan kepada sang Pencipta, bahwa Dia-lah


satu-satunya yang patut disembah dan diikuti perintah-Nya. Dengan begitu, nafs-nya
akan semakin jauh dari sifat takabur yang merupakan salah satu dari penyakit nafs.

b. Melakukan Tobat dengan Sesungguhnya

Tobat adalah salah satu langkah dalam taszkiyah al-nafs dan merupakan
refleksi rasa ketuhanan yang agung. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya QS. al-
Nu>r/ 24: 31;

  ...


  
 
Terjemahnya:
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung62.

Dalam ayat tersebut di atas, Tuhan memerintahkan kepada orang-orang yang


beriman agar bertobat kepada Allah yang merupakan kewajiban mutlak, tidak
memandang siapa pun dan tidak mendiskriminasikan yang lain.63

Menurut rumusan yang dipaparkan oleh Muh}ammad ibn Allan al-


S{iddi>qi>, tobat merupakan upaya hamba yang menyesalkan dosa-dosa yang
diperbuatnya64. Sedangkan menurut al-Ghaza>li> beliau menjelaskan bahwa tobat
pada hakikatnya merupakan rujuk manusia (kepada Tuhan) dari perbuatan maksiat

62
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 353.
Abu> al-Fadel Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mah}mu>d al-‘Alu>si>, Ruh al-Ma’a>ni> fi>
63

Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>m wa Sab’u al-Masa>ni>, jilid IX (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 215.
64
Muh}ammad ‘Allan al-Siddi>qi> al-Syafi>’i, Dali>l al-Fa>lihi>n, Bairut: Da>r al-Fikr,
t.th), h.78.
108

kepada ketaatan, dan dari jalan yang jauh (menyimpang jauh dari rel Tuhan) kepada
jalan yang mendekatkan kepada Tuhan.65

Jadi, dengan melakukan tobat seorang muslim menjadi sosok pribadi muslim
yang kembali kepada fitrahnya.

c. Memurnikan Tauhid
Tauhid adalah sebuah konsep yang revolusioner dan merupakan esensi, basis
atau ruh ajaran Islam. Arti tauhid adalah alam semesta ini beserta seluruh isinya
hanya memiliki satu Tuhan Maha Tinggi, Dia Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Hadir
dan Yang Menjaga kesinambungan eksistensi alam.66 Itulah sebabnya al-Qur’an
memandang keimanan kepada Keesaan Allah sebagai dasar atau akar sistem ajaran
Islam.
Orang-orang saleh telah sepakat bahwa tauhid merupakan permulaan
sekaligus tujuan akhir. Setiap peningkatan ibadah dan keimanan, tidak lain
merupakan buah dari tauhid dan ditujukan untuk meningkatkan nilai ketauhidan. Oleh
karena itu, manusia harus menyucikan diri dari kemusyrikan, kekufuran dan
kemaksiatan. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Jum’ah/ 62: 2;
   
  
  
 
  
   
 
Terjemahnya:

Abu> Hami>d Muh}ammad bin Muh}ammad al-Gaza>li>, Raud}ah al-Ta>libi’i>n wa


65

‘Umdah al-Sa>liki>n, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 151.


66
Muhammad Husaini Bahesyti dan Jawad Bahonar, Philosophy of Islam, terj. Ilyas Hasan
dengan judul Intisari Ajaran Islam; Kajian Konprehensif tentang Hikmah Ajaran Islam, (Cet. I;
Jakarta: Lentera, 2003), h. 107.
109

Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan
Hikmah (al-Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam
kesesatan yang nyata67.
Kata yuzakki berdasarkan pengertian bahasa berarti menyucikan atau
membersihkan. Dimana kata tersebut pada ayat di atas bermakna menyucikan dan
membersihkan manusia dari kemusyrikan, kekufuran dan kemaksiatan sebagai bagian
dari diutusnya pada rasul Allah yang mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-
Hikmah.68
Al-T{abari> dalam tafsirnya menjelaskan bahwa klausa ini bermakna orang
yang menyucikan diri dari dosa-dosa dan menaati perintah-perintah Allah serta tidak
mengotori dirinya dengan kemaksiatan yang dilarang oleh-Nya.69
d. Mengerjakan Kebaikan dan Menjauhkan Diri dari Perbuatan Dosa

Dalam kehidupan setiap manusia selalu diperhadapkan pada dua alternatif,


beriman atau kufur terhadap Allah, memilih jalan hidup menurut aturan agama atau
mengikuti bujuk rayu hawa nafsunya. Allah menegaskan dalam QS. al-Baqarah/ 2:
148, agar berlomba dalam kebaikan:

  


  
   
   
    
  

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 553.


