Anda di halaman 1dari 6

THE BREMEN TOBACCO CASE 1959

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

STUDI KASUS HUKUM INTERNASIONAL

Disusun oleh:

Khansa Aminatuzzahra 110110150063

Raihanah Artantiningrum 110110150111

Syafira Azharia Putri 110110150118

Puspa Tri Haryadi 110110150140

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018
THE BREMEN TOBACCO CASE 1959

1. Fakta Hukum
Pada tahun 1958, Indonesia melakukan divestasi atau menasionalkan perusahaan milik
Belanda yang dahulu kala pernah menjajah wilayahnya. Perusahaan ini berada di daerah
Sumatera Utara. Perkebunan milik Belanda yang dinasionalisasikan yaitu NV Verenigde Deli-
Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappi. Setelah dinasionalisasikan Indonesia
mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) di atas tanah perkebunan perusahaan bekas
kepemilikan Belanda.
Ketika akhirnya tembakau ini diperdagangkan di Bremen (Jerman), pihak Belanda
melakukan klaim terhadap perusahaan itu. Pihak Belanda dalam hal ini De Verenigde Deli
Maatschapijen menganggap bahwa nasionalisasi oleh pihak Indonesia tidak sah. Mereka
menganggap Indonesia tidak akan melakukan ganti rugi seperti apa yang telah direncanakan,
sehingga apa yang Indonesia lakukan sekarang hanyalah upaya memperkaya pihaknya dengan
sumber daya milik Belanda. Mereka menganggap ganti rugi yang dilakukan Indonesia tidak
memenuhi unsur prompt, effective, dan adequate.
Dalam pembelaannya, pihak Indonesia atas nama Tembakau Jerman-Indonesia
(Deutsch- Indonesia Tabaks Handels G.m.b.H) menyatakan bahwa nasionalisasi perusahaan
Belanda tersebut merupakan sebuah tindakan negara yang berdaulat. Pengambilalihan
perusahaan ini dimaksudkan oleh pihak Indonesia adalah untuk mengubah struktur
perekonomian yang masih dalam bentuk kolonial ke dalam bentuk nasional. Pihak Belanda
menganggap tindakan ini adalah tindakan yang melanggar hukum internasional. Tindakan ini
dianggap sebagai tindakan yang memberikan perlindungan terhadap orang asing atas sesuatu
yang miliknya atau lebih dikenal dengan prima facie.

2. Persitiwa Hukum
a. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu undang-undang tentang nasionalisasi
serta peraturan pelaksanaannya bertentangan dengan hukum internasional di mana terdapat
perlindungan terhadap hak milik orang asing di dalam sebuah negara. Tindakan pemerintah
Indonesia ketika mengambilalih kemudian menasionalisasikan perusahaan perkebunan
milik Belanda menjadi sebuah tindakan yang dipertanyakan legalitas dan keabsahannya.
b. Pihak Belanda mengatakan bahwa tindakan nasionalisasi ini tidak sah. Mengingat bahwa
ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai
asas hukum internasional, yaitu bahwa ganti rugi harus prompt, effective, dan adequate.
c. Pihak tergugat membalas pernyataan tersebut dengan dalih bahwa nasionalisasi yang
dilakukan oleh pihak Indonesia dimaksudkan agar sistem ekonomi yang tadinya masih
bersifat kolonial berubah menjadi sistem ekonomi nasional secara menyeluruh.
d. Pemberian ganti rugi oleh negara yang baru berkembang dianggap tidak memungkinkan
oleh pihak tergugat mengingat ganti rugi yang sifatnya prompt, effective, dan adequate
adalah sulit untuk dipenuhi.
e. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu pelanggaran hukum, tetapi hal ini
dapat dibenarkan apabila memenuhi syarat, di antaranya adalah untuk kepentingan umum
(public purposes), ganti rugi yang tepat (appropriate compensation), dan non diskriminasi
(non discrimantion).

3. Keputusan
Keputusan Pengadilan Negeri Bremen yakni, pengadilan tidak mencampuri sah atau
tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia saat itu, yang secara tidak
langsung dapat diartikan sebagai pembenaran tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan
milik Belanda tersebut (keputusan Landsgericht Bremen tanggal 21 April 1959).
Banding yang diajukan oleh pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi
Bremen (Oberlandesgericht Bremen) yang menetapkan bahwa, pengadilan tidak
mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia, yang secara tidak
langsung menyatakan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda
adalah sah (keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21 Agustus 1959).