67

68
Abu> Ja’fa>r Muh}ammad ibn Jarir al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> Jami>’ al-Baya>n
‘an Ta’wi>l ayi al-Qur’an, (Kairo: Markaz al-Buhu>s wa al-Dira>sah al-‘Arabi>yah wa al-
Islami>yah, 1422 H/ 2001 M), h. 372.
69
Abu> Ja’fa>r Muh}ammad, Tafsi>r al-T{abari>, h. 343.
110

Terjemahnya:
Dan setiap ummat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti
Allah akan mengumpulkan semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu70.

Kata al-khaira>t dalam ayat di atas adalah isim yang berfungsi sebagai sifat
dan merupakan bentuk jamak dari kata khayr. Kata ini bermakna segala sesuatu yang
baikdan bermanfaat bagi manusia, baik berupa harta benda, keturunan, maupun dalam
bentuk jasa yang disumbangkan.71 Oleh karena itu, seruan Allah dalam ayat di atas
untuk berlomba-lomba dalam kebajikan dapat menjadi langkah dalam proses tazkiyah
(penyucian) sebab dengan melakukan kebaikan berarti mendidik nafs untuk selalu
dalam koridor Aturan Allah swt. dan Rasul-Nya.

e. Melakukan Introspeksi Diri (Muhasabah)


Introspeksi bermakna peninjauan atau koreksi terhadap perbuatan, sikap,
kelemahan, kesalahan dan sebagainya terhadap diri sendiri atau mawas
diri.72‘Abdual-Muji>b menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan introspeksi adalah
membuat perhitungan atau melihat kembali tingkah laku yang telah diperbuat, apakah
sesuai dengan apa yang diisyaratkan sebelumnya atau tidak. 73 Introspeksi dalam
bahasa Arab disebut muha>sabah terambil dari kata kerja hasaba-yuha>sibu, seperti
perkataan ‘Umar bin Khat}t}a>b yang diriwayatkan oleh Ima>m Ah}mad, “Hisablah

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 23.


70

71
Abu> Ja’fa>r Muh}ammad, Tafsi>r al-T{abari>, h. 28.
72
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan nasional, 2008), h. 597.
73
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2007), h. 391.
111

dirimu sebelum engkau dihisab, sesungguhnya berintospeksi bagi kamu pada hari ini
akan lebih ringan daripada hisab di hari kemudian”.74

Dengan muh}a>sabah setiap diri (nafs) merenung memasuki hasrat hati yang
paling dalam, sehingga ia mampumenilai dengan jernih apa yang telah diperbuat.
Dengan demikian, muh}a>sabah (introspeksi) merupakan langkah yang harus dilalui
oleh setiap mukmin yang melakukan tazkiyahal-nafs, karena dengan muh}a>sabah
seseorang akan menyadari kelemahan-kelemahannya di masa lalu untuk kemudian
dibersihkan atau disucikan agar di masa yang akan datang tidak termasuk orang-
orang yang merugi.

f. Mengekang Diri
Tazkiyah al-nafs dengan cara pengekangan diri adalah salah satu aspek
penting dalam praktek tasawuf. Tujuan dari pengekangan diri ini adalah melepaskan
nafs dari segala sesuatu yang diinginkannya dan membebaskannya dari mengikuti
hawa nafsunya sendiri75. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Na>zi’a>t/ 79: 40-41;
   
   
  . 
 
Terjemahnya:
Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya surgalah
tempat tinggal(nya)76.

Ayat di atas menjelaskan bahwa hanya orang yang takut kepada Allah sajalah
yang dapat menjauhkan dirinya (mengekang nafs) dari bermaksiat kepada Allah.

74
Muh}ammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tirmi>zi> al-Sala>mi>, al-Jami’ al-S{ah}i>h} Suna>n
al-Tirmi>zi>, juz 9, (Beirut: Da>r al-Tura>s al-‘Arabi>, t.th), h. 337.
75
Abu> ‘Ali> al-Fad}l ibn al-H{asan al-Tabra>si>, Majma’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-
Qur’an, juz 9 (Beirut: Da>r Ihya al-Turas al-‘Arabi>, 1986), h. 554.
76
Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 584.
112

Mereka meninggalkan hal-hal yang dibenci dan tidak diridai oleh Allah. Mereka
senantiasa kembali kepada ketaatan kepada Allah.77
g. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Terpuji

Untuk menjaga agar nafs yang dirahmati Allah saja yang terealisasi dalam
kehidupan , di samping yang telah disebutkan di atas, maka setiap manusia harus
menghiasi nafs (dirinya) dengar perbuatan-perbuatan yang terpuji yang akan menjadi
pertahanan dalam dirinya agar nafsnya selalu suci. Adapun sifat-sifat yang terpuji
yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut:

1) Sabar

Kata kerja sabara berarti rabata (mengikat) atau ausaqa (menguatkan), yaitu
mengikat kelemahan dan perilaku irasional yang dapat mencemari kepribadian yang
islami, menurunkan martabatnya, atau bahkan menghancurkannya.78

Sabar bukanlah sebuah kelemahan dan keputusasaan melainkan suatu bentuk


keteguhan sikap atau tahan uji, berani karena benar yang menangkal nilai-nilai
negatif dan memiliki daya rujukan terhadap nilai-nilai positif79.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anfa>l/ 8: 46;


 
  
 
   
   
Terjemahnya:

77
Abu> Ja’fa>r Muh}{ammad al-T{abari>, Jami’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ayi al-Qur’an, Juz
30 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1988) h. 46.
78
Firdaus, Tazkiyah al-Nafs; Upaya Solutif Membangun Karakter Bangsa, h. 216.
79
Sukamto Mm. Dan A. Dardiri Hayim. Nafsiologi Refleksi Analisis tentang Diri dan
Tingkah Laku Manusia, (Cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 132.
113

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar80.

2) Tawakkal

Tawakkal kepada Allah adalah konsisten terhadap hukum atau kehendak-Nya


dalam melaksanakan sesuatu, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-T{ala>q/ 65: 3;
   
   
    
    
    
.
Terjemahnya:
Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya.
Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.81

Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak bertakwa kepada Allah
dan tidak pula bertawakkal, maka dia tidak akan pernah memperoleh jalan keluar
(dari permasalahan yang dihadapi) dan rezeki dari Allah swt.82

3) Syukur

Syukur adalah sebuah pengakuan terhadap nikmat Allah dalam hati, yaitu
kepuasan batin atas anugerah, dan mengucapkan dengan lidah yang dilandasi dengan
pujian atas anugerah, serta menjadikannya pertolongan dalam ketaatan kepada Allah.

4) Jujur

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 183.


80

Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Tajwid, h. 558.


81

82
Al-Ima>m Muh}ammad al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n ibn al-‘Alla>mah Diya>’ al-Di>n ‘Umar,
Tafsir Fakhr al-Ra>zi>, Juz 10, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401 H./ 1981 M.), h. 177.
114

Kejujuran adalah sebuah konsep abstrak yang tak dapat diukur. Meskipun
demikian, setiap orang menghargai dan juga ingin memakainya. Kejujuran adalah
suatu kekuatan yang memiliki gerak yang dapat mempengaruhi realitas kehidupan
dan mewarnai nafs sebagai dorongan potensial untuk berbuat lurus83.

Sesungguhnya masih banyak sikap di dalam al-Qur’an yang dapat


menghantarkan seseorang kepada kesucian jiwa. Namun, keempat hal di atas bagi
penulis merupakan hal mendasar dalam rangka tazkiyah al-nafs.

83
Sukamto Mm. Nafsiologi Refleksi Analisis..., h. 143-144.

Anda mungkin juga menyukai