4. Dasar Pertimbangan
Beberapa dasar pertimbangan yang diambil oleh hakim adalah:
 Algemene Bepalingen (AB)
- Pasal 16: “Bagi penduduk Hindia-Belanda peraturan-peraturan perundang-
undangan mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku terhadap
mereka, apabila mereka ada di luar negeri.” (De wettelijke bepalingen betreffende
den staat en de voegdheid der personen blijven verbindend voor ingezetenen van
Nederlandsch-Indie, wanneer zij zich buiten’s lands bevinden)
- Pasal 17: “Terhadap benda-benda tetap (tidak bergerak) berlaku perundang-
undangan negara atau tempat dimana benda-benda itu terletak.” (Ten opzigte van
onroerende goederen geldt de wet van het land of plaats, alwaar die goederen
gelegen zijn). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa ia hanya berlaku pada benda
tidak bergerak saja dengan tidak memandang pemiliknya. Titik taut atau
penentuan hukum yang harus diberlakukan adalah tempat atau letak suatu benda
tidak bergerak menurut asas lex rei sitae.
- Pasal 18: “(1) Bentuk dari setiap perbuatan dinilai menurut perundang-undangan
negara dan tempat perbuatan itu dilakukan; (2) Dalam melaksanakan pasal ini
dan yang sebelumnya selalu harus diperhatikan perbedaan yang oleh undang-
undang diadakan antara orang Eropa dan Indonesia asli.” ((1) De vorm van elke
handeling wordt beoordeelg naar de wetten van het land of the plaats, alwaar
die handeling is verright. (2) Bij de toepassing van dit en van het voorgaan de
artikel moet steeds worden acht gegeven op het verschil, hetwelk de wetgeving
daarstelt tussen Europeanan en Inlanders)
 Pasal 935 BW
“Dengan sepucuk surat di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan
ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat, tanpa formalitas-formalitas
lebih lanjut tetapi semata-mata hanya untuk pengangkatan para pelaksana untuk
penguburan, untuk hibah-hibah wasiat tentang pakaian-pakaian, perhiasan-
perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah. Pencabutan surat
demikian boleh dilakukan di bawah tangan.”
 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia jo Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
Dasar pertimbangan lainnya yang menguatkan Pengadilan Tinggi Bremen
mengesahkan tindakan Indonesia ini dikarenakan ganti kerugian yang disediakan oleh
pemerintah RI sebagai pihak yang melakukan expropriation nasional lain sifat dan
bentuknya. Dengan diterbitkannya PP Nomor 9 Tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban
Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan
Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian, ditentukan bahwa dari
hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu
presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi. Pemerintah Indonesia dalam
hal ini menunjukkan bahwa ia tidak melanggar prinsip ganti rugi, hanya pembayaran ganti
kerugian itu cara maupun jumlahnya disesuaikan dengan kemampuannya sebagai negara
merdeka yang baru berkembang.

5. Analisis
Hasil putusan yang terdapat di dalam kasus ini mengatakan bawa pengadilan tidak dapat
mencampuri sah tidaknya tindakan nasionalisasi Indonesia tersebut, yang mana secara
langsung putusan ini membenarkan tindakan nasionalisasi yang telah dilakukan Indonesia.
Adapun adanya pendapat yang mengatakan bahwa tindakan nasionalisasi Indonesia ini
adalah melanggar hukum internasional, yang mana memberikan perlindungan kepada hak atau
milik orang asing. Yang mana apabila adanya pengambil alihan perusahaan asing, Indonesia
harus memberikan ganti rugi yang prompt, effective, dan adequate.
Namun, dengan menggunakan dalih kondisi negara yang baru merdeka dan berkembang
serta ada kepentingan untuk membangun struktur ekonominya, Indonesia hanya memberikan
ganti ruginya berupa pembagian dari pernjualan hasil perkebunan tembakau.
Menurut kami, hal ini merupakan suatu dasar pertimbangan yang tepat dikarenakan
demi kepentingan pembangunan struktur ekonomi Indonesia yang baru merdeka. Selain itu,
didukung oleh konsep Mochtar Kusumaatmadja yang berhasil membongkar konsep
pembayaran ganti rugi dalam hukum internasional yang menganut prinsip prompt, adequate,
dan effective (Hull Formula). Beliau menyatakan bahwa ganti rugi dibayarkan sesuai dengan
kemampuan negara bekas jajahan sebab para kolonial telah merampas kekayaan negeri yang
tidak sebanding. Argumen itulah yang memenangkan Indonesia dalam kasus Tembakau
Bremen tahun 1959.
Bahwasanya masyarakat internasional pun akhirnya dapat menerima adanya keputusan
tersebut dan menimbulkan yurisprudensi internasional bahwa kepentingan hukum internasional
dapat dilanggar oleh kepentingan hukum nasional suatu negara dengan suatu alasan yang kuat.
Yaitu hukum nasional dapat mempunyai keduudukan yang lebih tinggi dari hukum
internasional dalam keadaan-keadaan tertentu.
Kasus Bremen tobacco ini merupakan suatu peristiwa yang memerlukan penyimpangan
dari ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan milik asing. Walaupun dengan
keputusan pengadilan Bremen ini tidak dapat dikatakan bahwa kaidah hukum internasional
tentang nasionalisasi milik asing telah berubah, namun keputusan ini ternyata telah menarik
perhatian dunia dan memiliki peranan yang besar dalam proses perubahan kaidah hukum
internasinal yang mengatur mengenai nasionalisasi.
Akan tetapi, menurut kami haruslah tetap diperhatikan pengembangan hukum
internasional di Indonesia, sepatutnya harus memiliki sebuah paradigma atau kerangka
keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik, serta kepentingan nasional, sehingga
kita dpat selalu kritis terhadap isu-isu internasional yang telah, sedang, dan yang kemungkinan
akan terjadi di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai